Pair : SasuSaku
Rate : T semi M (jaga2)
Naruto © Masashi Kishimoto
AU, Alur kecepetan, OOC, GaJe , (miss) typo? dan gangguan lainnya yg berefek samping.
.
Aku tak tahu takdir apa yang telah Tuhan tuliskan untukku. Kebahagiaankah? Kesedihankah? Penderitaankah? Atau tidak satupun dari yang pernah kubayangkan? Setelah kutapaki jalan kehidupan, satu per satu alasanku hidup direnggut dengan paksa. Seolah penderitaan memang sengaja dipersiapkan untukku. Benarkah? Pikiran burukku saja atau garisku memang bukan dijalan ini?
.
.
Destiny © CbiellUchiha1
.
Chapter 1 : Guardian Angel
.
.
Sakura POV
Beberapa kali aku mengerjapkan mata karena merasa waktu tidurku terganggu. Seberkas cahaya mentari pagi menyusup melalui celah-celah gorden yang sedikit tersingkap, menampakkan bayang-bayang debu yang bertebangan terhembus pendingin ruangan yang terpasang di dinding atas ranjangku. Aku ingat, seminggu ini aku tak sempat membersihkan kaca jendela rumah karena kesibukanku harus bolak balik antara rumah dan rumah sakit.
Rumah sakit? Benar. Aku harus pergi mengunjungi suamiku yang sedang dirawat disalah satu rumah sakit berkelas di Tokyo, Konoha hospital.
Sudah memasuki hari ke sembilan sejak Kakashi Hatake, suamiku terlibat kecelakaan lalu lintas parah yang menyebabkan sebelah kaki kiri dan tangan kanannya mengalami patah tulang. Sementara kepalanya juga terhempas cukup keras menyentuh aspal karena helm yang digunakannya terlepas begitu saja. Setelah diselidiki ternyata pengait helm itu macet yang menyebabkan suamiku terlalu malas untuk mengaitkannya.
Aku bangkit dan mengucek mataku sebentar. Masih dengan mulut yang sesekali menguap, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi dan membasuh mukaku di bak wastafel. Kulirik sekilas perutku yang belum tampak membuncit dari balik cermin, setidaknya belum terlalu jelas tapi aku bahagia karena buah cintaku dan suamiku tengah tumbuh didalam sana.
Aku masih ingat, bagaimana girangnya Kakashi mendengar kalau aku tengah mengandung anaknya. Tak sekalipun dilupakannya untuk selalu membelai dan mencium kehidupan baru yang dititipkan Tuhan pada kami berdua. Dia pula yang selalu cerewet jika aku lupa makan dan tak meminum susu khusus ibu hamil yang disiapkannya karena terlalu sibuk mengurus clothing line yang kudirikan bersama kedua sahabatku, Ino dan Hinata. Baginya, tak ada yang lebih membahagiakan selain menantikan kelahiran anak pertama kami dan berjanji akan menemaniku jika waktu itu tiba.
Mengingat itu, aku tersenyum miris.
Bahkan kini, untuk membuka kelopak matanya saja Kakashi tak mampu. Dia koma. Suamiku tengah berjuang antara hidup dan mati diranjang dingin ruang ICU dengan berbagai selang dan jarum yang menancap ditubuhnya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku jika monitor pemantau detak jantungnya suatu hari nanti menunjukkan garis lurus, pertanda tak ada lagi kehidupan diraga lemahnya. Bahkan untuk membayangkan suatu hal yang tak terjadipun aku tak sanggup. Aku terlalu takut.
Ah, aku tak boleh membuang-buang waktu dengan membayangkan yang tidak-tidak tentang kondisi suamiku. Aku harus bergegas. Kurasa, sebentar lagi Genma harus segera berangkat kerja. Aku tak mau disalahkan karena menjadi penyebab keterlambatan dan omelan bosnya. Apalagi pria itu bersikeras menggantikan posisiku menjaga Kakashi malam hari.
Setelah selesai mandi dan berpakaian lengkap, aku menyampirkan tas baguette yang senada dengan warna rambutku ke pundak dan segera bergegas menuju garasi. Dengan cepat, kutekan tombol start engine dan mulai melajukan kendaraan roda empat itu menuju Konoha hospital meninggalkan kediaman mewahku yang berada di distrik milik Uchiha.
Hanya butuh waktu dua puluh lima menit bagiku untuk sampai dirumah sakit bergengsi ini. setelah kembali menyampirkan tas kesayanganku, aku bergegas menuju ruang ICU yang berada disisi timur gedung setelah melalui meja resepsionis.
"Genma" setelah cukup dekat, kuteriakkan nama adik iparku itu dengan suara yang tak terlalu nyaring. Tampaknya pria dua puluh dua tahun itu tak mendengar panggilanku dan hanya terpaku pada ruangan yang dibatasi dengan kaca sebagai pemisah lorong dengan ruang ICU. Dari jauh dapat kulihat raut khawatir tergambar jelas dari wajah tampannya. Entah itu karena aku yang sedikit terlambat dan membuatnya mendapat ceramah pagi dari atasan atau karena alasan lain, aku tak tahu. Yang jelas raut kecemasan itu tertuju pada ruangan yang ada didepannya.
Aku tahu ini tak baik dan aku tak ingin mendengarnya. Tidak sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang tengah terjadi didalam sana.
"Genma, ada apa? Apa yang ter –" kalimatku terputus seketika saat kedua iris emerald milikku menangkap kepanikan perawat dan dokter yang ditugaskan merawat suamiku. Aku tak percaya ketika layar elektrokardiograf menunjukkan grafik-grafik lemah yang perlahan merendah. Keadaannya lebih dari kritis, aku tahu itu. Hidupnya sedang diperjuangkan, aku juga tahu itu. Yang aku tak tahu, sampai kapan keadaannya terus seperti itu? Sampai kapan ia akan terus menutup mata? Menderita.
Aku mundur beberapa langkah. Kedua tanganku berada di depan wajah, menutup mulutku berusaha tak mengeluarkan suara isakan.
"Sakura, tenangkan dirimu" dapat kurasakan jemari dingin Genma menyentuh kulit lenganku yang hanya dibalut blouse tipis. Kristal-kristal bening menggenang dipelupuk netra hijauku, siap meluncur kapan saja merefleksikan apa yang tengah kurasakan kini. Aku tak sanggup kehilangannya jika itu yang akan terjadi. Anakmu membutuhkanmu, Kakashi. Aku membutuhkanmu, sayang. Kembalilah. Buka matamu, tunjukkan pada mereka kalau kau kuat. Kau bisa bertahan.
"Kakashi... kau..kuat. Kau .. kau sudah berjanji padaku .. kau berjanji akan menemaniku .. hiks" hanya kata-kata itu yang mampu kukeluarkan saat ini. Tenggorokanku benar-benar tercekat, air mataku terus merembes tak terbendung lagi.
Aku menatap nanar saat grafik pada monitor disamping ranjang yang ditempati Kakashi menunjukkan garis lurus. Dokter dan perawat yang berjuang mempertahankan kehidupan suamiku juga sudah berhenti melakukan prosedur gawat daruratnya. Mereka menyerah pada suratan takdir.
Kulihat seorang perawat wanita mengembangkan selimut putih yang tadinya menutupi sebagian tubuh suamiku dan perlahan menaikannya hingga menutupi seluruh tubuh dan wajahnya.
"Tidak. Tidak. Suamiku belum mati, dokter. Dia masih berjuang didalam sana. Kau harus kembali menolongnya, dokter. Aku mohon. Aku mohon .."
"Sudah, Sakura. Hentikan. Kau harus kuat" Genma berusaha menghentikan pukulan demi pukulan lemah yang kuayunkan pada dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU. Dokterpun hanya bisa menggeleng sebagai jawaban atas permohonanku barusan. Kakiku lemas, pikiranku kacau.
Apa-apaan ini? Tidak mungkin. Tidak mungkin Kakashi akan mengingkari janjinya padaku, 'kan? Dia sudah berjanji akan menunggu anak kami lahir. Tidak mungkin. Ini pasti hanya mimpi. Aku tak ingin berada dimimpi ini. aku tak suka.
"Genma, aku mohon. Bangunkan aku dari mimpi ini. Aku tak suka disini" bisikku parau pada adik suamiku itu.
"Maaf, Sakura. Kau harus merelakannya. Aku tahu perasaanmu dan aku juga merasakan hal yang sama. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya mendoakannya. Biarkan ia kembali ke tempat yang lebih indah, ke tempat dimana ia tak harus menderita lagi" kudengarkan kata-kata Genma sambil terus menangis, membiarkan air mataku membasahi kemeja kerjanya. Aku tak percaya harus kehilangan sosok yang begitu kucinta secepat ini. Secepat ia datang dan mengisi hatiku.
Kubiarkan Genma mendekap tubuhku yang terasa sangat lelah. Kepalaku pusing. Sayup-sayup kudengar Genma melakukan panggillan telepon, entah dengan siapa aku tak tahu. Yang jelas, tak berapa lama aku melihat Kakak lelakiku dan istrinya datang dengan tergopoh-gopoh. Ino dan Hinata juga menyusul setelah mereka dan menghambur memelukku. Saat ini aku tahu, separuh hidupku telah terbang bersamaan dengan kepergian suamiku. Suamiku tercinta.
Kakashi's Funeral ...
Kabar berpulangnya Kakashi berhembus cepat bagai asap yang diterbangkan angin. Tak sedikit kerabat dan teman-temannya datang dan mengucapkan kalimat formal atas kepergian suamiku. Ayah dan ibuku pun sengaja kembali dari Amerika setelah mendengar kabar duka yang menimpaku dari Sasori-nii, kakakku sekaligus rekan bisnis dan sahabat Kakashi yang selalu berusaha menghiburku. Ino dan Hinata juga datang dan menyampaikan bela sungkawanya yang membuat kristal cair kembali mengalir dipipiku. Aku sedih dan mereka memahaminya.
Pandanganku kembali buram ketika peti yang melindungi jasad suamiku diturunkan kedalam tanah dengan perlahan dan menimbunnya kembali. Tak butuh waktu lama sampai membentuk gundukan yang menandakan selesainya proses dasar pemakaman. Kusiramkan kelopak-kelopak bunga penanda tempatnya beristirahat dengan tenang. Sesekali masih terasa cairan bening merembes tanpa bisa kutahan.
Hari ini, sosok pelindungku telah pergi memulai hidup baru disuatu tempat bernama surga. Tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi penderitaan yang akan dialaminya. Kini ia bebas. Aku yakin kini ia tengah tersenyum karena bisa mengawasiku dimanapun aku berada. Persis seperti apa yang diinginkannya.
Selamat jalan sayang. Selamat jalan guardian angel-ku. Bagaimanapun aku nantinya, aku akan selalu menyayangimu. Sampai kapanpun.
4 weeks later ...
Tak terasa sudah memasuki minggu ke empat sejak kepergian sosok yang begitu kucinta menemui penciptanya. Aku juga tak ingin terlalu larut dan kembali terisak hanya karena teringat masa-masa indah yang pernah kami lalui bersama. Lagipula, Kakashi junior juga sudah berhasil menggantikan sosok ayahnya dengan terus tumbuh dan memberikanku kebahagiaan lain. Setidaknya masih ada yang Kakashi tinggalkan untukku sebelum ia pergi.
Setelah kepergian Kakashi, Sasori-nii bersama istrinya, Shion-nee bersikeras tinggal denganku karena khawatir dengan kondisi kandunganku yang masih terbilang rawan. Ayah dan ibuku juga tak mengijinkan jika aku yang masih keras kepala untuk tinggal sendiri. Kalau bukan karena ancaman mereka yang akan membawaku terbang ke Amerika, aku juga tak akan membiarkan Sasori-nii pindah ke rumahku. Kurasa, walau tak kuijinkanpun, mereka akan tetap mendobrak masuk.
Sebelum berangkat menuju clothing line yang kami beri nama Beauty, aku menyempatkan diri untuk mencuci piring di wastafel dapur. Tak sengaja air sabun pencuci piring yang sedang kugunakan sedikit terciprat keluar wadah dan membasahi lantai marmer dibawahnya. Dari pada kelupaan, aku berniat mengeringkannya terlebih dahulu dengan kain lap yang tersampir dimeja bar.
Baru saja ketika aku melangkahkan kaki kananku, aku merasakan alas kaki yang kupakai sedikit licin ketika menggesekkannya dengan lantai. Aku tahu, aku baru saja menginjak cipratan air sabun tadi. Segera saja aku berpegangan pada tepi wastafel untuk mempertahankan keseimbangan tubuhku agar tetap dapat berdiri tegak. Sialnya, karena tak sempat mencuci tangan setelah menggunakan air sabun tadi, tepi wastafel tempat ku bertumpu pun terasa licin.
Alhasil, aku tak dapat mempertahankan posisi tubuhku lebih lama lagi dan mendarat keras dilantai dingin dapur dengan posisi terduduk.
Sakit, ngilu dan merasa terpilin. Hanya itu yang dapat kurasakan kini. Keringat dingin mengalir dari kening dan juga pelipisku, perlahan turun membasahi leher dan sedikit ujung bajuku. Aku mencoba berteriak, namun hanya suara erangan yang terdengar. Beberapa kali kucoba hingga akhirnya aku bisa mengeluarkan suara sambil menahan rasa sakit diperutku.
"Argggghh ,, to-tolongg a-akuu. Hahh" aku meringis kesakitan dan berteriak minta tolong berharap siapa saja dirumah ini akan datang menolongku. Aku merasakan perutku terasa ngilu dan sakit sekali. Ada sesuatu yang basah dan lengket yang merembes dari selangkanganku. Ketika kulayangkan pandanganku, aku melihatnya. Darah.
Oh, tidak. Bayiku.
Aku tak dapat berpikir apa-apa lagi, yang ada dibenakku kali ini hanya keadaan bayiku. Apa dia baik-baik saja? kucoba bangkit dengan kembali meraih tepian wastafel untuk bertumpu, namun rasanya sakit sekali. Bahkan untuk kembali berdiri saja, rasanya perutku serasa ditinju beberapa orang secara bergantian tanpa jeda. Oh, Tuhan. Jangan lagi, jangan ambil bayiku. Aku bahkan belum sempat melahirkannya.
"Ahhh, hah.. haah ... Sa-sori-nii , Shi-on-nee" ulangku dengan suara parau. Rasanya mustahil aku akan selamat. Sakit sekali. Samar-samar kudengar derap langkah kaki terburu-buru dari lantai atas. Syukurlah, ketika yang kulihat adalah Sasori-nii dan Shion-nee yang tampak panik.
"Sa-sakura? Kau.. Shion, cepat siapkan mobil! Aku akan menggendong Sakura. Kita ke rumah sakit, sekarang" kulihat Sasori-nii sangat panik melihat kondisiku yang masih terduduk dilantai dapur. Segera saja diselipkannya tangannya di punggungku dan tangan lainnya dilipatan lututku sebelum akhirnya membopongku menuju mobil.
"Bertahanlah, Sakura. Kita akan kerumah sakit sekarang" beberapa kali Shion-nee mengulang kata-kata penyemangat itu sementara Sasori-nii mengendarai mobil seperti kesetanan. Kepalaku pusing dan pandanganku sesekali buram dan kembali terang.
"Shion-nee, sakit. Ra-rasanya s-sakit ss-sekalii" susah payah kukeluarkan rangkaian kalimat berharap dapat berbagi beban dengan kakak iparku. Wanita pirang itu mengangguk berkali-kali dan mengenggam tanganku erat seolah mengatakan kalau aku bisa menyalurkan rasa sakitnya dengan menggenggam tangannya.
"Kita sudah sampai. Cepat, kita harus cepat" Sasori-nii segera turun dari mobil dan membuka pintu mobil disebelahku. Dengan sigap kembali menggendongku dan melarikanku segera kedalam ruangan berbau steril itu. Aku tak ingat banyak, karena selanjutnya kegelapan sudah menyambangi pandanganku dan semuanya kelam. Hilang. Aku pingsan.
.
.
.
Normal POV
Wanita bersurai merah muda itu tampak terbaring disalah satu ranjang ruang rawat rumah sakit elit, Konoha hospital dengan selang infus melekat ketat dinadinya, mengalirkan sari-sari makanan ketubuhnya setelah beberapa jam terlelap.
Sudah dua jam setengah Sakura tak sadarkan diri, berjuang menahan rasa sakit yang melilit perutnya. Berjuang mempertahankan peninggalan terakhir mendiang suaminya, buah cinta mereka yang masih berusia sebelas minggu.
Sasori terpaksa membatalkan jadwal rapat dengan koleganya karena keadaan Sakura yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kondisinya yang baik-baik saja. Wajah putih mulus yang selama ini dirawatnya makin terlihat pasi. Bibir tipis yang selalu menyunggingkan senyum indah melengkung itu juga sudah mengering. Hanya deru nafas lemah yang saat ini menjadi bukti jika wanita itu masih hidup.
"Ngghh .." Sasori yang bersandar pada tepi jendela terkesiap mendengar lenguhan lemah keluar dari bibir sang adik tercinta. Kakinya dengan cepat mengayun dan berhenti pada sisi ranjang Sakura sambil menggenggam tangan mungilnya.
"Sakura? Kau bisa mendengarku?" pelan Sasori mencoba berkomunikasi dengan adik perempuan satu-satunya itu sambil sesekali mengusap keningnya menyibak poni pendek yang menutupi wajah anggunnya. Perlahan Sakura membuka kelopak mata yang dua jam terakhir menutupi emerald sejuk itu.
"Saso-ri-nii. Aku dimana?"
"Kau dirumah sakit, Sakura"
"Rumah sakit? Oh, Tuhan. Anakku. Bagaimana anakku, nii-san? Ughh" Sakura yang baru menyadari keberadaan dirinya dengan cepat berusaha bangkit. Tapi, rasa ngilu yang menerjang perutnya kembali membuatnya meringis kesakitan. Sasori menahannya untuk bergerak lebih banyak, pria bersurai merah menyala itu menggiring tubuh Sakura untuk kembali berbaring diranjang mewah ruang rawat VIP-nya.
Sakura meraba permukaan perutnya dan merasakan tak ada lagi gumpalan padat yang berdiam disana. Kini, perutnya terkesan lebih datar dari dua bulan belakangan ini. Hal itu membuatnya membayangkan kemungkinan terburuk dari yang terburuk yang pernah dialaminya.
"Sa-sori-nii. Apa yang sudah terjadi? Apa yang terjadi pada anakku?" pertanyaan Sakura barusan merupakan tamparan terkeras yang pernah dirasakannya. Betapa Sasori tak pernah ingin menjadi orang yang memberitahukan berita buruk ini pada adiknya. Tidak setelah Sakura mengalaminya sebelum ini. Ia lebih memilih Sakura marah dan memukulinya dari pada melihat wajah menyedihkan adiknya yang tak pernah ingin ia lihat lagi.
Sasori hanya menggeleng sebagai jawaban. Iris hijaunya membulat tak percaya dengan kenyataan apa yang baru saja menyapanya. Tidak lagi, Sakura tak ingin kehilangan lagi.
Liquid bening yang pernah menjadi teman kesehariannya pun kini telah tumpah tanpa bisa dibendung. Hancur sudah pertahanannya. Hilang sudah harapannya kini untuk kembali menyambung hidup. Sakura merasa tak ada lagi alasannya untuk tetap disini.
"Ti-tidak mungkinn .. anakku. Jangan bercanda, Nii-san. JANGAN BERCANDA DENGANKU" Sakura meraung sejadinya, ia memberontak belum bisa menerima ini semua. Selang infus yang membelit tangannya sudah dicabutnya dengan paksa yang menyebabkan luka kecil pada pergelangan tangan mungilnya. Sakura bahkan tak lagi merasakan sakit. Baginya, semua yang menimpa dirinya terlalu kejam. Ia tidak siap, tidak akan pernah.
"Tenangkan dirimu, Sakura. Tenangkan dirimu" Sasori masih berusaha menenangkan adiknya dengan mendekap dan mengelus puncak kepala berhelaian merah muda itu. Sebelah tangannya juga mencoba menghalangi pergerakan brutal tangan Sakura. Hatinya mencelos melihat Sakura menderita. Baru kemarin rasanya Kakashi dipanggil sang pencipta, kini giliran calon buah hati mereka yang pergi. Terlalu cepat, terlalu rapat.
Sakura hanya menangis dan sesekali memukul-mukul dada bidang Sasori didekapannya. Air mata mengalir deras membasahi sebagian lehernya dan kemeja navy Sasori. Ia tak peduli, pikirannya kosong saat ini. Bagaimana mungkin dua tragedi menyiksa dengan cepat menimpanya.
"Sakura" suara lembut wanita lain mengudara diruang rawat mewah itu, menyapa keduanya yang terlalu larut dalam kesedihan. Shion kembali dengan bungkus plastik ukuran sedang dan memasuki ruang rawat Sakura. Hatinya tak tahan melihat Sakura dengan penampilan kusut menangis meratapi nasibnya. Dipelukan suaminya, Shion melihat semangat hidup Sakura sirna. Dia iba.
"Shion-nee, hiks. Anakku .. anakku pergi, nee-san" Hati wanita pirang ini terasa teriris mendengar penuturan menyedihkan adik iparnya. Segera saja didekapnya tubuh mungil Sakura yang bangkit dari tubuh Sasori dan ikut menenangkannya, memberi semangat jika hidup tak hanya sampai disini.
"Aku tahu, Sakura. Kau harus kuat"
"Dua malaikatku sudah pergi, hiks. Alasanku hidup sudah-"
"Sssttt, tidak sayang. Mereka tidak meninggalkanmu. Mereka hanya pergi menjagamu" rasanya sulit mengutarakan suatu hal dengan alasan 'semuanya baik-baik saja'. Tapi memang itu adanya. Walau sulit, Sakura hanya mengangguk dan sesekali terisak dipelukan Shion dengan air mata yang masih mengalir.
"Kau harus kuat, sayang. Kau harus kuat untuk mereka. Aku yakin mereka tak ingin melihatmu terus menderita dan menyalahkan diri sendiri seperti ini" Shion mengendurkan pelukannya dan menatap Sakura dengan senyum penyemangat. Dihapusnya bulir-bulir bening dipipi wanita itu dan merapikan penampilan Sakura yang terlihat sangat berantakan.
Setelah Sakura tenang dan berusaha menerima kenyataan yang menghampirinya, Shion kembali merapikan penampilan Sakura. Wanita itu bersikeras tak ingin dirawat dirumah sakit karena baginya rumah sakit hanya membangkitkan memori menyakitkan saja. Pergelangan tangannya yang terluka kecil sudah dipalut perban. Tampak bekas obat merah yang merembes dari balik kasa.
Setelah Sasori mengemasi barang-barang yang sempat dibawanya mengantarkan Sakura tadi, pria itu segera menuju mobil dan meninggalkan istri dan adiknya sebelum kembali dan membawa Sakura dengan kursi roda. Sakura hanya diam dan duduk tenang setelah dokter dan beberapa perawat memberikannya dosis obat untuk mengurangi ketegangan perut dan membersihkan rahimnya.
Janin diperutnya sudah tak ada, tapi dokter mengatakan jika Sakura masih bisa hamil walaupun hanya ditanggapi wanita itu dengan senyuman kaku. Rasanya mustahil ia akan kembali hamil tanpa sosok suami disampingnya.
" Kau mencintai mereka?" pertanyaan tiba-tiba Shion sontak kembali mengingatkan Sakura pada dua malaikat penjaganya. Ia mengangguk dan membiarkan Shion kembali menyikat helaian demi helaian merah mudanya. "Kalau begitu tegarlah, jadilah kuat dan teruskan hidupmu"
Sakura tahu, mereka semua menyayanginya. Orang tuanya, Sasori, Ino, Hinata dan kakak ipar pirangnya ini. Dengan cara berbeda mereka menunjukkan bahwa ia tak sendiri. Ia bisa mengandalkan mereka sebagai penopang kerapuhannya. Mereka siap menjadi tonggak yang menyangganya. Diam-diam Sakura bersyukur memiliki keluarga dan sahabat yang peduli padanya.
Malaikatku, aku tahu ini sulit dan akan terasa semakin sulit tanpa kalian disisiku. Tapi aku belajar satu hal, bahwa hidupku harus terus berlanjut dengan atau tanpa kalian disampingku. Aku memiliki mereka yang menyayangiku. Aku yakin, jika kuakhiri semuanya sampai disini, akupun belum tentu bertemu kalian si surga sana. Jadi, sampai saat itu tiba, tunggulah aku.
Suamiku dan junior kecilku, aku mencintai kalian.
Sakura memandangi langit cerah dari atas kursi roda yang didorong Sasori dengan senyuman pertama yang akan mengiringinya membuka lembar baru kehidupan tanpa dua malaikat yang dicintainya. Kali ini ia hanya bisa berdoa sebagai pengganti sapaan ringannya pada mereka. Berdoa jika suatu hari nanti akan bertemu seseorang yang akan mengisi relung hatinya sama seperti yang dilakukan Kakashi padanya dulu.
Semoga.
.
.
.
To be Continued ...
.
.
Nah, ini fic baru yang biel persiapin buat ngegantiin Because, I Love You yang bentar lagi mentok *padahal masih belum selesai udah bikin fic gaje yg lain -_- ..
Semoga aja para reader yang sempet baca pada suka dan nyempetin juga buat ngasih review. Di chapter pertama ini sebagian besar lebih menceritakan tentang awal derita kehidupan Sakura *sampe nangis bikin adegan kakashi mati, padahal belum sempet nongol m-_-m* Belum ada si Sasu, mungkin chapter depan. Diusahain.
Oiya, buat para reader, mohon maaf lahir batin ya kalo-kalo author nan gaje ini ada bikin sakit hati karena belum ngelarin fic yg lagi ngegantung. Padahal mau bikin lemon, eh, karena lagi puasa dipending aja dulu. *masih mikir tujuh keliling* Hehehe^^
Oke, segini dulu bacotnya ... RnR?
Cipok dulu satu-satu *Cupcuppeyukpeyuk* ...
