Disclaimer: Vocaloid bukan punya saya, tapi cerita ini asli ide saya sendiri.
Warning: TYPO(s), AU, alurnya cepet, dan berbagai kegajean lainnya.
[A/N: 1) Alurnya saya cepetin karena memang hobi saya gitu plus saya ga bisa bikin yang bertahap karena memang saya tipe ga sabaran. 2) Disini umur Kagamine twins adalah 16 tahun dan umur Rinto-ayah Rin adalah 25 tahun lebih muda dari Lenka yang sudah 30-an lebih.]
.
Chapter 1
.
"First.. We are twins right?"
.
Selamat membaca
Rin Kagamine mengupas kulit jeruk dengan hati-hati sambil duduk di sebuah kursi. Ayahnya—Rinto Kagamine tersenyum melihat kelakuan anaknya yang tidak bosan-bosannya menunggui dirinya disitu. Sadar ayahnya tersenyum padanya, Rin mengangkat kepalanya menatap Rinto yang terbaring lemah disana. Ia menatap Rinto miris, pembengkakan jantung yang dialami si ayah itu bukan penyakit main-main. Ditambah dengan kaki ayahnya yang membengkak karena ginjalnya tidak berfungsi lagi itu tambah membuatnya ingin menangis.
Sudah sebulan ia menunggui, menjaga, dan merawat ayahnya di rumah sakit umum ini. Tidak ada perkembangan pasti walau kondisi ayahnya sedikit lebih baik daripada saat di rumah mereka.
"Ayah.. ayah mau ke toilet?" tanya Rin.
"Tidak," Rinto menggeleng. "Kau tidurlah sana, sudah tengah malam," lanjut Rinto berusaha mengelus kepala anaknya.
Rin menyadari pandangan khawatir ayahnya, lalu ia mengangguk.
"Oh iya Rin.. kalau terjadi apa-apa pada ayah, kau pergilah ke tempat ibumu dan tinggallah disana. Besok dia bilang akan datang kesini lagi, ikutlah dengannya ya?" ucap Rinto yang merasa tidak akan ada hari esok lagi untuknya.
"A-ayah bicara apa sih aku tidak akan kema—"
"Sst!" sergah Rinto memotong ucapan anaknya. "Jangan membuat ibumu khawatir karena kau tinggal sendiri di rumah kita, lagipula kau tidak bisa memasak sama sekali."
"B-baik.."
"Rin tidak perlu khawatir kesepian di rumah karena ibumu gila bekerja, karena Rin kan punya saudara.."
"Eh? Saudara?"
"Dia sering datang kesini, tapi selalu kebetulan saat Rin sedang keluar.."
Rin menatap ayahnya bingung.
"Sudah, sana tidur,"
"Baik, ayah.."
Rin membasuh mukanya dengan air di kamar mandi rumah sakit. Pagi ini terlalu dingin untuk mandi. Rin memutuskan untuk tidak mandi dan kembali ke samping ayahnya. Ia masih memikirkan kata-kata ayahnya tentang 'saudara'nya.
"Ayah?" langkah Rin terhenti melihat wajah tenang Rinto yang tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan gerakan bernafas. Ia berlari menghampiri Rinto.
"Ayah! Ayah!" Rin menggoyang-goyang tangan ayahnya yang dingin.
"AYAAAH!" tangisannya tumpah.
Rin tidak henti-hentinya menangis di depan foto ayahnya. Orang-orang berpakaian hitam terus berdatangan untuk berkabung. Tidak ada niatan darinya untuk beranjak darisana barang sebentar agar kakinya tidak merasa penat karena duduk bersimpuh terlalu lama.
"Rin.." ibunya—Lenka Kagamine memeluknya. Ia berharap putrinya segera tenang setelah ia peluk, namun tidak. Rin bahkan tidak mempedulikan dirinya sama sekali. Ia sadar dirinya sudah terlalu lama tidak bertemu dengan putrinya sendiri, karena ia berpisah rumah dengan suaminya saat Rin masih berumur 1 tahun.
"Rin, kau tinggallah di tempat ibu ya.. Ayahmu sudah berpesan seperti itu kan?"
Setelah beberapa lama, Rin mengangguk. Lenka tersenyum senang karena putrinya sudah mau menyahutnya.
"Ibuuu! Huwaaaa!" Rin menangis kencang di pelukan ibunya.
Lenka mengelus-elus punggung putrinya.
"Setelah seminggu saja Rin pindahnya ya, ibu tau Rin masih sedih karena ayah meninggal.."
Rin mengangguk lemah.
Rin turun dari mobil Lenka sambil terkagum-kagum melihat rumah sederhana namun mewah milik ibunya.
"Ayo masuk~ Biar Len nanti yang membantu mengangkat barangmu.." ajak Lenka menarik pelan tangan anaknya.
Mata biru Rin mengerjap, ia baru ingat tentang saudara yang pernah diceritakan ayahnya.
"Len... siapa?" tanyanya dengan pandangan penasaran.
"Lho? Kalian tidak bertemu saat pemakaman ayah? Padahal Len juga datang lho.."
"T-tidak. Makanya, Len siapa?"
"Dia saudara kembarmu~"
Eh?
Kening Rin berkerut. Dia sama sekali tidak ingat tentang kembarannya. Ia hanya ingat ayahnya pernah mengatakan punya saudara, itu saja. Dengan perasaan campur aduk, ia mengikuti saja saat ibunya menariknya dengan semangat ke dalam rumah.
Lagi-lagi Rin terkagum-kagum melihat dekorasi di dalam rumah yang penuh dengan warna kuning kesukaannya. Perabot rumahnya pun tidak heboh-heboh amat.
Ia jadi penasaran kamarnya nanti seperti apa. Mereka menaiki tangga untuk sampai ke lantai 2, sepertinya kamar Rin ada di sana.
Lenka tersenyum melihat mata biru Rin yang kelihatannya bersemangat.
"Kamarmu sudah ibu cat dengan warna kesukaan Rin lho~ Taraa!" Lenka membuka pintu. Benar saja, memang tepat seperti kata ibunya, kamar Rin dicat dengan warna kuning dan oranye—kesukaan Rin.
"Wuaaah.." Rin kembali kagum. Ia berlari menuju tempat tidurnya yang berukuran king size dan duduk disana.
"Kok ibu tau warna kesukaanku?" tanya Rin semangat. Ia tidak tau kalau ibunya seperhatian ini dengannya.
"Karena ibu tau warna kesukaan Len," sahut ibunya pasti.
'Kok jadi si Len itu?' batin Rin heran.
"Kalian kan kembar, pasti kesukaan kalian pun sama~"
"B-begitu.."
"Sudah ya.. ibu mau manggil Len dulu buat mengangkut koper Rin," Lenka mengedipkan mata.
Setelah sang ibu hilang dari pandangan matanya, Rin langsung merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya yang empuk. Memang beda sekali di rumah ia dan ayahnya. Di sana kamarnya kecil, tempat tidurnya pun berukuran sedang, tidak sebesar disini. Rumahnya tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar, tapi cukup luas untuk mereka berdua. Ayahnya pun selalu ada waktu untuknya di tengah jam kerjanya yang tidak terlalu padat.
Airmata Rin merembes keluar. Ia teringat ayahnya yang sering mengelus kepalanya kalau dia sedang berbaring seperti ini.
Rin buru-buru bangkit untuk duduk dan mengusap air matanya. Ia tidak boleh sedih. Nanti ayahnya akan cemas di alam sana. Setidaknya ia tidak mau menjadi beban kecemasan sang ayah saat ayahnya sudah meninggal.
Rin membuka tas selempang kecilnya. Tidak terlalu banyak barang disitu, kosmetik pun tidak ada. Hanya sebuah buku diary dan handphone yang ia bawa kemana-mana. Rin memang tidak terlalu mempesolek dirinya seperti remaja berumur 16 tahun pada umumnya. Begini saja dia sudah cantik kok, menurut ayahnya dulu sih begitu.
Rin berbalik ke arah pintu, rasanya tadi ada orang yang masuk.
"Eh?" ucap Rin kaget melihat 3 koper besarnya sudah ada disana. Apa saudaranya yang bernama Len itu yang mengangkatnya kesini?
Ia menarik kopernya. Barang Rin tidak terlalu banyak. Ia hanya membawa bajunya. Ia tidak punya boneka-boneka lucu sama sekali.
Rin menghela nafas.
"Masuk begitu saja mengantar koper.." ia mendengus pelan.
"Rin?" suara Lenka menegurnya. Rin menoleh ke arah ibunya.
"Perlu ibu bantu membereskan barangmu?"
"Tidak, bu... terimakasih."
"Begitu.. Oh iya! Sudah bertemu Len?" tanya sang ibu tersenyum aneh. Rin terkesiap.' Berarti tadi orang bernama Len itu yang mengantar koper ini?' pikirnya dalam hati.
"Ti..tidak, anu, maksudku belum.."
"Dasar Len.." Lenka mendengus. "Leeen! Kemarilah! Ayo sapa Rin!" teriak Lenka. Jantung Rin berdegup kencang.
Tidak ada jawaban.
"Pasti telinganya disumpel sama headset lagi.. dasar anak itu."
'D-disumpel?' batin Rin hampir tertawa mendengar bahasa ibunya.
"Maafkan Len ya, anak itu memang susah diatur.."
"Tidak apa-apa.." Rin tersenyum. Dadanya masih berdebar kencang. Ia tidak pernah membayangkan punya saudara , apalagi saudara kembar. Ia tidak pernah ingat ayahnya menceritakan kalau dirinya punya saudara kembar, atau dia memang lupa? Rin memang punya ingatan yang payah.
"Rin~ baju yang di dalam koper ini ibu taruh di lemari itu ya~" seru ibunya membuyarkan lamunan Rin.
"I-iya.." sahut Rin tergagap. Gadis itu segra menepis segala pikirannya tentang saudara kembarnya yang tidak pernah ia lihat rupanya itu.
Kini kedua ibu dan anak itu sibuk membereskan barang-barang. Tidak ada hawa canggung walau Rin tidak pernah tinggal bersama ibunya, sebab ibunya sering mengunjungi dan ikut merawat sang ayah kalau ada sela-sela waktu di hari-hari kerjanya. Rin salut dengan ibunya yang perhatian dengan sang suami walau mereka sudah tidak tinggal serumah lagi.
"Anu.. Ibu?"
"Ya?"
"Toilet dimana?" akhirnya Rin bertanya juga. Sudah daritadi ia menahannya.
"Jalan saja lurus kesebalah kanan, terus sampai ujung lalu belok kiri.."
Mendengar jawaban Lenka, Rin segera berlari keluar kamar. Tidak perlu waktu lama bagi Rin menemukan toilet karena ia berlari dengan kencang. Untung toiletnya ada di lantai dua ini.
"Wuaaah, hebat.." Rin terkagum-kagum melihat isi toiletnya yang besar. Ada dua buah toilet yang saling berhadapan, satu untuk perempuan, satu lagi untuk laki-laki, di sebalahnya ada masing-masing kamar mandi yang juga di labeli lambang untuk laki-laki juga perempuan. Lalu ada cermin besar yang panjang lengkap dengan westafel.
"S-seperti toilet di sekolah.. tapi disini bersih banget," ucap Rin tidak berhenti kagum. Tapi Rin memutuskan untuk tidak mengamati lebih jauh, ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi.
.
.
"Leganyaaa~" Rin keluar toilet dengan menunjukkan raut wajah puas.
Tanpa basa-basi ia menuju cermin besar panjang yang menarik perhatiannya tadi.
'Bisa puas berkaca disini,' batin Rin cekikikan. Ia merasa ada untungnya juga pindah rumah. Kamar mandi di rumahnya sih ukurannya sedang-sedang saja, toilet dan tempat untuk mandi dijadikan satu ruangan saja, jadi kalau sudah pagi tiba biasanya ia dan ayahnya selalu berlomba siapa yang lebih dulu bangun untuk menggunakan toilet dan kamar mandi.
Rin membasuh wajahnya dengan air dari westafel, ia mengelap wajahnya yang basah dengan handuk putih yang sudah tersedia rapi disitu. Sesaat telinganya menangkap suara di sebelahnya, suara air yang di luncurkan dari kran di westafel di sebelah.
Rin menurunkan handuk dari wajahnya.
Mata birunya melebar melihat pantulan sosoknya di cermin. Ia melihat refleksi dirinya ada dua di depan cermin panjang itu. Tapi ada yang berbeda, refleksi itu memiliki rambut panjang yang sama dengan dirinya namun sepertinya diikat ke belakang dan juga tidak memakai pita putih besar di atas kepala. Rin mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, mengamati apa yang terpantul di cermin itu. Mata itu memang miliknya, warna biru yang sama. Wajah itu memang miliknya, bentuk hidungnya, matanya, bahkan bibirnya. Rambut itu pun berwarna sama dengan miliknya.
Rin mengerutkan dahinya. Bayangan terpantul di cermin itu melakukan gerakan yang sama namun menoleh ke arahnya.
'Tidak.. aku tidak menoleh. Berarti yang di sebelahku ini..' Rin menoleh ke sebelahnya.
Mata biru di sampingnya itu menatapnya, Rin merasa mata itu memiliki warna yang dalam tidak seperti dirinya.
"Kau.. Len?" ucap Rin pada akhirnya.
"Kau.. Rin?" ucap orang itu dengan intonasi yang sama dengan Rin.
"A-anu.." kata kedua orang itu bersamaan. Mereka terdiam, bahkan melakukan gerakan canggung yang sama—menggarukkan tangan kanannya ke belakang kepala.
Kalau saja orang di sebelahnya ini tidak mengikat rambutnya dan memakai baju putih yang sama dengan dirinya, Rin pasti yakin ia sedang bercermin.
Dada Rin kembali berdebar kencang, lebih kencang dari yang sebelumnya sampai rasanya Rin merasa jantungnya akan berlari meninggalkan rongga dadanya. Ah tapi itu tidak mungkin terjadi kecuali jantung Rin punya kedua kaki yang sehat.
Diakah yang bernama Len, yang disebut-sebut ibunya sejak ia masuk ke dalam mobil sang ibu? Ibunya memang bilang mereka saudara kembar. Saudara kembar yang berarti mirip satu sama lain.
Rin sampai lupa apa yang ingin ia katakan tadi.
"S..Sala—" ucapan Rin terputus saking gugupnya.
Orang itu terbatuk. Sepertinya ia lebih cepat memutuskan untuk bicara apa.
"Aku Len.. Salam kenal, kakak." Setelah mengucapkan namanya, Len memunggungi Rin dan segera beranjak dari situ meninggalkan Rin yang terdiam tidak tau harus berbuat apa.
"Kakak?" Rin hanya bisa menggumam.
TBC!
Akhirnya saya memberanikan diri lagi bikin yang berchapter.. niatnya sih pengen oneshot tapi kayaknya ga mungkin. Saya mau melatih diri buat melanjutkan apa yang sudah saya mulai, karena cerita berchaper sebelumnya yang saya bikin ga saya aplot2 juga #nguburdiri
Soal penyakit itu saya nyontek penyakit nenek saya yang meninggal akibat penyakit itu. Terus soal genrenya, karena ini mungkin incest jadi saya bikin aja ada familynya.. mwahahahaha
Sori judulnya saya bikin Orange XD
Judul sebenarnya ada di chapter2nya alias di isinya gitu.. #plak
Rnr ya?
.
R
E
V
I
E
W
XD
