Disclaimer: Boboiboy and his friends belong to Monsta. The only thing I own is this nasty imagination.
Summary: "Kerajaan Signaria, adalah sebuah pusat dari tujuh negara adikuasa, yang menjadi tombak 124 kerajaan kecil lainnya. Selain dikenal dengan kerajaannya yang makmur, Signaria dikenal sebagai kerajaan pelopor perdamaian. Oh, dan keenam pangeran mereka yang tampan dan kuat. Siapakah mereka?" AU. Parody, and big adventure story. Might content bromanceship.
.
.
A Boboiboy Another Universe Story:
.
.
ROYAL x GUARDIAN
BOOK ONE
"Royal Prologue"
.
.
.
"PANGERAAAANNN! TOLONGIN PELAYANMU YANG BAIK HATI DAN TIDAK SOMBONG INI—GYAAAAA!"
Suara Taufan membahana. Sementara itu di sisi lain sungai di tengah hutan itu, seorang pangeran duduk di atas kudanya dengan wajah ketus.
"Ogah. Salah sendiri," Pangeran Halilintar mendengus, tak peduli jika dihadapannya ada seseorang yang sedang teraniaya dikejar kaktus hidup. Namanya Ikaliktus, sebuah tanaman kerajaan yang bentuknya mirip kaktus di padang pasir—hanya saja bergerak seperti hewan buas, dan punya beberapa tentakel panjang yang berbulu keras mirip sikat pada setiap ujungnya.
Tentakel-tentakel itu berhasil melingkar di tubuh Taufan.
"Hyaaaa—Henti—kan~" Taufan berteriak malu-malu nikmat dengan wajah merah seiring tentakel-tentakel itu melilit di tubuh Taufan. Oi, Taufan! Ini bukan fanfic porno!
Guratan nadi terjiplak di dahi Halilintar. "JANGAN NUNJUKIN WAJAH MENJIJIKAN GITU, WOY—"
Halilintar mendelik ngamuk, tanpa hitungan aba-aba, Halilintar langsung mengambil sebuah pistol AirGun yang terselip di pinggangnya dan menodongkannya tepat di salah satu tentakel, melepaskan satu tembakan.
DOR!
Taufan selamat, karena tembakan itu berhasil memutus salah satu tentakel sang Ikaliktus dan membuat Taufan jatuh bebas kembali ke tanah. Sayangnya tembakan itu hampir menyerempet pipi Taufan juga, hingga meninggalkan sedikit bekas lecet panjang di pipi Taufan.
Kuda perkasa hitam milik Halilintar mendekatinya. Halilintar turun, lalu mengeluarkan band-aids dari tas pinggangnya yang terbuat dari kulit Trenggiling.
Halilintar jongkok di depan Taufan, lalu memasangkan band-aids itu hati-hati ke luka lecet di pipi Taufan sambil hela nafas berat.
"Tch. Kau pendampingku, kenapa aku yang harus melindungi dan mengobatimu, sih," geram sang Pangeran, meski begitu ia tetap merawat luka Taufan hati-hati. "Ada yang terluka lagi?" tanya Halilintar sambil memegang lengan Taufan.
"Eng—Enggak ada, Pangeran! Huf... Kupikir aku akan mati. Makasih, Hali!" Taufan tersenyum ceria. Halilintar menatap senyum itu, lalu ikut tersenyum kecil.
"Hah, ini karena hooverboard-ku sedang diperbaiki, dan pedang katana-ku juga sedang masuk bengkel," Taufan berkedip sebentar, "DAN ITU JUGA GARA-GARA KAU YANG MEMBUANGNYA DARI JENDELA KAMAR LANTAI 14, SIALAN!" Tiba-tiba Taufan naik darah, pemirsaaa!
Senyum Halilintar berubah kelam, lalu menubrukkan jidatnya ke Taufan, marah balik. "ITU JUGA SALAHMU YANG TERBANG-TERBANG GAK JELAS DI KAMARKU DI PAGI BUTA!"
DOR! DOR! DORR! DOOOORR!
"GYAAAAA-! AMPUN PANGERAAAN, AMPOOOONNN!"
.
.
.
.
.
.
Alkisah di suatu negeri dongeng, sebuah kerajaan yang memerintah negaranya dengan makmur tanpa kedzaliman, Kerajaan Signaria. Raja dan Ratunya sangat baik hati dan memerintah dengan kekuatan kebijaksaan untuk rakyatnya. Mereka juga sangat bahagia, karena dianugrahkan tiga orang anak laki-laki yang telah tumbuh gagah dan dikenal sebagai tiga pangeran ideal. Mereka hidup bahagia dan negara benar-benar makmur.
"Selamat datang kembali, Pangeran Halilintar," seorang kepala pelayan menundukkan kepalanya sopan. Senyum elegannya memudarkan rasa tak nyaman tamu manapun yang datang ke kerajaan. Bila diperhatikan, Kepala Pelayan itu cukup tampan dengan wajah yang selalu berseri dan rambut keemasan dengan mata biru yang menenangkan. Meski demikian, separuh dari tubuhnya sebenarnya sudah bukan daging, melainkan besi dan baja berkabel. Dengan kata lain, ia setengah robot.
Halilintar mengangguk, lalu turun dari kudanya. Membawa seonggok mayat di bahunya.
"Ah? Master Taufan juga, selamat datang kembali," kepala pelayan tersebut tersenyum ke arah sang mayat.
"..."
"Kau tak usah menyambut mayat. Buang energi," sahut Halilintar ketus.
"SIAPA YANG KAUPANGGIL MAYAT," sang mayat bangun, lalu menggoyangan kaki, "TURUNKAN AKU!"
Namun Halilintar sama sekali tak bergeming. "Kamu itu cowok, Ksatria Kerajaan pula. Calon Panglima Kerajaan generasi selanjutnya yang dielu-elukan Papa. Masa' lemah gini..."
Taufan menangis komikal, masih berusaha menendang dada bidang sang Pangeran. "DAN KAU ITU AHLI WARIS KERAJAAN, BERSIKAPLAH BIJAKSANA SAMA BAWAHANNYA."
"Bawahannya gak guna. Jadi pantas kubeginikan," Halilintar lanjut berjalan memasuki istana, sementara mereka ribut, sang Kepala Pelayan hanya tersenyum mengikuti mereka.
"Pangeran dan Master akur seperti biasa, ya," tertawa kecil, ramah.
Halilintar dan Taufan mendelik berbarengan, mengibaskan tangannya. "Diamlah, Ochobo. Kami gak akur!"
Ochobo tertawa kecil, tersenyum lagi. "Ah, sinkronisasi yang indah. Benar-benar kompak."
Taufan menggeram. Caranya menumpahkan kekesalan satu-satunya hanya dengan menjatuhkan harkat Halilintar, "Ah, kami memang akur. Terutama saat di ranjang, ya kan, Pangeraaan?" Taufan berkata dengan manja—dan tentu saja yang dikatakannya hanya fitnah. Dan Taufan menyesal setelah Halilintar melempar tubuhnya ke dinding lorong utama istana dengan cuma-cuma.
"GYAAH—!"
"Hmph. Matilah," katanya penuh duri sebelum menatap Taufan, lalu pergi berpaling, mengibaskan jubah kemerahannya.
"Ah, kau tak apa-apa, Master?" Ochobo menghampiri, tapi bertanya dengan nada antipati dan datar.
Taufan hanya melenguh. "Berikan saja pedangku, dan aku akan menebas kepala Pangeran sialan itu—" ia mengelus kepalanya, lalu berdiri.
"Pedang katanamu—Furrygale—masih di bengkel, Master," sang Kepala Pelayan memperingatkan. Lagi, dengan senyum ramah.
"Argh, aku tahu—aku tahu. Bahkan Hooverboard kesayanganku juga masih di bengkel. Semua ini salah Hali!" mendengus.
Ochobo tersenyum dengan caranya sebagai Kepala Pelayan. "Anda tak ragu untuk menyebut namanya seperti itu, bahkan memanggil nama akrabnya terang-terangan di depan orangnya sendiri. Anda benar-benar pasangan yang cocok dengan Grand Prince."
"APANYA—!" suara Taufan menggema di lorong.
"Hoaaaahm~ Kau berisik seperti biasa, Kak Taufan..."
Tentu saja bagi seorang pengantuk, itu sangat memekakkan telinga. Apalagi ditengah tidur siang yang penuh kedamaian di atas sebuah jam bandul.
Ochobo dan Taufan mendangah.
"Apa yang anda lakukan, Master Air, turunlah. Tidur di sana berbahaya!" Ochobo menatap cemas.
"Tak perlu khawatir, orang sepertinya takkan mati jika jatuh dari tempat seperti itu."
"Bukan itu, Master Taufan. Saya mengkhawatirkan jam bandulnya, ini sudah jam bandul ke-6 setelah minggu lalu dibakar Pangeran Api. Jika minggu ini hancur lagi, saya akan kena marah Pangeran Gempa."
"Apa? Pangeran Api membakar jam bandul?!" Taufan berdecak emosi, menunjuk Air, "Oi! Air! Kau kan pendamping Pangeran Api! Dampingi dengan benar! Kenapa kau membiarkannya membakar barang kerajaan seenaknya! Kau tidak kasihan dengan Ochobo?"
Air menatapnya dengan wajah mengantuk. "Katakan itu pada dirimu sendiri—yang sudah menghancurkan tujuh kali kaca jendela kamar Pangeran Halilintar, kau juga menerbangkan hooverboard-mu mengelilingi kamar Pangeran Halilintar jam tiga pagi dan memasukkan pistol buruan milik Pangeran Halilintar ke dalam air—Ah, aku menyebut namaku sendiri..."
Taufan sweatdrop. "Tunggu. Darimana kau tahu semua itu? Tower kamarmu dan Pangeran Api kan jauh dari towerku dan Halilintar?"
Air menunjuk Ochobo, yang ditunjuk hanya tersenyum sopan penuh cahaya suci.
Guratan nadi muncul di pipi Taufan, sementara Air turun dari tempat tidur siangnya, lalu mendekatinya.
Shiiing-!
Air mengubah bulir-bulir udara di sekitarnya menjadi gumpalan air yang mengelilingi tangan kirinya. Beberapa saat kemudian ia tempelkan tangan kirinya pada dada saudara tirinya itu.
"Tenanglah. Marah hanya akan membuatmu stress," matanya berubah teduh, dan iris matanya perlahan-lahan memancarkan cahaya biru yang lembut. Seketika itu juga Taufan merasa nyaman. Trik saudaranya itu selalu berhasil mengubah kemarahan siapapun menjadi suka cita. Rasanya seperti habis makan coklat keju—atau yoghurt—atau mencium wangi bunga sakura di Bulan April.
"...Aku benar-benar paham kenapa kau dipasangkan dengan Pangeran Api," Taufan menatap Air, yang ditatap hanya merendahkan lidah topi untuk menyembunyikan wajah merahnya, lalu melepaskan tangannya. Cahaya di matanya meredup, kembali seperti semula setelah ia tak lagi melepaskan kekuatan magisnya.
"Aku... benar-benar menyukai Pangeran Api. Dia menyenangkan, juga periang. Meski kadang-kadang tak bisa mengontrol emosinya, tapi aku rasa di antara semua Pangeran, dia yang paling baik dan peduli teman," Air mendangah, menatap Taufan lagi, "Terkadang aku iri, dan ingin menjadi sepertinya."
Taufan menatap simpati, "Whoa, tunggu. Kau tau, kan? Kita takkan mungkin jadi Pangeran ahli waris?"
Air mengangguk. "Karena kita adalah Pangeran kasta ksatria, atau yang umum disebut Servant-Prince—Tapi Yang Mulia Raja selalu menghindari kata itu dan mempopulerkan kata The Guardian Prince, yakni Pangeran golongan sekunder yang lahir dari rahim seorang ibu rakyat jelata yang memiliki bakat khusus, dan ditakdirkan untuk mendampingi dan melindungi The Honorable Prince, kan?" Air tak menatapnya lagi.
"Ya... Karena ibu kita hanya selir—dan sudah tradisi sejak dulu kalau kita harus terus mendampingi Honorable Prince dan melayani keperluan mereka, dengan kata lain kau, aku dan si kacamata culun," Taufan menepuk kepala sang adik tiri, "Kita harus berjanji untuk berbakti pada Kerajaan Signaria, atas nama ibu-ibu kita yang dipilih Raja untuk menjadi bagian dari Kerajaan. Itu... suatu kehormatan yang tak ternilai, kan?" Taufan tersenyum ceria.
"Mhm, aku tak menyesal dilahirkan di keluarga ini. Aku senang bisa melayani Pangeran Api—Tapi..."
"Hm? Tapi Ap—"
BRAAAK!
Seseorang terlempar, sampai menghancurkan salah satu pintu besar di ujung lorong. Ochobo, Taufan dan Air mendelik, lalu segera menghampiri sumber keributan. Mereka tak sengaja menemukan salah satu pelayan terlempar dan terluka di balik puing-puing pintu kayu.
"JANGAN BERCANDA. KAU MAU MENYAJIKAN MAKANAN SEPERTI INI UNTUK PANGERAN GEMPA?"
Meski sudah ditolong Taufan, pelayan itu tak menggubris mereka dan hanya buru-buru bangkit lalu bersimpuh menyembah memohon ampun dihadapan sepatu seorang lelaki berambut biru keunguan yang muncul di tengah-tengah ambang pintu. Laki-laki itu menatap rendah pelayan di hadapannya, lalu membenahi posisi kacamatanya.
"Sekali lagi kau mempersembahkan yang seperti ini untuk Pangeran Gempa, akan kuminta Raja untuk memenggalmu, kau dengar?!"
"Ma-maafkan saya, Pangeran Fang, saya berjanji akan berhati-hati lain kali..." Pelayan itu menunduk gemetar, darah sudah mengucur dari dagu dan hidungnya.
"Oi, Fang! Apa-apaan sih! Kenapa ente? Kesambet setan?" sewot Taufan mengacaukan adegan sadis Fang. Namun yang diprotes sama sekali tak melemahkan aura marahnya.
"Ck," Fang berdecak, ia memilih untuk pergi, menghilang dari sudut pandang orang-orang di situ.
Air menunduk, lalu kembali mengumpulkan air di sekitar tangannya, dan membawanya pada luka-luka sang pelayan.
Ochobo ikut menunduk, menolong sang pelayan untuk meluruskan kakinya dan memeriksa apakah ada yang terluka. "Master Fang tak pernah berubah, ya..." gumamnya sambil memijat kaki kiri bawahannya. Walaupun sempat ditolak sang bawahan karena merasa tak enak, Ochobo tetap tersenyum dan melanjutkan kegiatannya.
"Daripada disebut Guardian Prince, dia lebih cocok disebut complex servant..." Taufan hela nafas. "Aku heran, dengan semua tingkah Fang yang kayak gitu, Pangeran Gempa gak pernah sadar..."
Air menyela, sambil terus menyembuhkan luka-luka sang pelayan dengan kemampuan water healing-nya, "Itu karena sikap Fang tak pernah seperti itu jika dihadapan Pangeran Gempa. Ia selalu menampakkan wajah sopan dan tersenyum. Sejenis Ochobo, lah."
"Eh? Apa? Aku tidak selalu tersenyum, kok," Ochobo membalas dengan senyuman ramah bagai malaikat dari langit ketujuh. Taufan dan Air sweatdrop melihatnya, lalu ngebatin, 'Ochobo. Ngaca.'
"Yah, aku tau, tapi tetep aja... rasanya aneh dan menjengkelkan. Rasanya kadang-kadang aku gatel ingin kasih tau Pangeran Gempa soal kelakuan Fang..."
Air menatapnya lagi, "Tapi... Fang melakukan itu juga demi mempertahankan kualitas untuk Pangeran Gempa. Sama seperti aku, dia juga peduli dengan Pangeran yang menjadi tanggung jawabnya," Air berhenti sebentar lalu tersenyum, "Gak kayak seseorang yang sibuk ingin mencelakai Pangeran yang jadi tanggung jawabnya."
Taufan sukses tersindir, "Aku cuman bercanda dengannya, okeeee?" Sewot, "lagipula kalau aku gak melakukan itu, nanti dia berisik dengan nada melankolis-tapi-ngambek dan berkata, 'Kemana suara cempreng jelekmu itu? Sudah capek jadi pengacau istana, eh?' atau 'Kau pendiam hari ini, sudah mulai bosan melayaniku?' dan kalimat-kalimat menyebalkan lainnya!" omel Taufan sambil menirukan suara dan gaya Halilintar.
Air berkedip sebentar, "Maksud kakak... dia yang meminta kakak untuk mengganggunya?"
Taufan melirik ke arah lain, "Entahlah, aku gak ngerti. Tapi yang jelas aku sebal kalau dia mulai begitu. Kalimat-kalimat itu seolah menantangku untuk mengganggu kehidupannya yang tenang!"
Air tersenyum kecil saat luka-luka sang pelayan sembuh, ia tak menghiraukan omelan Taufan lagi, "Sudah sembuh."
Ochobo tersenyum lega kepada salah satu anak buahnya itu, "Syukurlah. Kau bisa kembali ke asrama pelayan sekarang, dan istirahatlah."
"Baik... Terima kasih Tuan Ochobo," ia berdiri, "Terima kasih Pangeran Taufan, Pangeran Air. Saya permisi dulu..."
Taufan melambaikan tangannya, tersenyum ceria, "Ou. Cepat sembuh, banyak makan dan perbanyak-lah melihat cewek cantik! Niscaya cepat sembuh!"
Air menatap datar kakak tirinya. "...Gak ada hubungannya cewek cantik dengan sembuh," kembali menatap sang pelayan. "Maa, cepatlah sembuh dan berhati-hati lain kali..."
Pelayan itu mengangguk, menunduk sopan dan pergi.
Ochobo ikut bangkit berdiri kemudian menatap kedua Pangeran Pendamping dihadapannya, "Baiklah, Master Taufan dan Master Air. Sebaiknya aku kembali bekerja. Permisi..." diiringi senyum, ia berlalu pergi kemudian.
"Orang itu... gak capek apa ya senyum terus..." komen Taufan, sebelum menyadari bahwa tak ada siapapun yang mendengarkan.
"Kurang ajar si Air! Pergi gak ngomong-ngomong!"
.
.
.
.
.
.
DOK DOK DOK!
"TUAAAANN HAAAALIII WAKTUNYA PERJAMUAAAAAANNN!" Taufan menyanyi di depan pintu kamar dengan mengerahkan seluruh kemampuan falesnya tanpa malu dan sukses membuat jangkrik malam minder untuk bersuara. Tentu saja tingkah gilanya ini disambut teriakan oleh sang Pangeran.
"BERISIK."
Halilintar muncul dengan pakaian khas Kerajaan Signaria. Sebuah jas merah yang disematkan bunga mawar putih—sebagai lambang perdamaian Kerajaan Signaria, juga beberapa bros dan pernik kerajaan di dadanya. Ditemani jubah hitam bermotif merah yang menjuntai hanya di bahu kanan hingga punggung kiri. Sarung tangan putih bersih di tangannya terasa pas menutupi tangannya yang besar dan kuat. Tentu saja dengan matanya yang iris kemerahan dan rambut hitam kecoklatan tersisir rapih, ia dapat dikategorikan sebagai pangeran paling tampan dan gagah.
Meski seharusnya sudah terbiasa dengan penampilan itu, Taufan tetap saja terkesima. Memang seorang pangeran ahli waris pantasnya mengenakan sesuatu yang mewah.
Halilintar menatap sang Servant-Prince di hadapannya. Di acara perjamuan ini, Pangeran pendampingnya itu seharusnya tetap tak kalah mewah dalam hal penampilan. Karena meski ia adalah seorang Pangeran Pendamping (atau yang sering disebut Halilintar 'pelayan' dengan wajah antipati), Taufan tetap sejajar dengan jajaran ksatria kerajaan. Taufan mengenakan jas biru berkerah tinggi ala ketentaraan Signaria. Bagian atas tangan hingga ke bahu kanannya tertutup besi mengkilap yang terikat dengan tali kulit lembu pada dadanya, serta pedang katana panjang yang diselipkan di sabuk pinggang yang memang sengaja dilonggarkan. Tak lupa topi baret miring dengan lambang Ksatria Kerajaan Signaria.
"Hm? Furrygale sudah kembali?" Halilintar menatap pedang katana yang menghiasi pinggang Taufan.
"Kembali dengan sempurna, hooverboard-ku juga," Taufan menyeringai senang.
"Jangan kau bawa hooverboard-mu ke perjamuan!"
"Ya enggaklah, kaupikir aku se-idiot itu? Kau tak lihat penampilanku yang rapih ini?"
Halilintar menatap tubuh Taufan sekali lagi. Sejujurnya, ia selalu takjub melihat Taufan dengan setelan itu. Bukan dengan setelan sepasang pakaian berburu kumal, sarung tangan yang hanya menutupi punggung tangan dan terbuat dari kulit sapi murah, serta sendal. Sendai? Iya, sepasang sendal jepit di kaki seorang Guardian Prince Kerajaan Signaria!
"Sang Pangeran Halilintar terpesona oleh penampilanku~" ledek Taufan cepat setelah ia melihat sang pangeran terdiam dan menatapnya dari atas hingga bawah.
"Hmph," Halilintar segera berpaling dan mulai berjalan mendahuluinya. "Gak usah sok ganteng, memang begitulah seharusnya penampilanmu setiap hari, wahai Tuan Ksatria calon Panglima Kerajaan."
Taufan menyusul langkahnya, "Ngeledek, kau. Sialan."
Mendengar itu, Halilintar berhenti tiba-tiba—membuat Taufan terkejut dan ikut berhenti.
Halilintar menatap sang ksatria tepat di matanya. "Dengar. Aku tak pernah mempermasalahkan panggilanmu padaku. Aku bahkan tidak keberatan beradu argumen atau teriak-teriakan denganmu," jeda sejenak, Halilintar menelan ludah keraguan. "Kita sama-sama Pangeran, kan? Terlepas dari tugas dan hak kita yang berbeda, tapi kita masih saudara. Dan... Kau... Tahu. Aku benar-benar menganggapmu saudara kandung yang paling dekat denganku dibanding yang lain. Tapi... Kumohon, hanya untuk hari ini, maukah kau mendampingiku dengan serius? Kita lakukan ini bersama-sama, dan... kau jangan jauh-jauh dariku. Maksudku..."
Halilintar kelihatan bingung untuk memilih kata-kata, ia bahkan sempat menatap Taufan dengan tatapan gelisah.
Tapi semua perasaan cemas yang bergumul itu runtuh, ketika ia melihat senyum ceria dari Taufan.
Halilintar mengumpulkan nafasnya, dan mengubah suara. "Mohon bantuannya, Prince Guardian Taufan. Aku, The Grand Red Prince, Halilintar, memintamu untuk selalu ada di sampingku, menemaniku, dan melindungi langkahku."
Taufan balas menatapnya, dan meski Taufan adalah salah satu dari sekian banyak manusia nyeleneh, ia tetap seorang Servant Prince pilihan. Karena seorang Servant Prince tidak hanya terbiasa untuk melayani dan melindungi Pangeran kalangan ahli waris, tapi juga untuk mengerti dan paham sifat Pangeran yang dilayaninya.
Berdiri dengan tegak menghadap tepat sang Grand Prince, lalu menunduk dan berlutut pada satu kaki dengan tangan kanan menyilang di dada kiri.
"Aku, Prince Guardian Taufan, atas nama ibuku, Lady Hannah, akan mengabdi dan setia, serta mempertaruhkan nyawaku untuk melindungmu, Lord Grand Red Prince Halilintar. Kemanapun anda melangkah, kewajiban hamba untuk melindunginya, My Lord."
Halilintar tersenyum puas. Mendengar jawaban dan lagak Taufan yang lain dari biasanya, Ia yakin Taufan mulai paham maksud permintaannya. Dan semua itu hanya gara-gara perjamuan malam ini yang membuatnya gelisah sejak kemarin itu.
Perjamuan apa hari ini? Tentunya perjamuan penting. Tapi bukan hanya sekedar penting di mata sang Grand Prince Halilintar. Ini adalah perjamuan yang diadakan 20 tahun sekali oleh Kerajaan Signaria. Sebuah perjamuan yang melambangkan perdamaian tujuh kerajaan aliansi yang tersebar di lima bagian wilayah Persatuan Eschotta. Ketujuh kerajaan aliansi itu adalah Signaria, Hendria, Lohlia, Thremor, Peldeph, Syrin, dan Mordiana. Ini adalah tujuh Kerajaan terbesar yang memimpin 124 Kerajaan lainnya di seluruh dunia saat itu.
Bersamaan dengan hari ini, sang Raja Signaria memutuskan untuk memperkenalkan ketiga putra Honorable Prince, yang nantinya akan memimpin kerajaan Signaria dan kerajaan-kerajaan di bawah pimpinan Signaria, disusul perkenalan ketiga putra Prince Guardian yang akan mendampingi mereka sebagai Panglima tertinggi dan kuasa tertinggi setelah Honorable Prince.
Dan sebagai putra sulung, atau yang mendapat sebutan The Grand Prince, Halilintar adalah calon terkuat penerus tahta Kerajaan tertinggi Signaria. Malam ini, perjamuan itu takkan hanya semata-mata rapat politik formal—tapi juga sebuah pijakan pertama Halilintar sebagai ahli waris tahta Signaria. Karena Halilintar sudah menginjak usia 18, dan ia sudah semestinya mulai mempraktekkan sekaligus memperdalam ilmunya mengenai hubungan internasional, politik, pembangunan, peradaban, dan tentu saja strategi militer dibawah bimbingan langsung sang ayah dan beberapa kerajaan lain.
Itulah mengapa Halilintar berkata sedemikian dramatis tadi. Yah, Taufan paham betul—walaupun sejujurnya Taufan tak peduli dengan perjamuan itu.
.
.
.
Karena perjamuan itu tetap membuatnya berstatus kosong.
.
.
.
.
.
.
Setelah obrolan politik formal, para tamu dipersilahkan menikmati hidangan dan musik di ruang dansa. Setelah semua berkumpul, pintu ruang dansa dibuka, berbarengan dengan teriakan lantang pemandu acara mengenai kedatangan Pangeran-Pangeran Signaria.
Pintu setinggi tiga meter yang dipahat teliti dengan ukiran emas dihiasi beberapa kristal dan berlian itu terbuka dengan angkuhnya, dan membuat beberapa orang yang menanti di dalamnya terpana setelah melihat beberapa laki-laki gagah berdiri berdampingan.
"Oh, ya ampun. Itu dia para Pangeran! Aww, lihat, mereka tampan sekali!"
"Ohh~ Tuan Halilintar! Aku mencintaimu~"
"Pangeran Gempa! Menikahlah denganku!"
"Pangeran Api, kau manis sekali! Ahh... Aku mencintaimu Pangeran Api!"
Semua seruan dan pekikan dari para tamu undangan, ikut mengiringi suara music orkestra yang menyambut kedatangan ketiga pria masa depan andalan Signaria. Apakah hanya mereka? Tentu tidak. Tiga Guardian Prince dibelakang langkah The Honorable Prince juga tampil memesona para bangsawan yang hadir.
"Oh, tidak, itu Pangeran Fang... Oh lihat, dia sungguh karismatik! Dia benar-benar idolaku~"
"Kyaaa! Pangeran Air! Lihat akuuu~"
"Hmmm, Pangeran Taufan terlihat lebih menawan dari hari-hari biasanya, bukan begitu?"
Bahkan seorang Ratu dari Peldeph tak segan mengatakan bahwa ia siap menjodohkan salah satu putrinya dengan salah satu Pangeran, namun Raja Signaria menolak halus permintaan itu.
"Anda akan merugi jika anda menikahkan salah satu putri anda yang menawan dan berharga pada pangeran-pangeran kami yang masih butuh banyak latihan ini, Yang Mulia Ratu Jolia." begitulah ujar sang Raja merendah.
Ratu Jolia dari Kerajaan Peldeph tertawa. "Oh, anda terlalu merendah, Yang Mulia Abaross. Putra-putramu menawan. Mereka terbaik di seluruh tanah Eschotta. Aku yakin mereka bisa memimpin Signaria sama damainya dengan Ayah dan Kakeknya terdahulu, Raja Aba."
Pangeran Gempa datang menghampiri sang ayah bersama Fang.
"Oh, Ratu Jolia, kenalkan. Ini Honorable Prince setelah Halilintar. The Mesial Prince, Gempa."
Gempa tersenyum penuh sopan santun. Wajahnya kelihatan berseri, dan meski ia seorang Pangeran, ia tetap menunjukkan ekspresi sederhana yang bersahaja. Gempa membungkuk sopan, lalu mengecup tangan sang Ratu.
"Selamat datang di Signaria, Yang Mulia Ratu Jolia. Kuharap anda menikmati kunjungan anda di sini."
"Oh, senyummu manis sekali, Pangeran Gempa. Kau membuat si tua ini muda kembali," canda Ratu Jolia sambil tersipu, lalu dirinya beralih pada si kacamata pendiam di belakang tubuh Gempa.
"Kau pasti sang Guardian Prince, Pangeran Fang, bukan?"
Fang membungkuk dan mengecup tangan sang Ratu. "Yang mulia, sungguh kebanggaan untuk saya, bertemu anda di sini."
Jolia tersenyum simpul, "Kau memang se-pendiam yang kudengar. Tapi sebenarnya aku membayangkan kau orang yang lebih ketus..."
Fang tersenyum kecil, "Kecantikan anda hari ini sulit untuk membuat saya ketus, Yang Mulia Ratu."
"Ohh, kau. Pandai merayu," Jolia tertawa tersipu. Sementara mereka melanjutkan obrolan, Pangeran Api dan Pangeran Air melintasi ruang dansa, dan beberapa langkah selanjutnya, para wanita tamu undangan dari Kerajaan lain sudah mengerumuni mereka.
"Pangeran Api! Kau manis sekali hari ini!"
Api terlihat senang mendengarnya, ia menunjukkan senyum yang menyenangkan dan jujur, "Yang benar? Ah, kau juga manis sekali hari ini, Putri Suzi. Apa perjalanan dari Mordiana melelahkan?" Api tersenyum menyenangkan. Sama seperti Gempa, ia bersahaja, hanya saja mata dan sikapnya masih memancarkan kekanak-kanakan. Tentu saja, karena dia adalah saudara terakhir dari Honorable Prince.
"The Involucre Prince, Api. Lord of Flames," Ujar seseorang dari belakang para gadis. Penampilan seorang laki-laki dengan jas putih dan rambut emas kehijauan membuat para gadis menepi dan takjub.
"Apa manggil-manggil, hah?" Seketika sikap dan mood Pangeran Api berubah, seiring matanya menatap sosok tersebut. "Scotyard?!"
Laki-laki itu kelihatan emosi dan mulai sarkastik. "Namaku Siegyart. Ren Siegyart Kolones IV. Begitu saja kau tak bisa ingat?"
"Bodo amat. Kau mau apa, Scotyard," Api merocos tak suka. Air yang sedari tadi berdiri di sampingnya mulai agak siaga, kalau-kalau Pangeran ceroboh yang sering meracau itu berbuat ulah di tengah acara penting.
"Oh, Tuan Siegyart. Pangeran dari Thremor. Bagaimana keadaanmu. Sehat?" Air menghalangi tubuh Api sebelum Api mulai lompat dan menggigit kepala Siegyart. Air menyodorkan tangan untuk dijabat Siegyart. Tangan itu disambut baik oleh Siegyart, walaupun terjadi aksi tekan menekan di tengah jabatan tangan munafik itu.
Gretekk. Gretekk!
"Oh? Mulai peduli dengan kesehatanku?" Senyum Siegyart sambil terus menggenggam erat jabat tangan Air.
"Oh, maaf. Aku gak ngomongin kesehatanmu, aku ngomongin kepalamu. Sehat? Gak ada sekrup yang lepas?" Air tersenyum, dan ia tak mau kalah. Meski tangannya kecil, tapi jangan dilupakan bahwa ia anak istimewa dari Signaria. Dalam sekejap ia membekukan telapak tangan Siegyart dengan es.
Untung Siegyart sigap dan cepat menjauhkan tangannya. "Hmph. Kalian duo menyebalkan seperti biasa," lalu mengibaskan tangannya pelan dari butiran es.
Air tak ambil pusing dengan kata-kata itu, ia tetap diam berdiri di depan Api yang nampaknya mulai tak nyaman dengan sosok Air yang melindunginya. Air mengerti perubahan mimik Api, dan ia segera mundur dan menatap Siegyart.
"Oh, maaf. Kami sibuk, wahai Pangeran dari Thremor. Sampai jumpa lagi," katanya dengan mimik dan nada datar, disambung aksi menyeret Api menjauh darinya secepat mungkin.
"Aku benar-benar benci orang itu. Senyum-nya gak pernah membuatku senang..."
"Karena senyum-nya memang bukan untuk membuatmu senang, Pangeran," sambung Air datar setelah ia melepas Api dan membiarkannya berjalan bersamanya menghampiri meja banquet—atau meja panjang yang berisi makanan-makanan mewah. Di sana hanya ada kalkun dan daging sapi pilihan yang sudah diolah dengan bumbu rempah terbaik serta salad sayur, buah, dan pudding kedelai manis ala Signaria yang sudah siap memanjakan lidah.
Dan melihat itu membuat Api lupa. APA itu Siegyart.
Air pun dengan senang hati menemani Api makan di kursi makan, sambil tidur.
"Air, jangan tidur. Makan yuk... Ayo buka mulutmu, aaaaah~" Api menyodorkan paha kalkun bulat-bulat ke mulut sang Pangeran tukang tidur. Tapi bibir yang bersangkutan tidak bergerak. Dengan penuh perasaan depresi, Api pun menggosok-gosokkan paha kalkun tersebut ke bibir Air hingga membuat bibirnya cemong dan blepotan dengan kecap.
Lalu Api mendapat sambutan tabokan es di pipinya.
.
.
.
Semua perilaku saudara tirinya membuat Taufan hanya berkedip dengan keringat dingin di pipi. Mereka berlaku wajar (Ya, termasuk tingkah Air dan Api).
Lalu tatapannya beralih pada sosok Halilintar yang tersenyum dengan senyum tegang. Senyum tegang seperti apa katamu? Bayangkan sebuah senyum yang tercipta akibat masing-masing sudut bibir ditarik jepitan jemuran.
Dan itu sama sekali bukan pertanda wajar.
"Pangeran Halilintar, badanmu atletis sekali. Olahraga apa yang kausuka?" Tanya salah seorang Putri dari Lohlia sambil tersenyum antusias.
"La... Lari... d—dan nembak-nembak..." wajah Halilintar pucat dan gugup.
"Eh?"
Taufan tepok jidat.
'ATLETIK DAN GUN-PLAY, DUNGU.'
Taufan depresi, ia lupa kalau Pangeran yang menjadi tanggung jawabnya itu memiliki kelemahan paling lucu di antara ketiga saudara Honorable Prince yang lain, yaitu...
Gugup menghadapi wanita.
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Taufan melupakan hal terpenting itu, dan hal yang terlupakan ini sebenarnya menjadi alasan utama kenapa sikap Halilintar menjadi aneh pada saat mereka berjalan di lorong sebelum perjamuan tadi. Ya, adegan sok-sok-an dimana Taufan menunduk patuh dan formal tadi itu adegan tak berguna. Karena Taufan ternyata tetap salah mengartikan sikap aneh Halilintar—yang ia pikir Halilintar gugup karena ini adalah perjamuan pertama mereka—malam dimana Halilintar diperkenalkan sebagai kandidat kuat penerus Kerajaan, secara terbuka kepada tujuh Kerajaan adikuasa itu.
Ternyata maksud Halilintar tadi adalah... Membantu-nya bicara dengan wanita, toh?
Taufan menutup wajahnya yang malu. Jadi ngapain aku berlutut satu kaki sambil ngomong keren begitu, tadi?
Taufan menghela nafas, lalu mendekati Halilintar. "Ahem, yang dimaksud Pangeran Halilintar adalah olahraga atletis dan Gunplay, tuan putri."
Halilintar menengokkan kepalanya ke arah Taufan dengan wajah bahagia, seolah Taufan adalah anggota tim SARS.
Taufan tak menatap balik wajah bahagia itu, karena kalau ia melakukannya, rasa ibanya mulai muncul lalu mengeluarkan recehan.
"Oh, begitu," Putri Camelia tertawa kecil dengan wajah paham. "Oh, Tuan Halilintar orang yang humoris, ya..."
'Err... Dia nerves mbak... Bukan ngelawak,' batin Taufan dengan perasaan lelah.
"Apa kau suka berburu binatang juga, Tuan Halilintar?" tanya Putri Camelia kembali.
Wajah gugup Halilintar kembali. "Su—suka, aku memenggal kepala mereka lalu kupajang di museum istana—"
'ITU HOROR. NGOMONG DIATUR DIKIT DONG, OI,' Taufan lelah maksimum. Halilintar bicaranya semakin aneh. Sementara itu, Taufan lebih lelah lagi setelah melihat reaksi sang putri yang mulai memucat mendengar itu, dan siap pingsan kapan saja.
"A—Ah, tuan putri, dia hanya bercanda. Maksud Pangeran Halilintar adalah, dia mengawetkan buruannya secara utuh di museum. Tidak memenggalnya, kok..." Taufan tertawa hangat untuk mengklamufase jeritan otak yang sudah hampir buntu mencari penjelasan yang dibuat-buat untuk sang Pangeran Petir. Beruntung suasana canggung itu segera buyar setelah Raja Signaria mendentingkan gelas untuk mengumpulkan perhatian.
"Kawanku, tujuh Kerajaan. Pimpinan tertinggi, 124 Kerajaan. Terima kasih karena sudah datang di Perjamuan Persatuan Eschotta malam ini yang hanya diadakan setiap 20 tahun sekali. Di malam yang berbahagia ini—" lalu sang Raja Signaria melantur panjang lebar, layaknya Kepala Sekolah di Upacara Bendera. Taufan ingin mencoba fokus dengan ngelanturan, ralat, pidato sang ayahanda namun apa daya, otaknya sudah terlampau lelah dengan urusan tadi. Meski demikian, ia sudah bisa menerka maksud dari pidato pengantar itu. Sang Raja akan mengumumkan pewaris selanjutnya Kerajaan Signaria yang akan memerintah beberapa tahun lagi, menggantikan dirinya.
Setengah jam kemudian.
"...Oleh karena itu," sang Raja mulai tiba pada puncak pidatonya. Sementara itu Taufan mulai kembali melek, setelah Halilintar menyikutnya keras. "Pada kesempatan ini, saya akan senang sekali mengumumkan tiga kandidat terkuat untuk menjadi Raja selanjutnya."
Tiga kandidat terkuat? Tunggu... tunggu... Bukankah... Hali adalah penerus absolut selanjutnya karena dia anak pertama, ya? Taufan menatap kosong sang Raja yang masih berbicara di depan semua orang.
"Hali... apa aku salah dengar?" Taufan berbisik pelan pada Halilintar, setelah Raja memperkenalkan ketiga putranya. "Bukannya kau yang—"
Halilintar berkata dengan nada pelan dan santai, "Sepertinya Papa ingin membuatku mengurus saudaraku."
Taufan menatapnya bingung. "Apa maksudmu?"
Halilintar menatapnya, "Ia ingin membuatku jadi sasaran latihan tembak dua saudaraku yang lain."
"...APA?! MAKSUDMU PERANG SAUDARA?" Taufan memekik, dan menarik perhatian tamu-tamu yang ada di dekatnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
...Bersambung...
A/N: Hello evribodeh! Ketemu lagi sama Jim di segment cerita Boboiboy yang berbeda. Sebenernya, fanfic ini dibuat berdasarkan minific yang pernah aku posting di instagram beberapa waktu lalu. Tadinya... mau bikin cerita ini sedikit serius, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata cerita serius sama sekali gak cocok buatku yang rajin baper. Tadinya bahasa dialog tokoh yang kugunakan di sini juga mau sedikit serius dan baku, tapi mengingat ini cerita petualangan besar, sepertinya aku bakal menderita kalau hampir di semua segment pakai bahasa baku. *gambar author ngesot di lantai*
Tenang, akan ada saatnya cerita ini jadi serius. Ini hanya prolog, dan mungkin sedikit nista bagi teman-teman sekalian. Tapi... aku hanya ingin membuat dan memulai sebuah petualangan dengan konsep cerita yang berbobot, penuh petualangan dan menyenangkan untuk diikuti. Yah, semoga fanfic ini bisa menemui ekspetasi itu.
Jya, sampai jumpa di chapter berikutnya! Arigatou gozaimasu!
