Fanfic ini didedikasikan spesial untuk Eigar alinafiah sebagai reviewers terbaik di fanfic saya yang berjudul Unrequited.


Naruto © Kishimoto Masashi.

All Tears of Love © Someiyoshino Amari

Hinata Hyuuga & Sasuke Uchiha

OOC, Typos.

.

.

.

.

.

Bayangan mereka seolah memanjang di jalanan aspal yang mereka tapaki sebagai jalan pulang. Sinar matahari senja menerpa punggung mereka dan terasa begitu hangat ketika mereka berjalan membelakanginya. Pegangan di tangannya, jari-jari panjang yang menyusup di antara celah jari-jarinya yang lentik mampu menghangatkan pipinya.

Hinata berjalan tanpa merasa terpaksa. Mengekor walau dengan langkah tergesa. Berusaha mengikis jarak dengan pemilik punggung ringkih berseragam putih. Keheningan yang menjemukan, membuat Hinata nyaman dalam keadaan ini walau tanpa rangkaian kata sebagai penyambung suara. Namun rasa bangga membuncah dalam dirinya ketika mampu menghabiskan waktu pulang dengan cintanya. Kekasihnya. Teman masa kecilnya, Sasuke Uchiha.

.

.

.

.

.

Chapter one

Tears of First Love.

.

.

.

Kelas dua di sebuah sekolah bertaraf internasional yang di namai Junior High School ini Hinata mulai mengenal indahnya cinta di masa remaja. Berawal dari kedekatan keluarga mereka hingga membuat ia dan Sasuke Uchiha hidup dalam lingkungan persahabatan yang di limpahi banyak perasaan. Hingga mereka tak mampu lagi menggunakan nama 'sahabat' untuk menyebut hubungan yang mereka jalin.

Hinata menghentak-hentakkan kaki kirinya yang berlapis sepatu hitam tipis yang membentuk ritme harmonis yang tak beraturan, sebelah kaki yang kini tengah beradu dengan trotoar Halte yang tidak terlalu ramai, dan juga bus yang tak kunjung datang. Berkali jam berwarna merah marun di tangannya menjadi acuan untuknya agar dapat membunuh waktu yang terus saja berjalan secara pelan.

"Apa yang kau cemaskan?" Suara bariton itu berhasil mencuri perhatian dan fokus otaknya secara utuh.

"A-ah hanya tugas yang ku kuatirkan tidak akan selesai jika aku pulang terlambat."

"Tak usah kau hiraukan." Ia, kekasihnya yang melangkah mendekat membuat Hinata secara refleks mengambil langkah mundur.

Tangan kanannya yang bebas mengusap pipi tirus Hinata yang merah merona. Mengusap dengan jari-jarinya yang membuahkan sentuhan lembut bagi Hinata yang kini tengah menikmatinya.

"Aishiteru." Suara lembut, mengukir kata cinta. Tangan lentik itu mnenjamah tangan yang bertengger di pipi kirinya. Meremasnya lembut dengan senyum dan tatapan penuh akan perasaan. Menatap pemuda yang senantiasa selalu berwajah datar.

Sasuke selalu menggoda pikirannya untuk berbicara cinta.

"Brukk."

"G-gomen."

Seseorang menubruk punggung Hinata dengan keras hingga membuatnya hampir menghantam dada bidang Sasuke jika saja ia tidak memiliki keseimbangan yang bagus. Hinata sedikit meringis karena hal itu.

Mengakhiri kemesraan. Menarik tangannya yang semula mengusap lembut pipi Hinata yang kini tak lagi merona.

"Hontou ni gomenasai." Gadis itu membungkuk. Membuat rambut pajangnya yang berwarna merah menjuntai ke bawah.

"Kau tidak apa-apa?" Sasuke sedikit membungkukkan tubuhnya demi melihat wajah senpai yang kini tengah menatap kedua mata kelamnya.

"A-ah ya, maaf aku kurang hati-hati."

Di lain sisi, seorang gadis menatap sebuah adegan yang sedikit memanasi hatinya. Ia mengusap pipinya sendiri. Mencoba menghampiri walau dengan hati yang kini telah terlukai. Meski sedikit, namun tetap saja akan terasa sakit.

"Sasu-"

"Ah Hinata-chan!"

Gadis yang satu tahun lebih tua dari mereka itu berseru.

"Gomenasai, aku-"

"Sudahlah Senpai."

Sasuke memotong perkataan yang hendak terlontar. Lalu menatap batu mutiara yang kini mengalihkan pandang. Darinya, juga dari sepasang mata gadis yang kini tak lagi menatapnya. Entah mengapa suasana begitu cepat berubah, sore yang cerah berlatarkan halte yang perlahan mulai ramai. Mereka bertiga berdiri, diam dengan keheningan yang menyelimuti. Suara ramai hanya di timbulkan oleh orang-orang sekitar. Sedangkan mereka asik dengan angan.

"Sa-" Hinata memutuskan untuk tidak melanjutkan perkataannya. Memutuskan untuk kembali diam ketika bus datang ke hadapan mereka yang kini berdesakan. Tubuh mereka bertiga tergolong sedang, namun para kryawan yang kini juga hendak memasuki bus menyulitkan mereka untuk tidak terseret ataupun tidak terhimpit.

Hinata kesulitan dalam mengatur laju langkahnya yang kini limbung. Keseimbangan seolah tak mampu di kuasai oleh tubuhnya ketika desakan dari orang-orang yang bertubuh besar seakan mengoyak badannya yang tidak begitu besar.

Mungkin semua akan berakhir dengan ia yang tersungkur di trotoar jika tangan itu tak menariknya. Membuatnya lebih baik meskipun sedikit limbung tapi tangan itu telah membantunya. Ia menengadah, menatap wajah rupawan yang masih datar. Yang seakan begitu mempesona dengan terpaan sinar matahari senja. Hingga membuat ia merona.

"Ayo senpai."

Deg.

Namun di sisi lain tangan pemuda itu, di tangan kirinya menggenggam jemari lain.

.

.

.

.

.


Perlahan lampu taman terlewati begitu saja. Lalu sebuah pohon hijau yang tidak begitu rindang juga terlewati dengan mudahnya. Dari kaca tembus pandang inilah ia mampu melihat keadaan di luar. Hingga terpaan sinar matahari yang menyilaukan pandangannya.

Tidak hanya itu, kaca tembus pandang di sampingnya ikut memantulkan bayangan lain. Bukan dari luar datangnya, tapi dari sosok objek yang duduk di sampingnya. Sosok itu duduk diam dengan tenang, dengan satu telinga mendengarkan sebuah lagu yang terhubung dengan earphone menuju Iphone yang berada di sakunya.

Hening lagi.

Tak di sengaja ketika iris matanya mampu menangkap bayangan lain dari yang kaca tembus pandang itu pantulkan. Sosok senpai yang tengah duduk tenang. Di seberang pemuda yang kini mulai mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap.

Hembusan nafas panjang mewakili sedikit kegelisahan di hatinya.

Rasa yang ia sangat benci karenanya perlahan menggerogoti ruang di hatinya. Rasa yang ia anggap sebagai perasaan pengecut yang memalukan.

Siapa yang tidak mengenal senpai yang duduk di seberang kekasihnya? Ia berkepribadian baik dan terkenal di semua kalangan. Entah itu sensei ataupun kouhai. Bahkan ia ragu jika pengurus sekolah tidak mengenali gadis itu.

Ia semakin beruntung dengan kepintaran di hampir semua bidang. Cantik, memang pada dasarnya senpainya itu demikian. Bahkan Hinata berani bertaruh jikalau senpai itu tidak pintar pun ia masih dapat terkenal karena kecantikannya yang memang pantas di acungi jempol.

Ia merasa kalah telak dengannya. Memang begitu? Bukan. Bukan dalam segala bidang itu. Tapi kalah telak dari perhatian kekasihnya sendiri. Miris? Tentu saja itu membuahkan sakit.

Dan perasaan itulah yang kini menggerogoti hatinya. Cemburu, orang biasa menyebutnya itu.

Hei ada retakan tipis di kaca jendela di sampingnya yang telat untuk di sadarinya. Ia mengusap retakan itu dengan lembut. Karena Hinata tahu, jika ia mengusapnya dnegan kasar tanpa perhitungan, kulitnya akan tersalat hingga menimbulkan jalan bagi darah di tubuhnya untuk keluar.

Retakan panjang yang terlihat samar.

Hinata menatap Sasuke yang masih asik dengan kegiatannya.

"Lagu apa yang kau dengarkan, Sasuke-kun?"

"Scandal." Ia berkata dengan mata yang terpejam. "Kau mau mendengarkannya juga Hinata?" kemudian terbuka dengan tangan kanan yang menyodorkan sebelah earphone ke hadapan Hinata.

Hinata mengambilnya sambil tersenyum, kemudian menempelkannya pada telinga kirinya dan pasangan lain dari earphone itu berada pada telinga kanan Sasuke. Hei kalian terlihat seperti sepasang kekasih pada umumnya, kekasih yang tengah berbagi kemesraan di tengah perjalanan pulang.

"Namida no Regret." Hinata berkata nyaris menyerupai bisikan.

"Ya." Tak di sangka, seseorang di sampingnya menyahut dengan suara datarnya yang khas.

Kemudian fokusnya teralih pada jalanan. Kecepatan bus semakin kencang saja. Terbukti dari pemandangan di luar yang di lewati berjalan semakin cepat saja.

Goresan di kaca itu, seolah membelah jarak di antara Hinata dan Sasuke yang tengah duduk bersebelahan. Itu yang baru Hinata sadari.

"Apa yang kau cari senpai?"

Meskipun volume musik dalam tingkatan sedang, namun ia masih bisa mendengar percakapan yang di mulai oleh kekasihnya yang kini mulai mengubah posisi duduk menjadi membelakanginya. Menghadap senpai berambut panjang yang terlihat kebingungan. Seolah mencari sesuatu benda, itu dapat Hinata asumsikan dari tingkah polah gadis itu yang mengaduk-aduk tas sekolahnya.

"Buku yang ku pinjam dari Anko-sensei, aku lupa menyimpannya."

Hinata menatap mereka sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan di luar, juga kini tengah fokus pada lirik yang di nyanyikan dengan syahdu oleh salah seorang vokalis dari grup band Scandal.

"Mungkin di tas." Masih dari gadis yang sama kalimat itu terlontar. Dari kaca bus di sampingnya pula lah Hinata mampu melihat reka adegan itu. Di mana Sasuke berdiri, berusaha membantu senpai yang kini tengah berjinjit untuk menggapai tempat penyimpanan tas yang memang cukup tinggi. Punggung kekasihnya hampir menutupi sekujur tubuh senpainya yang memang bisa di kategorikan mungil.

Sebelum Sasuke melakukan itu, ia terlebih dahulu menaruh Iphonenya di kursi tempatnya duduk, di samping Hinata yang kini masih mengenakan sebelah earphonenya. Lalu beranjak dan membantu senpai yang kesulitan menggapai tasnya.

Bus berhenti. Karena mereka yang duduk nyaris di paling belakang, mengharuskan Sasuke menyingkir dari posisinya saat ini untuk memberikan jalan pada para penumpang yang hendak keluar.

Akan sangat merepotkan bila Sasuke harus kembali ke kursinya ketika suasanan berdesakkan karena para penumpang yang terburu-buru ingin keluar. Hingga ia harus rela duduk berhimpitan berdua dengan senpai yang kini tersenyum lega karena berhasil menemukan buku yang di carinya.

"Hontou ni arigatou Sasuke-kun, maaf hari ini aku banyak merepotkanmu."

"Hn, tidak masalah."

Walau kata sebagai jawaban yang di pilihkan Sasuke terkesan dingin. Namun di nada suaranya tidak sepenuhnya demikian. Terselip kehangatan juga kebanggan atas itu.

Hinata mampu mendengarnya.

Kita tidak terlihat seperti pasangan yang buruk 'kan?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


"Hinata?"

Gerakannya terhenti. Sebuah buku dengan ketebalan sedang berada di dalam pelukannya. Sambil menoleh ia tersenyum dengan penuh kehangatan. Siluet seorang pemuda bertubuh ideal tengah berdiri menyandar pada deretan loker tepat di depan pintu keluar.

"Kau sudah selesai dengan klubmu, Sasuke-kun?"

"Hn."

Lagi. Hinata tersenyum dan kemudian mengunci loker dengan deretan kata yang merangkai sebuah nama bermakna layaknya sinar matahari yang menerpa, memberi kehangatan.

"Ayo kita pulang."

"Hai." Tersenyum senang Hinata kembali mengukir langkah di samping Sasuke dengan seragamnya yang acak-acakan. Kesan berandal dengan penuh kearoganan terpancar dalam dirinya yang berpenampilan demikian. Namun karisma dan kecerdasan adalah sebuah keunggulan, hingga ia banyak di gemari kaum perempuan.

Dengan bayangan yang semakin memanjang, mereka melangkah dalam keheningan. Perlahan dengan langkahnya Hinata terus menendang-nendang kerikil kecil yang berada di bawah kakinya. Sedikit jenuh dengan suasana dimana ia harus diam saja saat tengah berduaan dengan kekasihnya.

Memang bukan hal yang terkesan spesial, namun ini adalah hal biasa yang sering ia lalui di jalan pulang. Terkadang pun bila Sasuke membawa sepadanya, ia selalu duduk di belakang sepadanya dengan mulut bungkam.

Sesekali ia berusaha bertanya hanya demi menyambung kata. Namun jawabannya selalu sama, begitu sederhana juga mematikan sebuah rangkaian percakapan yang susah payah ia bangun. Desiran angin seolah menjadi pengiring, atas sebuah kebisuan yang seolah menjadi begitu dingin.

Melirik kekasihnya dari sudut matanya yang besar. Ia mampu melihat beberapa bulir keringat dan guratan yang menggambarkan lelah. Ia sedikit merasa bersalah karenanya.

"Sasuke-kun? Bagaimana kalau kita beristirahat dulu di sana?"

Hinata menunjuk sebuah bukit yang menghadap pada sebuah sungai jernih.

"Tidak buruk." Sasuke menyetujui, dan Hinata lantas menarik tangan kekasihnya untuk segera pergi.

Dari atas, mereka mampu melihat sebuah sungai yang airnya terlihat berwarna keemasan ketika sinar matahari membiaskan cahayanya hingga berkilauan. Sebuah lapangan yang tidak terlalu besar berada tepat di bibir sungai. Di sana di penuhi oleh anak-anak remaja yang tengah bermain baseball dengan riang.

Bukit yang tidak terlalu tinggi, namun semilir angin yang bertiup sedikit kencang menegaskan bahwa mereka tengah berada di sebuah dataran tinggi di tengah kota. Hinata terpana, dengan pamandangan elok yang tersaji di depan mata, hingga akhirnya teringat pada kekasihya yang menatap datar sebuah pohon yang menjulang, pohon ek yang begitu besar. Beberapa dahannya bahkan menjalar ke segala arah.

"Hinata?"

"Hm?" Hinata segera menatap lawan bicaranya. Menatap sepasang onyx yang menghindari tatapannya, terbukti dengan Sasuke yang masih menatap sebuah pohon yang mungkin sudah berusia lebih dari satu abad itu dengan wajah lelah.

"Bagaimana kalau kita berpisah saja?"

Dengan wajah lelah, Sasuke terlihat seperti lelaki bodoh yang menyerah.

Menyerah dengan hubungan mereka yang Hinata sudah pastikan sekarang tidak sedang baik-baik saja.

"T-tapi, Sasuke-kun." Hinata mengubah posisinya, kini benar-benar menghadap Sasuke yang semula hanya duduk saja di sampingnya. Berusaha mencari kebohongan di sepasang mata obsidian kelam yang kini menatap ke dalam mutiaranya.

Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan dalam keheningan yang memberatkan.

"Uso!" Sasuke berseru seraya menatap ke arah lain. Mengalihkan pandang dari sepasang mutiara yang menatapnya tak mengerti.

"Eh?"

"Kau polos sekali Hinata." Sambil mengacak rambut indigo itu Sasuke berkata dengan di akhiri tawa. "Aku hanya bercanda."

Dengan wajah lebih halus kini Sasuke melontarkan kata.

Kemudian mereka tertawa.

Tawa sumbang yang begitu singkat, hilang di telan oleh rimbunnya pohon ek yang sebagian besar dahannya telah meneduhi mereka. Pohon ek yang beberapa daunnya meliuk-liuk tertiup hembusan angin yang berdesir. Tak sedikitpun mengusik mereka yang saat ini sama sekali tak mengeluarkan kata. Sibuk dengan angan hingga membuat keheningan.

Senja perlahan berubah warna menjadi abu. Menaungi sepasang insan yang tengah larut dalam bisu.

Langit yang semakin berwarna gelap membuat mereka tersadar. Juga beberapa anak yang kini bergegas untuk mengakhiri permainan. Akhirnya Sasuke berdiri, menepuk-nepuk celananya yang di penuhi oleh rumput teki yang tumbuh menjalar tak beraturan. Terinjak-injak hingga sebagian dari mereka terlihat gepeng, kering, hingga mati.

"Ayo Hinata."

Berseru lalu mengambil langkah maju. Mengukir jarak di antara dirinya dan Hinata yang kini menatap punggungnya dengan bibir mengkerut.

Sebelum beranjak, ia menghela nafas panjang. Menyisir poninya kebelakang menggunakan jari-jari lentiknya, hingga kemudian melangkah dengan sedikit berlari demi mengejar Sasuke yang sudah jauh berada darinya.

Di perjalanan pulang mereka kembali terdiam. Melanjutkan perjalanan yang semula terhenti. Hanya membutuhkan waktu sedikit untuk sampai di rumah mereka. Rumah mereka yang searah.

Masih dalam posisi menunduk Hinata berjalan tanpa takut menubruk orang. Jalanan yang begitu lenggang dan sepi, berlatarkan atap langit yang menghiasi mampu menjadi suatu pemandangan indah bagi sepasang kekasih. Siapa saja, kecuali mereka. Mereka yang tidak terlihat baik-baik saja.

Hinata terutama.

"Yang tadi itu mengganggumu?" Datar. Masih dengan nada datar Sasuke melontarkan pertanyaan yang demikian tepat pada sasaran.

"A-ah." Hinata berseru canggung.

Sasuke tersenyum simpul. Mengacak helaian indigo yang menjuntai. Beberapa bagian dari helaian itu membingkai wajah tirus Hinata dengan di hiasi oleh rona pipi berwarna merah muda. Hinata adalah gadis yang manis.

Tepat di depan kediamannya Hinata dan Sasuke mematung. Saling berhadapan namun tak saling berpandangan. Aroma tubuh mereka mengguar, tertiup angin senja yang begitu memabukkan. Satu dari mereka terpukau, namun satu lainnya mengabaikan.

"Aku akan menghubungimu Hinata, sampai jumpa." Salam perpisahan terucap seiring dengan pungggung tegap yang menjauh dari hadapannya yang tak menatap kepergiannya.

"Ya. Sampai jumpa." Jawaban yang nyaris seperti bisikan.

Menatap lurus sebuah titik yang tak kasat mata.

Aku tahu apa yang kau pikirkan,

Bahkan dengan mata tertutup, Sasuke.

.

.

.

.

.

.

.

.


Jam masih menunjukkan pukul enam belas, Hinata sudah duduk di bawah langit yang masih biru. Kakinya ia lipat di depan dada, hingga ia mampu memeluknya. Menenggelamkan wajah dalam lututnya yang terasa dingin. Sesak itu menjalari hatinya ketika ulasan kejadian itu berkelebat di depan matanya. Meracuni pikirannya hingga mengundang sesak di dalam dadanya.

Ia menggigit bibir bawahnya, berharap rasa sakit di hatinya mampu berkurang ketika ia menciptakan rasa sakit yang lain.

Masih segar dalam ingatannya kejadian tadi siang di sekolahnya. Satu buah kepingan itu berubah menjadi beberapa rentetan peristiwa yang secara sistematis mampu di ingat oleh otaknya yang di penuhi emosi. Rasa sayang itu membuahkan sakit.

Ketika jam istirahat pertama berbunyi. Tepat pada pukul sepuluh pagi tadi Hinata segera bergegas ke atap sekolah. Sebelumnya ia telah membawa bungkusan kain yang membungkus bento buatannya sendiri dengan ukuran yang cukup besar.

Berjalan menaiki tangga dari lantai dasar menuju atap yang berada di lantai empat. Ia kelelahan dengan nafas terengah juga bulir keringat yang bercucuran. Namun demikian ia masih menampakkan raut wajah senang ketika ia mengingat dengan siapa nanti ia akan memakan bekalnya.

Setelah membuka pintu atap yang sedikit tua, Hinata mengambil tempat tepat di sebuah kursi di depan pagar pembatas. Hei ia mampu menangkap pemandangan indah dengan jelas dari posisinya saat ini. Kepalanya menengadah menatap semesta dengan bibir yang sedikit terbuka. Ia kekurangan pasokan oksigen setelah menaiki tangga dengan cukup tergesa. Semilir angin yang berhembus mampu mendinginkan suhu tubuhnya yang memanas. Benar-benar nyaman.

Lantas ia segera membuka bento di pangkuannya. Bukan menu yang istimewa tapi juga tidak sederhana. Hari ini ia membuat menu spesial dengan ekstra tomat di setiap hidangannya. Lagi-lagi ia mengulum senyuman dengan pipi bersemu membuat ia merasa malu.

Melirik jam yang berada di tangan kirinya, jarum jam yang terpanjang berada di angka dua, itu artinya ia hanya memiliki waktu dua puluh menit untuk menghabiskan bekalnya. Ralat, itulah waktu yang 'mereka' perlukan untuk menghabiskan bekal yang di buatnya.

Ia lantas kembali menutup bentonya. Kemudian beranjak berdiri menghampiri pagar pembatas yang terbuat dari besi. Dengan bertumpu pada sepasang siku ia menikmati langit yang begitu biru.

"Tiga bulan." Ia bergumam.

Tiga bulan sudah mereka lalui dalam keterikatan hubungan yang terjalin. Namun hanya satu bulan Hinata benar-benar merasakan bagaimana indahnya cinta. Sisanya? Biasa saja.

Bibirnya melengkung kebawah ketika mengingat hubungannya yang tidak berjalan mulus dengan kekasihnya. Seorang Uchiha bungsu dari Fugaku Uchiha, relasi bisnis dari ayahnya sendiri Hiashi Hyuuga.

Sebutlah ia beruntung. Karena mampu terlahir dalam keluarga kaya raya yang di kelilingi banyak harta juga kekasih seorang dari salah satu Uchiha yang memiliki ketampanan di atas kata istimewa.

Jika ia bukan seorang Hyuuga mungkin ia tidak bisa.

Perkataan seperti itu yang paling sering di dengarnya, dari mereka yang tidak menyukai dirinya.

Hinata menghembuskan nafas lelah dengan pipi yang mengembung. Berkali-kali memainkan bibirnya dengan beragam eskpresi yang menggambarkan kekesalan dalam hatinya.

"Drrtdrrt."

Getaran kecil di saku roknya membuyarkan semua lamunannya. Dengan malas ia mengambil benda canggih berwarna hitam yang kini berada di genggaman tangannya.

From : Sasuke-kun

"Maaf Hinata aku harus menghadiri klub"

Entah mengapa matanya terasa memanas.

Lalu setelah itu ia larut dalam kebisuan juga perasaan menyiksa yang membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Bahkan rasa lapar itu menguap, bekalnya tidak ia sentuh sama sekali setelahnya.

Hingga ketika ia menuruni tangga dan melewati ruangan kelas tiga. Ia mampu menangkap siluet Sasuke yang tengah bercengkrama dengan sepasang bento di meja yang disatukan, di buat berhadapan. Sasuke berhadapan dengan Karin-senpai. Berdua. Memakan bekal.

Hingga kini bulir yang keluar dari mutiaranya tidak bisa ia hentikan dengan pertahanan yang sama sekali belum ia persiapkan.

.

.

.

.

.


Ia mengusap air matanya yang tanpa ia sadari telah keluar, mengarak sungai di pipinya yang pucat. Hingga ia kembali menengadah berharap derasnya air mata yang keluar mampu ia bendung dengan posisi yang demikian.

Burung layang-layang putih, terbang di atasnya. Mungkin tidak terlalu tinggi namun itu cukup jauh dari posisinya saat ini. Deburan ombak dengan pasir putih yang menjadi alasnya untuk saat ini. Begitu indah dan mampu memanjakan matanya juga akan sedikit menenangkan jiwanya dari emosi karena sebuah rasa yang terasa amat sakit di hatinya.

Ia lantas berdiri, dengan sepatu cats berwarna putih tulang yang di kenakannya mampu mengukir langkahnya di hamparan pasir putih yang bersih. Ia berjalan berusaha mendekati sang ombak dengan deburan keras seolah tak bersahabat. Ia bahkan tidak peduli kalau seragamnya akan basah ketika percikan air asin yang di bawa sang ombak menyapu dirinya. Ia hanya lelah, itu saja.

"Ada apa kau menyuruhku kemari, Hinata?"

Hinata tersenyum miris. Miris sekali.

Ucapan datar dan terasa dingin, melebihi dinginnya percikan air yang kini mengenai wajah cantiknya yang di penuhi ekspresi sarat akan rasa sakit.

"Ada yang ingin aku bicarakan Sasuke-kun." Dengan tenang Hinata menjawab pertanyaan yang terasa begitu menusuk. Seorang kekasih yang bersikap dingin apakah masih mampu di toleransi?

Hinata membalikkan badannya, perlahan berjalan pada Sasuke yang berdiri mematung dengan tangan di masukkan ke dalam saku celananya.

"Sejak kapan kau mengenalku?" Hinata bertanya dengan memiringkan wajahnya dan telunjuk di taruh tepat di depan bibir bawahnya.

"Sejak dulu." Sasuke menjawab sekenanya.

Jawaban datar yang begitu melukai hatinya.

"Ya. Sejak aku pindah ke dekat rumahmu. Sejak saat itu ayahmu sering membawamu ke rumahku karena ayahku dan ayahmu adalah teman dekat."

"Berapa usia kita saat itu?" Deburan ombak menyamarkan suaranya, namun Sasuke masih mampu mendengar suara Hinata yang mengalun di penuhi oleh keceriaan.

"Empat tahun."

"Ya! Ah aku tidak menyangka kau masih mengingatnya."

Disini sakit.

"Sejak saat itu kita begitu dekat. Bukan begitu Sasuke? Bahkan orang tua kita selalu menyekolahkan kita di sekolah yang sama sampai sekarang kita berada di sekolah menengah pertama pun kita masih bersama, walaupun kita tidak selalu satu kelas." Hinata memaksakan senyuman walau pandangan matanya terasa kabur.

Sasuke menatap Hinata dengan pandangan yang tidak mampu di artikan. Tidak, Hinata hanya tidak mau mengartikan pandangan Sasuke yang mengarah padanya.

"Kita selalu dekat ya 'kan?" Parau, ia begitu membenci dirinya yang begitu lemah.

"Lalu, kapan kita memulai hubungan ini?"

Entah mengapa atmosfer yang menyelimuti terasa panas dan suasana terasa begitu berat. Sekali lagi, Hinata berusaha menghembuskan nafasnya berhara mampu menghilangkan sesak yang bersarang di dadanya. Berharap mampu terurai hingga kemudian menghilang, namun itu hanyalah sebuah tindakkan yang sia-sia.

"Katakan saja untuk apa kau menyuruhku datang kesini?" Sasuke malah membalikkan pertanyaan kepada Hinata, pertanyaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertanyaan yang Hinata lontarkan. Jelas sekali terlihat bahwa Sasuke, tidak menanggapinya.

Karena kau telah berubah.

"Tiga bulan. Tiga bulan yang lalu. Tepat tiga bulan yang lalu." Hinata membelakangi Sasuke ketika air matanya merebak.

"Oi Hinata." Hinata tahu Sasuke lelah, pulang dari kegiatan klub yang menyita waktu karena jabatannya sebagai ketua mampu Hinata pahami. Ia menyuruh Sasuke ke sini bukan tanpa alasan, dan bukan pula ia yang tak mengerti akan rasa lelah yang menghampiri ketika harus memutar arah jalan pulang hingga singgah di sebuah pantai.

"Sasuke bukankah cinta hanya indah di awalnya saja?"

Selebihnya hanya rasa sakit.

"Apa yang kau bicarakan! Aku tidak mengerti." Sasuke mulai tidak sabar. Hinata tahu Sasuke mengerti, namun ia tidak yakin Sasuke mampu untuk memahami.

"Bagaimana jika..." Hinata mengelap tetesan air mata yang masih saja tidak mau berhenti keluar dari pelupuk matanya. Hinata bahkan tidak menggubris pertanyaan Sasuke padanya.

"Kita... akhiri saja."

Bukankah itu yang kau inginkan, Sasuke?

Burung berwarna putih terbang melewatinya yang berwajah senang berbalut kesedihan. Berkali ia menghela nafas ketika air mata hendak merebak. Mengelap dengan kasar sudut matanya yang perlahan basah. Menghapus air mata tanpa rela bila akan membasahi pipinya.

Hinata berkata dengan ringan seolah tanpa beban. Berkata dengan diakhiri senyum di akhir kalimatnya. Tersenyum begitu lebar hingga sepasang mutiaranya hampir terpejam ketika melihat ekspresi Sasuke yang terlihat begitu terkejut dengan pernyataannya yang tiba-tiba.

"Berjalan di jalan masing-masing." Hinata melanjutkan.

Sasuke masih menatap lekat Hinata yang sama sekali tak lagi menatapnya. Berusaha meminta penjelasannya.

"Memulai kembali hubungan sebagai teman masa kecil."

Masih dengan senyuman Hinata menatap lekat Sasuke yang masih menatap wajahnya. Ia tidak peduli jika jejak air mata itu mampu di tangkap oleh mata elang Sasuke yang sekarang terlihat seperti mengintrogasinya.

Perih, terasa perih.

Memaksakan tersenyum ketika hatinya tercabik.

Sasuke mengangguk. Hinata juga.

Mereka saling bertukar anggukan kecil.

Dan mereka mulai berjalan di jalan masing-masing.

"Pulanglah. Aku tahu kau sibuk." Hinata kini mengambil posisi duduk di samping Sasuke yang masih berdiri. Menatap cakrawala dengan kawanan burung layang-layang putih yang beterbangan di sana, begitu memukau dengan lembayung senja sebagai pewarna yang begitu mencerahkan sore hari di kota ini.

"Bagaimana denganmu?"

"Aku masih ingin disini. Pergilah."

Sasuke mengambil langkah mundur. Memandang punggung Hinata yang menengang. Ia tahu, Hinata perlu waktu untuk sendiri saat ini.

"Hn. Aku akan menghubungimu nanti."

Uso.

Ia mengatakan hal yang sama sebelumnya. Namun selebihnya tak lebih dari sebuah kebohongan yang begitu memikat.

"Sasuke?"

Tanpa menoleh Hinata memanggil Sasuke yang kini menghentikan langkahnya. "Hubungan ini, lupakanlah." Satu titik kembali meluncur, cairan bening yang mendarat di pipinya.

Sasuke terbelalak. Namun sedetik kemudian ia kembali memasang wajah stoicnya. "Hn."

Ia melirik sekilas ke arah punggung Sasuke yang menjauh. Lantas berteriak lepas pada laut dengan ombaknya yang bergemuruh. Lalu menangis. Berharap mampu menutupi luka yang di torehkan di hatinya.

Ia membenci dirinya yang terus berpura kuat di hadapan Sasuke.

Ini bukan tentang patah hati.

Tetapi tentang aku yang menangis karena masih sangat mencintaimu, Sasuke.

.

.

.

.

.

.

.

.


Pendingin ruangan, suaranya seolah terdengar begitu jelas. Halus dan dingin. Memenuhi seluruh ruangan berwarna merah terang. Di ruangan persegi yang di jadikan tempat menonton televisi itu seorang gadis tengah berdiri. Di samping sebuah nakas, di depan jendela besar yang menyuguhkan pemandangan taman mungil yang di hiasi oleh tanaman bunga yang sama sekali tidak ia sukai.

Gaun tidur berwarna putih masih melekat di tubuh indahnya. Mencetak jelas tiap lekuk tubuhnya yang begitu ramping namun berisi pada bagian-bagian tertentu di tubuhnya. Rambutnya tergerai dengan poni panjang yang ia sisir kebelakang dengan jarinya. Tak kusut, lembut terawat sekalipun ia baru terbangun dari mimpinya yang sama sekali tak ia ingat.

Secangkir teh mengepul, asap yang begitu tipis mengguar dari sebuah mug bergambar animasi abstrak yang sangat ia sukai. Tak berniat untuk mencicipi. Ia biarkan teh itu tetap utuh, dengan takaran yang masih sama ketika ia baru menyeduhnya. Ia tidak berselera hanya untuk meneguk atau bahkan mencicipinya. Mood nya sedang tidak baik, guratan lelah meskipun ia baru terbangun dari istirahat panjangnya tak mampu tersamarkan di kulit wajahnya yang halus.

Layar di handphone pintarnya menyala, tanpa suara mampu ia tangkap melalui ujung matanya yang bulat. Ia memejamkan matanya beberapa saat sebelum melangkah mendekat pada meja kaca berbentuk bundar yang berada di tengah ruangan. Di samping sofa minmalis yang terlihat manis.

Sederet kata, merangkai sebuah kalimat yang mampu ia ingat. Tidak, ia bahkan sudah ingat semenjak ia tiba di bandara kemarin lusa. Inilah alasan untuk ia pergi ke Kota ini.

Undangan Reuni.

Tidak. Ada sebuah alasan lain di balik kedatangannya yang sudah ia rencanakan.

.

.

.

.

.

.

.

.

続ける


Segitu dulu ya? Saya kuatir mata kalian akan lelah dan kalian akan jenuh membaca fic yang berkepanjangan ini. Target sih cuman dua chapter aja, two-shot lah ;)

.

.

.

Guest : Saya mau bayar utang T.T gomen lamaa sekali temponya (?) apa yang di takutkan? Lawanlah rasa takutmu itu :D jangan panggil saya Sensei ya ;) terimakasih banyak

vita : saya udah bikin squel lagi. Maaf lamaa. Terimakasih banyak ya jangan panggil saya sensei.

aishu08 : Terimakasih banyak

chibi beary : Ide yang bagus #plak. Terimakasih banyak.

YUYA : Memang #cengengesan. Saya sengaja kok bikin kaya gitu #dor. Ini sudah saya buat squelnya. Terimakasih banyak ya.

enrique : Jujur aja ya, review dari kamu yang bikin saya punya alsan buat maksain nerusin ini fic dalam waktu dekat. Domo arigatou.

A/N : Jujur saya sendiri lelah dengan fikiran saya yang ga pernah bisa menyelesaikan cerita dalam satu kali duduk. Selalu saja menginginkan ending gantung dan menyesatkan para reader dalam rasa penasaran sehingga hampir semua reviewer meminta squel. Karena reviewers adalah raja, maka dengan senang hati saya mengabulkan permintaan yang (jujur) saya tidak keberatan.

ありがとう

.

Someiyoshino Amari, 19 Juni 2014