"Ti-tidak! TIDAK! HENTIKAAAANN!"
Seringai ditunjukkan.
"Henti—mph!"
Permohonan berurai air mata diabaikan.
Sraaats!
"MMMPH! MMMPPPPHH!"
Satu tangan meredam teriakan dan tungkai menahan segala pemberontakan.
CRASH! CRASH! CRASH!
Anyir darah langsung mengudara setelah tiga tusukan kematian—menembus jantung—dilayangkan; menyesakkan rongga pernapasan dengan baunya yang cukup menyengat. Cairan amis itu sedikit menggenang, membasahi jalan yang sepi dan jarang dilalui orang. Jangan lupakan tembok di sekitarnya yang juga ternoda oleh terjangan likuid yang sama. Lalu … mengotori surai pirang yang tergeletak tak bergerak itu dengan bercak yang berwarna senada—merah.
Sesosok manusia tengah mencoba bersembunyi dari sorotan rembulan dengan mengambil tempat yang dipenuhi bayang-bayang gedung tinggi. Sosok itu pun tersenyum puas akan hasil kerjanya.
Ia kemudian menarik syal yang ia gunakan hingga semakin menyembunyikan bagian wajah dari dagu sampai hidung.
Tanpa membuang waktu, sosok itu pun menjauh dari lokasi yang sedikit banyak terlihat bagaikan replika neraka di atas bumi. Setelah membelok di salah satu gang dan kemudian meluncur ke jalan besar.
Lalu, gelap menelan kembali sosok algojo tengah malam tersebut.
4 : THE BLONDE
Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto
I'll never gain any commercial advantages by making this fanfic.
Fanfic is just for fun, right? ;)
Story © Sukie 'Suu' Foxie
Genre: Mystery / Drama / Crime / Romance
SasuIno / SasuShion / KibaIno / KibaShion / etc.
Warning: probably OOC. Rate's changed into T. But I guess I can say it semi-M as consideration. :D
Case 1. First Page
Kicau burung sudah ramai bersahut-sahutan. Matahari semakin tinggi menjelang. Dan seorang gadis berambut pirang pucat kini sudah siap dengan sebuah tas yang tersampir di bahunya.
Gadis itu—Yamanaka Ino—segera keluar dari kamar dan mendapati ayahnya tengah fokus pada layar televisi dengan tangan yang menggenggam pegangan mug berisi sesuatu yang tampak panas—terlihat dari kepalan uap yang membumbung samar.
"Ohayou, Otousan," sapa Ino sambil memeluk ayahnya dari belakang.
"Oh? Ohayou, Ino-chan," jawab sang ayah sambil tersenyum, "ayo, sarapan dulu? Tousan sudah menyiapkan roti panggang dengan telur mata sapi untukmu."
"Wah, arigatou, Otousan," jawab Ino sambil menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya. Ia kemudian menarik kursi lain yang ada di sebelah kiri dan meletakkan tasnya di atas sana. Mata aquamarine gadis itu kemudian ikut menyorot ke televisi, tepat saat tayangan mengarah pada reporter yang tampak tengah menjelaskan situasi.
"Saat ini jenazah korban sudah dievakuasi dan orang tua korban yang mengetahui anaknya menjadi korban tidak dapat menahan jerit tangis mereka."
Sesaat, Ino mengerutkan kening mendengar berita tersebut. Tampaknya ia ketinggalan berita utama karena sedetik kemudian, tampilan gambar pun berubah. Berita selesai.
"Mengerikan sekali, ya … pembunuhan. Ini sudah yang kedua kalinya dalam bulan ini."
"Humh?" jawab Ino sambil melihat ke arah ayahnya. Tangannya kini sudah memegang sebuah roti berwarna kuning kecokelatan—warna wajar mengingat roti tersebut sudah dipanggang terlebih dahulu. "Jadi berita tadi tentang pembunuhan?" tanya gadis itu sebelum ia melahap pinggiran roti dengan perlahan-lahan.
Inoichi mengangguk. "Korbannya perempuan." Mendadak, pria paruh baya itu langsung melihat ke arah putri semata wayangnya. "Ino-chan, kalau tidak ada perlu, jangan pulang terlalu malam, ya? Lalu, kalau memang mendesak, sebaiknya kautelepon Tousan. Atau … ah! Kau bisa minta diantar pulang oleh Sasuke."
Sesaat gerakan mulut Ino terhenti. Entah Inoichi menyadari atau sekadar menganggapnya sebagai pertanda tak berarti, yang jelas, pria itu kembali membuka mulut untuk menasihati. "Kau kan akhir-akhir ini sering pulang malam. Kemarin, pukul berapa kau pulang, eh? Pokoknya …."
"Iya, iya," potong Ino sambil meletakkan rotinya yang tidak habis di atas sebuah piring datar berwarna gading dengan telur mata sapi yang bahkan belum tersentuh, "aku pasti akan berhati-hati. Dan, yah … aku akan meminta Sasuke-kun mengantar pulang kalau memang aku harus pulang terlambat."
Inoichi memandang Ino dengan alis yang sudah berkerut. Baru saja ia hendak bertanya mengapa Ino tidak menghabiskan sarapannya, Ino sudah memberikannya sebuah jawaban sementara mata gadis itu terfokus penuh pada jam mungil yang ada di pergelangan tangan kirinya.
"Otousan, aku sudah harus berangkat sekarang." Ino berdiri dan menarik tali tas selempangnya. "Jaa," pamit Ino sembari mengecup pipi Inoichi. "Ittekimasu."
"Aa ... itterasshai," jawab Inoichi akhirnya. Sang kepala keluarga Yamanaka masih bergeming di tempatnya dengan mulut terkatup. Tatapan matanya masih senantiasa mengekori gerakan putrinya hingga gadis itu hilang dari pandangan.
Sejenak, perasaan tidak nyaman mulai menggerogoti dada Inoichi. Pada dasarnya, Inoichi bukan seseorang yang terlalu mengandalkan intuisi. Namun, entah mengapa ia merasa begitu gelisah sekali ini.
Inoichi menggelengkan kepala—berusaha mengendalikan situasi. Namun, sesuatu terasa terus menggelitik emosi yang datang tanpa permisi. Sampai akhirnya, ia pun bersuara untuk meyakinkan diri.
"Tidak. Tidak akan terjadi apa-apa."
o-o-o-o-o
Uchiha Sasuke.
Nama itu terus terngiang dalam benak Ino.
Sosok pemuda Uchiha yang bisa dibilang mendekati kesempurnaan. Sosok serbabisa yang selalu menjadi pujaan nyaris semua kaum hawa. Sosok yang pernah begitu dekat mengisi harinya.
Uchiha Sasuke—mantan kekasihnya.
Ino menghela napas begitu dua kata itu mendarat. Ino tidak ingin mengingat, tapi kemunculannya memang tidak pernah memerlukan syarat.
Gadis itu pun mengeratkan pegangan pada tali tasnya. Kakinya terus bergerak ke satu arah yang pasti. Rutinitas membuat Ino tidak perlu lagi memikirkan hal yang lebih sepele seperti mencari jalan. Melirik jam tangannya sekilas, Ino bahkan bisa memperkirakan pukul berapa dia akan sampai di universitasnya.
Setelah perjalanan yang tidak lama dari rumahnya, Ino berhenti sejenak di halte hingga bus yang dinantinya tiba. Ia pun menaikinya dan memilih satu tempat duduk yang berada cukup jauh di belakang.
Lalu, ia pun kembali pada pemikiran-pemikirannya tentang Uchiha Sasuke.
"Maaf. Kita harus putus."
Ino menyandarkan kepalanya ke jendela bus.
"Apa? Ke-kenapa mendadak?"
Tatapan gadis itu semakin menerawang.
"Aku … sudah ditunangkan dengan seorang gadis."
Kedua tangan Ino yang terletak di atas kedua pahanya mengepal semakin erat. Bayangan akan kejadian yang baru terjadi sekitar dua minggu lalu itu kembali mencuatkan luka. Sakit hati—ya. Sedih, marah, kecewa. Sasuke tidak menunjukkan sedikit pun usaha untuk mempertahankannya. Pemuda itu meminta putus dan kemudian meninggalkan Ino menangis dalam kegusaran.
Kenangan yang sangat … pahit.
Tanpa Ino sadari, bus sudah berhenti untuk kembali mengangkut penumpang. Ino tersentak sejenak dan keluar dari lamunannya. Dengan gerak yang bagaikan refleks, Ino melihat ke luar dari jendela yang ada di samping kirinya. Tanpa terasa, ia sudah setengah jalan menuju universitasnya. Memikirkan hal-hal tentang Sasuke dan alasan mengapa mereka putus membuat Ino selalu kehilangan orientasi.
Ino mencintai Sasuke. Sangat.
Gadis berambut panjang yang senantiasa dikuncir kuda itu telah begitu berusaha sampai akhirnya Sasuke mau menerimanya. Itu cerita zaman SMA, setahun yang lalu. Namun, masih hangat dalam ingatan, bagaimana Ino mati-matian bersaing dengan Sakura sampai akhirnya ia-lah yang keluar sebagai pemenang. Saat itu, Ino rasanya bagaikan berada di surga. Sakura yang kecewa membuat Ino hanya bisa menyunggingkan senyum bersiratkan kata 'maaf'.
Ya. Itu adalah cerminan masa lalu. Jika menilik kondisi sekarang, Sakura yang sudah bersama Naruto-lah yang akan berbalik menyunggingkan senyum prihatin padanya. Oh—Ino sangat tidak suka dikasihani. Sayangnya, ia juga tidak bisa berbuat apa pun untuk membalas senyum Sakura. Ia bahkan tidak bisa lagi berteriak bahwa ia akan merebut hati Sasuke kembali.
Semuanya sudah hancur sampai ke akar. Surganya telah terbakar. Pintu neraka telah terbuka layaknya sebuah abatoar. Ini adalah kenyataan; bukan kabar yang samar. Mimpinya telah terhalang—terabar.
Ino tersenyum miris. Dia tahu bahwa ia tidak boleh terus begini. Tapi ia tidak bisa berhenti. Semua masih terasa rancu—benaknya belum bisa menerima kalau ia adalah 'yang ditinggalkan'.
Berhentinya bus untuk kedua kalinya menjadi tanda bagi Ino untuk segera turun. Setelah turun dari saran transportasi yang langsung berlalu pergi, Ino berjalan gontai ke arah gedung yang berdiri cukup tinggi tidak jauh dari tembahnya saat ini. Lima menit—mungkin kurang dari itu.
Begitu kaki Ino menapak di pelataran universitas, mata aquamarine-nya langsung singgah pada pasangan yang sangat dikenalinya. Di tempat seluas universitasnya, entah bagaimana mata Ino selalu bisa menangkap kedua sosok tersebut. Sosok-sosok yang selalu membuat dadanya mendidih oleh amarah dan beku oleh kesedihan.
Uchiha Sasuke dan tunangannya—Akuyami Shion.
Sesaat, Ino mengernyitkan alis dengan perasaan jijik dan kesal yang tidak ia sembunyikan sebelum ia membuang muka—berusaha sekuat tenaga untuk tak acuh. Dan selanjutnya ia berjalan menuju ruang yang akan menjadi kelasnya untuk mata kuliah pertama.
o-o-o-o-o
"Tadi itu mantan pacarmu, 'kan, Sasuke-kun?"
"Hn," jawab pemuda berambut hitam yang dipanggil 'Sasuke-kun' itu. Setelah jawaban tidak jelas yang dilontarkannya, gadis berambut pirang yang berada di sebelahnya seketika itu terkikik. "Apa?"
"Kelihatan sekali kalau dia berusaha menghindarimu, hm?" tambah si gadis bernama Shion sembari memainkan jarinya di dada Sasuke. "Pasti dia belum bisa menerima kenyataan ini, ya?"
Sasuke tampak mengacak rambutnya dengan sebelah tangan. "Dia masih suka mengirimiku mail kosong."
Sekali lagi, Shion terkekeh.
"Apa boleh buat? Lolongan pecundang, Sasuke-kun." Shion menarik tangannya dari dada Sasuke dan dengan lembut, gadis itu langsung menggandeng tangan Sasuke. "Kalau kau begitu tergganggu, ganti saja alamat email-mu?"
"Hn."
Setelah itu, pembicaraan mengenai Yamanaka Ino pun terhenti di sana.
o-o-o-o-o
Ruang kelas terasa hening tatkala dosen tengah mengajar di depan kelas. Meskipun demikian, siapa yang tahu apa saja tepatnya yang dilakukan para mahasiswa? Mereka tak ubahnya anak SMA yang mendapat gelar baru. Dan beberapa jam—yang bagaikan beberapa abad—tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Tentu, mendengarkan dosen mengajar akan menjadi opsi terakhir dari sebagian besar mahasiswa.
Sebagaimana yang terlihat, beberapa di antaranya justru tengah sibuk membicarakan sesuatu yang tidak penting dan kemudian mati-matian menahan tawa. Yang lain tampak menulis sesuatu di kertas dan memberikannya pada orang di sebelah; bertukar pesan dengan cara yang cukup kuno. Ada pula yang sekilas tampak menyimak, buku besar diberdirikan dan tatapan mata tertuju penuh pada … manga yang berada di balik buku besar tersebut. Bisa dibilang, mereka yang benar-benar mendengarkannya hanya sekitar satu persen dari keseluruhan jumlah murid di kelas tersebut.
Dan Ino … ia juga tidak termasuk dalam satu persen tersebut. Di balik mejanya, Ino menggenggam sebuah ponsel. Ibu jarinya sesekali menekan tombol di tengah, menggeser layar ponsel untuk beralih pada halaman selanjutnya. Sesekali, gadis itu tersenyum kecut dan mendecih. Di kali lainnya, ia tampak mati-matian menahan tangis.
Perihal putus dari kekasih memang bukan hal yang mudah bagi setiap pasangan. Selalu ada hal bernama kenangan yang membelenggu kesiapan untuk melepaskan. Dan bagi Ino, kenangannya bersama Sasuke begitu tidak tergantikan. Setahun memang bukan waktu yang lama, tapi juga bukan waktu yang sebentar.
Sasuke yang biasanya bersikap dingin selalu menunjukkan perhatian pada Ino. Hanya pada Ino. Pemuda itu selalu menunjukkan sesuatu yang tidak pernah diperlihatkannya pada orang lain. Hanya pada Ino.
Itu bukan sekadar sandiwara—Ino tahu. Karena itulah, semuanya terasa aneh bagi gadis Yamanaka tersebut. Beberapa pertanyaan besar selalu bermuara di otaknya.
Kenapa Sasuke seakan tidak lagi peduli padanya?
Kenapa Sasuke tidak mau mempertahankannya?
Seberapa berarti keberadaan Ino bagi Sasuke sebenarnya?
Apakah semua kebaikan yang pernah ditunjukkan pemuda itu hanyalah ilusi?
Apa waktu selama setahun ini hanyalah cerita yang tidak berarti?
"Ah! Waktunya sudah habis." Suara dosen yang tiba-tiba memaksa masuk indra pendengaran Ino tak ayal membuat gadis itu tersentak. Panik, Ino langsung menyimpan ponselnya—meski itu tidak lagi menjadi tindakan yang berarti. "Kita lanjutkan minggu depan."
Dan kasak-kusuk berubah menjadi gelak tawa yang tidak lagi disembunyikan. Beberapa anak pun langsung berdiri dari kursinya bersamaan dengan gerakan sang dosen yang semakin mendekati pintu keluar.
Ino menghela napas panjang. Ia kemudian memasukkan buku-buku yang sama sekali tidak disentuhnya ke dalam tas. Baru saja ia hendak beranjak, tepukan di bahunya membuat Ino terpaku di tempat.
"Ino-chan mau ke mana?" tanya seorang gadis berambut cepol dua yang Ino ketahui merupakan seorang keturunan negeri tetangga.
"Tenten …."
"Kalau tidak ada kegiatan, ikut kita-kita, yuk?" ajak gadis keturunan China bernama Tenten tersebut sembari menunjuk ke belakangnya.
Ino mengikuti arah jempol Tenten dan mendapati beberapa temannya sedang asyik berbicara satu sama lain. Namun, menyadari pandangan Ino, salah satu pemuda berambut cokelat gelap yang berada dalam kelompok tersebut langsung berhenti berbicara dan menengok ke arah Ino.
Sesaat, tatapan mereka bertemu dalam keheningan. Mendadak saja pemuda itu pun mengangkat sebelah tangannya sembari memberikan suatu cengiran yang cukup menggoda di mata Ino. Berkat itulah, Ino langsung melengos, kembali melihat ke arah Tenten.
"Bagaimana, Ino-chan?" tanya Tenten lagi.
"Mau ke mana?" tanya Ino sembari menyampirkan tas di bahu kirinya.
"Yah … ke mana saja. Kita bersenang-senang! Makan, karaoke, game-center, bowling …."
Beberapa saat diisi dalam keheningan. Jika mengikuti sisi melankolisnya, tentu Ino akan memilih menolak. Mungkin sendiri akan lebih menyenangkan—menghabiskan waktu dengan lagu-lagu sedih sembari membaca novel romansa picisan. Membiarkan air mata mengalir untuk melepas kegundahan yang masih lekat menggerayangi.
Namun, mengikuti nurani, ajakan Tenten itu adalah suatu tiket yang menggiurkan. Yah, bagaimanapun akhir-akhir ini hidupnya hanya diisi oleh kemurungan. Satu hari yang menggembirakan tentu akan jauh lebih baik untuk kondisi psikologisnya. Lebih dari itu, mungkin ini saat yang baik untuk mengubah nasib?
Siapa yang tahu?
o-o-o-o-o
"Ada apa, Sasuke-kun?" tanya Shion saat melihat Sasuke tak juga beranjak dari tempat duduknya. Pemuda itu tampak memandangi ponselnya yang berwarna hitam dengan tatapan serius. "Ada apa, sih?"
Tanpa menunggu persetujuan Sasuke, Shion langsung merampas ponsel yang menjadi sumber permasalahan. Selesai membaca pesan yang tertera di sana, Shion seketika mengernyitkan kening. Sesaat, tatapan gadis itu menjadi sulit diartikan.
"Siapa itu Temari? Dan apa maksudnya dia mengirimkan mail seperti ini padamu?"
Sasuke menghela napas. "Dia kakak kelasku dulu di SMA. Dari keluarga Sabaku. Dia juga berkuliah di sini, jurusan desain kalau aku tidak salah. Dan aku tidak tahu apa maksudnya mengirimkan pesan seperti ini."
Shion menutup ponsel flip Sasuke dengan kasar. "Sepertinya dia belum paham kalau kau itu sudah menjadi milikku, ya? Oke, tampaknya dia harus diberi pelajaran sedikit."
Sasuke sudah hendak mengatakan sesuatu tapi urung begitu ia melihat seorang gadis lain masih ada di ruangan itu bersama mereka. Merasa tertangkap basah oleh Sasuke, gadis berambut cokelat terang dengan potongan pendek itu pun pun buru-buru membereskan barangnya yang tersisa dan beranjak dari kelas itu secepat yang ia bisa. Namun, belum sampai gadis itu benar-benar pergi, suara Sasuke yang tenang masih sempat tertangkap oleh kedua gendang telinga gadis tersebut.
"Sudahlah, Shion. Tidak perlu melakukan hal yang tidak penting. Toh aku tidak peduli dengannya." Sasuke memberi jeda sejenak. "Ada yang lebih penting …."
o-o-o-o-o
Saat bersenang-senang, waktu akan terasa lebih cepat berlalu dibandingkan saat kau harus duduk diam di kelas dan memerhatikan dosen mengajar. Idiom yang selalu terasa tepat bagi siapa pun yang berstatus pelajar. Bahkan terkadang, para pekerja kantor pun merasakan hal yang sama.
Inilah yang terjadi pada Ino. Bersama Tenten dan teman-temannya yang lain, Ino benar-benar menikmati waktunya. Tanpa terasa, nyaris lima jam sudah mereka habiskan bersama. Garis keunguan sudah mencuat keluar di langit. Panggilan untuk pulang seakan berdentang secara tidak lisan.
"Haah! Hari ini menyenangkan sekali, bukan?" seru Tenten sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi—setengah mengulet. "Rasanya seperti kembali ke masa-masa SMA."
"Masa SMA memang masa yang menyenangkan, tapi sekarang pun bukan masa yang menyebalkan. Kita tetap harus menjalani hari-hari kita dengan semangat seperti saat SMA dulu!" timpal seorang pemuda dengan model potongan rambut bob yang sedikit nyentrik. Pemuda bernama Rock Lee ini selalu dan selalu saja meneriakkan hal-hal semacam 'semangat' atau 'jiwa muda yang membara'. Dan teman-temannya, selalu dan selalu saja tidak bisa tidak tersenyum geli melihat perangainya.
"Oh, tidak lagi, Lee," jawab Tenten sembari memutar bola mata—bosan.
"Hei, apa yang akan kita lakukan sekarang? Pulang?" tanya pemuda berambut cokelat dengan tato berbentuk segitiga terbalik di masing-masing pipinya.
"Yang benar saja?" ujar Ino sambil terkekeh. "Ayolah? Masa kalian mau pulang sekarang? Aku baru saja merasa kalau hari ini akan jadi hari yang menarik!"
Sekejap saja, empat pasang mata memandang ke arah Ino. Ino menyunggingkan senyum keheranan.
"Apa? Ada yang salah dengan kata-kataku?"
"Tidak," jawab seorang pemuda lain berambut keperakan sembari menunjukkan gigi-giginya yang tajam, "Yamanaka benar. Ini belum saatnya untuk pulang."
"Yah … Suigetsu sudah setuju, sih …." Tenten menimpali sembari menggaruk kepala belakangnya. "Kalian bagaimana?"
"Heh! Perlu ditanyakan lagi?"
"Dengan semangat masa muda!"
Ino tertawa. Pilihannya untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya ini bukanlah pilihan yang buruk. Nyatanya, bersama mereka Ino nyaris tersenyum sepanjang hari.
Bayangan Sasuke yang selalu mengganggu pun seakan mengabur.
Walau itu mungkin hanya akan bertahan untuk sementara.
o-o-o-o-o
Meski waktu belum menunjukkan tengah malam, tapi suasana di lorong jalan itu begitu sepi. Tidak ada orang yang berlalu lalang di sana—bahkan orang akan cenderung menghindarinya. Terutama wanita muda. Atau itulah stereotip yang berlaku bagi orang kebanyakan.
Tapi tampaknya apa yang berlaku bagi orang banyak, tidak berlaku bagi Kumono Samui. Gadis cantik berambut pirang dengan potongan bob pendek yang memiliki tubuh seksi ini memilih untuk berdiam di lorong kosong yang bahkan membuat sinar rembulan pun enggan menerobos.
Memainkan tutup pemantiknya beberapa kali, gadis itu akhirnya menekan picu pemantik dan membiarkan api menyala. Bayangan gadis yang memiliki tinggi sekitar 170 cm itu sesaat terpantul di tembok berwarna keabuan dan menghilang bersamaan dengan api yang kembali padam.
Kepulan asap rokok sekonyong-konyong memenuhi lorong itu. Beberapa kali Samui mengembuskan rokok tersebut sebelum kepalanya kembali menoleh ke kanan dan kiri. Mendapati apa yang ditunggunya belum juga datang, Samui pun mendecak kesal. Ia yang biasa dikenal karena sifat yang tenang tentu tidak akan bisa tetap bertahan seandainya sudah dibuat menunggu selama nyaris satu jam lamanya.
Samui melirik jam tangannya.
Lima menit lagi dia tidak datang, aku tidak akan menunggunya lebih lama. Lagi pula, ada perlu apa, sih, dia? Kami bahkan tidak satu jurusan. Hanya beberapa kali bertemu di perpustakaan universitas.
Demikian pikir Samui sementara ia mencoba menyamankan posisinya. Disandarkan tubuhnya yang tegap dan ramping itu ke dinding di belakangnya. Sebelah tangannya kini terletak tepat di bawah dadanya—menyangga tangan lainnya yang sesekali memainkan rokok.
Baru saja Samui melemparkan rokok yang sudah pendek itu, sebuah suara mengejutkannya. Spontan, Samui menolehkan kepala.
"Oh. Kau! Lama sekali," sapa Samui sembari menenangkan kembali debar jantungnya yang sesaat menggila. Mungkin saat itu, penyesalan sedikit terbersit dalam benak Samui—kenapa ia mau saja menerima tawaran orang di hadapannya untuk bertemu di tempat yang sepi. Namun, toh ia menyanggupi karena orang di hadapannya itu tidak terlihat berbahaya.
Walau penawaran itu sangat menarik bagi Samui karena dapat memberikan keuntungan tersendiri baginya, tapi pada dasarnya, sesuatu di dalam hati kecil Samui sudah berteriak-teriak memperingatkan. Sayang ia mengabaikan peringatan itu dan memilih untuk datang dan meraup segala keuntungan yang bisa diambilnya.
Sementara Samui mulai menggerak-gerakkan ujung kakinya untuk melumat puntung rokok yang baru dibuangnya, sosok di hadapannya masih saja bergeming di tempat.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau berpakaian seperti itu, sih? Mengerikan, tahu?"
Sosok bertudung kehitaman itu tetap memilih bungkam. Matanya masih terus mengikuti pergerakan kaki Samui. Dan begitu kaki itu berhenti bergerak—
"Hei? Kau mendadak bisu atau apa?"
—ini adalah tanda baginya untuk memulai.
o-o-o-o-o
"Maaf lama menunggu," seru Ino pada teman-temannya yang tengah menanti, "tadi toilet wanitanya penuh."
"Santai saja, Ino-chan," jawab Tenten sambil mengedip. Gadis berambut cokelat yang dicepol itu kemudian memandang teman-temannya yang lain. "Nah, guys. Sudah waktunya kita pulang." Tenten mengerling ke arah arloji yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. "Sudah pukul 10."
Suigetsu mengangguk setuju. Tentu ia kini merasa kelelahan, mengingat betapa banyaknya kegiatan yang sudah mereka lakukan dalam satu hari. Setelah Suigetsu mengangguk, Tenten kemudian kembali memandang Ino.
"Ino-chan?"
"Iya. Ayo pulang. Aku juga sudah lelah," jawab Ino dengan raut wajah yang masih terlihat cukup ceria.
"Wow? Wajahmu mengkhianati perkataanmu, Ino," timpal Kiba sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ino hanya tertawa mendengar pernyataan Kiba.
"Oke. Kalau gitu ayo pulang?" ajak Lee. "Ah, Ten! Biar kuantar! Kau satu arah denganku, 'kan? Lagi pula, bahaya kalau perempuan pulang sendiri," jelas Lee dengan nada yang juga masih menunjukkan semangatnya.
"Iya, iya. Sudah pasti. Kalau kau tidak menawarkan, aku tentu akan memaksamu untuk mengantarku," ujar Tenten kemudian sambil menepuk-nepuk bahu Lee. Gadis yang juga cukup semangat ini kemudian menunjuk ke arah tiga personil yang tersisa. "Siapa pun dari kalian, antar Ino pulang, okay?"
"Kurasa aku searah dengan Ino. Aku bisa mengantarnya," tawar Kiba pertama kalinya. Pemuda itu sedikit mengangkat bahu sebelum melirik ke arah Suigetsu. Suigetsu sendiri hanya menyeringai dengan kepala yang sedikit dimiringkan.
"Kalau begitu … maaf merepotkan, ya, Kiba?" ujar Ino sambil tertawa kecil.
"Baiklah, sudah diputuskan, ya?" ujar Tenten yang saat itu tengah melipat tangannya di depan dada. Tak lama, gadis itu pun bergerak di samping Lee sebelum ia melambai pada teman-temannya yang lain. "Jaa, mata ashita, minna!"
o-o-o-o-o
Perjalanan ke rumah Ino dari game center yang terakhir mereka kunjungi tidak membutuhkan waktu lama. Kurang dari tiga puluh menit dan kini Ino serta Kiba sudah berada di depan kediaman Yamanaka yang tidak terlalu mewah tapi terlihat apik. Taman kecil di halaman depan dihiasi bunga-bungaan yang membuat kediaman Yamanaka tampak menarik perhatian bagi orang-orang yang lewat di dekat sana.
Dan Kiba yang baru pernah ke rumah Ino hanya bisa mendecak kagum mengomentari keindahan taman yang samar-samat terlihat oleh matanya. Ino pun menanggapinya dengan sebuah tawa renyah.
"Yah … ini hobiku dan Tousan. Akan terlihat lebih indah kalau kau datang saat matahari masih benderang."
"Hm …." Kiba mengangguk-angguk sambil menyentuh dagunya. "Kudengar kau juga punya toko bunga, bukan?"
"Begitulah. Kami hidup dari bunga-bunga," tambah Ino sambil mengedikkan bahunya sedikit.
"Menurutku itu cukup keren," ujar Kiba sambil tertawa, "suatu saat aku akan membeli bunga di tempatmu."
"Aku akan menunggu kedatanganmu." Ino kembali tertawa kecil. Ya—sudah untuk keberapa kalinya Ino tertawa hari itu. Perasaannya jadi sedikit … ringan. Tapi mungkin hanya sampai di sini. Saat Ino kembali pada kesendiriannya di kamar, siapa yang tahu apa yang mungkin dilakukan gadis itu.
"Nah, Kiba. Kurasa aku harus masuk sekarang," ujar Ino sembari menunjuk ke arah rumahnya. "Kau juga, sebaiknya kau segera pulang sebelum malam makin larut."
"Yeah …."
Ino mengangguk dan sudah berbalik, berjalan beberapa langkah saat suara Kiba kembali terdengar.
"Ino," panggil Kiba tepat sebelum Ino membuka pintu rumahnya. Karena itulah, Ino mengurungkan niatnya sejenak untuk masuk dan justru membalik tubuhnya—kembali menghadap ke arah Kiba.
"Ya?" tanya Ino singkat.
"Kurasa … sampai jumpa besok?"
Nada keraguan terdengar dari mulut Kiba. Entah mengapa, Ino merasa ada sesuatu yang disembunyikan pemuda itu. Tapi untuk sekarang, Ino tidak mau memikirkannya. Ia terlalu lelah. Tubuh dan otaknya sudah terlalu lelah.
"Ya. Sampai besok," jawab Ino sambil memberikan sebuah senyum dan anggukan. "Selamat malam."
Dan setelahnya, tanpa menunggu jawaban Kiba lebih lanjut, gadis Yamanaka itu pun masuk ke dalam rumah. Membiarkan Kiba berdiri diam di tempatnya selama beberapa saat. Pandangan penuh makna dari mata yang menyipit itu dilayangkan Kiba meski Ino tidak lagi tertangkap retinanya. Entah apa yang dipikirkannya, alisnya terlihat sedikit mengerut.
Beberapa sekon berlalu. Akhirnya, pemuda berambut cokelat itu pun memilih untuk melangkah menjauh dari kediaman Yamanaka.
o-o-o-o-o
Detik demi detik berlalu. Menit mengubah satuan jam. Malam pun berganti pagi. Pagi yang terlihat normal sebagaimana biasanya. Langit berwarna biru—cerah. Dan burung-burung bersahutan ringan.
Sungguh. Itu hanyalah suatu pagi yang biasa, yang tidak berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Tidak ada yang istimewa. Namun, entah mengapa, pagi itu Ino terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Tidurnya terasa begitu nyenyak kemarin. Dan karenanya, ia bahkan bisa bangun lebih awal meski hari itu ia tidak ada kuliah.
Masih dalam balutan piyamanya, Ino melangkah keluar kamar. Mengedarkan pandangan, Ino tidak menemukan sosok ayahnya di mana pun. Ia pun melangkah ke arah meja makan. Di sanalah ia menemukan sebuah pesan.
Seperti biasa, jika sang ayah harus pergi lebih awal ke toko, beliau pasti meninggalkan secarik kertas agar Ino tidak kebingungan. Walau Ino bukan anak kecil yang akan menangis saat tidak berhasil menemukan ayahnya, setidaknya ia akan jauh lebih tenang jika menerima pesan. Kebiasaan yang membantu menghilangkan kecemasan.
Menguap sekali, Ino kemudian menarik salah satu kursi yang ada di dekat meja makan. Ia kemudian dengan iseng menarik koran pagi yang sudah dibawa masuk ayahnya mendekat. Ino menduga bahwa ayahnya itu belum sempat membaca korannya sama sekali—terlihat dari lipatan koran yang masih rapi.
Di halaman awal Ino langsung menangkap suatu judul yang menarik; 'Pembunuhan Berantai Gadis Berambut Pirang?'. Demikianlah judul itu berhasil membuat Ino mengerutkan alis. Dibacanya baik-baik paragraf demi paragraf yang tertera di lembaran kertas koran tersebut. Akibatnya, alis gadis itu berkerut semakin dalam dan matanya berkilat akibat suatu enigma yang sulit dimengerti.
Ino memutuskan menutup kembali koran tersebut dan melemparnya sedikit menjauh. Setelahnya, gadis itu menempelkan dahinya di permukaan meja sehingga rambutnya yang ia biarkan tergerai saat itu berjatuhan sedemikian rupa—menghias meja makan.
Beberapa saat kemudian, Ino menggerakkan kepalanya hingga kini pipi kirinyalah yang menempel pada permukaan meja. Perlahan, tangan gadis itu terangkat untuk menyentuh helaian rambutnya. Rambutnya yang berwarna pirang pucat.
Pirang ….
Rambutnya berwarna pirang. Akuyami Shion juga memiliki warna rambut yang serupa dengannya.
Pirang ….
Tentu akan menyenangkan jika Shion yang menjadi korban selanjutnya dari pembunuhan berantai ini.
Pirang ….
Mendadak, Ino tersenyum sendiri akan pemikiran gila yang tiba-tiba saja menghampiri. Ia mengangkat kepala dan menyentuhkan tangannya ke dahi. Setengah menyeringai, gadis itu mulai menyesali sebuah ide yang hendak meracuni.
Sungguh. Bukankah ia sudah hendak melangkah maju? Bukankah kemarin ia sudah bisa melupakan Sasuke sama sekali? Pemikiran konyol itu bagaikan meruntuhkan segala keyakinan yang Ino punya. Seketika. Namun, Ino tahu. Ia tidak boleh terus begini. Hidupnya terlalu berharga jika hanya ingin digunakan untuk terus memikirkan orang yang sudah tidak bisa ia miliki.
Ino pun bangkit berdiri dari posisi duduknya. Setelah menggelengkan kepalanya sekali, ia pun bergumam, "Sebaiknya aku mandi untuk menyegarkan pikiran kembali."
o-o-o-o-o
Hari itu, Sasuke dan Shion mendapat jadwal kuliah pagi. Keduanya seperti biasa datang bersama. Menunjukkan kedekatan yang tentu akan menyebalkan bagi sebagian orang. Yah, meskipun sebagian lagi yang lebih peka akan berkomentar bahwa hanya Shion-lah yang menunjukkan keagresifan sementara Uchiha Sasuke sendiri tetap menunjukkan sifat tenangnya seperti biasa. Yang jelas, keduanya tampak begitu tidak mengacuhkan omongan apa pun yang dilontarkan terhadap mereka.
Namun, sedikit berbeda dari biasanya, pagi kali itu ada topik lain yang juga mulai ramai dibicarakan selain pembicaraan mengenai pasangan Uchiha-Akuyami. Bahkan, bisa dikatakan bahwa topik mengenai dua anak manusia yang diikat tali pertunangan itu nyaris tidak lagi terdengar. Tenggelam oleh berita baru yang segera menyebar.
Pembunuhan berantai gadis berambut pirang.
Topik yang mengerikan, sekaligus mengasyikkan untuk digosipkan. Bahkan beberapa mahasiswa di kelas itu sudah duduk dalam posisi melingkar—beberapa ada yang duduk di atas meja untuk dapat membentuk posisi diskusi yang terbilang nyaman—untuk membahas berita yang pagi ini menghiasi surat kabar mereka meski berita itu belum sampai menjadi headline.
Shion yang samar-samar mendengar pembicaraan mereka seketika itu langsung mengernyitkan alis. Ia pun setengah berbisik pada Sasuke yang duduk di sebelahnya sembari membaca suatu buku.
"Topik yang tidak menyenangkan, bukan?" gumam Shion sembari memutar bola matanya. "Apa orang-orang bodoh tersebut tidak bisa berhenti membicarakannya?"
"Hn," jawab Sasuke tampak tidak tertarik. Bagi Sasuke, bukunyalah yang berhak untuk mendapat perhatian penuh darinya saat itu. Bukan Shion yang egois, bukan juga gosip tidak jelas mengenai pembunuhan berantai yang misterius.
Merasa tidak begitu dipedulikan, Shion kini memutar otaknya untuk bisa segera mendapatkan perhatian sang kekasih. Meski ia bisa saja merebut buku Sasuke dan memaksa pemuda itu untuk melihatnya, kali ini Shion ingin memainkan sesuatu yang lain. Keegoisan yang lain.
Oh—pembunuhan gadis berambut pirang. Tidakkah itu terdengar bagaikan suatu ide yang bagus untuk bisa mengalihkan perhatian Sasuke?
"Hei, Sasuke-kun," ujar Shion sambil mendekatkan tubuhnya ke arah Sasuke, "kau tidak khawatir, hm?"
Sasuke yang mulai merasa bahwa ia tidak bisa meneruskan kegiatan membacanya langsung mengalihkan kedua onyx-nya ke arah sosok Shion yang sudah menempel sedemikian rupa. Ia bahkan menutup bukunya dan meletakkannya di meja yang ada di tepat di depannya.
"Khawatir? Maksudmu?" tanya Sasuke datar sembari menahan tubuh Shion di bagian pinggangnya.
"Mungkin saja aku akan menjadi korban berikutnya, 'kan?" Shion kemudian mengangkat sejumput rambutnya dan mengelus-ngeluskannya ke wajah Sasuke. "Lihat? Rambutku juga berwarna pirang, lho?"
Sasuke menyingkirkan rambut Shion dari wajahnya. "Tidak akan ada yang berani mencelakaimu."
Bukan. Bukan jawaban itu yang diharapkan Shion akan keluar dari mulut Sasuke. Ia ingin agar Sasuke mengatakan kata-kata seperti 'jangan khawatir' atau 'aku akan melindungimu'. Tapi pemikiran semacam itu tentu akan menjadi suatu lelucon. Ini Sasuke yang sedang dibicarakan.
Meski demikian, jawaban Sasuke cukup memuaskan sang gadis Akuyami. Gadis itu pun menyeringai penuh kepuasan. Ia kemudian memeluk Sasuke di lehernya. "Kau benar. Siapa pun yang berani menentang keluarga Akuyami tidak akan ada yang bisa selamat. Bukan, begitu?"
Tanpa sepengetahuan Shion, kewaspadaan Sasuke terhadap gadis itu pun mendadak meningkat.
"Tidak ada yang boleh menentang kami," ujar Shion dengan mulut yang kemudian ia dekatkan ke telinga Sasuke. "Tidak ada. Bahkan Uchiha yang hebat sekalipun …."
"Kau—"
"Heeei! Dengar, dengar!" teriak seorang pemuda berambut kuning terang secara tiba-tiba. "Korban ketiga ditemukan di gang sepi dekat game center milik Sarutobi-Jiisan!"
Teriakan pemuda tersebut spontan langsung mengalihkan perhatian siapa pun yang ada di kelas tersebut. Tidak terkecuali Shion dan Sasuke. Shion bahkan sudah melepaskan pelukannya terhadap Sasuke hanya untuk memusatkan perhatiannya pada berita yang hendak disampaikan si pemuda berambut kuning.
"Kau tahu dari mana, Baka?" tanya seorang gadis berambut merah jambu yang sebelumnya tengah sibuk membahas mengenai kasus pembunuhan berantai yang menghebohkan tersebut bersama teman-temannya. Alis matanya naik sebelah sebagai reaksi ketidakpercayaan pada sang pembawa berita—meski sang pembawa berita adalah kekasihnya sendiri.
"Tadi dalam perjalanan ke sini, aku melihat ada ramai-ramai. Bahkan ada tiga unit mobil polisi di sana!" jawab sang pemuda berambut kuning setengah terengah-engah. "Dan kalian tahu? Korbannya … mahasiswi universitas ini! Dari Fakultas Sastra!"
Seketika, suasana kelas menjadi hening. Napas tertahan untuk sesaat. Sampai akhirnya pekikan ketidakpercayaan pun mengudara di saat yang nyaris bersamaan.
"Ya-yang benar saja? Siapa korbannya?" tanya seorang gadis berambut cokelat pendek. Wajahnya tampak pucat.
"Kudengar, namanya … Kumono Samui!"
***To Be Continued***
Inilah chapter pertamanya! Moga-moga fanfict ini nggak akan terlalu mengecewakan, ya?
EDIT: GYAAH! Lupa bilang. Thanks to Faye Calderonne yang udah bersedia jadi first reader fanfict ini #hug
Yosh, langsung aja beritahukan pendapat, pesan, kesan, kritik minna-san tentang fanfict ini via review~ :""3
I'll be waiting.
Regards,
Sukie 'Suu' Foxie.
~Thanks for reading~
