Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto.

Setting: Alternate Universe (AU) semi Teenlit.

CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. APA BILA ADA KESAMAAN JALAN CERITA DAN KARAKTER ITU HANYA KEBETULAN SEMATA.

.

.

Akabara's Room

.

.

If only you known your future suddenly…

.

.

And if only you can act like you didn't know

.

.

Derai tawa menggema pelan dalam kamar sederhana seorang gadis berambut merah muda yang kini sedang tengkurap di atas lantai menghadap netbook-nya. "Bentar, ya," suara baritone yang keluar dari speaker bagian bawah pada netbook-nya terdengar seiring sosok lelaki berambut pirang menghilang dari layar dua belas inchi tersebut.

Sakura mengangguk, menunggu Naruto dengan sabar, menatapi jendela video chatnya yang kini hanya menampilkan dinding putih bersih yang menjadi background Naruto sedari tadi. Ia memang sedang video chat di tengah malam karena koneksinya lebih bagus.

Satu atau dua menit cukup lama untuknya menunggu, Sakura akhirnya mengangkat bahu. Jemarinya lincah bergerak di atas mousepath bagaikan penari ice skating. Iseng membuka-buka folder demi mengisi waktu menunggu. Jendela video chat-nya pun tiba-tiba tertutup dengan kotak dialog bertuliskan bahwa sambungan terputus.

Sakura mengerutkan alisnya dan segera membuka kolom chat. "Yah mati :(" tulisnya demikian. Namun tidak ada jawaban, tanda terbacanya pesan pun tidak muncul, sampai warna hijau tanda Naruto online kini padam. Bibirnya sukses mengerucut sekarang.

Bukan kebiasaannya berprasangka buruk, Sakura pun memilih menyibukan diri sampai Naruto online kembali. Ia membuka aplikasi e-mail untuk men-download semua e-mail yang masuk tanpa harus membuka website-nya, dan log in akun forum kegemarannya.

Selang beberapa menit saja, ia merasakan cairan mengalir di dalam hidungnya. Ah, berair deh. Pikir Sakura dalam hati karena merasa cukup lama berada di atas lantai mungkin membuatnya flu. Ia pun mengelap asal dengan punggung jemarinya yang bergegas mengetik balasan forum kembali.

Tapi, eh? Jemarinya berhiaskan noda darah? Sakura segera bangkit dari posisi tengkurapnya dan tanpa menunggu waktu lama, darah mengalir terus menerus dari hidungnya. Punggung telapak tangannya sudah bercorak cairan merah segar ketika ia bangkit dan berlari kecil ke kamar mandi.

Kaus putih bergambar hello kitty-nya pun sudah ketetesan. Hingga saat ia menunduk di depan keran yang mengucurkan air, noda kecokelatan mengering di baju putih hello kitty kesayangannya pada bagian dada dekat leher. Kedua tangan Sakura kini tak berhenti mengusap setiap aliran darah yang keluar dengan air biasa dari keran.

Marmer biru kamar mandi sekarang tengah dialiri air bercorak darah merah segar. Itulah yang tertangkap kedua mata hijau si gadis berambut gulali yang saat ini mulai merasakan detak jantungnya dipercepat. Ada apa denganku?

Ia sudah lama tidak mimisan hebat seperti saat ini. Darah tidak kunjung berhenti mengalir sampai ia merasa pegal sendiri dengan posisi menunduknya. Terakhir kali ia mimisan, saat sekolah menengah kejuruan kelas dua. Itu pun karena panas dalam dan tubuhnya sedang demam.

Sekarang? Ia merasa sehat, tidak pusing, tidak kehilangan keseimbangan mau pun sakit kepala. Tidak pula lemas. Tapi kenapa darah terus menerus mengalir keluar dari hidungnya? Pikirannya mulai macam-macam akibat sering membaca fiksi drama remaja.

"Ah, berlebihan," gumamnya tertawa kecil menertawakan diri sendiri. Ketika dirasa sudah cukup lama sampai lima menitan pun darah berhenti keluar. Sakura memastikannya dengan sengaja menghempaskan udara keluar dari hidungnya. Dan tak ada cairan merah, melainkan cipratan air bening keran yang sempat bersarang di hidungnya.

Ia pun meluruskan badannya dan mengelap hidung dengan handuk kecil miliknya yang bergambar sebuah produk suplemen makanan. Memang itu handuk gratisan. Dan ia orang yang amat bangga mengenakan pakaian atau apa pun yang bermerk, tanda kalau ia mendapatkannya dengan gratis tis tis.

Setelah selesai mengelap dan sibuk membanggakan everything gratisnya, Sakura pun keluar kamar mandi sambil menggerakan pinggangnya yang agak pegal karena terlalu lama menunduk di kamar mandi. Ia tak sengaja melihat tetes-tetes darah di atas lantai.

Huh.

Ia membersihkannya dengan keset kamar mandi. Barulah ia merasa tubuhnya lemas. Membersihkan alakadarnya. Sakura segera masuk kembali ke kamar untuk membaringkan tubuhnya yang tiba-tiba seperti gemetaran. Bahkan ia hanya memencet tombol alt plus F4 di netbook-nya beberapa kali untuk menutup semua aplikasi dan mematikannya cepat.

Dalam baringannya, ia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Tubuhnya yang lemas seperti bergerak meminta napas. Sakura berkata sekali lagi dalam hati, "aku… kenapa?"

Tiba-tiba ia teringat memorinya di masa kecil.

Saat kelas tiga sekolah dasar, ia diajak Ibunya pergi ke sebuah wahana yang menampilkan makhluk-makhluk aneh namun mistis. Di mana di sana juga terdapat beberapa peramal yang ramai pengunjung.

Ia kenal betul Ibunya yang mudah penasaran dengan segala hal. Dan saat sang Ibu mencoba meramalkan diri juga anaknya, Sakura, yang Sakura ingat dari peramal itu hanyalah… "bisa sampai kuliah."

Hanya satu kalimat super singkat itu yang dikatakan sang peramal setelah mengamati telapak tangan Sakura. Sedangkan untuk anak-anak lain yang seumuran dengannya, sang peramal bisa berbicara sangat panjang sampai jumlah anak yang akan mereka miliki.

Sampai detik ini, Sakura tidak terlalu memikirkannya. Tapi entah mengapa dengan mengingat kata-kata si peramal di masa lampau itu, Sakura malah berpikir yang aneh-aneh. Ia kan baru saja lulus tahun lalu dan memang berencana kuliah tahun ini.

Jangan-jangan saat aku sudah kuliah akan terjadi sesuatu denganku? Pikirnya lagi dengan ngelantur. Ah, ia menggeleng amat kecil menyangkal pemikirannya dan menganggap itu hanya ia yang ngelantur.

Namun terang dari lampu di langit-langit kamarnya mendadak terlihat melebar. Hingga putih seluruhnya, membuat kepalanya sakit karena matanya merasa ngilu akibat silau …

.

.

Saat ia membuka matanya, yang ia dapati hanya dinding putih bersih di hadapannya. Aroma higenis menyambangi indera penciumannya hingga penglihatannya membaik, barulah ia mendapati dua orang yang sangat ia kenali berada di sebelah tempatnya berbaring.

Ayah dan Ibunya.

"Bangun juga kamu," gumam ayahnya yang easy going person berambut merah muda kusam dan berbentuk bintang. Ia melirik ke arah Ibunya yang diam seribu bahasa, air muka sang Ibu begitu terpaut jauh dengan Ayah yang biasa-biasa saja.

Bukan Ayah tidak pedulian, ia kenal Ayahnya tapi sang Ayah memang seperti itu. Haruno Kizashi memanglah pria tua yang selalu ceria dan menganggap enteng segala hal. Beda dengan Haruno Mebuki yang sedikit-sedikit dibawa pikiran.

Aku di rumah sakit, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa merasakan cairan infus mengalir lewat jarum super kecil yang tertanam di pergelangan kiriku. Aku tidak kaget, juga tidak heran dengan keadaanku. Sepertinya aku sudah tahu ini akan terjadi namun aku masih sangat bingung. Dan… entah mengapa aku tidak tertarik untuk bertanya…

Sakura bahkan tidak berniat membuka mulutnya untuk bertanya apa yang tengah terjadi padanya. Tidak ada apa-apa dalam benaknya selain membayangkan hari ulang tahunnya yang masih cukup lama. Entah mengapa ia sangat rindu dengan tanggal dua puluh delapan maret.

Ah, melodrama. Ia menampik semua pikiran dramatisnya kalau ia merasa akan mati. Ia tertawa geli dalam hati. Mungkin ini hanya efek ia berdiam diri di rumah saja tanpa punya kegiatan apa lagi olah raga, makanya tubuhnya jadi tidak fit.

"Ngapain kamu senyum-senyum begitu?" suara sang Ayah meledek, "Kayak orang gila aja." Senyum lebar Sakura mengecil disertai dengusan. Akhirnya dengan suara yang amat kecil ia meminta minum dan Ibulah yang segera bergerak saat itu juga untuk keluar mencari air putih.

"Yah," panggil Sakura pada Ayahnya selepas kepergian Mebuki. Kizashi hanya bergumam sambil melipat tangan di tempatnya duduk. "Apa sih kamu, Ayah lagi enak nih. Jarang-jarang di bawah AC." Sakura melirik ke atas, dan ternyata benar ada pendingin ruangan tepat di bawah Ayahnya bergumam sambil memejamkan mata.

Sakura mendengus, seandainya bisa, mungkin ia tertawa kecil, sayangnya ia masih lemas. "Kok… aku bisa di sini, Yah?"

Dan hening selama beberapa detik sebelum Kizashi menghela napas sambil meregangkan tubuhnya yang terbalut jaket wol tebal berwarna hitam. "Kamu tadi dibangunin susah kayak kebo banget, jorok juga bajunya ada darah, mana nyiram bekas darah di kamar mandinya nggak bersih. Yah jadinya Ibu kamu jerit-jerit berisik."

Jeda sejenak, sang Ayah kembali melipat tangannya, "Tadinya mau Ayah siram pake aer seember. Tapi kamu pucet jelek banget, jadi dibawa aja ke sini."

"Terus?" sela Sakura agak tidak sabar dengan jawaban Ayahnya yang bertele-tele. Sang Ayah mengangkat bahu, "Terus apa?"

"Ya terus aku kenapa, Ayah?" tanya Sakura agak sebal namun nadanya amat lemas.

"Tau…" jawab Ayahnya angkat bahu. "Makanya jangan kebanyakan tidur."

Ish. Beginilah kalau bertanya sama Ayahnya, muter-muter ujungnya tidak dapat penjelasan yang diinginkan. Akhirnya Sakura diam. Menyesal ia punya niat iseng bertanya walau tidak ingin ingin banget untuk tahu. Tapi kalau justru tidak dapat jawaban begini malah jadi sebal sendiri.

Sampai Mebuki datang membawa sebotol air mineral dan tanpa banyak bicara membukanya lalu memasukan sedotan ke dalamnya, untuk ia berikan pada Sakura. Gadis itu meminumnya sedikit. Ia memang tidak hobby minum kalau tidak haus. Rasanya, ia mau berterima kasih pada sang Ibu.

Hehe, tapi malah cengengesan dalam hati. Bukan aku banget. Maksudnya dalam keluarganya itu tidak ada suasana lovely family seperti yang banyak ditayangkan di televisi". Jadi kalau sampai berucap maaf atau terima kasih kayaknya lebay sekali gitu suasananya.

Mengisi keheningan, Kizashi dan Mebuki pun bicara soal dagangan yang sempat mereka tinggalkan. Sakura cukup jadi penguping saja dengan baik dan tahu betul kalau sudah ada tukang batagor yang biasa mangkal di depan tokonya. Jadi toko keluarganya bisa dikatakan baik-baik saja selama ada abang batagor di sana.

Tapi karena Ibu yang tukang khawatiran itu, jadinya Ayah pulang demi membereskan dagangan. Belum sempat Kizashi membuka pintu kamar rumah sakit, sudah terbuka dengan agak kasar dan masuklah seorang Ibu—seumuran Mebuki—bersama putranya yang tak sadarkan diri di ranjang yang sedang di dorong masuk.

Ruang Akabara. Berkapasitas tiga pasien. Kini terisi dua. Hari ini Sakura langsung mendapat teman sekamar berambut hitam yang kurus, terdapat kain putih membalut dada pemuda yang sedang tak sadarkan diri tersebut.

Tak bisa dengar dengan jelas, sepertinya dokter mengatakan untuk sang Ibu tenang karena kondisi anaknya yang habis ditangani di UGD kini sudah stabil menunggu pemulihan dan siuman.

"Sasuke…" lirih sang Ibu mengelus rambut hitam anaknya.

.

bersambung…

.

A/N: Tenang, cuma 2shots ^^ besok kalau tidak ada halangan langsung apdet kok. Akabara artinya mawar merah. Maunya nyamain Kamar Mawar gitu ceritanya hihi.