Sasuke memasuki sebuah toko perhiasan di Mall pusat California. Ia melihat-lihat cincin bertahta berlian di kounter/etalase dan menanyakan cincin mana kiranya yang cocok untuk jadi cincin pernikahan, karena dia sangat amatir dalam hal memilih perhiasan. Pria bertubuh tinggi nan tampan pemilik toko mengeluarkan barang-barang bagus tokonya, menjelaskan dengan detail kualitas dan kuantitas barangnya.

Mereka berbincang mengenai cincin, Sasuke bertanya layaknya pembeli dan pemilik toko mempro barang layaknya penjual. Setelah menemukan barang yang cocok, sepasang cincin bertahta berlian emerald Kolumbia, Sasuke mengeluarkan credit cart gold dari dompetnya. Pria itu tersenyum melihat kotak beludru di tangannya kemudian memasukkannya dalam saku di balik jas.

Ini akan menjadi kejutan luar biasa.

Pikirnya.

.

.

.

.

.

.

Sasuke membuka pintu apartemen yang hampir dua tahun ia huni bersama kekasihnya, yang ia terkejut adalah saat melihat sepasang sapatu hitam mengkilat di rak sepatu dekat lemari hias. Dahi pria Uchiha itu mengernyit, "sepatu siapa?" Ia menggumam sembari melepas dasi dan berjalan masuk.

Pikiran tidak-tidak di kepalanya semakin membludak saat melihat kemeja merah maroon di punggung kursi ruang tamu dan celana bahan bermerek di lantai dekat kursi. Ia berjalan cepat saat mendengar suara aneh berasal dari kamarnya dan kekasihnya.

Kemarahannya membuncak pada batasnya. "Bajingan!" Tinjunya dengan sangat keras mendarat di pipi pria yang tengah mencumbu kekasihnya di atas tempat tidur. Pasangan wanita dan laki-laki itu tengah bercumbu rayu di atas tempat tidurnya, sialan!

Ia menarik laki-laki yang hanya mengenakan boxer itu kemudian membanting tubuhnya di lantai dan menghujaminya dengan pukulan.

"Sasuke, hentikan!" Wanita berambut merah muda yang hanya mengenakan kemeja putih tipis itu berteriak histeris dan berusaha menjauhkan Sasuke dari kekasih gelapnya. Bukannya berhenti Sasuke malah semakin lepas kendali, ia memukul wajah lelaki di bawah tubuhnya, berniat menghancurkan wajah sialan lelaki itu.

Plak!

Sebuah tamparan menghentikan pukulan brutal Uchiha itu. Wajahnya tampak terkejut dan kosong. Ia mengusap pipinya dan perlahan berdiri. Ditatapnya terluka wajah merah karena menangis wanita di hadapannya. "Aku tidak pernah menyangka kalian akan melakukan ini padaku," suaranya bergetar. "Kenapa Sakura! Katakan padaku kenapa kau melakukannya!" Ia berteriak dan mengguncang kasar pundak wanita yang menangis sesenggukan di depannya. Sasuke muak! Bukan tangisan yang ingin ia dengar. Dia ingin sebuah jawaban.

"Maaf..." kedua tangan wanita berambut merah muda itu menyentuh bahunya. "Maafkan aku..." ia berkata lirih seolah ia lah yang paling terluka di sini. Wanita itu merapatkan tubuhnya dengan tubuh Sasuke berniat memeluk tubuh pria itu yang kemudian mendapat dorong kasar dan sebuah tamparan.

"Sasuke!" Pria berambut orange yang tadi dipukuli Sasuke langsung berdiri memeluk tubuh Sakura dan menahan telapak tangan Sasuke yang berniat kembali menampar pipi wanita itu. "Kau tidak pantas melakukan itu padanya!" Tatapannya tajam menatap tepat kedua mata Sasuke.

Sakura menangis dalam pelukkan Juugo, nama pria berambut orange, sembari mengusap pipinya yang memerah. "Maaf, maafkan aku," mohonnya lirih.

Sasuke mendengus. Dia sangat muak pada dua orang yang tengah bermain opera di depannya. "Kalian pasangan romantis yang benar-benar berengsek!" Katanya menghina.

Dengan kemarahan yang meluap-luap pria tampan berambut raven itu berjalan keluar kamar menuju kamar lain. Sakura dan Juugo mengikutinya dari belakang. Wanita berambut merah muda itu berusaha menghentikan pria itu, ia menangis memohon agar Sasuke berhenti. Sasuke tidak peduli. Ia membuka kasar pintu kamar dan berjalan cepat mendekati boxs bayi dalam kamar itu. "Jangan. Aku mohon jangan." Ia memohon. Dipeluknya kaki Sasuke memohon pada pria itu jangan ambil putrinya.

"Dia putriku Sakura. Aku akan merawatnya, aku tidak mau putriku besar dengan wanita rendahan." Ucapnya tajam kemudian menghentak kasar wanita itu dari kakinya.

Wanita itu memekik dan jatuh tersungkur. "Sasuke aku mohon! Aku tahu aku salah, tapi jangan ambil Sarada dariku."

Tangisan pilu ibu muda itu tidak bisa menghentikan Sasuke. Pria itu seolah tuli tidak mendengar mohonan dan tangisannya. Wanita itu hanya bisa menangis dalam pelukkan Juugo. Juugo memeluknya, lelaki itu tidak tahu harus melakukan apa, mengejar Sasuke dan merebut bayi Sakura dari lelaki itu? Itu tidak mungkin. Sedikit banyak ia mengerti perasaan Sasuke saat ini. Yang bisa ia lakukan saat ini hanya menenangkan sahabat pinknya. Tangis Sakura semakin menjadi seiring menghilangnya Sasuke dari pandangannya. "Bayiku,.. tolong kembalikan bayiku."

.

.

.

.

.

Sasuke membuka pintu samping kemudi Acura RDXnya. Apa yang terjadi? Harusnya ini menjadi malam yang takkan pernah terlupakan bagi dirinya dan Sakura. Oh, ayolahh... ini memang malam yang tidak akan pernah ia lupakan. Malam dimana teman dan kekasihnya menghancurkan hatinya berkeping-keping, membuatnya membenci dua manusia sialan itu. Ia tidak habis fikir kenapa Sakura tega melakukannya, bukankah kemarin mereka baik-baik saja? Bahkan mereka berdua sepakat untuk membuat keluarga, menikah, setelah putri mereka lahir. Lalu apa yang membuat wanita itu jadi seperti ini?

Sasuke mengusap kasar permukaan wajah sembari menghela napas berat. Dan ia tersenyum miris saat menatap bayi mungil yang menggeliat menggemaskan di pangkuannya. "Aku pikir .., kau bisa memiliki keluarga bahagia, tidak sepertiku dulu... tapi ternyata aku salah, nasib kita tidak jauh berbeda."

California, Amerika Serikat, sebuah kota besar surga bagi manusia yang menyukai kebebasan, dimana kau bisa hidup satu atap dengan wanita/lelaki, melakukan hubungan suami istri, memiliki putra/putri tanpa sebuah pernikahan.

Surga? Namun bagi Sasuke California adalah Neraka. Ia tidak sudi tinggal satu kota dengan wanita dan lelaki sialan itu.

Mobil bermerek Acura Uchiha Sasuke melaju cepat meninggalkan bastmen apartemen tanpa menyadari sepasang mata hijau hutan yang menatapnya menderita dengan tubuh bersandar lemas ke dinding.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto.

SasuSakuSara family AU (Warning : Incest and Angst.)

HBD Zha Erzha a.k.a Cherry Phylin :D (31-12-2015)

Spesial fic untuk ultahnya yayang katak kuyus dan Tahun baru.

.

.

.

.

.

.

.

Tokyo

(sembilan tahun kemudian.)

.

.

.

.

.

.

Sebuah van putih mengambil parkir paling kiri dekat mobil Ambulance. Tak lama kemudian pintu van mewah itu terbuka otomatis menampil seorang gadis berambut gelap berusia sembilan tahun yang tampak sibuk memakai ransel dan mengangkat kardus berukuran sedang. Gadis bermanik hitam itu menggeleng saat supir yang selama ini mengantarnya kemana pun ia pergi berniat membantu. "Tidak paman. Aku bisa membawanya sendiri." Ia meyakinkan. Gadis berambut hitam sebahu mengenakan kemeja kotak hijau toska dan celana jeans denim itu berjalan cepat menuju gedung Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Sebuah gedung lembaga yang dilengkapi dengan Sekolah, Rumah Sakit dan Taman Bermain khusus untuk anak-anak yatim/yatim piatu, anak terlanjar, cacat, anak-anak yang memiliki kelainan dan anak-anak pengidap penyakit mematikan. Ini adalah Lembaga Sosial Anak terbesar di Tokyo, memiliki tiga gedung, masing-masing gedung sangat besar, di tengah antara ketiga gedung ada taman bermain yang tidak kalah besar.

Namanya Sarada Uchiha, putri Uchiha Sasuke si pemilik Uchiha Corp. Ia sudah sering datang ke gedung Lembaga Sosial Anak ini sejak ia duduk di kelas satu sekolah dasar, membawa barang-barang miliknya yang sudah tak terpakai untuk diberikan pada anak-anak yang tinggal di gedung ini. Selain itu, ia juga cukup dekat dengan wanita yang mendirikan gedung ini, karena wanita itu pernah menjadi gurunya saat TK, menjadi guru private, dan menjadi guru pengganti di sekolah. Sedikit aneh memang, karena wanita itu hampir selalu ada dimana pun Sarada berada, dan Sarada yang notabatenya orang yang tidak mudah dekat dengan orang lain bisa sedekat ini dengan seseorang yang bahkan tidak ia ketahui marganya.

"Hai, Sarada." Sapa seorang wanita di balik meja Resepsionis. Sarada membalasnya dengan senyuman tipis. "Ingin bertemu Sakura- sama ya?" Kemudian mengangguk. "Sakura- sama di gedung dua sedang membantu memeriksa anak-anak," kepala wanita Resepsionis itu mendongak menatap langsung wajah Sarada. "Kau mau diantar atau-"

"Tidak perlu repot-repot Shion- san,"

Sarada dan wanita di balik meja resepsionis menoleh ke asal suara. Shion, nama wanita resepsionis cantik berambut pirang itu, menunduk sopan pada wanita berambut merah muda yang mengenakan baju planel hijau toska dipadu secara pas dengan rok span hitam. Sementara Sarada, gadis cantik yang beranjak remaja itu tersenyum.

Wanita berambut merah muda itu menatap dalam wajah cantik gadis remaja itu dengan senyuman, ia tampak bahagia. Tersenyum ia menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung guna melepas Gelang Identifikasi Pasien berwarna ungu miliknya kemudian menyembunyikannya di saku baju planel. Wanita itu berjalan mendekat. "Hai." Sembari menyapa gadis remaja itu yang disambut senyuman tipis.

Forbidem love...

"Nee- chan perhatikan Sarada selalu kemari membawa barang-barang Sarada. Apa tidak apa-apa?" Tanya Sakura sembari membuka kardus kecil yang tadi Sarada bawa. Saat ini mereka berdua sedang berada di ruangan pribadi Sakura. Wanita itu menunjukkan buku di tangannya pada Sarada.

Sarada tersenyum. "Tidak apa-apa. Papa selalu pulang membawa banyak buku, rak di rumah sudah sangat penuh." Kata Sarada semangat.

Sakura tersenyum kemudian membuka ransel hitam yang tadi Sarada bawa. Ia mengeluarkan gaun dari dalam ransel dan menunjukkannya pada Sarada. "Gaun? Ini bahkan masih ada labelnya."

"Sara tidak suka gaun." Sakura terkekeh melihat wajah cemberut Sarada saat mengatakan 'gaun.' Dia manis sekali membuat Sakura ingin memeluk erat tubuhnya. "Papa bilang besok malam ada pesta perayaan pembukaan cabang baru dan Sarada harus memakai salah satu gaun itu besok malam, tapi kalau gaunnya tidak ada Sara tidak perlu memakainya," gadis itu tersenyum. "Sara bisa pakai setelan tuxedo atau bisa juga kemeja dan jeans." Sakura tertawa. Anak ini.

Sakura berbalik mendekati lemari tiga pintu di dekatnya. Ia berdiri di depan lemari yang terbuka sembari memeluk lima gaun berbeda warna milik Sarada.

"Nee- chan?"

Dengan cepat ia menggantung baju-baju itu, "ya?" Kemudian berbalik menatap wajah gadis yang tengah duduk di sofa di depan LED TV.

Sarada berkedip sesaat, kemudian menatap ujung sepatunya. "Nee- chan pernah bilang, Nee- chan memiliki seorang putri. Di mana dia sekarang?" Tanya gadis remaja itu sedikit ragu. Sakura tak kunjung menjawab, wanita merah muda itu hanya tersenyum dan berjalan mendekati gadis cantik itu. Ia duduk di samping Sarada. "Apa Nee- chan, merindukannya?" Jemari kurusnya merapikan helaian rambut Sarada, menyelipkan rambut gadis itu ke belakang telinga. Sarada menunggu. Menunggu dengan sabar wanita yang diam-diam ia kagumi menjawab pertanyaanya.

Wanita pemilik yayasan sosial terbesar di Tokyo itu menatap langsung kedua mata Sarada. "Sangat. Aku sangat merindukanya. Aku ingin memeluknya seperti ini," kemudian memeluk tubuhnya erat. Sarada terkekeh, ia terlihat senang. "Juga mencium pucuk kepalanya seperti ini." Lalu mencium pucuk kepalanya.

Sarada melepas pelukkan Sakura dan memberikan senyuman terbaiknya. "Aku juga sangat rindu Mama. Sarada ingin dipeluk dan dicium seperti tadi."

Sakura diam. Wanita itu berjalan keluar kamar, "sudah waktunya makan siang. Mau makan sesuatu?" Menunggu Sarada di depan pintu.

"Huum. Aku sudah lapar."

Forbidem Love...

Sakura dan Sarada berada di dapur, keduanya sedang bekerja sama membuat makan siang, menata makanan di atas meja. Sakura sedang mengiris tomat saat Sarada selesai menata makanan terakhir di atas meja. "Suka jus tomat?"

"Ya. Tomat sangat lezat." Sakura tertawa sembari memblender tomatnya, "tolong tambahkan sedikit susu." Kemudian menambahkan susu pada jusnya sesuai permintaan Sarada.

Jus tomat dan makanan sudah tertata rapih di atas meja. Sementara Sarada dan Sakura duduk berhadapan sambil menyantap makan siangnya. Sesekali mereka saling melirik kemudian saling melempar senyum. "Masakan Nee- chan enak."

Sakura mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Sarada. "Benarkah?" Tanyanya sembari tersenyum.

"Huum." Kepala Sarada mengangguk. "Ya. Ini sangat enak."

Mereka baru akan tertawa namun tidak jadi karena ponsel Sarada yang diletakkan di atas meja bergetar. Sarada mengangkat panggilan telfon ponselnya. "Halo Papa," sapa gadis itu pada seseorang di sebrang telefon. Kegiatan menyuap nasi Sakura terhenti, tangan yang memegang sumpit wanita itu mengambang di udara. "Sarada sudah makan siang. Tidak makan yang aneh. Sarada tidak bohong. Hm, baiklah."

"Kau beruntung memiliki ayah sepertinya. Sepertinya ia ayah yang perhatian,"

"Dan overprotektif." Sarada menyahut cepat, wajahnya menekuk sebal.

Sakura tertawa, "Yah. Dia memang seperti itu," suara Sakura mencicit di ujung kelimatnya.

"Nee- chan mengatakan sesuatu?"

"Apa? Aku tidak mengatakan apa-apa."

"Papa memang sangat perhatian," Sarada memangku dagu dengan kedua tangan dan menatap Sakura mendamba, "Papa sosok lelaki baik,"

"Oh, ya?"

"Wanita yang menjadi istri Papa nanti pasti tidak akan menyesal. Aku yakin."

Sakura tersenyum dipaksakan. "Aku rasa aku sudah selesai. Kau?" Ia berdiri dari duduknya tanpa menyadari sesuatu jatuh dari saku baju planelnya.

"Aku juga."

Wanita berambut merah muda itu segera merapikan meja, menata piring kotor menjadi satu dan membawanya ke mesin cuci pirang. Sarada memungut benda itu, menatap penuh tanya benda apa itu? Sarada seperti pernah melihatnya di rumah sakit. Dulu... saat ia sakit parah ia diberi gelang seperti ini di tangannya, tapi beda warna.

"Sarada ingin buah?"

Dengan cepat Sarada menyembunyikan gelangnya dalam saku celana dan berjalan mendekati Sakura yang sedang mencari sesuatu di dalam kulkas dua pintu. Sarada berdiri di samping Sakura dan ikut membuka pintu kulkas. Mereka memilih buah di dalam kulkas sambil bercanda serta tertawa seperti ibu dan anak.

Forbidem Love...

Sasuke menggunakan Way GPS Tracker untuk melihat lokasi keberadaan Sarada. Sembari mencari lokasi putrinya Sasuke masuk dalam mobil mewah hitam miliknya. Dia ingin mangajak Sarada jalan-jalan ke pusat perbelanjaan terbesar di tokyo. Sasuke tersenyum melihat layar ponselnya, dia sudah menemukan lokasi keberadaan Sarada, dan mengemudikan mobilnya ke sana.

Sasuke memiliki masa kecil sulit dan suram. Dia terlahir dari keluarga yang tidak berada, tinggal di sebuah rumah kecil sederhana beralaskan tikar, yang setiap musim dingin dan musim gugur menggigil kedinginan. Tidak ada hadiah natal, tidak ada apapun, namun walaupun begitu dia marasa bahagia karena ayah serta ibunya menyayangi dirinya. Sampai hari itu tiba.

Sasuke menambah kecepatan mobilnya, tampak tidak suka saat kenangan itu mampir dalam ingatannya. Tatapannya lurus menatap jalanan tapi pikirannya kembali pada masa itu.

Ibunya meninggalkan dia dan ayahnya demi laki-laki lain yang jauh lebih kaya. Saat itu Sasuke masih sangat kecil ketika ayah dan ibunya bertengkar hebat. Sasuke kecil yang ketakutan bersembunyi di bawah meja saat teriakan dan makian serta suara barang jatuh memekkan telinganya. Dia memeluk lututnya, dan menangis.

"Pergi! Pergi kau pada keluarga sialanmu itu! Dan jangan pernah injakkan kakimu di sini! Jangan pernah! Jangan pernah kau datang kembali!"

"Aku akan membawa Sasuke!"

"Perempuan sepertimu tidak pantas mengurusnya."

"Sasuke, ayo ikut ibu." Wanita itu menarik Sasuke yang bersembunyi di bawah meja, memaksa bocah laki-laki itu ikut dengannya. "Kita pindah ke rumah yang lebih besar, ayo."

Sasuke bingung, dia hanya diam ketika ibunya menariknya untuk ikut. Yang membuatnya terkejut ketika ayahnya menampar pipi ibunya di depan matanya dan menyeret wanita itu keluar. "Hentikan." Bisiknya dalam tangis. Sasuke bukan anak cengeng, tapi keadaan ini terlalu menyakitkan membuatnya terpaksa menangis.

Setelah kepergian ibunya ayah Sasuke semakin giat bekerja, siang, malam untuk membelikan apapun yang Sasuke mau, termasuk tempat tidur yang sangat mahal bagi mereka. Sekalipun sasuke tidak meminta dibelikan ini itu ayahnya selalu berusaha membelikannya sesuatu, berusaha mengobati hati kecil putranya yang terluka dan berusaha membuatnya bahagia sekalipun tanpa seorang ibu.

Ayah Sasuke terlalu memaksakan diri dalam bekerja, sampai akhirnya dia sakit tapi menyimpannya sendiri, tidak ingin Sasuke tahu keadaannya. Dia terus berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk Sasuke, dan berusaha memberikan kehidupan lebih baik untuk putranya. Sampai akhirnya ia mati karena sebuah kecelakaan.

Sasuke begitu membenci ibunya, karena sudah meninggalkan ia dan ayahnya. Bocah laki-laki itu memendam kesedihan dan dendamnya. Ia bahkan tidak menangis ketika ayahnya dimakamkan. Hatinya terlampau sakit sampai tidak dapat meneteskan air mata. Kedua tangannya terkepal, dan dia berdiri diam di pusaran ayahnya. Ini salah ibunya. Kalau saja wanita itu tidak pergi demi laki-laki lain mungkin ayahnya tidak akan mati. Dan dia tidak akan hidup sebatang kara seperti ini.

"Aku turut berduka atas kematian ayahmu, nak. Aku menyesal atas kecelakaan ini. Kalau kau tidak keberatan, untuk menebus kesalahaku, maukah kau tinggal di rumahku? Menjadi putraku? Kami akan mengurusmu dengan sangat baik, aku janji."

Mobil Sasuke berhenti di gedung LKSA. Pria tampan itu berjalan cepat mendekati lokasi Sarada seraya menelfon gadis kecil itu.

Sasuke bukan siapa-siapa tanpa kedua orang tua angkatnya, kalau saja suami-istri itu tidak mengadopsinya mungkin dia masih menjadi Uchiha Sasuke yang miskin. Yang tidak punya apa-apa. Sasuke sangat berterima kasih pada keluarga Senju karena telah memberinya pendidikan tinggi sampai bisa menjadi seperti ini. Tapi dia tidak bisa begitu saja melepas marganya, dan menggantinya menjadi Senju. Selain itu Sasuke juga ingin menunjukan pada dunia serta ibunya, yang entah ada dimana, kalau dia bisa menjadi orang besar. Bisa memiliki semuanya. Dan Sasuke juga ingin membuat ayahnya bangga, semua Uchiha bangga, dan membungkam mulut-mulut sialan yang dulu menghina marganya. Tapi, Sasuke tlah mempelajari suatu pelajaran penting: materi tidak menjamin hidup seseorang bahagia. Materi tidak menjamin seorang wanita setia padanya. Tidak. Sasuke sangat membenci kaum wanita, di matanya semua wanita sama, penjilat dan pembohong. Hanya satu gadis yang ia cintai dan ia sayangi di dunia ini.

"Papa." Sasuke tersenyum. Gadis kecilnya mengembungkan pipi melihat ke datangannya. "Papa tidak bilang akan datang."

"Papa baru saja bilang." Sasuke menggoyangkan ponsel di tangannya.

"Bagaimana papa tahu aku di sini." Tangan Sarada terlipat di depan dada dengan mata memicing menatap Sasuke.

Sasuke kembali tersenyum. "Itu tidak penting." Mereka berdiri berhadapan dengan Sasuke yang sedikit berjongkok menyamakan tubuhnya dengan tubuh Sarada. "Ayo. Kita harus membeli banyak barang untuk besok malam." Sasuke menarik pelan lengan Sarada yang terlipat.

"Tunggu." Langkah Sasuke berhenti. Pria tampan itu berbalik menatap putrinya. Sarada tersenyum. "Ada yang ingin Sarada kenalkan sama papa. Ayo." Gadis itu menarik Sasuke ke meja resepsionis dimana ia meninggal Sakura tadi. Mata hitamnya menjelajah mencari Sakura, tapi tidak ada. Perlahan, senyum Sarada menghilang. Hanya ada Shizune, si dokter kepala di rumah sakit gedung ini.

Shizune mendekati Sarada dan Sasuke. Wanita cantik berambut hitam sebahu itu tersenyum. "Maaf Sarada, dia sedang membantu memeriksa anak-anak di gedung dua." Jelasnya tanpa menyebut nama Sakura.

...

Di dalam kamar yang sama ada dua orang berbeda usia dan gender sedang melakukan kegiatan yang tak sama. Gadis kecil di dalam kamar itu duduk melamun di depan meja komputer dalam kamarnya dengan sebelah tangan memegang gelang berwarna ungu. Di gelang itu tertulis jelas nama sang pemilik. Sakura Haruno. Sarada baru mengetahui marga wanita yang diam-diam ia harapkan menjadi ibunya, tapi bukan itu yang membuat gadis belia itu mendadak murung. Melainkan info yang ia dapat melalui internet tentang gelang ini.

Sarada terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadari Sasuke yang sedang memilih gaun untuknya menatap dirinya penuh tanya. Sarada yang terlihat biasa saja, yah walaupun dia menolak keras gaun yang Sasuke beli dan marah pada pria itu tapi dia tidak terlihat sedih, tidak murung seperti saat ini. Sasuke meletakkan gaun di tangannya di tempar tidur kemudian berjalan mendekati Sarada. Pria itu memeluk putrinya dari belakang. "Ada apa?"

Sarada mengejap. Perlahan, air mata menitik di pipinya yang kemudian dia hapus dengan cepat. "Papa,"

"Hn?" Sasuke menatap putrinya dan menunggu dengan sabar.

Sarada meremas gelang di tangannya. "Apa ini benar," Sasuke menatap arah tatapan Sarada, menatap komputer. Sarada memeluk ayahnya dan menangis dalam pelukkan pria itu. "Apa itu benar, papa? Hiks..." Sasuke terdiam, tampak tidak mengerti dengan Sarada. Memangnya kenapa dengan gelang indifikasi pasien?

Gelang Kuning

Gelang kuning menandakan bahwa pasien mempunyai risiko jatuh tinggi. Artinya pasien tersebut perlu diawasi lebih ketat. Misalnya pasien pasca operasi, pasien dengan penurunan kesadaran, atau pasien dengan alat bantu.

- Gelang Merah

Gelang merah menandakan pasien mempunyai riwayat alergi obat. "Gunanya agar dokter atau perawat waspada bahwa si pasien punya riwayat alergi terhadap obat tertentu,".

- Gelang Ungu

Gelang warna ungu menandakan bahwa si pasien harapan hidupnya rendah atau dikenal dengan istilah Do Not Resuscitation (DNR).

...

Sepanjang perjalanan menuju gedung tempat diadakannya pesta Sarada diam menatap murung kaca jendela mobil membuat Sasuke yang duduk di sampingnya khawatir. Sasuke menggeser duduknya mendekati Sarada. "Ada apa? Apa gaunnya tidak nyaman?" Tidak ada jawaban. "Baiklah. Kita mampir ke butik."

"Untuk apa?" Tanya Sarada tak minat tanpa menatap Sasuke.

"Tentu saja untuk mengganti gaun Sarada dengan yang Sarada inginkan." Kalau saja moodnya sedang baik pasti Sarada mengangguk dengan cepat, tapi sayangnya moodnya sedang buruk. Sarada sudah tidak peduli dengan apa yang ia kenakan sekarang, pikirannya sedang kalut dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Bagaimana kalau itu benar? Gelang itu miliknya. Dan bagaimana bila selama ini wanita itu hanya berpura-pura baik-baik saja di depannya? Bagaimana kalau selama ini wanita itu bukan membantu merawat anak-anak di gedung dua, melainkan ia sendiri yang di rawat. Seharusnya dari awal Sarada sadar hanya dengan melihat tubuh wanita itu. Untuk wanita seusianya dia terlalu kurus. Dan melihat wajah putihnya yang pucat. Sarada bukan gadis cengeng tapi entah kenapa ia ingin menangis dengan semua kemungkinan-kemungkinan itu. Sarada mengusap pipinya yang entah sejak kapan sudah basah.

...

Semua mata dalam gedung mewah itu tertuju pada Sarada dan Sasuke yang sedang melangkah di karpet merah. Orang-orang berjas dan bergaun mahal itu tersenyum melihat ayah dan anak itu serta bertepuk tangan. Sarada tampak tidak peduli, dia masih memikirkan tentang gelang itu, berbeda dengan Sasuke yang tersenyum tipis pada orang-orang itu. Senyum Sasuke menghilang saat melihat seorang wanita mengenakan gaun merah berjalan di antara orang-orang itu. Tatapan mereka bertemu. Wanita itu tersenyum dan mengatakan selamat padanya. Sasuke menatap tajam wanita itu kemudian menatap Sarada yang berjalan di sampingnya. "Ikut papa." Sasuke langsung menarik Sarada, membawa gadis kecil itu mendekati seorang pria tua berjas mahal. "Paman, tolong jaga dia. Aku ada urusan sebentar." Tanpa menunggu jawaban pria itu Sasuke pergi meninggalkan Sarada.

"Papa." Sarada yang tidak mengerti dengan sikap Sasuke yang tiba-tiba menitipkannya pada Senju Hashirama berusaha menyusul Sasuke.

Hashirama menangkap tangan Sarada. "Tunggu sebentar Sarada, papamu sedang ada urusan."

Sarada menatap kepergian Sasuke. "Papa."

...

Sasuke menarik kasar wanita itu ke taman gedung. "Sasuke." Wanita itu meringis dengan perlakuan kasar Sasuke.

"Kenapa kau di sini, bagaimana kau bisa ada di sini?" Ditatapnya tajam wanita itu.

"Kenapa?" Sakura memberanikan diri balas menatap Sasuke. "Karena aku salah satu pemegang saham di sini. 45% saham di sini milikku. Aku salah satu tamumu."

Sasuke tersenyum sinis. "45%. 45% sahammu akan aku kembalikan. Aku tidak sudi menerimanya. Cepat pergi."

Sakura menahan napasnya. Dadanya begitu sakit mendengar semua itu. Susah payah ia berbicara. "Aku tidak menginginkan itu, tidak." Air mata menitik di pipinya. "Satu-satu yang aku inginkan hanya bertemu dengannya. Aku, izinkan aku bertemu dengannya. Aku mohon... Sasuke. Aku mohon."

"Tidak akan pernah!" Suara Sasuke naik satu oktaf membentak wanita itu. "Aku tidak akan pernah membiarkan kau menemuinya." Dia mendesis.

"Aku berhak. Karena aku ibunya..."

"Ibunya sudah mati. Ibu Sarada sudah lama mati."

"Kau jahat Sasuke!"

"Kau yang jahat!"

"Tidak!" Tangis Sakura.

"Kau menelantarkan aku dan dia."

"Tidak." Sakura menggelengkan kepalanya kuat. Tangisnya pecah.

"Kau mencampakkan aku dan Sarada, Sakura! Kau tidak pantas dipanggil ibu! Kau tahu!" Teriak Sasuke tepat di depan wajah Sakura.

Tubuh Sakura melemas. Wanita itu jatuh terduduk begitu Sasuke meninggalkannya. Wajahnya basah oleh air mata yang kemudian ia hapus dengan kasar. Sakura menutup wajahnya dengan telapak tangan dan menangis sejadi-jadinya. Bukan salahnya. Semua ini bukan salahnya.

T

B

C

.

.

.

Hbd yayang katak kuyus...