Mermaid Melody Pichi Pichi Pitch (c) Michiko Yokote, Pink Hanamori. No profit gained. Note: No power!AU; Sibling!KaitoMasahiro; KaitoXLuchia
.
.
Nama adalah nama. Tidak kurang, tidak lebih. Kadang kau bertanya pada orang tuamu, "Ibu, apa arti dari namaku?"Dan ibumu menjawab seadanya. Bahkan terkadang mengarang.
Saat itu kau mulai menggerutu.
Menurutmu, nama hanyalah nama. Tidak kurang, tidak lebih. Tapi kenapa saat kau tahu bahwa temanmu memiliki nama yang lebih menarik dibanding dirimu, kau menyalahkan orang tuamu?
Nama hanyalah nama, bukan?
Otak cerdasmu mengatakan; YA. Tapi hati kecilmu mengatakan; TIDAK.
Karena kau tahu...
Ketika kau iri dengan orang di sekitarmu yang mendapatkan hadiah-hadiah istimewa di hari ulang tahun. Tanpa sadar. Kau juga telah mendapatkan hadiah yang lebih berharga. Sebuah hadiah yang kau terima, tak lama sejak kau dilahirkan.
Hadiah itu—sebuah nama, benar? Kau mengiyakan.
Karena nama adalah bukti—
—bahwa kau dicintai.
.oOo.
.
Suara ketukan pintu.
"Masuk."
Seorang pria berambut hijau berbalut setelan jas abu-abu menghampiri pemuda yang tengah bersiap untuk menghadapi sebuah peristiwa sakral dalam hidupnya. Pria berkacamata yang lebih tinggi beberapa senti itu berdiri di depannya –tersenyum, dan memberikan sebuah tatapan teduh yang membuat kecemasannya menghilang. Rasa takut perlahan memudar.
"Adikku, apa kau sudah siap?"
Kaito mengangguk. Ia merapikan mawar merah yang sudah terselip manis dalam saku setelan serba putihnya sembari memeriksa mahar dalam sebuah kotak kecil yang ia simpan di tempat yang sama. Lalu melangkah pergi bersama dengan si pria berkacamata yang selalu mendampinginya—yang ia anggap sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa.
.
.oOo.
.
Mereka berdua—Kaito dan pria yang mendampinginya, Doumoto Masahiro—sampai di tempat dengan dekorasi yang di dominasi warna putih. Sebuah area yang megah dengan banyak renda-renda, kumpulan bunga-bunga, dan aroma sitrus yang menguar. Iris berwarna cokelat gelap itu memotret jelas keberadaan sang ayah yang berada di barisan paling depan. Berpenampilan rapi seperti biasa dengan memakai jas hitam yang dipadukan dengan kemeja abu. Dia diam, menatap Kaito—putra bungsunya yang akan menikah—dengan datar. Tak ada ekspresi kebahagiaan yang tersirat di wajah itu.
Kaito memalingkan pandangannya dari pria tua itu. Bersikap biasa. Kaito tidak heran, tak juga nampak paham. Pasrah. Berusaha tidak peduli, meski yang timbul adalah sebuah perasaan benci. Kaito hanya perlu menyelesaikan semua ini. Selanjutnya, ia akan lulus dari kekangan ayahnya. Kaito sudah dewasa. Kaito akan hidup bersama orang yang dicintainya. Kaito ingin melupakan dia, tidak, Kaito ingin melupakan mereka. Ya—mereka. Ayah dan ibunya.
Kaito membenci mereka.
Untuk dua puluh lima tahun hidupnya, Kaito tidak pernah merasakan kasih sayang mereka. Kaito tidak pernah mendapatkan hadiah untuk ulang tahunnya. Kaito tidak pernah didampingi saat hari kunjungan orang tua. Kaito selalu sendiri. Kaito merasa dibenci. Kaito merasa dikhianati. Kaito dianggap tidak ada. Kaito benci mereka. Kaito ingin lulus dari mereka.
Pria bersurai jingga itu mengepalkan tangannya, melangkah dengan yakin ke atas altar yang sudah dipijaki seorang pria yang berpakaian senada dengannya. Alunan musik klasik dari permainan piano terdengar. Kemudian, disusul suara violin, harfa, dan flute. Menghasilkan sebuah perpaduan yang indah, dan menentramkan. Lalu dilanjutkan dengan alunan suara merdu dari beberapa orang wanita dewasa bergaun biru muda di sebuah area yang dikelilingi bunga –bunga dari plastik. Kombinasi yang menciptakan harmoni. Jiwa yang diistimewakan, dan ingatan yang dibuat menghilang sementara. Berwarna-warni.
Seperti hipnotis.
Nada terakhir selesai dimainkan. Musik berhenti. Suasana menjadi sunyi kembali.
Seorang wanita memasuki area. Berjalan dengan sangat anggun di atas karpet merah, didampingi oleh seorang pria tua yang memiliki warna rambut keunguan yang mencuat seperti bintang, kontras dengan wanita di sampingnya. Raut kesedihan terlihat jelas dari pemilik wajah renta yang menggandeng wanita berambut pirang panjang. Tentu saja. Karena hari ini, pria tua itu telah memilih orang yang akan menjaga sisa hidup putri semata wayangnya.
Kaito mengerjap. Kedua netra itu bisa melihat dia dengan jelas. Dia yang terlihat cantik dalam balutan gaun putih besar lengkap dengan tudungnya. Dia yang tersenyum sangat menawan sambil membawa sebuket bunga mawar merah dalam genggaman.
Ya—dia, Nanami Luchia.
Wanita yang selalu Kaito cintai. Wanita yang selalu Kaito perhatikan. Wanita yang selalu ingin Kaito jadikan teman hidup. Wanita yang sangat berharga. Wanita yang membuat Kaito —seharusnya—bahagia.
Tapi entah kenapa ia merasa hampa.
Aneh.
Pikirannya mulai kosong.
"Anda sudah siap, Doumoto-san?"
"Ya. Saya siap."
Sang pendeta meminta Kaito mengucapkan janji suci untuk gadis yang telah menempatkan diri di sebelah kanannya.
Menarik napas.
"Saya, Doumoto—"
Kaito merasakan bibirnya bergetar.
"Saya, Doumoto K-ka—"
Diam.
Ya, benar. Itu dia. Itu hal yang membuat Kaito kacau. Bagian ini, yang membuatnya tidak bahagia adalah bagian ini. Bagian di mana Kaito harus mengucapkan sebuah janji suci. Dengan nama lengkapnya. Dengan nama kecilnya. Dengan nama yang ia benci.
Dengan nama yang tidak ingin dia sebutkan lagi.
.
.
Kepalanya sakit.
Kenangan berkabut itu kembali—
.
—datang untuk merapikan diri.
.
.
...Kristal air mata menetes ke tanah kering yang sedang dipijaki. Tetes demi tetes berbaris; berjajar rapi—mengikuti sepasang jejak kaki mungil.
Ya—ya itu kau, Doumoto.
Anak laki-laki kecil berambut jingga dengan mata cokelat besar yang kadang berubah menjadi merah, tengah berjalan seorang diri. Kau yang baru pulang dari sekolahmu di Taman kanak-kanak dekat air mancur itu. Kau menangis. Kau berkeringat. Kau kotor. Kau bau.
Kau melihat teman-temanmu pulang bersama ayah dan ibunya. Dan kau merasa iri pada mereka—benar? Kau ingin ayah dan ibumu ada bersamamu, menggenggam tangan kanan dan kirimu, menepuk kepala besarmu hingga membuat rona merah jambu pucat di wajahmu—kan?
Bagaimana perasaanmu, Doumoto?
Kau iri dengan mereka, Doumoto. Ya—kau iri. Kau ingin mencongkel bola mata besarmu agar tidak melihat pemandangan seperti itu. Kau berharap agar buta selamanya. Kau tidak peduli. Kau hanya ingin disayangi.
Kau ingin seperti mereka.
Kau menganggap dirimu tidak berguna karena tidak bisa menjadi anak yang sempurna untuk ayahmu 'kan, Doumoto?
Selama yang bisa kau ingat, rumahmu hanyalah sebuah ruang kelas. Ayahmu sebagai guru dan kau sebagai muridnya. Jika tidak ada yang ingin ayahmu ajarkan padamu, kalian tidak pernah bicara—benar?
Kau tidak menyangkalnya, Doumoto. Kau hanya diam. Kau menerima takdirmu—
—tapi kau membenci Tuhan.
Wanita dengan rambut hitam kebiruan di album fotomu, kau mengenalinya 'kan? Wanita dengan bola mata cokelat besar yang sama denganmu. Ya—wanita yang itu. Satu-satunya orang yang dicintai ayahmu. Kau belum pernah bertemu dengannya, Doumoto. Tapi kau memberikan perasaan yang sama untuknya. Kau membencinya, Doumoto.
Kau membenci dia yang telah meninggalkanmu semenjak kau dilahirkan. Dia yang tidak pernah mengantarkanmu pergi ke sekolah. Dia yang meninggalkanmu seorang diri dengan monster yang kau sebut ayah. Kau membencinya, Doumoto.
Apa kau tidak menyesal, Doumoto?
Untuk kebencian yang kau berikan pada ibumu seumur hidup. Kau yakin tidak akan menyesal, Doumoto? Kau tidak tahu bagaimana perasaannya. Kau tidak tahu bagaimana suaranya. Kau tidak tahu bagaimana aromanya.
Kau hanya tahu kalau ia membencimu.
Kau menganggap dia membencimu karena ia meninggalkanmu. Karena ia tidak berusaha untuk hidup. Karena ia tidak meninggalkan apa-apa untukmu. Itu yang kau pikirkan—benar?
Kau tidak menyangkalnya—lagi, Doumoto.
Kau membenci keluargamu. Kau membenci Tuhan. Kau membenci nama kecilmu yang selalu dijadikan ejekan. Kau berusaha sempurna. Untuk siapa, Doumoto? Kau takut. Kau tertekan. Kau tidak bahagia. Bahkan dengan semua yang telah kau raih, Doumoto.
Kau ingin ayahmu mati. Kau ingin hidup sendiri. Kau yakin tidak menyesal, Doumoto?
Kau mulai ragu.
Ya—kau mulai ragu. Karena kau mengingatnya. Ya, benar. Kau mengingatnya. Karena kau memang harus mengingatnya, Doumoto.
Surat itu. Surat yang diberikan oleh ayahmu ketika ulang tahunmu yang keduapuluh.
Kau ingat?
Surat dengan kertas putih yang mulai kekuningan dan tulisan yang mulai memudar.
Ya—kau ingat.
Itu tulisan ibumu, Doumoto.
.
Kaito menggenggam dada sebelah kirinya dengan erat. Jantungnya membuat ritme yang tidak keruan. Kaito menunduk—membuat semua yang hadir menjadi khawatir, terutama Luchia yang sampai menjatuhkan buket bunga demi merangkul calon pendampingnya.
Kaito mengingat saat itu.
Ya, saat itu.
.
.
.
"Putraku."
Suara baritone itu menghancurkan konsentrasi Kaito yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Kaito menoleh. Menatap sebal pada sosok itu. Sang ayah—yang ditatap, tetap berwajah datar.
"Ada apa, Ayah?"
"Tepat hari ini, kau sudah berumur dua puluh tahun. Kurasa sudah waktunya aku memberikan ini." Ayahnya memberikan selembar kertas kusam pada Kaito. Dan Kaito hanya menerimanya, tidak berkomentar. Pria itu mengerutkan alisnya—heran.
"Itu dari ibumu, Putraku."
Napasnya tercekat.
"I-ibu yang mana? Bukankah ibu sudah— "
"Surat itu ditulis sebelum ibumu melahirkanmu, Putraku."
Kaito menatap secarik kertas kusam itu.
"T-tapi kenapa hanya surat?"
Kaito menerimanya—tapi kenapa masih bertanya? Kaito ragu. Ya—dia ragu. Tak ada kejanggalan 'kan? Ayahnya bukan tipe orang yang suka bermain-main 'kan?
Benar.
Ayahnya menjawab semua kekhawatiran itu.
"Ibumu tidak hanya meninggalkan itu untukmu, Putraku."
Pertanyaan Kaito —ternyata—memiliki jawaban.
Ya.
Ayahnya yang jahat itu berbicara,
"Ibumu meninggalkan surat—"
... untuk menjelaskan semua hal ...
"—dan —"
... hingga ke bagian terpenting.
"—Kaito."
Putra bungsu Doumoto itu menangis.
.
Kaito melepas cengkraman itu dari dadanya. Kaito —sedikit—merasa lega karena ia telah mengingat semuanya. Entah kenapa bagian itu bisa terlupakan dari hidupnya. Kaito hanya memikirkan persaingan. Kaito hanya memikirkan kekuasaan. Kaito hanya memikirkan keberhasilan. Kaito hanya memikirkan kesempurnaan. Kaito telah melupakan bagian hidupnya yang penting. Kaito menatap ayahnya—lagi.
Benar.
Semua kekesalan itu, semua rasa takut itu, semua kebencian itu—karena Kaito iri pada orang-orang di luar sana. Perasaan yang membuatnya tak nyaman selama ini, hanyalah ketakutan Kaito semata. Kaito yang merasa dirinya tidak dicintai. Kaito yang selalu berusaha lari. Kaito yang berusaha untuk menghindar. Kaito yang menjadikan ayah dan ibu sebagai korban. Karena ia pengecut. Karena ia menutup diri, dari orang-orang yang peduli. Dendam. Benci. Kesal. Hanyalah alasan untuk melarikan diri.
Sesederhana itu.
Bola mata cokelat yang ia benci itu menangkap jelas saat beberapa kristal air mata terjatuh dari pelupuk mata ayahnya.
Monster itu. Ya, monster itu menangis.
Tak ada orang tua yang membenci anaknya. Tak ada orang tua yang ingin anaknya tidak berguna. Ayahnya bangga karena Kaito telah tumbuh dewasa. Ayahnya bangga karena Kaito sampai ke titik keberhasilannya. Kaito baru saja tahu. Kaito baru saja menyadari—ayahnya telah berbohong. Ayahnya telah berdusta. Ayahnya telah mengarang cerita. Untuk duapuluh lima tahun membunuh karakter, ayahnya telah mendidik Kaito dengan caranya sendiri. Ia tidak lembut. Ia kasar. Ia pemarah. Ia selalu acuh. Tapi ia adalah bagian dari hidup Kaito.
Ia berharga.
Di sela-sela air mata yang mengalir itu, ayahnya tersenyum. Ini pertama kalinya setelah sekian lama. Sebuah senyuman yang begitu tulus. Senyuman yang begitu teduh. Senyuman yang meluluhkan hati yang telah lama membeku.
Rasa sakitnya menghilang.
Kaito mengepalkan tangannya, melanjutkan prosesi itu.
"Saya, Doumoto Kaito— "
Kaito mengucapkan nama itu. Nama yang dibencinya. Nama yang tidak diinginkannya. Dengan jelas. Dengan lantang. Dengan penuh perasaan.
"—menerima engkau, Nanami Luchia menjadi satu-satunya istri dalam pernikahan yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan, sejak hari ini dan seterusnya, dalam suka dan duka, saat kekurangan dan kelimpahan, di waktu sakit dan di waktu sehat, untuk dikasihi dan diperhatikan serta dihargai, sampai maut memisahkan kita."
Seperti air; kata-kata sulit itu mengalir begitu saja. Kaito sudah terbiasa menghafal. Tapi kali ini bukan untuk pertandingan, bukan untuk ujian, atau untuk kebanggaan. Ini untuk dia yang tengah memakai gaun pengantinnya. Untuk dia yang merawat Kaito dengan cara kasarnya. Untuk dia yang menatap Kaito, putra kecilnya dari surga.
Ini untuk mereka.
Untuk mereka yang telah mengorbankan segalanya untuk Kaito.
Gemuruh tepuk tangan terdengar dari seluruh penjuru gereja begitu sebuah kecupan di bibir lembut diberikan Kaito kepada istrinya tercinta . Kelopak bunga merah jambu turut dihamburkan oleh gadis-gadis kecil yang berdandan ala peri di dunia fantasi.
Kaito bahagia.
.
.
Ah—surat itu...
... Isi surat itu kembali muncul dalam ingatannya. Rentetan kalimat yang menentramkan hati dengan mudahnya datang—mengalir begitu saja dalam otak cerdasnya, seolah ingin turut serta dalam merayakan hari bahagia ini.
Untuk putraku, Doumoto Kaito.
Jika kau ingin mengingat masa lalumu lewat album foto itu, aku juga ingin kau mengingat ibu.
Jika kau merasa iri pada temanmu yang orang tuanya selalu bersama mereka untuk mengantar ke sekolah dan menepuk kepala mereka hingga membuat rona di wajahnya, ibu juga ingin kau tahu bahwa ibu selalu berharap untuk bisa memberikan hal yang sama.
Jika kenanganmu memudar dan kau mulai berpikir untuk masa depan, ibu ingin kau kembali untuk mengingat masa lalu.
Agar, ketika kau mulai membenci suatu hal, kau berhenti untuk bersikap lemah seperti ibumu yang payah ini.
Ibu ingin melihatmu tersenyum—
Meski selamanya kau membenci ibu ketika kedua bola matamu melihat pantulan dirimu di atas genangan air.
—karena 'Kaito' telah ibu tinggalkan untukmu.
.
.
Selamat ulang tahun yang keduapuluh, putraku Doumoto Kaito.
Ketika kau mulai mengutuk dunia dan membenci ibu, kau hanya perlu meminta seseorang untuk memanggil namamu.
Karena Kaito adalah putraku.
Karena Kaito adalah hadiah ulang tahunmu dari ibu.
Karena Kaito harus bahagia.
Karena Kaito harus terus meraih mimpi.
Karena Kaito adalah bukti—
—bahwa kau selalu dicintai.
[Kaito : nama yang diberikan almarhum Ny. Doumoto]
[]
