Disclaimer : InuYasha milik Rumiko Takahashi

Chapter 1 : A Decision

Malam pergantian bulan telah tiba. Sungguh waktu yang sial, seolah-olah Dewi Fortuna sedang tidak berada dipihaknya. Padahal, ia yakin siluman raksasa hijau bertanduk itu akan dapat dikalahkan sebelum matahari tenggelam hanya dengan sekali sabetan pedang. Namun ia salah perhitungan. Musuhnya kali ini amat lihai menghindar serangan kaze no kizu yang sejak terus-menerus dilancarkan olehnya hingga ketika akhirnya ia menyadari keadaan sudah mulai gelap, seiring dengan perubahan warna rambutnya yang perlahan mulai menghitam dengan cakar dan taring yang menyusut, hanyou itu telah berubah menjadi manusia.

Nafasnya memburu, tatapan tajam terus mengawasi gerakan lawan. Pegangannya pada gagang pedang yang kini sudah tampak usang makin erat. Ia tahu senjatanya tidak bisa terlalu diandalkan dalam keadaan seperti ini, namun hanya itu yang ia miliki sebagai alat untuk melindungi diri.

"Sial!" desahnya kesal.

Sang siluman raksasa tertawa mengerikan, membuat seluruh binatang penghuni hutan terkejut dan berlari menjauh. "Hanyou, huh," ejeknya dengan seringai yang memuakkan. "Kau tak memiliki kesempatan untuk menang."

"Diam kau, Brengsek!" bentak InuYasha. Ia amat benci dengan kekalahan, apalagi kalah dari makhluk rendah seperti yang sedang berdiri di hadapannya. "Kau yang akan mati."

"Benarkah?" Sang siluman membungkukkan punggung, meneliti sang manusia. Ukuran tubuhnya yang tiga kali lipat dari InuYasha tidak membuatnya lebih pendek walau ia tengah membungkuk. "Aku meragukan itu."

'Sial!' InuYasha menggertakkan gigi. Seandainya saja ada teman-temannya di sini. Sudah pasti siluman itu akan terbelah dua oleh hiraikotsu, lumpuh dengan panah suci dan menghilang ke dalam kazahana ... Oh, tidak. Lubang angin Miroku sudah hilang. Tetapi saat ini ia sedang sendirian, bermaksud mencari tanaman obat untuk Kaede yang sedang sakit. Kagome sudah memperingatkannya untuk tidak pergi mengingat hari itu adalah hari dimana InuYasha seharusnya bersembunyi dan tidak melakukan apapun. Miroku sedang pergi membasmi siluman bersama Kohaku, Sango harus menjaga anak-anaknya sementara Kagome tak bisa meninggalkan Kaede sendirian meskipun sudah ada Rin di sana. Sekeras apapun istrinya mencegah, InuYasha lebih keras kepala. Ia beralasan tidak ingin dihantui oleh nenek itu seandainya miko tua itu mati karena terlambat mendapatkan obat. Padahal Kaede hanya sakit batuk biasa.

Dan kekhawatiran Kagome menjadi kenyataan. Kini, InuYasha tak yakin dirinya dapat menang. Tubuhnya sudah kehabisan tenaga dan haori merahnya pun tak bisa melindungi dirinya bahkan dari cakaran kecil sekalipun.

Siluman raksasa ini sama sekali tak berotak. Yang ia tahu hanyalah menyerang siapapun yang memasuki wilayahnya. Mungkin sankontesso saja sudah cukup untuk melumpuhkannya. Itupun jika kuku-kuku tajamnya masih ada.

BUUK

InuYasha merasakan dadanya dihantam keras oleh tinjuan besar. Tubuhnya terlempar beberapa meter ke belakang. Punggungnya menghantam tanah dengan suara berdebum.

Ia mencoba menarik napas panjang, yang mana segera menyakiti paru-paru yang cedera. Indra pengheliatannya mulai rabun. Tessaiga sudah terlepas dari genggamannya.

'K-Kagome', di saat seperti ini, hanya wajah penuh senyuman milik istrinya yang terlintas di kepalanya.

Sang siluman raksasa mengeluarkan cakar-cakar yang seukuran taring Tessaiga. Tangannya terangkat, siap menghujam korban yang sudah tak berdaya terbaring di atas tanah.

InuYasha memejamkan mata. Bukan kerena tidak ingin melihat cakar yang akan merenggut nyawanya, melainkan karena ia ingin menghabiskan detik-detik sisa hidupnya dengan membayangkan wajah wanita yang amat dicintainya.

Sebuah jeritan yang memilukan keluar dari bibir InuYasha takkala cakar-cakar beracun itu mengoyak leher dan dadanya, tembus ke dalam melukai jantungnya. Darah memancar keluar membasahi tubuhnya. Kematian tengah menari-nari di depan matanya dan tangannya siap meraih menuju kegelapan yang abadi, bersamaan dengan hembusan nafas terakhirnya.

"BAKUSAIGA!"

.

.

Kagome tengah menunggu kedatangan suaminya dari luar pondok mereka. Hari sudah gelap namun orang yang ia tunggu belum juga pulang.

"K-kenapa?" tanya dengan terbata-bata. Setetes air mata tiba-tiba menyeruak keluar dari sudut matanya, mengalir melalui pipinya. "Kenapa tiba-tiba aku rasanya ingin menangis?"

.

.

An InuYasha Fanfic

An Unemotional Savior

Don't like, don't read

.

.

Serangan tiba-tiba dari senjata paling mematikan di dunia oleh seorang daiyoukai terkuat merupakan lebih dari cukup untuk membasmi siluman raksasa bodoh tanpa sisa. Potongan-potongan tubuh hasil dari sabetan bakusaiga berjatuhan seperti hujan, mengotori area pertarungan itu.

"Wah, seperti biasa, Anda luar biasa, Sesshomaru-sama," puji Jaken dengan penuh kekaguman. Mata besarnya menatap potongan-potongan tubuh siluman dengan rasa jijik. "Hah! Rasakan! Itu akibatnya karena mengaum keras mengganggu pendengaran Sesshomaru-sama."

Sejujurnya, Jaken sendiri tidak yakin alasan apa yang membuat majikannya membunuh siluman itu. Tadinya mereka sedang istirahat tak jauh dari sana. Kemudian tuannya berdiri dan mengendus sesuatu, lalu memutuskan untuk pergi tanpa mengatakan apapun. Hampir saja Jaken tertinggal seandainya saja siluman katak itu tidak segera berpegangan pada moko-moko milik majikannya.

Sesshomaru memasukkan pedang bakusaiga ke dalam sarungnya. Kakinya berjalan beberapa langkah ke depan dan berhenti tepat di samping mayat manusia dengan darah yang masih segar.

'InuYasha', bisiknya nyaris tak terdengar. 'Apakah karena kau seorang hanyou sehingga tubuhmu menjadi selemah ini?'

"Sessh-Sesshomaru-sama?" tanya Jaken heran saat melihat tuannya berdiri membelakanginya. Dengan bantuan cahaya bulan purnama, ia dapat melihat jelas sesosok manusia tengah terbaring di dekat kaki tuannya. Awalnya, ia mengira sosok itu hanya manusia biasa yang sedang sial terbunuh oleh siluman raksasa. Namun takkala memperhatikan pakaian yang dikenakannya, matanya langsung bertambah lebar. Mulutnya mengap-mengap seperti ikan yang baru ditangkap. "I-I-Itu ... I-InuYasha!"

Makhluk kerdil itu berlari menghampiri tuannya, ikut memandangi sang mayat. "Amat sangat mengerikan. Apa yang akan anda lakukan sekarang, Sesshomaru-sama?"

Dalam keadaan seperti biasa, Sesshomaru hanya akan memalingkan wajah dan melanjutkan perjalanan sambil berkata 'Biarkan saja' atau 'Tidak usah pedulikan'. Namun kali ini InuYasha yang berada di hadapan mereka. Walaupun tidak secara resmi mereka menyatakan perdamaian, mungkinkah tuannya akan sekejam itu meninggalkan mayat adik tirinya?

Tentu tidak. Dengan sedikit terkejut, Jaken menyadari dirinya sedikit lega saat melihat tangan kanan tuannya menarik Tenseiga dan mengancungkan ujung pedangnya ke arah tubuh InuYasha. Ingin sekali rasanya ia menangis melihat kebaikan hati majikannya yang amat langka, lebih-lebih kepada orang yang pernah amat dibencinya. Tentu saja, setelah mendapatkan bakusaiga dan lengan kirinya kembali, Tuan Sesshomaru tidak lagi memiliki alasan untuk dendam pada InuYasha. Apalagi sejak mereka bekerja sama mengalahkan Naraku tiga tahun yang lalu.

Mata Sesshomaru menyipit, keningnya sedikit mengerut. Agak lama ia terus memegang pedangnya dengan pose seperti itu.

'Dimana?' tanyanya dalam hati. 'Dimana mereka? Mengapa aku tak dapat melihat para pelayan dari akhirat?'

Jaken menunggu dengan tidak sabar. Ketika InuYasha hidup kembali, ia sudah bersiap untuk menceramahinya dengan kata-kata penghinaan agar ia segera berterimakasih pada Tuan Sesshomaru. Hah! Sang hanyou itu pasti akan kaget sekaligus merasa kesal karena telah ditolong oleh seseorang yang tidak ia sukai.

Beberapa detik telah berlalu, namun belum juga ia melihat tuannya menebas sesuatu.

Suara decakan terdengar. Sesshomaru kembali meletakkan Tenseiga ke tempatnya.

"Sesshomaru-sama?!" pekik Jaken sedikit panik. "A-anda berniat meninggalkan InuYasha begitu saja? S-saya tahu dia hanyalah seorang hanyou dan tuan amat membencinya. T-tapi bagaimanapun juga, dia tetaplah adik tuan dan... dan..."

"Jaken!" suara berat serta tatapan mematikan segera membungkam siluman katak.

Jaken merasakan tubuhnya semakin kerdil. "Ma-maafkan aku, Sesshomaru-sama."

Perhatian Sesshomaru kembali pada tubuh adiknya.

Jika Tenseiga tak mampu mengembalikan hidup InuYasha, apalagi yang bisa ia lakukan? Lagipula, hidup atau mati InuYasha sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya maupun tujuannya. Mungkin saja, InuYasha pernah diselamatkan dari kematian oleh Tenseiga saat ia masih bayi. Orang yang pernah sekali dihidupkan oleh Tenseiga, tidak lagi dapat diselamatkan untuk kedua kalinya, seperti kata ibunya.

Ibunya. Itu dia!

Tentu saja. Saat ini, satu-satunya makhluk yang bisa menyelamatkan InuYasha hanyalah ibunya; siluman penguasa istana langit yang memegang batu meido- benda yang lebih ampuh dari Tenseiga dalam hal menghidupkan makhluk yang sudah mati.

Sesshomaru menyelipkan tangan kanan ke balik leher InuYasha, membawa kepala adiknya bersandar pada moko-moko tebal di pundak sementara tangan kirinya menahan pinggangnya agar tak lepas dari rengkuhannya. Kedua kakinya yang terbungkus sepatu boot perlahan berlevitasi. Diiringi dengan hembusan angin yang kencang, tubuhnya terbang membawa mayat sang hanyou bersamanya.

"Sessh-Sesshomaru-sama!" teriak Jaken dari bawah. "Jangan tinggalkan aku. Sesshomaru-sama!" Oh, dia harus segera mencari Ah-Un agar bisa mengejar tuannya.

Sang daiyoukai mengabaikan teriakan pengikutnya yang semakin tak terdengar. Pikirannya terus bekerja mencari alasan pembenaran atas tindakannya kali ini. Ia ingin InuYasha tetap hidup. Tapi mengapa? Mengapa ia harus peduli pada jiwa hanyou yang ia anggap sebagai aib keluarga. Mungkinkah karena darah ayahnya-siluman yang amat ia hormati- juga mengalir pada InuYasha? Walaupun hanya seorang hanyou, Sesshomaru tidak akan rela jika keturunan ayahnya dapat dikalahkan dengan mudah oleh siluman rendahan seperti tadi. Kelahiran InuYasha sendiri sudah merupakan penghinaan terhadap keluarganya dan ia tak akan membiarkan penghinaan lainnya muncul dengan kematian InuYasha yang sia-sia. Setidaknya, jika InuYasha memang harus mati, maka hanya dirinyalah yang berhak membunuh InuYasha, bukan makhluk lain.

Matanya melirik adiknya sebentar. 'Kau harus tetap hidup', batinnya. 'Jika tidak, Sesshomaru ini tidak akan pernah memaafkanmu'.

.

.

To be continued