Fiction ini aku didedikasikan untuk teman-teman seperjuanganku di kala yang manis itu. Untaian kata tak dapat menjelaskan rasa yang tersisa padaku akan masa-masa kita bersama.

Semoga semua impian kalian terwujud.

a/n: Fiction ini hanya karangan. Kontennya adalah imajinasi author belaka.


Pala Telesia

(May You Find Your Destiny)

.

DISCLAIMER

Dragon Nest © Shanda Games

I own all the OCs

.

Main characters list

Roris – Archer: elf muda yang berkelana untuk memenuhi takdirnya

Regillus – Cleric: manusia berhati lembut yang memiliki misi melindungi Lagendia beserta penghuninya

Giga – Warrior: antara prajurit atau pelawak, namun berhati ksatria

.

.

Ini adalah kisah tentang pencarian. Ini juga adalah kisah tentang penemuan. Sebagiannya adalah penemuan hal-hal yang lebih baik tetap terpendam. Namun, kita semua tahu, beberapa hal memang untuk dicari—dan ditemukan, walaupun dalam pencarian dan penemuan itu, ada yang harus hilang…


Chapter 1

Sang Vikaris

.

Tak ada apa pun yang menemaninya di jembatan putih Calderock sore itu, selain daun-daun yang menari ditiup angin.

Ia Regillus, seorang Cleric yang baru melepaskan kuk biara dari lehernya. Seperti biasa, ketika senja merekah, ia memutar otaknya, berpikir keras; kebiasaannya setiap hari sejak hari pertama ia memasuki biara. Namun hari ini, senyum terkembang di bibirnya.

Gemerisik dari arah hutan mengejutkannya. "Siapa di sana?!" sentaknya tiada gentar. Disentuhnya gada yang terikat di pinggangnya.

Ia terkejut ketika seorang elf muda dengan gontai menampakkan diri. Lalu, elf itu rebah ke tanah begitu saja, bagaikan burung kecil yang patah sayapnya.

.

.

.

"Hai."

Itu kata pertamanya. Ia tersenyum hangat. Sinar matahari samar-samar terpantul oleh helaian rambut platinumnya. Dia bagai seorang guardian dari dunia mimpi.

Kami berkenalan. Ia menyebutkan namanya.

"Regillus."

Nama yang indah. Aku tersenyum pada bunyi yang dihasilkannya.

"Namaku Roris," kataku, entah mengapa suaraku serak.

Ia balik tersenyum, menunjukkan deretan gigi sempurna. "Senang berkenalan dengan Anda, Nona Roris." Dahinya sedikit berkerut. "Apa Anda sudah merasa baikan?" lanjutnya.

Sebuah anggukan kuberikan padanya sebagai jawaban.

"Syukurlah," ujarnya dengan tulus, dan senyumnya melembut.

Regillus ternyata keturunan bangsawan, seorang ningrat yang dibesarkan dengan baik oleh kedua orang tuanya. Tak heran cara bicara vikaris tersebut berbeda. Ketika ia membuka mulutnya, ia yakin dengan apa yang akan keluar dari sana. Hanya dengan mendengar suaranya, aku merasa tenang.

Kami berjalan-jalan setelah ia memintaku meneguk teh buatannya. Segelas tehnya membuat tubuhku segar seketika. Namun, kurasanya senyumnya yang menawan itulah yang paling membantu proses pemulihanku.

Aku bertanya padanya,

"Regillus, apa yang membawamu ke Calderock?"

Bagaimana mungkin aku tak penasaran. Pemuda seterdidik dan seningrat dia biasanya akan berakhir di dalam kastil, mengurusi masalah politik, dan bukannya di medan perang. Lagi-lagi Regillus tersenyum, namun kini senyumnya sedikit sendu. Suaranya yang sehalus sutera menegas ketika ia menjelaskan suatu hal padaku. Inti dari penjelasannya adalah:

"Aku ingin melindungi Lagendia."

Kekagumanku bangkit.

"Aku juga."

Ia mengangguk, mendukung pernyataanku.

Kami berjalan sampai ke depan Calderock, kembali ke jembatan tempat ia menemukanku.

"Dari mana kamu mendapatkan kalung itu?" tanya Regillus spontan, mengalihkan topik pembicaraan ketika matanya menangkap pantulan cahaya di leherku. "Aku pernah melihat sesuatu yang mirip seperti itu," lanjutnya.

Kuusap kalung berbandul batu delima tersebut.

"Ratu elf memberikannya padaku sebelum aku berangkat ke mari. Ini diterimanya di hari kelahiranku dari seorang manusia yang diselamatkannya. Dia percaya, ini bagian dari Telesiaku."

Matanya melebar dan berbinar.

"Telesia?"

"Telesia berarti Takdir. Kami, kaum Elf, percaya bahwa pada hari kelahiran kami, setiap kami menerima sebuah Takdir yang harus kami temukan dan laksanakan sepanjang hidup kami. Aku rasa, Telesiaku ada di luar Anu Arendel. Untuk itu aku pergi dari sana," jelasku panjang lebar.

Kuusap lagi kalung tersebut untuk yang ke sekian kalinya. Mataku menerawang entah ke mana. Hatiku terasa berat.

"Agak mencemaskan, bukan? Bagaimana kalau aku tidak suka takdirku? Bagaimana kalau takdirku… Hanya jadi peternak minion?!"

Pria berambut perak itu tertegun, lalu tertawa renyah. Katanya, "Aku yakin bukan itu Takdirmu. Kamu akan menyukainya. Aku rasa kamu akan jadi Elf yang sangat hebat."

Elf ini menggigit bibirnya menahan senyum. Ah, tetapi mana mungkin Elf ini berhasil menahan senyumnya lebih lama?

"Bagaimana kamu tahu?" usutku.

"Aku bisa merasakannya."

Perutku tergelitik. Pertama kalinya dalam hidupku seseorang mengatakan hal yang begitu baik dan ganjil di waktu yang bersamaan. Aku pun meringis selebar yang kubisa.

"Ayo kita bertualang bersama, Reg! Ayo kita bantai monster-monster itu sampai mayat mereka menumpuk setinggi gunung! Ha!"

"Reg? Hahaha… Sudah lama aku tidak dipanggil begini. Oh. Ya, idemu boleh juga! Tapi pertama-tama, kamu butuh busur baru. Ya, kan?"

Ah, aku lupa. Busurku memang dirusak oleh goblin hutan. Regillus pun mengantarku ke seorang blacksmith handal di Calderock dan membayar beberapa silver untuk busur baruku, sambil terus menerus menolak ketika aku berjanji akan membayarnya kembali.

"Teman tidak saling berhutang. Kau tidak perlu mengembalikan apapun," pungkas laki-laki itu, menyeringai lepas. "Kita ini teman, kan?"

Yang aku tahu, aku hanya peru memberinya satu anggukan. Tentu saja, Reg! Kita ini teman!

"Mulai sekarang sampai masa tuamu, kita adalah teman!" kataku, menggenggam kata-kata ini erat dalam hatiku.

"Masa tuaku?" Regillus mengangkat alisnya. Yah, tentu dia paham. Elf tidak menua. Dan tawa Regillus pun tiris sudah.

"Jadi maksudmu aku bakal jadi bapak-bapak, sementara kamu bertahan sebagai wanita muda yang menawan selamanya? Hahaha. Humormu bagus sekali!"

Pipiku merona.

Sungguh sebuah hari yang sempurna. Aku akan mengingat hari ini, hari di mana aku bertemu seorang teman yang berharga. Seorang sahabat. Sahabat terasa bagai kawan lama hanya dalam beberapa menit. Itu benar adanya.

.

.

"Kamu tahu, aku bertemu seorang bocah kecil di Prairie Town. Dia memintaku mencari kakaknya, Rose."

Tentu Regillus tahu. Semua petualangan yang memulai perjalanannya di Prairie Town tahu. Tapi, ia berkata, itu bukan misinya. Bukannya Regillus tak peduli dengan nasib gadis bernama Rose itu, hanya saja, panggilannya adalah untuk melindungi orang-orang yang disayanginya. Dia telah memutuskan untuk memercayakan masalah Rose kepada para petualang lain yang sanggup. Toh, memang kabarnya beberapa petualang muda dan kuat sudah menjalankan quest tersebut. Buat apa dipusingkan lebih lanjut?

"Setiap orang punya perannya masing-masing, Roris," hanya itu pungkasnya. "Peran kita untuk hari ini ada di lembah ini."

Lembah ini. Sarang beberapa goblin berbusur. Kami harus membuat jalan kami sendiri menuju penguasa lembah ini: Dark Elf Lydia.

Sesekali Regilus memberi semangat padaku.

"Anggap ini sebagai latihan. Tetap fokus. Ingat, aku yang mengajakmu ke sini. Aku akan bertanggung jawab dan menjagamu tetap hidup. Percayalah padaku."

Aku percaya padamu, Reg.

Tapi, percaya tidak semudah itu. Aku tahu, akan ada suatu saat di mana Regillus bahkan takkan mampu menyelamatkanku jika aku lengah. Jadi aku pun menggerakkan kakiku, menerjang banyak sekali hound dan goblin, sebelum mereka dapat menerjangku. Membantai atau dibantai; hanya ada dua Takdir dalam dungeon.

Aku tak begitu paham apa yang terjadi, namum di sampingku seekor orc tersengat listrk, dan

BRUK!

Aku melihat Regillus terpukul mundur oleh serangan monster lain. Ia sedikit melenguh.

"Reg!"

"Fokus saja dengan monster besar itu!" erang Regillus setengah kesakitan. Yang dimaksudnya tentu orc tadi.

Keadaan menjadi semakin genting ketika beberapa monster lain mulai datang mengerumuni Regillus. Diserang panik, si Archer pemula ini berusaha menyingkirkan musuh-musuh di sekeliling temannya, sambil sebisa mungkin menghidari serangan orc yang mulai memburunya lagi. Orc itu menjadi semakin liar seiring berkurangnya efek serangan Reg.

Keadaan menjadi semakin gawat ketika rombongan Hound datang dari depanku. Tidak ada gunanya menunggu pertolongan Regillus saat ini. Jika Archer tidak mengerahkan semuanya, dia bisa mati.

"Roris, jangan pernah menyerah!" teriak Regillus dari jauh.

"GRAOOO!"

Amukan sang orc semakin menjadi-jadi. Gawat! Bagaimana ini? Tidak tampak kemungkinan untuk lolos sama sekali! Jadi, seperti ini, ya, rasanya dikejar-kejar kematian… Hatiku menjerit. Ini hari pertama petualanganku!

Tidak! Regillus benar! Aku tidak boleh menyerah! Aku harus menghadapinya. Lagipula, aku bukan elf kalau mati tanpa menemukan Telesiaku!

Kubulatkan tekad dalam dada. Jiwa ini meronta, melawan ketakutan yang melanda. Tubuh yang kaku ini mencoba mengikuti insting, menyiapkan panah dan menarik busur. Dengan bantuan sebatang pohon, kaki ini secepat mungkin mengubah arah gerak—

Dan aku melentingkan diriku, melepaskan anak-anak panahku, sambil mengucapkan doa di dalam hati: jangan meleset!

JLEB JLEB JLEB.

Tiga panah melesak ke kepala orc yang langsung terhuyung-huyung dan tumbang ke tanah.

.

"Kamu hebat," puji Reg. "Orc itu lawan yang tangguh."

Kubalas dengan sekadar mengangkat bahu.

"Kamu sendiri tadi nyaris dihabisi monster-monster itu, tapi tidak."

Pemuda itu nyengir ke arahku sembari mengangkat perisainya. "Memang kamu kira logam ini hanya pajangan? Haha! Yah, arena pertarungan memang seperti itu, Roris. Kamu mungkin akan melihat hal-hal yang lebih mengerikan. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja."

Mendengarnya saja tengkukku tegang. Apa Regillus… sudah pernah menyaksikan temannya mati?

... Ya, dia sudah pernah, batinku.

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Tempat ini masih belum seberapa. Kita semua akan keluar hidup-hidup, seperti yang kujanjikan."

Regillus menarik napas. Membaca sebuah mantra suci, Regillus mengubah atmosfer di sekelilingnya. Tak lama kemudian aku merasakan angin sejuk mengalir masuk ke dalam badanku, dan perlahan merasa lebih segar. Ah, Vikaris.

"Luar biasa… Di mana kamu belajar sihir-sihir itu? Keren…"

Regillus tersenyum. "Ini mantra suci. Ada perbedaan mendasar antara Cleric dan Sorceress. Cleric menggunakan kekuatan ilahi. Ini mungkin kedengaran gila, tapi, yah, disebut Guardian of Light karena hal tersebut. Haha. Seperti yang kamu bisa lihat, serangan-seranganku berelemen cahaya, karena aku ada di pihak Terang. Membasmi monster-monster ini adalah jalan hidupku. Satu-satunya jalan Kebenaran."

Ternyata aku memang benar tentangnya; dia adalah guardian. Mataku hampir bulat sempurna memandangi Regillus dalam orasi singkatnya.

"Aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kamu jelaskan ini."

Regillus dengan penuh pengertian menjawab keingintahuanku.

"Gerbang Kegelapan, sebut saja begitu, telah terbuka di suatu tempat. Itulah kenapa monster-monster ini bermunculan dan semakin banyak saja jumlahnya dari hari ke hari. Jika kita diam saja, Lagendia, tanah yang kita cintai ini, akan hancur. Tidak ada lagi hari-hari damai, tidak akan ada lagi tawa semarak di jalan-jalan Calderock."

Regillus mengangkat wajahnya, menatapku lurus dengan matanya yang kini berapi-api. "Aku cinta Lagendia, dan akan kubela tanah ini, walaupun nyawa taruhannya. Itu sudah menjadi keputusanku. Jalan hidupku. Satu-satunya rencanaku."

Aku mengerti. Untuk sebuah mimpi yang mulia, selalu ada harga yang mahal. Ya, aku yakin Regillus sudah melihat teman-temannya gugur demi memperjuangkan mimpi yang mereka dekap dalam dada. Kedamaian itu merah, memang benar adanya. Suatu saat nanti, mungkin darahnya sendiri harus tertumpah demi kedamaian tanah ini. Namun aku tidak melihat keraguan di matanya. Hanya tekad. Dan cinta.

Raut wajah Regillus melunak kembali. Sekali lagi, senyumnya yang lembut itu muncul. Aku penasaran, sudah berapa wanita meleleh oleh senyumannya. Tapi kemudian,

"Terima kasih juga sudah berusaha menyelamatkanku, walaupun aku tak memintanya," katanya, sarat sindiran. Aduh!

Diriku pun tertunduk malu. "Maaf."

Regillus menepuk pelan pundakku. "Lihat dirimu. Kamu akan jadi orang yang hebat suatu saat nanti. Orang-orang kuat adalah mereka yang bisa mendahulukan orang-orang yang mereka sayangi di atas dirinya sendiri, karena kamu lebih kuat ketika kamu melindungi," Regillus bertutur bijak. Tak heran Regillus begitu kuat. Ia selalu punya alasan untuk melindungi.

Sang Vikaris bangkit.

"Oke! Kita berangkat begitu matahari terbenam. Aku ada janji dengan seseorang di tempat itu."

.

Kami sudah dekat dengan Dark Elf Assassin Lydia. Hatinya sekelam malam, aku bisa merasakannya. Aku tidak tahu bagaimana dengan Regillus, hanya saja, pada dasarnya, hati sebagian besar manusia bisa terkontaminasi jika berlama-lama di dekat sebuah sumber kuasa jahat. Aku ingin mengakhiri ini secepat mungkin.

"Siapa yang kamu tunggu?" bisikku gelisah, seakan Lydia sedang menyadap obrolan kami.

"Teman lamaku. Di mana dia?" Regillus mengembuskan nafas panjang. "Hah… Kebiasaannya itu menyebalkan sekali. Apa boleh buat. Keadaan akan lebih gawat tengah malam nanti."

Kedua petualang ini pun menerobos pagar-pagar dan terus naik sampai tampak lembah bermata air. Maka bermunculanlah Dark Elf. Keberadaan mereka seketika membuat langit kelabu. Elf-elf kegelapan itu gesit sekali. Dan hitam. Roris tak pernah suka sesuatu yang hitam dan gesit, mengingatkannya kepada geji-geji* yang dibencinya dengan sepenuh hati. Jangan tanya bagaimana bentuknya!

"Kita kedatangan tamu rupanya!"

Lydia muncul dari antara elf-elf hitam itu, dan ia bukan hanya sekadar Dark Elf manja yang lemah. Bagi Roris dan Regillus, harus diakui makhluk itu cukup menantang dalam hal kekuatan dan kecepatan. Seorang Archer benar-benar harus menjaga jarak agar tidak kena cakarnya.

Kami bertarung tak terlalu lama, sampai musuh kami itu berbasa-basi,

"Oh, kalian berdua sangat menggemaskan. Aku harap kita bisa bermain lebih lama, tapi aku ada janji. Sayang sekali, tapi permainan ini harus berakhir di sini."

Lydia mempersiapkan serangan terkuatnya.

Tapi…

"Woi, Ratu Gosip! Daripada pergi arisan, kusarankan kauasah saja kuku-kukumu itu! Lihatlah! Kau bahkan nggak mampu menggores pipi-pipi tembam mereka!"

Sesosok manusia berkulit gelap muncul, mengomentari seenaknya pipi-pipi kami, lalu membuat pernyataan wah lainnya:

"Bersiaplah ko'it di tangan Giga yang termasyhur ini!"

Lydia terusik. "Biar kuasah kuku-kukuku di tulang lehermu!"

Namun, dengan pedang besarnya dia menyerang Lydia. Tanpa ampun. Tanpa istirahat.

Ini. Baru. Barbar.

"Sampaikan salamku pada bawahan-bawahanmu kalau kau sudah mendarat di neraka, ya!"

Ia menebaskan pedangnya, dan Lydia terbanting ke samping.

"Dia yang kaumaksud teman lama?" tanyaku heran di sela-sela dialog sang Warrior. "Banyak sekali cakapnya."

Regillus hanya tersenyum miring, lalu bergabung dengan Warrior gila itu.

"Dari dekat kau makin tampak seperti nenek tua peyot! Saatnya operasi plastik!"

Warrior itu mengayunkan pedangnya lagi. Lydia terpukul telak, namun berhasil bangkit lagi. Ia tampak tak senang. Sangat tidak senang.

"Manusia tengik!" erangnya.

Tubuhnya bergetar, langit pun menggelap. Dengki dan amarahnya terasa begitu pekat dan nyata. Suasana semakin mencekam. Semakin Lydia bertambah marah, kekuatannya tampak semakin mengerikan. Semakin mengerikan pula wajahnya. Lalu, semakin menjadi-jadilah olok-olok Giga. Sempurna! Diulangi saja terus-terusan.

"Reg, suruh dia diam!" pekikku.

Bukit tempat pertarungan mulai hancur. Lydia sudah hampir melepaskan serangan finalnya. Dan rasanya, ini benar-benar gawat.

"Kalian akan menyesal pernah menantangku. Biar kupotong kepala kalian dan kupajang di depan benteng!"

Monster itu bersiap mengayunkan cakarnya yang dipenuhi racun dari udara. Sebelum Regillus sempat berkutik, seketika Lydia berhenti bergerak.

Lydia berhenti bergerak!?

CRAT CRAT CRAT!

Sayatan bertubi-tubi yang entah dari mana datangnya mengoyak tubuh elf kegelapan tersebut hingga hancur tak berbentuk. Gumpalan-gumpalan daging pun berhamburan dan berceceran di tanah, menodai rumput yang telah kering.

Bruk!

Potongan tubuh terbesar Dark Elf itupun jatuh begitu saja. Tentu saja, masih sedikit bergerak-gerak. Mengerikan. Geji-geji pun tak semengerikan ini.

Terengah-engah, Regillus berusaha memeriksa keadaan. Akupun sempat melihat apa yang ia dapati: sesosok pemuda beratribut serba hitam. Sosok tersebut memandanginya balik, namun tak lama kemudian menghilang begitu saja. Aku akan ingat mata itu. Mata semerah rubi itu.

Lalu,

.

"SIALAN! DIA TELAH MEREBUT KEMASYHURAN SERANGAN TERAKHIRKU!" jeritan Giga bergaung, membuyarkan ketegangan yang mengambang lama.

.

.

"Jadi kau yang namanya Giga?" tuturku.

"See

nggaknya ketermasyhuranku sedikit menghiburku," ringkik pria berbadan besar itu. Siapa juga yang termahsyur. Aku juga baru tahu tentang keberadaannya dua-tiga jam yang lalu.

Ia melirik teman lamanya. "Nggak pernah tahu Regillus sudah lebih berani bersikap manly di depan seorang cewek. Hmhmhmh. Padahal dulu kalau ada cewek yang mendekatinya, dia selalu kabur begitu saja, sampai orang-orang mengira dia sudah dikebiri," cerocos prajurit itu.

Regillus hanya menghela napas, lagi. Dari matanya, aku tahu ia bernafsu menghajar Giga. Warrior itu sepertinya tak punya saringan untuk mulutnya. Dia juga tidak bisa baca suasana.

"Dia itu dulu pernah didekati perempuan cantik, tapi ditolaknya mentah-mentah dengan alasan biara tidak memperbolehkannya. Padahal, satu atau dua hubungan yang tak direstui juga nggak dosa-dosa banget, kan? Lagian, itu sihir ampuh bagi keberlanjutan gosip di Lagendia. Iya tidak?"

"Sebentar. Biar aku bicara denganmu dulu," ujar Regillus tanpa mengomentari pernyataan Giga yang diragukan keberpihakannya itu.

Dan Giga pun mendapat kuliah suci tentang ketepatan waktu dan bagaimana menjaga suasana khidmat sebuah pertarungan. Aku yang tidak dimarahi saja makan hati mendengarnya. Sepertinya bicara panjang lebar dengan tarikan napas yang jarang-jarang adalah talenta unik Regillus.

"Ini bukan pertama kalinya mulutmu hampir membunuh kita!"

"Kalau aku bisa menaklukkan mulutku sendiri, hari ini rivalku tidak akan tersebar di seluruh belahan dunia yang luas ini! Terimalah aku apa adanya. Toh, mulut ini juga yang telah menenangkan dan menghiburmu berulang kali," ujarnya sambil mengangkat-angkat alisnya.

Regillus menghembuskan napasnya. Giga tersenyum lebar.

"By the way, siapa teman kecilmu ini?"

Maaf? Kecil? protesku dalam hati. Kalau dibandingin denganmu, sih, Guild Master Deckard yang tambun itu juga "sedang sedang saja"!

"Err, kenapa mukanya galak begitu? Dia cemburu karena kita akrab?"

Siapa juga yang cemburu karena dua cowok dekat-

Tunggu. Reg yang awkward di depan semua wanita... Lalu, kalimat 'terimalah aku apa adanya' itu maksudnya... Reg dan Giga...?

"...nanti saja kita kenalan di bar. Malam ini kita harus minum sampai mabuk, merayakan kemenangan ini! Wahaha!" sambung Giga, entah sebelum itu dia ngomong apa.

"Kemenangan dari mananya? Kita cuma kecipratan debu di akhir saja!" protes Regillus.

"Ya sudah, sih. Toh, barang jarahan kita banyak. Untung saja nggak diambilnya. Pasti ini bisa menghasilkan banyak gold," kata Giga. Sepertinya ia sudah tak sebal lagi. "Ayolah, Kawan. Nikmatilah hidup selagi kau bernapas. Geheheh!"

"Asal kau tahu, bukan begitu caraku menikmati hidup!"

Giga berkata Regillus membosankan. Dua orang yang berbeda itu tidak henti-hentinya adu mulut sampai kami hampir tiba di Calderock lagi. Yah, semakin dekat kau dengan seseorang, semakin sering bertengkar juga pasti, begitu pikirku. Hm. Curiga.

"Bagaimana denganmu, cewek kecil? Aku tahu bar yang bagus di dekat sini."

"Jangan ganggu dia! Dia masih baru di sini."

"Galak banget, sih. Aku nggak akan merebutnya darimu, kok!"

Petualangan itu diakhiri dengan kurang damai, namun kita tahu, bahwa kelompok Regillus resmi punya tiga anggota sekarang. Walaupun, kedengarannya seperti empat orang. Bukan! Kedengarannya seperti segerombol perampok penggerutu yang sedang ribut soal pembagian jarahan.

Di akhir perjalanan, matahari terbit dari balik tembok Calderock. Roris, inilah awal dari petualanganmu.

.

.

.

Bersambung


"Hm. Menarik."

"Kamu mungkin harus mengawasi mereka."

"Harus kuakui itu ide yang… Menggiurkan, Elena."


Hai penghuni fandom DN Indonesia dan pembacaku di seluru dunia /apaan. Sebuah fiction kupersembahkan, sebagai sebuah upaya untuk tidak melupakan perjuangan dalam hidup saia sendiri /ngirisbawang. Untuk pertanyaan, silakan PM. Untuk kritik, saran dan komentar, silakan review. Untuk pengakuan dan pernyataan perasaan- /ditendang. Selamat menantikan chapter 2 yang tidak akan muncul dalam waktu dekat. Ohoho. If your name starts with J and ends with E, this story has nothing to do with you. (Which means, it has everything to do with you.) Mungkin bingung ya ini fiction flow-nya kok rusak serusak-rusaknya. Awalnya kok sendu2 romantis tapi kok endingnya bejad begini. Haha. Ya, itu memang suka2 saia sebagai author. Bear with it onegaishimasu.

RSVP?

Review S'il Vous Plait :)