HANAMI

by 0-reiyuu

.

Haikyuu! © Furudate Haruiichi-sensei

.

Bokuto Koutarou x Akaashi Keiji

.

Ayakashi!Bokuto, Human!Akaashi, Alternative Universe, Shounen-ai, OOC, Typo, Misstypo

.

Dedicated for Bokuaka Week #5

Day 1 : Cherry Blossoms

.

Saya tidak mendapatkan keuntungan apapun dalam pembuatan fanfiksi ini kecuali kepuasan diri dan kesenangan semata.


.

(0)

.


April. Bulan keempat dalam kalender masehi. Apa yang mengingatkanmu dengan bulan ini? April Mop? Paskah? Secara kondisi alam April adalah bulan dimana Jepang telah memasuki musim semi. Cuaca mulai menghangat. Waktu yang tepat untuk menggeliat keluar dari cangkang kotatsu yang mengkungkung selama musim dingin. Didukung pula dengan semaian kuncup-kuncup yang mengintip dari celah-celah kulit pepohonan yang kecoklatan. Lelehan salju perlahan digantikan dengan bias warna-warni dedaunan dan kelopak yang tak malu-malu lagi menunjukkan keindahan mahkotanya.

Tidak ada lagi pikat yang lebih memukau selain mahkota bersemu merah muda yang memenuhi dataran Negeri Matahari Terbit. Sakura. Bunga tercinta masyarakat Jepang. Pukaunya mempesona di setiap helaian kelopaknya. Seduksinya menggoda setiap pasang manik layaknya gadis perawan nan rupawan. Pesonanya menggerakkan tubuh mendekat ke dalam pelukan tanpa paksaan. Hipnotisnya membuat lupa diri. Tiada yang bisa menahan diri untuk tak duduk bersila, bersenang-senang melupakan diri dengan bernyanyi, menenggak sake dan menikmati hidangan, melebur dengan mereka yang dikenal maupun yang baru bertatapan di bawah guyuran merah muda.

Atau begitulah yang seharusnya terjadi.

Di sudut rumah sederhana dengan pekarangan luas itu justru di sanalah Akaashi berada. Pemuda itu bergelung nyaman bersandar kaki sofa. Dari balik pintu geser kaca kau bisa melihat sosoknya yang duduk dengan kaki terlipat di dada. Selimut tebal berbahan flanel tersampir nyaman di atas bahunya, membungkus piyama yang membalut tubuh. Rambut hitam ikalnya berantakan—lebih berantakan dari biasanya. Jejak-jejak buaian mimpi masih terukir di wajah cantiknya pertanda bahwa ia belum menginjakkan kaki ke kamar mandi barang sejengkal. Uap coklat hangat mengepul dari mug dalam genggaman. Perhatiannya separuh tak fokus menatap layar kotak bergambar yang tengah menyajikan berita entah apa. Tak ada sang ibu yang mengomeli kebiasaan malasnya. Ataupun sesosok berisik yang menyita perhatiannya.

Benar-benar pagi yang menenangkan.

"AKAAAAASHIIII! TADAIMA!"

—Atau setidaknya itulah yang ia harapkan.

SREETT! BRAK!

Pintu kaca itu dibuka tanpa ampun.

"Bokuto-san, tolong kecilkan suaramu. Dan tolong tutup pintunya perlahan."

Bokuto hanya nyengir kuda. Selalu saja lupa untuk menahan semangatnya yang berlebih.

Ayakashi yang menjelma menjadi sosok pemuda dengan rambut putih bersemu abu-abu itu menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Akaashi. Bokuto merilekskan tubuhnya dengan bersandar kaki sofa dan kaki terlentang di atas lantai berbalut karpet. Manik abu-abu kehijauan itu melirik sang ayakashi penuh selidik. Wajahnya masih berbias semangat seperti biasa, semburat tipis merah muda menghiasi pipinya. Kimono dengan atasan berwarna coklat muda dan bawahan abu-abu gelap itu nampak sedikit berantakan. Bau rumput pagi menguar dari tubuhnya bercampur bau lain yang selalu Akaashi cium ketika Bokuto pulang larut atau terlampau pagi.

"Bokuto-san, kau minum-minum lagi ya?" tanyanya retoris.

Bokuto tersentak kaget. Tangannya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, kebiasaan yang tanpa sadar ia lakukan jika ketahuan. "Ehehehehe... hanya sedikit kok."

Akaashi menghela napasnya kesal. Bibirnya siap melontarkan kalimat omelan kalau saja ponselnya yang berada di atas sofa tak bergetar beberapa kali—pertanda pesan masuk. Tangannya beranjak meraih benda persegi berwarna putih itu. Dipencet dan digesernya ponsel berlayar sentuh itu beberapa kali hingga menampilkan aplikasi pesan. Bokuto diam-diam melongo dari belakang bahunya.

From : Ennoshita Chikara

To : Akaashi Keiji

Subject : Hanami

Akaashi-kun, aku tahu kau bilang kemarin kau tidak bisa datang. Tapi kalau hari ini kau senggang mari melihat sakura sama-sama. Yachi-chan dan Suzumeda-san membuatkan bekal yang banyak.

Manik emas Bokuto membulat ketika melihat kata hanami terpampang di sana. Senyumnya merekah tanpa henti. "Akaashi, hanami, hanami, Akaashi. Sekarang sakura sudah mekar ya? Pantas saja aku tidak banyak melihat manusia sepanjang jalan pulang tadi. Hanami kah? Itu berarti pesta, makan bersama, bernyanyi bersama, sake. Daging! Hey! Hey! Hey!"

Akaashi menutup matanya lelah. Pemuda itu mendengus sebal, tak berniat mendengar rancauan lebih dari itu. Ditutupnya aplikasi pesan itu tanpa berniat sedikit pun memencet tombol balasan. Ponsel kembali diletakkan di tempat semula. Selimut di bahunya ia rapatkan kembali. Tubuhnya dibaringkan sejajar di atas karpet yang lembut dan nyaman.

"Oh, Akaashi. Kita harus datang dan merayakan hanami sama-sama. Pasti menyenangkan," ujar sang ayakashi jelmaan burung hantu itu semangat. "Ya kan, Akaashi," kata meminta persetujuan.

Namun yang manik emas itu lihat berbeda dengan apa yang sang pemilik harapkan. Yang diajak bicara justru tengah asyik bergelung tiduran layaknya ayakashi kucing sahabatnya. Bokuto menatap penuh penasaran. Si ayakashi duduk berjongkok di hadapan si manusia.

"Akaashi, kau tidak pergi?"

"Aku tidak pergi, Bokuto-san."

Bokuto menatap manusia kesayangannya itu tak percaya. Seolah kata-kata yang dilontarkan pemuda tujuh belas tahun itu pertanda kiamat.

"Kenapa?" tanyanya.

"Aku tidak terlalu suka keramaian. Lagipula pergi ke sana terlalu melelahkan. Kenapa harus ke sana kalau kau bisa bersenang-senang di rumah?" jawab si penjawab lengkap dengan uapan kantuk. Pemilik kelereng abu-bau kehijauan itu menggeliat di balik selimut sebelum akhirnya menyembunyikan sebagian wajahnya. Kembali menyamankan diri seolah tempatnya berbaring itu adalah tempat ternyaman yang ia rasakan.

"Akaashi jangan-jangan kau..."

Manik abu-abu kehijauan itu terbuka sebelah.

"Jangan-jangan kau telah keracunan miasma-nya Kenma! Harusnya aku curiga bagaimana kau bisa cepat akrab dengannya."

Ah, Kozume-san kah? Ayakashi jelmaan kucing sahabatnya sahabat baik Bokuto. Si bakeneko yang tenang dan pemalas. Kalaupun benar ini racun Kenma-san, Akaashi tak begitu keberatan.

"Tidak akan kubiarkan!" Tangan sang ayakashi dengan sigap menarik ujung selimut kuat. "Bangun, Akaashi!" teriaknya.

Sebelum Akaashi mampu memproses apa yang sedang terjadi. Secepat kilat kedua lengannya sudah ditarik bangun oleh si yang lebih tua. Tubuhnya dipaksa bergerak mengikuti si pemilik lengan kekar itu.

"Ayo, Akaashi ini hanami. Kau tidak boleh melewatkannya hanya karena alasan bodoh macam itu. Lagipula teman manusiamu sudah susah-susah mengajakmu. Ayo!"

"Bokuto-san!"

Akaashi, protesmu sama sekali tak terdengar.


.

(0)

.


"Akaashi-kun, kau datang." Sapaan hangat dari teman sekelasnya, Ennoshita Chikara menyambut kedatangannya. Selang kemudian semakin menghangat dengan sambutan dari empat orang lain dalam kelompok mereka.

Sejujurnya Akaashi tak ingat bagaimana ia bisa sampai kemari. Setelah dipaksa Bokuto bersiap diri, semua yang ia lakukan empat puluh lima menit yang lalu terasa samar. Yah, datang ke sini ternyata bukan pilihan—atau lebih tepatnya paksaan. Apalagi setelah melihat ekspresi yang diberikan untuknya.

"Akaashi-san, terima kasih sudah datang. Kau bahkan membawa Fuku-chan." Yachi Hitoka, adik kelasnya tersenyum. Manik coklat madunya tak bertemu pandang dengan maniknya. Eh?! Akaashi mengikuti arah pandang gadis itu. Pemuda itu tak menyadari beban yang ditanggung bahu kirinya. Mata emas nan besar milik seekor burung hantu jenis horned-owl memantulkan abu-abu kehijauan miliknya. Sejak kapan?

Tak cukup butuh lima belas menit sampai si hitam membaur dengan lainnya. Ennoshita dan Taketora sibuk menawarinya berbagai bekal yang mereka bawa. Beberapa kotak berisi onigiri berbagai isian, tamagoyaki, karaage dan berbagai kue tradisional Jepang tergelar di atas alas kain piknik mereka. Di sisi lain dirinya, Suzumeda dan Yachi sedang memanjakan Fuku-chan—burung hantu jadi-jadian, wujud Bokuto agar bisa dilihat manusia yang berkedok sebagai hewan peliharaannya. Ini pasti alasan Bokuto memaksanya datang.

Bosan dengan obrolan teman-temannya, Akaashi mengedarkan pandangannya. Dibandingkan dengan sebutan taman, tempat ia duduk sekarang lebih bisa disebut kebun. Pohon sakura tertata rapi serempak memamerkan kelopaknya. Tak cukup meriah, bunga-bunga musim semi berkembang ayu di sana-sini, memberi warna berbeda di antara merah muda. Di bawahnya sudah tergelar tikar warna-warni milik pengunjung yang sebagian ia kenal sebagai warga desa tempat sekarang ia bernaung. Ia bahkan bisa menangkap sosok sang ibunda yang tengah bercengkrama di bawah pohon sakura lainnya. Oh, jadi ke sinilah ibunya menghilang sedari pagi. Yang menarik perhatiannya adalah sosok beberapa kelompok ayakashi yang tengah menikmati keindahan sang bunga layaknya manusia lainnya.

"Bahkan ayakashi pun tertarik dengan hal semacam ini rupanya."

Benar-benar suasana yang menyenangkan. Di sini tidak ada satu pun yang tidak gembira. Ayakashi, manusia melebur menikmati dengan cara yang sama. Inikah kekuatan sakura?

"Hachu! Hachu!"

"Akaashi-san, kau sakit?" tanya Yachi penuh khawatir. Diulurkannya sekotak tisu dengan sigap. Pemuda berparas cantik itu menggeleng. Tangannya sibuk menghapus ingus yang terus mengalir dari lubang hidungnya. Tindakannya sama sekali tak menghapus raut kekhawatiran dari gadis setahun lebih muda darinya. Akaashi hendak berniat mengatakan baik-baik saja, namun yang keluar adalah suara batuk dari kerongkongannya yang memanas.

"Akaashi-san?"

Panggilan gadis itu teredam di telinga Akaashi. Yang menjadi perhatiannya adalah hembusan angin yang menerbangkan helaian merah muda cukup kencang menerpa wajah.

"Akaashi-san?"

Nampaknya panggilan khawatir gadis bermahkota pirang itu menarik perhatian keempat temannya yang lain. Aura kepanikan dapat ia rasakan menyelimutinya. Maniknya tak fokus, kepalanya terlalu pening untuk memikirkan kata-kata meyakinkan pada mereka.

"Akaashi, wajahmu memerah, lho. Kau baik-baik saja?"

Tentu saja ia baik-baik saja. Ia hanya sedikit pusing dan bersin-bersin saja. Mungkin karena ia terlalu terburu-buru sampai mandi dengan air dingin. Salah Bokuto-san tentu saja. Mereka kira ia kenapa? Begitulah seharusnya kebohongan yang akan ia ucapkan. Namun raut wajah-wajah khawatir itu menghentikannya. Apalagi entah kenapa wajah teman-teman yang mengelilingnya semakin lama tampak memburam dengan air yang menggenang di mata, sakit kepala yang semakin lama luar biasa dan telinga yang berdengung. Mata dan wajahnya terasa memanas. Are? Bahkan pandangannya semakin mengabur perlahan menggelap.


.

(0)

.


Manusia itu adalah makhluk yang lemah. Hal kecil seperti cuaca dan segores luka bisa dengan mudah membunuh mereka. Manusia itu lemah. Hal remeh seperti sengatan serangga atau tumbuhan beracun bisa membinasakan mereka. Manusia itu lemah. Dan Bokuto selalu lupa bahwa Akaashi-nya adalah manusia—sehebat apapun kemampuannya dapat melihat makhluk sejenisnya. Makhluk lemah yang tergeletak tak berdaya hanya karena serbuk bunga.

Kilatan emas itu tak beralih sedikit pun, setiap tarikan napas itu tak lepas dari pengawasan. Keringat mengucur deras dari pori-pori kulitnya. Wajah pemuda itu memerah dengan cara yang tak Bokuto suka.

"Bo...ku...to...san?"

"Akaashi, kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu? Ada yang sakit? Kau butuh apa? Mau kuambilkan apa?" Bokuto memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Beratus-ratus tahun hidupnya, Bokuto tak pernah merawat manusia sakit. Bagaimana merawat Akaashi? Apa yang dibutuhkannya? Bagaimana kalau keadaannya semakin parah? Dia harus memanggil Akaashi-kaasan!

Satu genggaman di pergelangan tangan menghentikan kepanikan.

Bokuto menoleh perlahan. Bertemu pandang dengan abu-abu kehijauan yang berkabut.

"Tenanglah... Bokuto-san," ucapnya lirih.

Telapak tangan yang lebih besar itu digenggam. Punggung tangan dibelai lembut. Mahkota abu-abu putih itu menunduk.

"Maaf, Akaashi. Kalau saja aku tak memaksamu tadi kau tidak mungkin akan jatuh sakit begini," rundungnya.

"Ini bukan salahmu, Bokuto-san."

"Ini salahku!" Bokuto membentak. Bagaimana ini bukan salahnya. Lihat akibat kelakuan bodohnya Akaashi jadi terbaring tak berdaya. Si hitam tersenyum menenangkan. Bahkan di kala sakit pun ia masih peduli begini.

"Ini bukan salahmu, Bokuto-san," ulangnya, "tidak sepenuhnya."

"Uhuk! Uhuk!"

Bokuto bersiap menghentikan namun ditolak dengan satu tatapan.

Akaashi berujar pelan, "Aku juga senang. Sudah lama aku tidak melihat sakura. Terima kasih mengajakku, Bokuto-san. Seandainya aku bisa melihatnya lagi."

Namun, Bokuto sama sekali tak bisa menerima, bahkan hingga Akaashi kembali terlelap.


.

(0)

.


Bias cahaya rembulan memasuki remang-remangnya ruang melalui celah jendela menyambut pandangan kabur sang Akaashi muda. Langit-langit kamarnya nampak lebih tinggi dari biasanya. Akaashi memfokuskan inderanya, bisa ia rasakan handuk setengah basah menempel di dahi. Pandangannya beralih ke samping. Beberapa botol obat yang begitu familiar menyapanya ditemani sebaskom berisi air yang telah mendingin dan ponselnya. Dipijitnya pangkal hidungnya cukup keras, berusaha menghilangkan sakit kepala yang masih terasa.

Ingatannya sedikit samar. Tapi dari kondisinya sekarang bisa ia pastikan dirinya pingsan di hadapan teman-teman. Besok ia harus segera meminta maaf pada mereka karena sudah merepotkan. Ditambah lagi omelan sang ibu yang bernada marah namun tetap syarat kekhawatiran. Bagaimana ia harus berhati-hati terutama saat awal musim semi seperti sekarang ini. Bagaimana ia harusnya bisa menjaga kesehatan dirinya sendiri. Dan berbagai omelan lainnya yang hanya bisa ia sambut dengan ucapan maaf sepenuh hati.

Yah biar bagaimana pun apa yang terjadi tadi siang adalah kesalahannya. Keluar rumah apalagi melihat sakura tanpa setidaknya memakai masker adalah tindakan bodoh. Ia bahkan tidak sadar alergi serbuk sarinya berdampak separah ini. Mungkin karena sekarang ia tinggal di desa yang bagaikan surga tanaman dan pepohonan. Kalau sebelumnya ia hanya perlu menghindari taman dan toko bunga, sekarang kemanapun ia melangkah ia harus berhati-hati. Akaashi menderita begini juga sebagian salah si burung hantu jadi-jadian itu. Eh?! Tapi ngomong-ngomong kemana ia pergi?

"Bokuto-san," panggil Akaashi. Suara masih terdengar serak. "Bokuto-san."

Tidak adakah?

Mungkin ia bermalam dan pesta raya di tempat Kuroo-san lagi.


.

(0)

.


SRAAAK! BRAK!

Jendela kaca di kamar lantai dua itu dibuka tanpa bermakna pelan sedikit pun, menampilkan sosok pemuda dengan sayap abu-abu kecoklatan yang setengah terbuka.

"Bokuto-san! Sudah kubilang tolong pe—"

"Maaf. Maaf. Sekarang bukan waktunya mengomel, Akaashi!"

Bungkusan kain yang sedari tadi diapit di pinggang dilempar kepada si empunya kamar. Akaashi menangkapnya sigap. Penasaran, dibukanya benda berbungkus kain itu, sebuah kimono dengan yang dilipat sedikit acak-acakan. Mungkin gara-gara cara si pembawa yang tak ada lembut-lembutnya. Sebelum sanggup membuka mulut bertanya, punggung pemuda berparas cantik itu sudah didorong menuju kamar mandi.

"Bokuto-san..."

"Bertanya nanti. Sekarang ganti baju dulu. Kita sudah terlambat."

Bertanya nantikah?

Setelah semua keributan di dalam kamar dan paksaan memakai kimono berwarna merah muda—yang ternyata hasil pinjaman dari Kuroo Tetsurou. Yang katanya lagi adalah kimono khusus agar bau manusianya tersamarkan. Akaashi hendak protes, tak punyakah si siluman kucing itu variasi warna lainnya? Akaashi tak percaya diri, walaupun sudah digumani kata cantik berkali-kali oleh Bokuto dengan muka merah padam.

Ngomong-ngomong di sinilah ia sekarang, di tengah hutan tempat ia biasa menjumpai teman ayakashi-nya tinggal. Bokuto baru saja menurunkannya dari gendongan setelah perjalanan dengan layanan transportasi udara bernama Bokuto Koutarou—katanya berbahaya kalau Akaashi kena alergi lagi.

"Ngomong-ngomong, Bokuto-san. Apa yang kita lakukan di sini?"

Pertanyaan Akaashi disambut senyum lebar. "Hanami," jawabnya mantap.

"Hanami? Malam-malam begini?" Akaashi memiringkan kepalanya tak mengerti.

"Justru karena malam-malam begini."

Akaashi mengerutkan dahinya, bisa-bisanya ia dua kali dipaksa seperti ini.

"Selain itu kau ingatkan aku alergi serbuk bunga? Aku berterima kasih kau mengajakku. Tapi—"

"Kalau begitu bagaimana kalau kita coba dulu."

Belum selesai otaknya mencerna perkataan si jelmaan burung hantu itu, wajah Akaashi sudah diterpa sekumpulan kelopak bunga sakura yang sengaja ditiup Bokuto ke arahnya.

Manik abu-abu kehijauan itu mendelik tajam. "Bokuto-san! Alergi bisa kambuh lagi," gerutunya kesal. Oh sekarang ia sebentar lagi pasti mulai bersin-bersin, matanya pasti sudah mulai berair. Lihat kulitnya pasti juga sudah mulai memerah. Eh? Eh?!

Mata emas itu ditatap tak percaya. Bokuto tersenyum penuh kemenangan.

"Bagaimana bisa?"

Bahu mungil itu dipaksa memunggungi sang ayakashi. Irisnya disapa sesuatu yang terduga. Sebuah pohon sakura besar berdiri kokoh di seberang sana. Setiap cabangnya dihiasi kelopak-kelopak merah muda keputihan. Entah ini ilusi atau kenyataan, helaian kelopak itu nampak bersinar lembut. Cahaya rembulan purnama menerpa layaknya sorot lampu panggung dengan sang bunga sakura sebagai bintang utama. Di bawahnya para penonton dengan wujud berbagai rupa telah duduk bersila menunggu sang penari melakukan gerakan utama. Tapi seingatnya, Akaashi tidak pernah ingat ada pohon sakura sebesar ini.

"Itu Kage no Hana. Ayakashi," bisik si mahkota abu-abu putih. "Kage no Hana, ayakashi yang menjelma menjadi bunga atau pepohonan. Biasanya saat musim semi mereka akan melakukan perjalanan. Mereka berpindah dari celah-celah pepohonan dan tanaman. Saat Kuroo bilang ada Kage no Hana yang mengambil wujud sakura akan lewat daerah sini, aku pikir untuk mengajakmu."

Akaashi mengangguk. "Kau tidak perlu repot-repot."

Bokuto menggeleng. "Aku tetap saja merasa bersalah. Ketika kau bilang ingin melihat sakura lagi, aku pikir ini cara yang paling tepat. Setidaknya kau tidak perlu khawatir penyakitmu kambuh. Yah, walaupun bukan yang asli sih." Senyum Bokuto sedikit kaku.

"Ini sudah lebih cukup, Bokuto-san. Arigatou."

"Akaashi!" Tubuh lebih pendek itu dipeluk erat. Garis bibir itu melengkung lebar dengan binar bahagia terpancar dari iris emas itu. Dalam pelukannya Akaashi berekspresi sama walau garis lengkung di wajahnya terkesan lebih lembut. Dicengkramnya bagian segumpal kain bagian belakang tubuh sang ayakashi, membalas pelukan. Akaashi tidak terlalu suka berurusan dengan ayakashi. Tapi dengan Bokuto rasanya semua akan baik-baik saja.

"Bokuto! Akaashi! Apa yang kalian lakukan di sana! Cepat kemari! Acaranya mau dimulai!"

Dan tak ada yang lebih hebat dari Kuroo Tetsurou untuk merusak momen mereka.


.

Owari

.


Author's note, author's corner:

Akhirnya selesai juga entri pertama untuk bokuaka week. Banzai diriku! Akhirnya bisa berpartisipasi juga. Karena kebanyakan nonton anime bertema yokai (saya lagi keranjingan maraton ulang Natsume Yuujinchou, Hakkenden sama Nurarihyon Mago) jadilah AU ini. Karena nggak bisa upload tiap hari kemungkinan entri buat bokuaka week akan dipost dua tiga sekalian. Terima kasih telah membaca. Maafkan kalau ada kesalahan di sana-sini. Kalau berkenan silakan tinggalkan kritik, saran, opini dan review. See you soon! ^_^