Laki-laki itu bernama Draco Malfoy.

Pewaris tunggal yang tampan dan cerdas. Gerak-geriknya anggun dan tanpa celah. Sorot matanya menunjukkan keangkuhan. Kulitnya putih alabaster seperti batu pualam yang pernah diperlihatkan Pansy padaku. Dan matanya… kedua matanya berwarna abu-abu, seperti warna awan saat badai minggu lalu. Yang kulihat dari terali jendelaku yang kecil.

Tanganku mengepal erat.

Darah menetes karena goresan sejajar yang dalam.


"Alice di Wonderland."


Satu, dua, tiga…

Ah, kukuku panjang sekali.

Draco Malfoy merawat kukunya dalam keadaan bersih dan rapi.


"Dorothy tersesat di hutan Oz."


Pakaiannya terbuat dari kain kualitas terbaik. Pasti menyenangkan menyentuhnya. Permukaannya pasti sangat lembut dan nyaman. Bersih, bersih. Hitam pekat. Putih tanpa noda. Hijau seperti hutan, seperti lumut, emerald. Hijau. Kuning gelap. Merah…darah? (hihihi)

Indah sekali, Draco Malfoy.

Telapak tanganku kotor. Masih kotor. Berapa kalipun dilap, tanganku masih saja kotor.

Ah!

Gaun putihku jadi kotor… warnanya merah.

Draco malfoy, Draco Malfoy…

Aku juga mau jadi Malfoy.

xxx

.

.

Mad_

Rozen91

Harry Potter © J. K. Rowling

Alice in Wonderland © Lewis Caroll

The Wizard of Oz © L. Frank Baum

.

.

xxx

Hari ini pintu tidak bisa dibuka. Kemarin juga sama. Aah, aku mau keluar…

"Lagi-lagi. Kau juga dengar, 'kan, Blaise?"

Suara Draco terdengar di koridor. Dia datang lagi seperti kemarin. Rasanya senang mendengar suaranya, tapi aku juga ingin melihatnya. Ah, lubang kunci ini terlalu kecil untuk mengintip seseorang di luar. Ada Blaise di sampingnya.

Menyenangkan bisa keluar kamar dan bicara bersama teman.

Draco dapat segalanya. Aku juga mau.

"Aku tidak peduli. Daripada itu, bukankah ayahmu melarangmu ke menara sayap barat?"

"Ck, cerewet. Dad tidak ada di rumah. Ini kesempatan bagus untuk berkeliling rumah, bukan?"


"Ratu Hati punya segalanya. Jadi, Alice merebutnya karena iri."


Apa harus kurebut juga, ya?

Terus, akan kusimpan Draco di kamar ini. Dia bisa melihatku dari lubang kunci. Seperti yang sedang kulakukan saat ini.

Hihihi!

"Sebaiknya kita kembali. Aku tidak yakin masalah tak akan terjadi jika kau ada di sini."

"Tch! Tunggu, Blaise!"

Tes.

Tes.

Blaise, kau mengajak Draco pergi. Kau pasti Alice. Kau pasti Alice. Kau pasti Alice. Kau pasti Alice. Kau pasti Alice. Kau pasti Alice. Kau pasti Alice. Kau pasti Alice.

Alice... tanganku jadi berdarah gara-gara kau.

Tes.

Tes.

Tes.

Lihat apa yang kau lakukan. Lagi-lagi lantai jadi merah.

Tes.

Tes.

xxx


"Aku tahu satu hal tentang Toto. Bulunya warna merah."


Hari ini pintu tidak bisa dibuka. Kemarin juga sama. Aah, aku mau keluar…

Aku mengelap kedua tanganku di gaun putih yang tengah kukenakan. Kainnya sudah kotor dan kusut. Kenapa gaunku cuma satu?

Buka pintunya, biar kuambil sendiri dari lemari di kamar Draco. Hei, kenapa kalian tega sekali membiarkanku dalam keadaan kotor seperti ini? Hei, ada orang di luar?

Ada yang dengar?

Alice yang bodoh sudah membawa Draco ke Wonderland. Jadi, Draco tidak bisa membawakan gaun lain. Sama seperti kemarin. Dia lupa kalau aku sebenarnya ingin gaun baru. Jangan-jangan dia juga lupa kalau aku ada di sini?

Draco, Draco... apa kau sudah jadi Dorothy?


"Mademoiselle, Dorothy tidak sadar kalau Toto selalu menyimpan makanannya di bawah ranjang."


Tes.

Tes.

Zraasshhh!

Dorothy yang bodoh,

kau menganggapku Toto, eh?

Harry menepuk pundakku. "Masih ada gaun lain di lemari yang itu, 'Mione."

Ron membuka pintu lemari, memperlihatkan—

"'Arry, ini semua kostum boneka!"

"Astaga, 'Mione. Sudah kubilang untuk membuang boneka-boneka itu."

Aku mendelik, menatap tajam dari ujung mataku. Lihat siapa yang bicara. Dua orang laki-laki yang pakaiannya bernoda yang entah sejak kapan melekat di tubuh mereka. Berani sekali mengomentari hobiku.

"Benar juga. Well, kau tak perlu menggantinya supaya kita adil," putus Harry setelah membaca tatapanku. Ron tampaknya mengabaikan kami sementara ia melihat-lihat boneka-boneka yang bergantungan di dalam lemari. Kepalanya mendadak menyembul dari balik pintu lemari.

"Katakan, Harry," katanya ceria, " kau atau aku, tengkorak siapa yang gaunnya paling bagus?"

xxx

Malam ini spesial. Ginny mengusulkan untuk pesta teh, karena hari ulang tahunnya sudah tiba. Jam tua yang digantung di ujung koridor berdentang lima kali 10 menit yang lalu. Ginny tidak mau menunggu sampai matahari terbit. Katanya nanti wajahnya jadi jelek.

"Kau lihat apa! ? Mata dan gaunku jadi serasi kalau gelap!" serunya sambil mendorong cangkir Ron. Harry meringis sambil mengangkat cangkirnya yang kosong. Ah, aku ingat kalau cangkirku tidak ada isinya.

Mataku lantas menatap Ginny, tapi dia sibuk bertengkar dengan Ron. Harry berjengit, dengan segera berdiri tanpa sengaja menyenggol cangkirnya.


"Mad Hatter menaruh balok gula yang banyak di cangkir Alice. Mau tahu kenapa?"


PRAANG!

"Aa! Cangkirku!"

"Aduh, Ginny, aku tidak sengaja, maksudku... kalian berdua mengoyangkan meja dan membuatnya jatuh!"

"'Arry, itu, 'kan salahmu! Kenapa melibatkan kami! ?"

"Eh, kau bicara apa?"

Bahu Ginny bergetar. Dengan wajah merah ia berteriak, "PESTA BATAL! !"


"Karena Cheshire membawa serbuk bunga beracun."


Prang!

Ting!

Trang!

PRAANNG! !


"Alice suka yang manis-manis, 'kan?


Mereka membuatku kesal. Kamarku jadi penuh pecahan-pecahan beling. Tapi, tunggu dulu, ada kilatan cahaya di bawah pintuku.

Draco! ?

Dengan terburu-buru aku mengintip di lubang kunci. Haha! Tebakanku benar. Draco membawa lilin bersamanya. Serpihan beling di telapak kakiku menyadarkanku bahwa semua cangkir sudah pecah. Aku akan minta Draco mengambilkan cangkir baru dan orang yang membawa teh merah.

Aku menarik-narik handle pintu sambil mendorongnya, tapi pintu ini tidak mau terbuka. Tanganku mulai memukul-mukul kayunya.

Draco buka pintunya. Kau bukan Dorothy. Kau tidak lupa kalau aku ada di sini. Hei, buka pintunya, Draco. Kutarik kata-kataku sebelumnya. Kau bukan Dorothy. Kau bukan Dorothy. Kau bukan Dorothy. Kau bukan Dorothy.

Kau dengar?

Tap.

Tap.

Tap.

Draco tahu aku di sini. Dia mendekat ke kamarku. Cahaya lilin di lantai makin terang dan mulai masuk ke dalam kamar. Ginny pasti tidak suka, karena orang-orang akan tahu kalau kulit wajahnya hilang sebelah. Dia tak akan berpikir dua kali untuk meniup mati lilin Draco.

Wusssh!

Padam.

Gelap.

Udara dingin menyeruak dari celah pintu.

Ginny memadamkan lilin Draco. Tapi, Ginny tidak ada di luar. Ginny masih di belakangku, bersama Ron dan Harry. Menatap pintu dengan bola mata hitam.

Berarti, hanya orang di luar pintu yang meniupnya. Pasti ulah Pansy. Kalau tidak salah, dia tergantung di koridor sejak berhari-hari yang lalu. Atau itu kemarin? Tadi siang? Bulan lalu? Tahun lalu? Pansy tidak memberitahunya padaku.

"Tch, sial!"

Draco mengutuk di luar. Aku memutuskan untuk menggedor-gedor pintu dengan pelan sambil sedikit membisikkan kata-kata tidak jelas. Ayo, buka, Draco. Tapi, Draco masih diam di luar. Dia ragu. Dia pasti ragu.

Oh, tunggu dulu, pintu ini kan... bisa dibuka dari dalam.

Ahahaha!

Pisau, pisau! Pisau berkarat sudah di tangan. Aku akan mengembalikannya pada Draco. Biarpun agak rusak dan bernoda. Draco, kau tidak akan marah, 'kan?

Aku datang!

KRIEEETTT...

"SELAMAT MAKAAAN! !"


"Tapi, kau tahu, Alice kabur setelah memecahkan cangkir March Hare."


Tapi, Draco,

kau bukan Alice, 'kan?

.

.

"AHAHAHAA!

SELAMAT MAKAAANN! !"

.

.

"Seharusnya kau ingat dongeng yang kau buat ketika kau masih mengingat semuanya.

Sebelum aku mendorongmu ke luar menara,

karena mengatakan bahwa Alice kabur dari kematian.

Nah, ceritanya sudah berubah,

Dorothy."

.

.

_Tamat_

Fyuh, Alhamdulillah, selesai juga. . Sesekali saya ingin bikin fic yang agak twisted dan tidak jelas (hei, bukankah semua fic yang saya tulis itu tidak jelas?#lol).

#Intinya, Hermione itu agak sinting. Tapi, pertanyaan-pertanyaan yang muncul —siapa yang membunuh Harry, Ron, Ginny, dan Pansy? Kenapa mereka ada di dalam menara di sayap barat? Apa mereka dikurung? Mereka jadi hantu atau hanya ilusi Hermione? Apa hubungan Draco dan Hermione yang tampaknya sangat dekat, karena Hermione dengan berani mengatakan ingin membongkar lemari Draco? Apa peran Lucius dalam masalah ini? Apa Blaise tahu sesuatu? Kenapa tidak ada flashback? Draco diapain di akhir cerita? 'selamat makan' ini artinya agak ambigu, maksudnya Draco di-raep gitu(wth!)?— silahkan diimajinasikan sendiri jawabannya. (Author berusaha membuat fic ini setidak nyambung mungkin #plak!)

#Yaah, pokoknya, impian dan kekesalan Hermione terkabulkan. Setidaknya happy ending laah #digampar

Ehem, baiklah, keputusan untuk membuat fic ini bermula ketika saya mendengarkan lagu-lagu horror Vocaloid. Sebagai akibatnya lagu The Rugrats Theory dari Kaai Yuki terus terngiang di telinga saya. #It's a bit scary

Yosshhaa! Thanks for reading! ! :3