Summary : Dengan lihainya jari-jemari itu bergerak, terlihat begitu lembut, setiap gerakan melambangkan perasaan sang pelukis, warna demi warna ditorehkan pada kanvas, menghasilkan sebuah lukisan penuh warna tiada ternilai. Tetapi suatu saat nanti, ada kalanya warna-warni itu hilang dari kehidupannya, dari kanvasnya…
Fairy Tail bukan punya author, tetapi punya Hiro Mashima
A/N : Cckckckc, dah lama g bikin cerita baru, padahal cerita lama lom pada beres :v Jgn lupa riview ya, ditunggu loh.
Dengan lihainya jari-jemari itu bergerak, terlihat begitu lembut, setiap gerakan melambangkan perasaan sang pelukis, warna demi warna ditorehkan pada kanvas, menghasilkan sebuah lukisan penuh warna tiada ternilai. Sang pelukis tersenyum puas memandangi maha karyanya itu, di setiap sudut ruangan ada begitu banyak kanvas, bahkan di setiap dinding ruangan tersebut terbentang rapi lukisan-lukisan yang kiranya bernilai jutaann, bahkan milyaran.
"Seni adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya, setiap goresan warna adalah ungkapan dari perasaan seorang pelukis"
Itulah arti seni bagi seorang Natsu Dragneel, nama pelukis yang telah mendunia. Usianya baru menginjak tujuh belas tahun, memang masih sangat muda, akan tetapi karyanya amat luar biasa, siapapun yang melihatnya akan merasa tersentuh, berdecak kagum dan rela membeli lukisan itu dengan harga mahal. Kamu bukanlah seorang kolektor maniak lukisan jika tidak memiliki salah satu lukisan Natsu Dragneel, begitulah kata orang-orang yang terdengar setiap harinya.
"Setiap lukisan adalah gambaran hati, lukisan akan menjadi bagus jika perasaanmu ditumpahkan ke dalam kanvas, biarkanlah jari-jemarimu bermain, lukisanlah semuanya! Rasa sedihmu, senangmu, kekecewaan-mu, jadikanlah satu, berkreasilah, karena seni itu bebas pada dasarnya"
Ayah Natsu adalah seorang pemain piano klasik, sedangkan ibu Natsu adalah seorang violins, dibesarkan dalam keluarga pemusik bukan berarti Natsu harus menjadi pemain piano klasik ataupun seorang violins bukan? Mengambil jalan berbeda memanglah sebuah keputusan yang sempat ditentang oleh keduanya, ayah dan ibu Natsu berharap ia memilih salah satu jalan yang ditempuh oleh orang tuanya.
"Memang musik jugalah seni, tetapi aku kurang suka mendengarkan lagu ataupun bermain musik. Ketenangan adalah satu-satunya hal yang kusukai, maka dari itu kurasa musik bukan tipeku"
Lagipula apapun jalan yang dipilih oleh anak semata wayang mereka tetaplah berhubungan dengan seni. Seni itu banyak macamnya, bukan hanya satu atau dua, maka dari itu pilihlah yang kamu sukai, karena jika suatu hal dilakukan dengan terpaksa, akan menghasilan suatu karya yang sangat buruk.
Tok..tok…tok
Seseorang mengetuk pintu lembut, membukanya perlahan-lahan sambil membawa segelas teh dengan sepotong kue, memang tak lengkap rasanya jika teh diminum tanpa memakan sepotong kue.
"Beristirahatlah dulu, kamu sudah melukis dari tadi"
"Sebentar lagi, aku sangat bersemangat hari ini" ucap Natsu riang, sempat mengalihkan padangannya dari lukisan demi menyapa sang ibu tercinta
"Memang apa yang kamu lukis?" tanya ibunya menghampiri Natsu
"Akhir-akhir ini aku sering membayangkan keindahan bunga tulip dari negara Belanda, lihat! Ada berbagai macam warna, mulai dari merah, kuning, ungu, bukankah bunga khas negara kincir angin tersebut begitu indah?"
"Sangat, sangat indah…ibu yakin siapapun yang melihatnya akan merasa terkesan, seakan-akan kamu memang pernah pergi ke sana, melukis di sana"
Membayangkan bukanlah hal yang mudah dilakukan untuk beberapa orang, tetapi bagi Natsu itu amatlah mudah, seperti membalik telapak tangan saja. Ibu Natsu hanya tersenyum memandangi anaknya yang tengah melukis dengan serius, tetapi begitu ceria dengan mata berbinar-binar.
"Melukis adalah nyawa kedua bagi seorang Natsu Dragneel, jika sehari saja tidak melukis ia merasa telah setengah mati"
Melelahkan memang, tetapi Natsu kembali tersenyum puas seperti dulu-dulu, ia merasa lukisannya sangatlah bagus, sudah sesuai dengan keinginan hati dan juga imajinasinya. Selesai melukis, Natsu segera melahap sepotong kue sambil meneguk secangkir teh yang sudah dingin.
"Bagaimana kuenya, enak?"
"Enak seperti biasanya, aku jadi ingin lagi"
"Liburan musim panas tinggal dua minggu lagi, apa PRmu sudah dikerjakan?"
"Tenang saja, setelah ini aku akan mengerjakannya"
Bukan berarti menjadi seorang pelukis terkenal ia melupakan pendidikan utamanya, Natsu tetap bersekolah seperti anak-anak pada umumnya. Ia pergi meninggalkan ruangan bernuansa putih itu dengan perasaan sedih, andai bisa lebih lama di sana…lagipula nanti sore atau nanti malam dia bisa kembali ke sana dan melukis. Kira-kira nanti melukis apa ya? Gumam Natsu dalam hati.
"Natsu, tolong fokus pada PRmu, jangan memikirkan hal lain"
"Maaf…"
Yang menegur Natsu barusan adalah Erza-sensei, guru les pribadi Natsu, mengajar selama liburan musim panas berlangsung. Dibalik kecantikan seorang Erza tersimpan keganasan yang amat mengerikan, jika Natsu kembali melamun sebanyak dua atau tiga kali lagi, beliau tak segan-segan untuk menambah PRnya menjadi dua kali lipat lebih banyak.
"Bagaimana lukisanmu?" tanya Erza-sensei secara tiba-tiba
"Sudah selesai, apa sensei mau membelinya?" tawar Natsu sambil tersenyum manis, berusaha merayu
"Tidak, terima kasih. Lukisanmu terlalu mahal untuk orang sepertiku"
"Kalau mau aku bisa memberi diskon"
"Jika kamu memberi diskon padaku, apa para kolektor yang lain tidak akan iri?" jawabnya tersenyum simpul
"Karena sensei begitu spesial bagiku, diskon sebesar apapun akan kuberikan, hehehe"
Senyuman itu…seperti apa ya? Seperti bunga, tetapi bunga apa?
"Setelah semuanya selesai, apa sensei mau menjadi model untuk lukisanku?"
"Eh, tapi kenapa? Ibu yakin ada model yang lebih baik"
"Bukankah tadi sudah kukatakan, sensei begitu spesial bagiku. Kalau lukisannya sudah selesai kuberikan cuma-cuma kok, jadi tenang saja"
"Sudah, sekarang fokus ke PR matematikamu"
"Baik boss" balas Natsu bercanda
Ada begitu banyak orang yang berharga di sekitar Natsu, merekalah yang membuatnya bisa berkembang hingga menjadi seperti ini. Permata kecil yang berharga? Bukan, bukan seperti itu, dia itu seperti apa, ya…?
Pukul 19.00 malam, hari Sabtu, di ruang makan
"Ayah dan ibu akan pergi ke Eropa?!" tanya Natsu tidak percaya
"Ya, kami berdua akan konser di sana, tenang saja ada Juvia-san yang menjagamu"
"Tetapi aku akan merindukan kalian"
"Jika rindu telpon saja" ujar ibunya menenangkan Natsu
"Ka…kalau begitu, aku akan menjaga diriku dengan baik, dan juga jangan lupa oleh-olehnya!"
"Kamu ini ingin ibu dan ayah atau oleh-oleh?"
"Tentu saja dua-duanya!"
Ayah Natsu hanya tersenyum melihat putranya yang tetap ceria seperti biasa, dan hari itu adalah hari terakhir mereka berkumpul juga bertemu. Keesokan harinya Natsu bersama Juvia, pelayan keluarga Dragneel mengantar kepergian orang tua Natsu menuju Eropa, pesawat melesat jauh, terbang di antara awan-awan putih.
Selama perjalanan pulang menuju rumah Natsu terus terdiam, padahal biasanya ia berceloteh ria tentang banyak hal, dan salah satunya adalah Leonardo da Vinci, siapa yang tidak mengenalnya? Seorang pelukis dengan mahakarya perjamuan terakhir dan monalisa, dia adalah seorang sosok yang sangat dikagumi oleh Natsu, begitu jenius dan berbakat.
"Apa anda merasa bosan?" tanya Juvia-san sambil menyetir
"Tidak, aku bingung dengan apa yang sekarang kurasakan"
"Kenapa tidak bercerita tentang Leonardo da Vinci? Bukankah anda selalu menceritakan tentangnya?"
"Kamu pasti bosan mendengarnya, aku sudah menceritakan tentang idolaku lebih dari delapan kali"
"Apapun yang Natsu-sama ceritakan, Juvia tidak pernah merasa bosan"
"Terima kasih, itu sedikit membuatku terhibur"
Siapa yang tidak bosan mendengarkan cerita yang sama berulang-ulang kali? Juvia-san memang terlalu baik dan perhatian, ia sudah merawat Natsu sejak berumur lima tahun, baginya Juvia-san sudah seperti kakak perempuan sendiri. Secara tiba-tiba mobil bergerak tidak beraturan, Natsu sempat membentur bagian kanan mobil dan kemudian terjadi tabrakan beruntun. Natsu dan Juvia tidak sadarkan diri, mereka dibawa ke rumah sakit terdekat, dirawat secara intensif.
Beberapa hari kemudian…
Perlahan-lahan Natsu membuka matanya, sinar matahari menembus kaca jendela, membuatnya merasa silau. Ia menengok ke kiri dan kanan, menemukan seorang sosok yang sangat dikenali olehnya.
"Natsu, Natsu, bagaimana keadaanmu?"
"Erza…sensei?"
"Syukurlah, syukurlah kamu selamat" peluknya secara tiba-tiba
"E…eh, apa yang terjadi denganku?"
"Terjadi kecelakaan saat kamu dalam perjalanan menuju rumah, mendengarnya sensei langsung pergi ke rumah sakit"
"Bagaimana keadaan Juvia-san?"
"Dia…dia meninggal saat dibawa ke rumah sakit" ucap Erza menyesal, mungkin terlalu cepat untuk memberitaunya
"O…oh…"
Untuk sesaat suasana di antara mereka sangatlah sunyi, Natsu larut dalam perasaan sedih, sedangkan Erza juga merasakan hal yang sama dengan Natsu, tidak, bahkan lebih dari itu.
"Lalu, tangan kananku kenapa?" tanya Natsu bergetar, membuat Erza semakin merasa sedih
"Tangan kananmu patah, ta…tapi tenang saja! Ilmu kedokteran sudah canggih, tanganmu pasti bisa digerakkan kembali"
"Souka, aku senang mendengarnya"
"Tetapi sebelum itu, kamu harus menjalani fisioterapi"
"Apapun akan kulakukan untuk bisa melukis kembali"
Apapun akan dilakukan demi melukis, tetapi terkadang kenyataan berkata lain, apapun yang kamu lakukan belum tentu membuahkan hasil manis. Erza pura-pura tersenyum, meski sebenarnya dia ingin menangis, sebelum mengunjungi kamar Natsu ia sempat berbincang dengan dokter.
Flashback…
"Dok, apa tangan kanan Natsu yang patah bisa digerakkan kembali?"
"Kemungkinan besarnya tidak bisa, tetapi jangan berkecil hati, siapa tau dengan melakukan fisioterapi tangannya bisa bergerak kembali"
"Benarkah begitu?"
"Tetapi kemungkinannya juga kecil, hanya keajaiban yang bisa membuat tangannya bergerak kembali"
Percaya keajaiban, apa ada hal seperti itu di dunia serba kejam ini? Erza memutuskan untuk pulang ke rumahnya setelah membawa pakaian ganti untuk Natsu, ayah dan ibunya sedang konser di Eropa, tidak ada lagi Juvia-san yang bisa menjaganya seperti dulu. Mulai sekarang, kehidupan Natsu akan berbalik seratus delapan puluh derajat, tetapi apa dia siap?
Bersambung…
