Disclaimer: Masashi Kishimoto

Saya Cuma pinjam tokoh-tokohnya untuk menceritakan pengalaman yang berarti bagi saya saja.

Oh ya di sini karakternya agak OOC soalnya saya mencocokkannya dengan karakter-karakter yang terlibat di dunia nyata.

Ps: Sakura di sini adiknya Naruto.

Adegan awalnya Cuma bayanganku aja, OK?

Cerita ini dibagi jadi 2 Chapter soalnya kalau satu panjang banget sih…

.

.

.

Seorang gadis berambut merah muda tampak sedang setengah berlari di lorong-lorong sepi sebuah rumah sakit ternama di Kotanya. Bibirnya komat-kamit malafalkan beberapa angka yang tampaknya merupakan nomor kamar yang dia cari.

"708, 708, 708…" lantunan kata-kata yang terus keluar dari bibir tipisnya terdengar bernada. Langkah kakinya berhenti saat menemukan sebuah pintu dengan nomor yang sesuai, tangan putih susunya sudah nyaris menyentuh gagang pintu andai saja sepasang emeraldnya tak menangkap dua sosok manusia di balik kaca pintu itu.

"Nii-san… akan kutukar apapun yang kumiliki agar tubuh ini dapat kembali sehat."

.

.

.

Hinata POV

"Nii-san… akan kutukar apapun yang kumiliki agar tubuh ini dapat kembali sehat." Kataku sambil menatap langit-langit kamar bercat hijau muda yang kini tengah kutempati, tak berani aku menatap pemilik sepasang netra dengan warna senada dengan netraku yang kini tengah duduk di sampingku sambil menggenggam erat sebelah tanganku.

"Hinata, kau pasti akan sembuh. Aku tahu itu. Pasti." Bisiknya sambil menggenggam tanganku tebih erat dan meletakkannya di dahinya.

Lalu kami terdiam selama beberapa saat, tak tahu harus berkata apa lagi. Keheningan yang sunyi datang menghampiri, satu-satunya yang dapat tertangkap oleh telinga adalah suara alat-alat yang tak mau kutahu apa gunanya yang terpasang di tubuku yang kian hari kian terasa berat. Sunyi yang terasa menyiksa.

"Jangan tinggalkan aku, Hinata… jangan tinggalkan aku…" bisik Neji lirih. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir di kulit-kulit tubuhku yang telah berubah dari putih susu menjadi putih kusam. Air matakah itu? Menangiskah Neji?

"Ni…"

"Huh! Mau sampai kapan kalian membuat aura seakan kalian sepasang kekasih yang akan berpisah hah?" kudengar seseorang berkata dengan ketus seiring dengan terdengarnya suara derit samar pintu yang terbuka.

Aku tersenyum tipis. "Hai, Sakura. Kau sendiri kenapa diam saja di luar selama dua menit?"

"Hei, itu karena kalian membuat atmosmer yang membuatku tak bisa masuk tahu!" katanya sambil menghempaskan tubuhnya di salah satu sofa yang ada di sudut ruangan. "Wow, benar-benar keluarga Hyuga. Di rumah sakit ada sofa, heh? Tak bisa kupercaya!"

Aku tertawa kecil, kehadiran gadis ceria ini selalu membuatku merasa lebih nyaman. Setidaknya dia bisa mengusir atmosfer negatif yang selama ini terus membayangiku di ruang bercat hijau ini. Dan jujur saja, aku yakin keceriaannya akan terlihat lebih sempurna andaisaja aku tak melihat bercak-bercak bedak yang tak rata di pipinya.

Bekas tetesan air yang diusap dengan tangan. Jangan katakan jika itu air hujan! Di hari yang secerah ini, awanpun terlihat malas untuk menodai samudra angkasa di siang hari. Ya, lagi-lagi air mata.

Oh Tuhan, seberapa besar dosaku sehingga aku tega membuat dua orang yang penting bagiku menangis?

"Naru-nii dan Ino akan datang sebentar lagi, katanya Naru-nii ingin membawakanmu bunga. Jadi Ino menawarkan diri untuk menunjukkannya tempat membeli bunga yang bagus. Yah kau tahu kan? Kalau Naru-nii dibiarkan membeli bunga sendiri bisa-bisa dia malah memberikan bunga kertas untukmu. Kadang-kadang aku tak mengerti isi otak…"

Kubiarkan saja gadis cantik itu mengoceh panjang lebar sambil menaruh sekeranjang buah di meja yang sudah tersedia tanpa tahu jika aku tak akan pernah memakannya. Percernaanku sudah tak sanggup lagi jika harus berurusan dengan makanan-makanan se 'berat' itu sekarang.

"…kenapa kalian hanya berdua saja? Mana keluargamu yang lain?"

Aku terdiam saat mendengar kata-kata dengan nada polos itu meluncur ringan dari bibir Sakura. Kerongkonganku terasa tercekat. Kenapa di saat-saat seperti ini harus keluar pertanyaan itu? Kenapa di saat aku mulai dapat melupakan kekecewaanku aku harus kembali diingatkan akan sesuatu yang menyakitkan?

Ini bahkan lebih menyakitkan dibandingkan dengan semua rasa sakit yang kini tengah menjajah tubuhku.

"Sakura!" teriak Neji mengintrupsi pertanyaan terlarang itu.

Kuangkat tangan kananku memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. "Sudahlah Nii-san. Percuma saja disembunyikan. Toh akhirnya bau busuk bangkai akan tercium juga." Kataku sambil memejamkan mata menahan tangis yang entah mengapa ingin menerobos keluar.

"Tapi Hinata… itu… kau hanya akan semakin menderita jika mengatakannya kan?" dia berkata dengan nada lirih.

Aku mendesah pendek. "Aku baik-baik saja." Kataku sambil kembali membuka mata. Lekat-lekat aku menatap sepasang mata hijau emerald indah yang saat ini tengah memancarkan kebingungan akibat percakapanku dengan Neji. "Sakura, mereka tak pernah menjengukku ke rumah sakit."

"Ah! Ma-maaf…" kata-kata bernada menyesal itu terlontar bersamaan dengan ekspresi wajah yang tampak tak percaya. "Aku… maaf…"

"Sudahlah, kau tak perlu minta maaf. Pada kenyataannya mereka memang tak peduli padaku kok."kataku dingin.

"ITU TIDAK BENAR!" kembali Neji berkata. Kali ini tangannya kembali mengeratkan genggamannya padaku hingga kuku-kuku tumbul itu terasa sedikit menusuk kulit tanganku yang tipis. "Itu tidak benar… mereka… mereka peduli padamu…"

"Jangan berbohong lagi, Nii-san. Sudah cukup kau membohongiku selama ini, Nii-san. Mereka tak pernah menjengukku kan? Bahkan saat aku tertidur." Kataku yakin. Kurasakan cairan panas menetes di pelipisku saat aku mengatakannya. "Kau tahu? Kebohongan seperti itu tak akan membuatku bahagia. Itu malah membuatku semakin terluka."

Neji melepaskan genggaman tanganku. Wajahnya menunduk menampilkan ekspresi depresi yang terlukis jelas di wajah yang serupa denganku itu. "Darimana… kau tahu…?" dia mengakui kata-kataku.

"Aku punya telinga, Nii-san. Aku mendengar para perawat itu mengasihaniku di balik pintu. Aku mendengar mereka mengataiku 'anak malang'.aku mendengar para pasien lain yang bergunjing tentangku. Aku mendengar para para dokter itu mengatakan kalau aku ini… aku ini… aku ini tak punya harapan lagi…"

Kulihat Sakura sudah terisak di sampingku sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Sakura… kau tak tahu seberapa irinya aku padamu. Kau tak tahu jika aku menatapmu tajam tiap kali aku berkunjung ke rumahmu. Kau yang tak lagi memiliki orang tua dapat tersenyum bahagia bersama kakak dan nenekmu. Kau yang selalu tertawa dan lincah bergerak kesana kemari tanpa khawatir akan jatuh tak sadarkan diri. Kau yang dapat mengeluarkan segala ekspresi yang kau mau tanpa takut ada orang yang akan mencibir atau mengejekmu. Ya Sakura, aku iri…

Aku tahu kau iri padaku yang masih memiliki Tousan walaupun Kaasan sudah tiada. Tapi hidup bersama orang berhati es seperti dia membuatku hancur perlahan. Hatiku hancur seiring dengan tubuhku yang juga kian melemah dan perlahan-lahan mati. Sakura aku iri padamu… aku iri pada kesehatan dan keceriaanmu…

Kreet…

Kembali pintu kamar terbuka, kali ini kulihat seorang gadis berambut pirang pudar masuk. Dibelakannya seorang pemuda berambut raven mengikutinya tanpa banyak bicara.

"Hei Semua… apa yang terjadi?! Kenapa kalian menangis?!" gadis bernama Ino itu langsung menyerb masuk sambil meletakkan beberapa buku yang kupesan darinya secara sembarangan. "Kalan kenapa?!"

"Tak..tak ada apapun, Ino." Sakura menjawab sambil mengusap air mata yang masih membasahi wajahnya. Kulihat Sasuke mendekati kekasihnya itu dan merangkul pundaknya dalam diam mencoba menenangkan gadisnya.

Satu lagi yang membuatku iri pada Sakura. Dia memiliki seorang kekasih sedangkan aku?

Yang kupunya hanyalah seorang tunangan yang seenak jidat ditentukan oleh orang tuak sejak kecil. Tunangan yang sangat kubenci keberadaannya! Tunangan yang selalu bersikap baik di hadapan semua orang dan membuat semua orang menyukainya tanpa menyadari bahwa di balik topeng 'senyum sempurna'nya dia adalah orang yang sangat dingin. Tunangan yang mendampingiku hanya demi alasan kewajiban.

Sai.

Aku tersenyum sinis dalam hati saat mengingat nama orang yang sangat kubenci itu. Orang yang mengikatku dengan alasan bodoh hanya untuk mempermainkanku. Sayang di jari manis kiriku sudah melingkar cincin emas putih dengan ukiran namanya.

Kugelengkan kepalaku. Lalu kualihkan perhatianku pada Ino yang masih saja menatap kami secara bergantian dengan tatapan tak mengerti. "Ino, kata Sakura kau akan datang dengan Naruto-kun? Tapi kenapa kau malah datang dengan Sasuke-kun?" tanyaku.

"Oh, itu! Katanya dia mau mengambil kado kejutan untukmu, entah apa maksudnya. Oh ya tahu tidak dia memilih bunga amaryllis merah muda untukmu lho! Bagus kan? Tadinya dia nyaris memilih krisan lho!" gadis itu bercerita sambil menata beberapa novel, komik dan buku non fiksi yang kuminta dicarikannya di samping keranjang buah bawaan sakura.

"Dia ingin aku cepat mati ya…" gumamku sekenanya. Namun gumaman tak sengaja itu langsung membuat semua yang ada diam membeku. Ino bahkan langsung menjatuhkan buku-buku yang ditatanya.

Aku mengerang pendek. Bodoh! Aku tak lihat kondisi langsung asal ngomong sih! Kulihat Sakura sedang menggigit bibir bawahnya mencoba menahan tangis, Sasuke tampak menunduk mengamati motif lantai putih polos yang mungkin menarik perhatiannya, Neji, sepupuku sendiri terlihat membuang muka tak mau menatapku, dan Ino, dia berdiri dengan tubuh bergetar hebat dengan sebelah tangan mencengkram ujung tepian meja berusaha menahan tubuhnya agar tak oleng.

Aku menghela nafas panjang. "Amaryllis ya, kalau tidak salah artinya kebanggaan, pemalu dan kecantikan yang memuaskan kan?" kucoba memulai lagi pembicaraan yang sempat terhenti akibat kesalahanku sendiri.

"Be... begitulah. Benar-benar bungan yang cocok untukmu kan?" Ino menjawab dengan suara bergetar.

Aku tertawa dipaksakan. "Apanya yang cocok untukku? Kebanggaan? Apanya yang membanggakan dariku coba? Pemalu sih… mungkin benar. Dan kecantikan yang memuaskan? Kalian pasti bercanda! Aku tidak cantik…"

Ya, aku tidak cantik. Tidak seperti Ino yang selalu percaya diri dan bersinar. Hobi berdandan dan sangat senang berbelanja. Baginya matahari bagaikan lampu sorot pribadi miliknya, semua mata selalu menoleh saat dia lewat. Sedangkan aku? Aku yang selalu menunduk saat berjalan, dengan sengaja menghindari tempat yang terpapar sinar matahari karena tak ingin kesadaran diriku hilang dan luar biasa pemalu di depan orang baru.

Dia bagaikan bunga matahari sedangkan aku adalah rumput liar.

"Kau cantik kok. Wajahmu itu klasik. Ingat waktu kau memerankan Juliet kemarin dulu atau saat kau tampil untuk menari dua tahun lalu? Bisa kupastikan setengah dari para penonton prianya sudah mimisan karena terpesona deh!" gurau Ino sambil mencubit lenganku gemas. "Menyebalkan sekali saat casting RomiJuli dulu itu, masa aku kalah darimu dan Cuma jadi ibu susumu sih?!"

Aku tertawa singkat mendengarnya. Kenangan itu kembali merasuk ke dalam diriku, membuatku ingin tersenyum.

Di panggung yang indah, mengenakan gaun cantik dengan rambut yang sudah ditata. Make-up sederhana yang sebenarnya enggan kukenakan. Di sana aku berlenggak-lenggok dengan anggunnya berusaha tampil sebaik mungkin sebagai seorang nona muda yang memesona. Menjalin romansa semu dengan Naruto yang sedang sial karena terpilih sebagai Romeo. Tepuk tangan dan tangis haru yang menyambut kami saat akhir kisah terjadi, saat dimana aku memilih menusukkan belati tepat ke jantungku daripada harus hidup tanpa kekasihku.

Ah… kisah cinta yang sempurna. Tapi mungkin jika aku ada di posisi romeo saat itu, aku pasti ingin Juliet tetap hidup dan tak menyusulku. Ah, sudahlah. Toh aku tak akan pernah mengalami kisah cinta seperti itu. Sudah tak ada waktu lagi untuk merasakannya.

"Aku juga tak akan lupa saat aku kalah darinya saat perebutan peran Sigfried untuk Swanlake." Tambah Sasuke dengan dinginnya, biasa.

"Itu kan… aku jadi cowok…" gumamku pelan.

Sakura terkekeh geli. "Kau juga pernah memerankan Alladin, Beast sama Hikoboshi ingat? Dulu Kurenai-sensei senang sekali memberimu peran cowok karena wajahmu tampan. Tapi sejak setahun lalu, dia jadi lebih senang memakaimu untuk peran cewek ya?"

"Salahkan saja wajahku yang mirip Nii-san." Gerutuku pendek sambil bangkit duduk di ranjang dan menyilangkan tanganku di dada, mencoba memasang wajah kesal walau pada akhirnya aku tahu yang muncul di wajahku adalah wajah malu.

Ah… andai saja waktu terus berlalu dengan keadan tetap seperti ini tanpa ada yang berubah. Andai saja… kebahagiaan ini abadi…

"Halo, semuanya! Wah… aku telat ya?" tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda yang langsung menerobos masuk ke kamar yang kutempati. "Hai Hinata, bagaimana keadaanmu?" sapanya riang sambil menyodorkan sebuah bunga Amaryllis lengkap dengan… ukh… potnya.

Dua jitakan keras langsung bersarang di kepala pemuda bernama Naruto itu.

"Naru-nii apa-apaan sih?! Masa kasih bunga lengkap sama pot dan tanahnya?!" omel Sakura dengan tiga tanda siku-siku di dahinya.

"Benar! Kasih bunga tuh dibuat buket! Ah, menyesal deh aku meninggalkanmu di tengah-tengah acara memesan bunga!" tambah Ino sambil mengacak-acak surai pirangnya frustasi.

"Habisnya…dulu Sai pernah cerita katanya Hinata lebih suka bunga hidup dibandingin buket bunga sih. Jadi kupikir…" katanya sambir nyengir bodoh. Sementara aku hanya bisa sweatdrop saja, dulu aku bilang begitu kan cuma alasan untuk menerima bunga yang diberikan Sai saja.

"Hahaha… terimakasih ya, Naruto-kun. Aku senang kok, lagipula bunga itu akan terus berbunga dan tak akan mati dalam waktu singkat kan?" kataku, dalam hati aku menambahkan 'Bahkan jika aku telah pergi…'

Duh, sinisme benar aku ini…

"Katanya kau mau membawa kado kejutan untuk Hinata, kok aku nggak lihat apapun sih?" kata Ino sambil memutari Naruto mencari sesuatu.

Naruto tersenyum iseng. "Kalian ayo masuk!"

Aku tersenyum senang saat melihat dua anak kecil masuk dengan wajah malu-malu. "Konohamaru! Moegi!" teriakku riang sambil membentangkan ranganku memeluk dua bocah SD itu erat. "Aku senang kalian datang! Bagaimana dengan sekolah kalian? Maaf ya aku nggak sempat datang waktu rapat pleno waktu itu." Kataku sambil mengusap rambut dua anak asuhku itu dengan penuh rasa sayang. "Naruto-kun yang mengajak kalian ke sini ya?"

"Nggak papa kok Hina-nee, Nenek yang menggantikan Hina-nee datang waktu itu." Kata Moegi sambil merapikan lagi rambutnya yang sudah kuacak-acak. "Cukup jika Hina-nee cepet sembuh, soalnya kami kan udah bikin Hina-nee repot dengan membuat Hina-nee membiayai semua uang sekolah kami."

Konohamaru yang dua tahun lebih muda itu tersenyum puas. "Baru kali ini aku masuk rumah sakit semewah ini! Biasanya juga cuma ke puskesmas! Seneng deh 'Tousan' mengajak kami menjenguk 'Kaasan'!"

Sebuah jitakan mendarat dengan sempurna di ubun-ubun bocah itu. Dasar Konohamaru! Kalau ngomong suka sekenanya aja. "Memangnya siapa yang Kaasan dan Tousan mu, hah Konohamaru?" kataku tajam.

"Uh… soalnya kan Naru-nii yang selama ini menggantikan Hina-nee mengajak kami main kalau Hina-nee sedang di opname. Makanya kalau Hina-nee itu Ibu asuh maka Naru-nii itu Ayah asuh kan?" celotehnya riang. "Kenapa Hina-nee nggak pacaran aja sama Naru-nii? Naru-nii kan jauh lebih baik daripada cowok zombie yang itu!"

Satu jitakan lagi untuk Konohamaru. "Dapet satu jitakan lagi, gratis payung." Ancamku pada bocah aktif itu sambil tertawa pelan. Lalu pada Naruto aku berkata. "Makasih ya udah mau repot-repot nggantiin aku nemenin mereka, Naruto-kun. Kau pasti repot ya?"

"Nggak kok mereka lucu deh, enak diajak main. Kadang Sakura juga ikut nemenin." Katanya sambil mengacak surai indigoku pelan. "Cuma itu yang bisa aku lakuin. Aku nggak kaya kamu yang rela nggak pake uang sakumu biar mereka bisa sekolah."

Aku tersenyum pahit, "Cara bicaramu itu seolah membuatku terlihat seperti malaikat saja. Kau tahu kan kalau uang sakuku terlalu berlebihan buat anak SMA. Lagipula aku memang nggak minat untuk memakainya kok." Kataku pelan, sekali lagi aku menambahkan dalam hati, 'Sekalian cari pahala untuk tabungan di alam sana.'

Memoriku kembali membawaku di masa pertama kalinya aku bertemu Moegi dan Konohamaru. Sudah tiga tahun rupanya sejak saat itu. Saat itu aku sedang dalam rangka mengerjakan tugas untuk mata pelajaran IPS tentang kehidupan sosial. Kebetulan aku mengambil tema tentang anak-anak. Karena anak-anak di sekitarku itu sebagian besar adalah anak keluarga berpunya, iseng aku memilih sekolah yang agak jauh dari pusat kota. Oleh sang guru, aku diijinkan untuk mengambil foto saat kegiatan belajar mengajar. Dan tentu saja aku menyambar kesempatan itu.

Dengan membolos sekolah aku pergi ke sekolah itu lagi keesokan harinya. Bagaimana caranya aku membolos? Jangan tanya. Sebut saja aku… memalsukan tanda tangan ayahku dan menitipkan surat yang mengatakan kalau aku ada acara keluarga itu pada salah seorang adik kelasku.

Jujur saja, saat melihat mereka, aku sedikit terkejut. Kehidupan sekolah mereka… benar-benar berbeda dengan kehidupan sekolahku saat SD dulu. Mereka terlihat ceria, begitu bahagia. Sama sekali tak ada tuntutan dari guru-guru mereka yang memaksa mereka untuk belajar sekeras mungkin agar sekolah mereka menjadi sekolah terbaik atau semacamnya.

Kehidupan di sini terasa sangat… mengalir.

Sangat bebas dan ideal. Kehidupan yang aku impikan dan rindukan…

Dan saat itulah aku bertemu dengan Moegi yang saat itu duduk di kelas tiga, dia bercerita banyak mengenai neneknya yang mengasuhnya karena ayah ibunya sudah meninggal karena kecelakaan. Dia bercerita jika neneknya hanyalah seorang pembantu yang gajinya pas-pasan untuk makan. Untuk sekolah dia dan adiknya yang saat itu kelas satu SD, sang nenek terpaksa harus ngutang dulu dan belum jelas kapan mengembalikannya.

Dan aku terpukau, saat menatap matanya yang polos aku merasakan ada kedewasaan dan kemandirian terpancar dari sana, dia sudah paham hal-hal yang harusnya belum diketahui oleh anak seusianya.

Pintu hatiku serasa diketuk, aku yang selama ini hidup mewah dengan uang sangu yang berlebih kenapa tak membantu mereka? Toh selama ini uang sangu itu tak pernah aku gunakan untuk apapun dan terus kutabung?

Awalnya repot, karena usiaku yang masih muda membuatku susah meyakinkan pihak sekolah kalau aku yang akan membiayai segala tanggungan dua anak ini. Untunglah berkat bantuan pamanku, ayah Neji, aku dapat resmi menjadi orang tua asuh mereka hingga saat ini.

"…nee, Hina-nee? Hina-nee melamun lagi ya?" kudengar suara imut Moegi membunyarkan lamunanku. "Oh iya, aku punya hadiah buat Hina-nee lho!" katanya sambil mengambil sesuatu dari dalam tas kecil yang dibawanya. Sebuah buku gambar berwarna pink dengan gambar barbie yang kubelikan untuknya muncul dari dalam tas kecil itu, dibukanya buku gambar itu. Dan dilihatkannya padaku sebuah gambar yang… sangat manis.

Di gambar itu terlihat seorang gadis tengah mengandeng dua anak kecil di masing-masing tangannya. Latar belakang gambar itu adalah bunga-bunga besar berwarna kuning dan orange yang cantik. Gambar itu mirip dengan gambar anime yang biasa kugambar, hanya saja sedikit lebih berantakan dan tidak proposional, maklumlah… anak SD.

TBC