Memeluk Cahaya

.

Merlin (c) BBC

This Story (c) AiMalfoy

.

[Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiksi ini selain kesenangan pribadi.]


Merlin menunggu.

Menghitung banyaknya hari berlalu dengan jari-jari dan coretan hitam menyilang pada angka-angka kalender di dinding, lalu kemudian mengisi kekosongan dengan rutinitas yang tak pernah absen untuk ia lalui. Setiap kali mentari merayap-rayap meninggi, ia akan eratkan kaki padai lantai balkon dan melempar pandang lurus-lurus ke timur, memohon pada kemilau keemasan untuk membasuh luka di sekujur tubuhnya yang terlanjur membusuk, dan tak akan pernah kering tanpa kehangatan mataharinya.

Merlin akan menutup mata, menghitung mundur dari angka sepuluh, lalu membuka lagi untuk tidak menemukan apapun selain jingga yang tak terjangkau oleh kedua tangan meski seberapa keras ia mencoba.

Mungkin akan tampak sangat gila—atau memang sudah benar-benar gila, tapi ia ingin memeluk cahaya dengan tangan hampa, yang—tentu saja—awan akan perlahan menertawai melalui gerak-gerik curiga, diam-diam ingin memiliki matahari seorang diri dengan meraih seluruh cahayanya.

Ada kalanya ia turut serta tertawa, tentang gagasan mengenai memeluk Arthur melalui sinar mentari. Kadang, gagasan itu terasa begitu nyata dengan kehangatan yang menutup luka-luka di kulit; ia merasa Arthur seperti benar-benar ada di pelukannya. Kadang-kadang juga, gagasan itu seolah sedang mempertanyakan kewarasan melalui tamparan fakta bahwa selama ini hanya udara hampa yang berusaha ia palsukan.

Oh, Arthur, kapan kau akan pulang?

Merlin selalu memastikan pintu rumahnya terbuka, di kota manapun itu ketika ia berkali-kali berpindah, sembari membunuh waktu dengan memikirkan kapan Rajanya akan pulang.

Di pertengahan abad ke-15, ia ingat Pangeran Wales pernah sekali berbicara padanya mengenai definisi rumah. Pangeran Muda itu menuturkan, rumah—dalam sudut pandangnya—adalah tempat untuk kembali, dan orang-orang yang memikirkanmu adalah tempat untuk kembali.

Untuk alasan demikian, Merlin selalu memikirkan Arthur Pendragon tanpa henti, memastikan Rajanya mengetahui kemana ia harus pulang kembali.

"Saat Albion membutuhkan, Arthur akan kembali."

Ia mengecap kalimat tersebut mungkin hampir seribu kali, berharap jika bumi bosan mendengarnya menutur tak henti, Avalon akan menepati janji; membangunkan Arthur dari tidur panjang dan mengijinkannya sekali lagi menjadi bagian dari memori.

Jadi, Arthur, kapan kau akan pulang?

.

.

.

Fin

.

.

.


a/n :

bukan cuma merlin, saya juga menanti kebangkitan arthur www

thanks for reading :))

Regards,

AiMalfoy.