Disclaimer : Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi
Warning : AU, Shounen-ai. Banyak kekurangan dalam fanfiksi ini, kritik dan saran diterima.
.
Sinar mentari pagi membuat lelaki berusia tujuh belas tahun itu terbangun. Ia melirik jam beker. "Ah, masih jam tujuh pagi," desahnya dengan suara serak. Digulingkan lagi tubuhnya ke tempat tidur. Lelaki itu bukan pemalas, tentu. Tapi agenda yang sangat padat membuat tubuhnya pegal-pegal.
Mungkin beristirahat bisa membuat rasa pegal di tubuhnya sedikit menghilang.
Setelah dirasa cukup, lelaki itu turun dari tempat tidur, kemudian menyibak kain tipis yang melapisi jendela kamarnya. Pemandangan kota menyambutnya saat ia melayangkan pandang ke luar jendela. Ia mematung seperti itu, sampai suara-suara aneh dari arah dapur masuk ke gendang telinganya.
Lelaki itu tinggal di apartemen bertingkat di pusat kota. Wajar saja kalau suara aneh membuatnya haran. Ia tinggal sendiri dan tak ada satupun teman yang menginap tadi malam. Lantas, siapa yang menimbulkan suara-suara itu?
Sesampainya di dapur, ia melihat lemari es yang terbuka. Alisnya bertaut. Siapa yang membuka lemari es itu? Akashi Seijuuro (nama lelaki itu) segera menutup lemari es. Tapi kegiatannya tak berhasil karena sesuatu mengganjal pintu.
Sekali lagi alis Akashi bertaut.
"Akashi-kun, sakit," kata seseorang, atau mungkin sesuatu yang mengganjal pintu lemari es. Bagaimana sesuatu itu mengetahui namanya?
Perlahan, sosok yang tadinya tranparan berubah menjadi figur nyata. Sosok itu mengenakan kimono dengan warna hijau gelap bermotif garis-garis kecoklatan, di pinggangnya terlihat obi biru muda, memiliki rambut biru terang, serta mata yang sewarna dengan rambutnya. Sosok itu menatap Akashi datar dengan mata besarnya.
Akashi diam di tempat setelah melepaskan peganggannya pada pintu lemari es, tak menunjukan ekspresi kaget ataupun takut. Semua ekspresi itu tersimpan rapat dibalik topeng yang kerap kali dipakainya. "Siapa kau? Sedang apa kau di sini?"
Sosok itu melangkah ke samping, kemudian menutup lemari es. "Zashiki Warashi, Kuroko Tetsuya desu," kata hantu itu sambil membungkuk.
Akashi semakin haran saja. Untuk apa seorang, atau mungkin sebuah Zashiki Warashi berkunjung ke rumahnya? Setahunya, seorang Zashiki Warashi hanya mengunjungi rumah orang yang hidup bahagia dan tak akan menampakan diri pada manusia, terlebih yang sudah berusia melebihi 'anak-anak' sepertinya. Akashi tak merasa memiliki apartemen yang diliputi kebahagiaan, ia juga bukan anak-anak lagi. Lantas, untuk apa seorang Zashiki Warashi berkunjung ke apartemennya?
Sepertinya ada yang salah dengan hantuyang satu ini.
"Untuk apa kau di apartemenku?" tanya Akashi sambil menatap tajam sosok seorang Kuroko Tetsuya.
"Hanya ingin berteduh, Akashi-kun."
Ternyata hantu ini memutuskan untuk menetap. Tatapan Akashi semakin menajam. "Dan bagaimana bisa kau mengetahui namaku?"
"Ada papan nama di depan apartemen," balas Zashiki Warashi itu dengan nada datar, seakan tanpa emosi.
Bagus! Hantu yang satu ini bisa membaca.
Akashi menatap Kuroko dari atas sampai bawah, mengamatinya. Dalam hati Akashi bingung. Kalau ia mengusir Kuroko, kesialan akan menimpanya. Tapi kalau ia mengizikan hantu yang sepertinya berumur lima belas tahun itu untuk tinggal, maka hantu itu akan menjahilinya. Dan itu akan membuat hari-harinya merepotkan.
Bukannya percaya mitos. Hanya saja lelaki berkepala merah yang satu ini tak ingin hidupnya bertambah repot. Ayahnya yang selalu merongrongnya dengan kewajiban perusahaan saja sudah membuatnya muak.
Lelaki itu tetap memutar otak. Apa ia harus mengusir hantu yang satu ini? Tapi bagaimana kalau tiba-tiba perusahaan ayahnya bangkrut saat Kuroko sudah diusirnya? Meskipun ia oke-oke saja kalau perusahaan ayahnya bangkrut. Tapi tidak sekarang, Akashi belum mengumpulkan uang yang cukup untuk membeli rumah sendiri.
Setelah keheningan yang cukup lama, akhirnya Akashi mengangguk. "Terserah kau saja, tapi jangan ganggu aku," katanya tegas, kemudian meninggalkan sosok hantu itu sendirian di dapur.
Rupanya Akashi memang tak ingin berlama-lama berdampingan dengan hantu aneh itu.
V
Lelaki bersurai merah itu menghela nafas. Baru beberapa jam lalu ia mengizinkan 'hantu itu' berteduh di apartemennya, tapi suara-suara seperti; kursi digeser, bunyi telapak kaki yang diseret, dan suara berdebam, memenuhi ruang tamu apartemennya. Hal itu membuat kesabarannya terkikis sedikit demi sedikit.
Apa Akashi boleh menguliti hantu itu sekarang?
Akashi membuka pintu kamar, lantas menggeram kesal. Memang benar kalau sedari tadi tedengar suara-suara, tapi ternyata tak ada satu benda pun yang posisinya berubah. "Kuroko Tetsuya," kata Akashi.
Sebuah sosok muncul dengan jarak kurang lebih tiga meter darinya. "Ya, Akashi-kun?" tanya Kuroko dengan raut muka datar. Pakaiannya tetap sama, kimono hijau gelap dengan garis-garis berwarna kecoklatan.
"Ayo buat perjanjian."
Kuroko berjalan mendekat dan berdiri tak jauh dari Akashi. "Perjanjian?"
"Ya. Satu, semua kata-kataku harus kau turuti. Dua, kau tak boleh membuat suara-suara aneh. Tiga, dilarang menampakkan diri saat ada orang lain selain aku di sini. Dan empat, dilarang memindahkan benda-benda. Kau bisa melakukan semua yang kau mau selain tiga ketentuan di atas."
Sosok itu memaku diam. Semua peraturan Akashi di luar kebiasaannya. Apa ia harus meinggalkan kebiasaannya demi mematuhi perintah Akashi? Kuroko hendak membuka mulut untuk memprotes, tapi Akashi memotongnya lebih dulu, "Ingat, kata-kataku harus kau turuti, suka atau tidak." Memang tindakan Akashi barusan beresiko. Kalau Kuroko marah dan pergi dari apartemennya, kesialan akan menimpanya.
Sekali lagi, bukannya Akashi percaya mitos. Tapi menilik pengalaman orang-orang yang ia baca di internet beberapa saat yang lalu, ketidak percayaan Akashi sedikit hilang.
"Baiklah, Akashi-kun," kata Kuroko.
Akashi kaget. Awalnya ia mengira Kuroko Tetsuya akan menolak, atau paling tidak memprotes saat ada kesempatan. Tapi ternyata prediksinya meleset, membuat lelaki berambut merah itu berdecak kesal. Tapi yang Akashi tangkap, Zashiki Warashi yang satu ini ternyata patuh juga, dan itu membuat Akashi menyeringai.
V
Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Akashi membolak-balik buku agendanya. Seharusya ini menjadi hari liburnya (hari minggu) setelah beraktivitas selama seminggu, tapi Midorima Shintarou mengingatkannya kalau sebentar lagi ia dan Kise Ryouta (teman satu sekolahnya) akan berkunjung untuk meminta pelajaran tambahan darinya. Terutama Kise Ryouta. Setelah menjadi model populer, lelaki itu kerap meninggalkan kelas demi mengejar jam kerjanya.
Setelah mencoret beberapa agenda demi meluangkan waktu untuk kedua temannya, Akashi beranjak ke ruang tamu. Sebenarnya Akashi menolak permintaan Kise untuk memberinya pelajaran tambahan. Tapi karena permintaan lelaki pirang itu (yang kerap kali membuat Akashi sakit kepala) berlangsung terus menerus selama seminggu penuh, maka pemilik rambut merah itu mengiakan.
Suara dentingan bel pintu membuat Akashi berjalan lambat-lambat ke arah benda persegi itu. "Ryouta, dimana Shintarou?" tanyanya begitu membuka pintu. Tak terlihat lelaki berambut hijau dimana pun. Menandakan ketidak-hadiran Midorima Shintarou. Ingat Akashi, kau bahkan belum mengucapkan salam.
"Midorimacchi ada keperluan keluarga-ssu."
"Kalau begitu kita batalkan," kata Akashi sepihak, kemudian menutup pintu.
Pintu tak tertutup sempurna karena tangan Kise menahannya. "Akashicchi jangan begitu. Aku telah banyak ketinggalan pelajaran," kata Kise sambil memandang dengan raut muka berharap.
"Tak apa Akashi-kun. Tak ada salahnya berbuat baik," kata sosok tak kasat mata yang ada di belakang Akashi. Bisa ditebak kan siapa sosok tak kasat mata itu?
Kise berusaha melihat siapa yang barusan berbicara, tapi tak terlihat apapun. "Apa ada seseorang di apartemenmu, Akashicchi. Pacar?"
Akashi menatap tajam Kise, seakan memberikan jawaban tidak. "Baiklah Ryouta. Masuklah. Tapi jangan 'berisik'," kata Akashi sembari berjalan mundur, mempersilahkan Kise masuk.
"Siapa tadi-ssu?"
"Tak usah diperhatkan. Buka catatanmu, Ryouta. Agendaku masih banyak," kata Akashi sambil mengingat-ingat buku agendanya.
Meskipun masih penasaran, Kise tak berani melanjutkan. Ia ingat kalau membantah Akashi akan membawakan dampak buruk. Cepat-cepat dibukanya buku catatan matematika miliknya, tak ingin lelaki pemilik iris mata dua warna itu marah lantas berbuat kejam padanya. Membayangkan hal itu saja membuat Kise bergidik ngeri.
"Berikan buku itu padaku." Diberikannya buku itu kepada Akashi. "Ryouta..." kata Akashi sambil membolak-balik buku Kise.
Dengan susah payah lelaki berambut pirang itu meneguk ludahnya. "H-hai," jawabnya gugup.
Akashi melempar buku Kise ke atas meja. "Kemana semua catatanmu? Kenapa hanya ada bab satu saja?" tanyanya dengan raut muka datar. Raut muka datar itu yang membuat Kise takut. Pasalnya, dibalik ekspresi datar itu tersimpan kemarahan yang luar biasa.
Ya, Akashi sedang marah dengan Kise.
"Ett-to... kemarin buku matematikaku ketinggalan di tempat pemotretan-ssu. Jadi, tadi malam aku menyalin catatan milik Midorimacchi..." ucapan Kise berangsur-angsur menghilang karena tatapan Akashi yang rupanya semakin menajam saja. Kise, kise... bagaimana bisa kau meninggalkan bukumu di tempat pemotretan?
"Dan kau terlalu malas untuk melanjutkan?"
Tepat sasaran.
"Jangan salahkan aku, Akashicchi. Itu karena Aominecchi yang mengajakku bermain game."
Akashi mendekat ke arah Kise. "Dan kau menerima ajakan Daiki begitu saja?"
"Tidak!" elaknya cepat. "Aominecchi bilang ia akan pulang kalau aku mengabaikannya terus."
Lelaki bersurai merah kembali mundur, lalu masuk ke kamar. Tak lama, ia kembali dengan membawa sebuah buku. "Ini bukuku. Kau pahami dulu bab tiga. Kau sudah bisa bab dua dan satu bukan? Aku kembali sebentar lagi," kata Akashi.
Diberikannya buku itu pada Kise, lantas pergi ke dapur. Sebenarnya bukan maunya untuk pergi ke tempat ini. Tapi sedari tadi sosok tak kasat mata seorang Kuroko Tetsuya terus berbisik di telinganya dan menyuruhnya untuk membuatkan Kise minuman. Lama-lama Akashi mau juga, karena Tetsuya terus menyenggol rusuknya sedari tadi.
Sialnya lagi, Akashi tak bisa membalas karena kebaradaan Kuroko Tetsuya yang tak terdeteksi. Asal kalian tau, disenggol di bagian rusuk berkali-kali itu rasanya sakit! Awas Kuroko, rupanya Akashi berniat membalasmu saat kau memadatkan tubuhmu.
Seperti yang kalian duga, sedari tadi Kuroko berdiri di samping Akashi dan memaksa lelaki yang usianya dua tahun lebih tua darinya itu untuk pergi ke dapur dan membuatkan minuman. Untuk kesopanan katanya. Gah! Akashi bahkan tak peduli tentang kesopanan kalau itu menyangkut seorang Kise Ryouta.
"Puas?" tanya Akashi sinis saat segelas minuman telah siap. Ia melirik ke belakang, dimana Kuroko kembali memadat.
Sebenarnya Akashi ingin memasukan racun ke dalam gelas minuman yang akan diberikannya pada Kise. Tapi saat melihat Kuroko memandanganya (yang meskipun bertampang datar, tapi sarat emosi) sedari tadi, Akashi mengurungkan niatnya.
Rasanya sekarang ia malah ingin memberikan racun itu pada hantu aneh di belakangnya.
"Ya. Akashi-kun harus berbuat baik, agar mendapatkan kebaikan dari orang lain."
Akashi terkekeh dalam hati. Apa ia baru saja diceramahi oleh seorang... hantu?
Tanpa menghiraukan Kuroko yang masih berbicara tentang kesopanan, Akashi berjalan keluar dapur dan meletakan gelas minuman di depan Kise.
Seketika itu juga mulut Kise terbuka. Barusan Akashi Seijuuro memberinya segelas minuman? Mimpikah ini? Kise menampar pipinya sendiri, kemudian meringis kesakitan. "Kau tak perlu menampar dirimu sendiri seperti itu, Ryouta. Aku bisa melakukan yang lebih keras dari itu. Ingin mencoba?"
Gelengan keras dan cepat dari Kise mewakili jawabannya. Dengan tangan gemetar, diraihnya gelas yang baru saja di seiakan Akashi untuknya. Dari luar tampak normal. Sebuah liquid berwarna kehijauan yang jernih. Tapi saat Kise menyeruput sedikit liquid itu, matanya terbelalak seketika.
Mengerikkan!
Minuman itu mengerikkan, tak jauh beda dengan pembuatnya.
Saat melihat Kise yang sepertinya terkejut dengan minuman buatannya, Akashi lantas berpikir positif. "Habiskan, Ryouta," perintahnya.
Mau tak mau Kise menelan cairan itu. Ia membatin dalam hati, lain kali ia harus berkata pada Akashi agar tak repot-repot membuatkannya minuman.
"Bagaimana rasanya?" tanya Akashi tanpa nada ingin tau sama sekali.
'Mengerikkan.' "E-enak, Akashicchi," bohongnya. Kalau dilihat lebih jeli, Kise seperti mau menangis.
Good job! Akashi.
Akashi terkekeh. Jelas ia tau kalau Kise berbohong. Sebeum ini pun ia sudah menebak reaksi Kise. Meskipun terkesan jernih, tapi dalam minuman itu terdapat bahan-bahan yang tidak lazim. Jangan tanya bahan apa saja itu, kau tak akan bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau bahan-bahan itu dijadikan minuman.
Sepertinya Akashi sengaja.
"Ayo kita mulai," kata lelaki bersurai merah.
Kise mengemasi semua barangnya. "Terima kasih, Akashicchi. Tapi meneger baru saja meneleponku. Katanya ada wawancara. Mungkin aku akan meminta bantuan Midorimacchi saja. Sepertinya Akashicchi sibuk."
Kise berbohong.
Lelaki itu melangkah cepat ke arah pintu. Setelah berpamitan, sosoknya menghilang dari pandangan Akashi.
"Ia pulang," kata Kuroko dengan sosok padatnya.
Akashi mengabaikannya, lantas duduk di sofa. "Biarkan saja. Lebih nyaman begini," jawab Akashi, kemudian memejamkan mata.
"Akashi-kun bukan orang baik ya?" kata Kuroko blak-blakan.
Keheningan tercipta. Bahkan Kuroko sudah kembali mengubah wujudnya menjadi tak terlihat. Dalam kondisi begitu, Kuroko bergerak ke arah jendela dan membuka tirainya.
Seketika itu cahaya matahari menyusup masuk. "Tutup tiranya," perintah Akashi dengan mata yang masih tertutup.
Tak ada pergerakan yang menandakan Kuroko akan menutup tirai berwarna putih itu.
"Tutup tirainya," ulang Akashi geram, ia tak suka mengulang perintah.
Akashi bangkit, kemudian menangkap tangan Kuroko yang pada saat itu ada di hadapannya.
Kuoko terbelalak kaget. Pasalnya sekarang ia dalam mode tak kasat mata. Bagaimana Akashi bisa menemukan posisinya? Ialihkan pandangannya pada Akashi yang nampak menyeringai.
"Aku sudah bisa membaca posisimu, Zashiki Warashi, Kuroko Tetsuya."
TBC
.
Terima kasih sudah membaca~
