.
Suamiku, Aku Punya Kekasih Baru
.
Naruto is belong to Masashi Kishimoto
Story by Spica Zoe
Peringatan : Konten Dewasa (M), Affair, OOC, NTR.
.
Jalan cerita difiksi tidak berkaitan dengan jalan cerita di Anime dan Manganya. Hanya meminjam Chara.
Semua yang ada diperingatan hanya untuk berjaga-jaga, mohon disikapi dengan bijaksana.
.
Epilog
.
Setiap hari, di depan senja, Sakura tidak pernah bosan mengenang seberapa hangat dekapan suaminya.
.
"Aku akan pergi."
"Tidak. Kumohon jangan pergi."
Genggaman yang cukup kuat.
"Naruto, kumohon juga padamu. Biarkan aku pergi."
.
.
Sakura mengubah senyum menjadi tawa setelah mendapati Sarada membungkam mulutnya sendiri dengan ekspresi 'ngambek' yang mendominasi gestur tubuhnya. Mendapati sang Ibu yang kini sedang ketahuan memiliki kekasih baru membuatnya merasa masam baik di hati juga pikiran.
Terlebih, kini pria itu sedang memandangnya tanpa ekspresi apapun.
"Sarada, harusnya jangan bersikap seperti itu. Paman Gaara bukan pria jahat." Rumit juga jika harus menjelaskan segalanya pada Sarada. Tapi Sakura harap, dengan kalimatnya yang sebaris tadi mampu membuat Sarada membuka hatinya lebih dulu.
"Tapi Mama! Sarada tidak suka dengannya."
Gaara mengernyit bingung setelah anak dari wanita yang baru saja beberapa minggu menjadi kekasihnya ini secara tidak sopan menunjuk-nunjuk wajahnya seperti seorang tersangka. Harusnya seorang anak tidak melakukan itu kepada orang tua. Apalagi jika-jika orang itu berkemungkinan menjadi calon Ayah barunya.
Sakura langsung menarik tangan Sarada dan mencoba tersenyum lagi. Ia mencoba mengerti, bagaimana mungkin seorang anak bisa menerima Ibunya dengan pria lain untuk menggantikan posisi Ayahnya. Tetapi, bagaimanapun hidup tetap berjalan. Sasuke telah meninggalkan dunia tanpa keinginan siapapun. Takdir yang telah mengikat. Jadi, mungkin takdir juga yang telah melakukan ini pada kehidupan Sakura. Mempertemukan dirinya dengan seorang pria yang pada akhirnya tidak mempermasalahkan status jandanya.
"Sayang. Mama tahu perasaanmu. Tapi, cobalah dulu membuka hati untuk Paman Gaara. Sama seperti yang Mama lakukan sebelum Mama memutuskan untuk menerimanya. Dan jika kau masih tidak suka, Mama tidak akan memaksa."
Maafkan ucapan Sakura yang terdengar egois hanya untuk anaknya. Bahkan Gaara sadar betapa ia merasa bahwa dirinya bukanlah kepentingan diantara Ibu dan Anak ini. Tetapi, ia juga berusaha memosisikan diri jika ia berada di posisi Sarada. Siapa yang tega membiarkan Ibumu membagi kasih sayangnya dengan pria lain. Bahkan dengan adik sendiri saja rasanya tidak rela.
"Mama janji? Jika Sarada tidak suka dengan Paman ini, Mama tidak akan bersamanya lagi?" air mata Sarada tergenang. Ada isakan. Sudut matanya yang menekankan penolakan disertai permohonan. Piluh rasanya Sakura melihat seberapa tak relanya Sarada membagi dirinya dengan orang lain. Sakura berjongkok menyamakan tubuhnya setinggi tubuh putrinya yang masih berusia tiga tahun. Masih berusia dini tapi begitu pandai mempermainkan perasaannya. Mungkin memang harus begitu, karena Sarada pun tercipta dari seberapa besar rasa cintanya pada sang mendiang suaminya.
Didekapnya Sarada. Sekejap bayangan mendiang suami menghantui batinnya. Mana ia tega membiarkan sang mendiang kecewa di alam sana dengan membiarkan putri semata wayang mereka menangis. Jika memang ia tak lagi bisa bersama dengan Gaara, itu pun mungkin akan ia lakukan.
Demi Sarada.
"Iya. Mama bernjanji."
Meski Sakura tahu, Gaara pun mendengar janjinya.
.
.
.
.
"Apa yang kau lakukan, Hinata?"
Tolong beritahu kepada Tuhan, bahwa Hinata sudah cukup muak diabaikan. Pernikahan dua tahun yang ia rasa sungguh sangat percuma ini tak lagi bisa ia biarkan berjalan tanpa dasar yang mampu menahan jika kemudian akan terjadi guncangan kembali.
Naruto suaminya.
Itu saja sudah cukup untuk membuatnya menahan amarah. Apanya yang suami? Apanya yang mencintai sehidup-semati? Hinata merasa sudah dikelabui selama bertahun-tahun hanya karena ia telah mencintai pria ini sebegitu besarnya sejak dulu.
Namun kenyataannya ia masih mencintai wanita lain yang bahkan sudah memiliki anak dari sahabatnya sendiri.
Hinata tak menggubris semua ucapan yang keluar dari mulut Naruto. Tidak dikaruniai seorang anak mungkin adalah takdir terbaik agar ketika mereka cerai, Hinata tidak merasa terbeban karena hasil cinta kasih mereka bisa saja membuatnya selalu bertahan.
Cinta kasih? Persetan.
Cukup sudah rasanya membodohi diri dengan segala hal tentang pernikahan palsu ini. Setidaknya begitu yang Hinata pikirkan.
"Lepaskan aku! Naruto."
Seketika itu, Naruto langsung menarik tangannya dari pergelangan tangan Hinata. Suara Hinata yang sudah seperti ini adalah pertanda buruk untuk kenyataan yang akan ia alami.
"Bukankah ini kemauanmu? Agar kau bisa bercumbu dengan Sakura sesuka hatimu!" histeris yang tak lagi mampu Hinata tahan. Lihatlah betapa kacaunya kondisi kamar ini. Semua pakaian berserakan. Semua barang pun tak lagi berada di tempatnya semula. Semua karena amukan Hinata dan keegoisan Naruto yang tetap menahan Hinata berada di rumah, meskipun Hinata sudah memutuskan untuk pergi saja.
Bercerai adalah jalan terbaik. Untuk itu, Hinata telah memutuskannya.
"Sudah kukatakan berapa kali padamu, Nyonya Uzumaki Hinata! Aku tidak ada hubungan apapun dengan Uchiha Sakura."
"Laknatlah yang kau dapatkan jika kau berbicara seperti itu." Hinata mendengus kasar. Ingin ia menertawai suaminya sendiri yang ingin membelah diri di hadapannya. Bahkan semua orang pun tahu seberapa cinta pria ini dengan teman masa kecilnya itu. "Aku pun teman masa kecilmu. Yang mencintaimu sedari dulu. Dan kau tidak pernah bisa memandangku sebagai wanita yang kaucintai. Kenapa sampai saat kau sudah beristrikan aku pun kaumasih selalu menemuinya? Kenapa?" Hinata meledak. Air matanya jatuh bercucuran tak lagi mampu ia tahan.
Semua orang yang ia kenal sering membicarakan bahwa suaminya masih saja sering menemui janda dari sahabatnya sendiri. Dan haruskah Hinata hanya diam dengan rumor yang nyatanya berawal dari kebenaran tersebut? Kemungkinan, Naruto memang masih mencintai janda beranak satu itu.
"Sakura. Sakura. Sakura. Hanya nama itu yang terus kau jadikan alasan untuk memicuh pertengkaran kita, Hinata. Buka matamu. Hanya karena kecemburuanmu, Sakura pun menolak untuk menemuiku. Dia sudah memiliki kekasih. Dan dari mana kau mengira jika aku dan dia memulai hubungan gelap seperti yang kau pikirkan?"
"Oh. Lantas setelah dia memiliki kekasih dan mencampakanmu, kau menahanku untuk menceraikanmu?" Hinata tak tahu kenapa ia berkata seperti itu. Namun satu yang pasti, Naruto pun telah mengakui bahwa ia tidak pernah bisa melupakan perasaannya pada Sakura meskipun waktu telah berusaha keras menghapusnya.
"Cukup! Baiklah. Jika kau memang mau bercerai. Lakukan saja. Aku pun lelah jika harus memaksa diri untuk mencintaimu."
Lihat. Bukankah ia sendiri yang menginginkannya? Ternyata perceraian ini lah yang diharapkannya.
Hinata menahan tangisnya sampai Naruto menghilang dari pandangan matanya. Mendidih darahnya ketika ia harus menerima kenyataan bahwa pada akhirnya Naruto pun mengakui jika mencintainya adalah hal yang ia paksakan dalam dua tahun ini. Pernikahan ini adalah petaka bagi Hinata.
Petaka yang membuat jiwanya mengorbankan segalanya secara percuma bahkan terkesan bodoh.
Hinata memandang gambaran dirinya dan suami dalam satu bingkai besar yang tergantung menawan di dinding kamar mereka. Mereka? Mungkin mulai saat ini tidak akan ada lagi yang berhak menetap di sana. Diraihnya benda itu dan melemparkannya kuat ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Baginya segalanya kini adalah kepalsuan yang harus ia rusak.
Naruto menghela napasnya setelah mendengar pecahan kaca di lantai atas. Apapun itu, rasanya percuma jika ia ingin peduli. Jika memang ini kemauan Hinata, sepenuhnya akan ia turuti. Percuma juga selalu terikat hubungan namun tak pernah ada kesadaran untuk saling memedulikan.
Sakura beranjak menyambut malam. Sejak Sarada menangis siang tadi karena ketidakinginannya melihat Gaara menjadi kekasih Ibunya, kini tak lagi Sakura rasakan Gaara menatapnya seperti hari-hari yang lalu. Biasanya, meski tanpa kata, Gaara akan menyempatkan diri untuk memandang sosok Sakura sekilas, tanpa ada yang tahu atau memergoki, bahkan Sakura sendiri. Namun, setelah nanti akhirnya mata mereka saling mengikat, Gaara pun semakin tenggelam dalam teduhnya warna terang yang mata kekasihnya pancarkan. Namun kali ini Gaara seakan enggan.
Gaara mematikan mesin mobilnya. Mereka telah tiba di kediaman Sakura. Sebuah Kodominium mewah kelas atas yang jelas sangat melekat pada predikat status Sakura sebagai janda seorang beranggotakan Uchiha.
"Sarada telah tidur." Sakura masih tetap mengusap puncak kepala putrinya yang terlelap dalam pangkuannya. Entah kenapa Sakura berubah menjadi begitu manja seharian ini dan lebih ingin duduk di pelukan Sarada dari pada harus duduk di kursi belakang selama mereka berjalan pulang.
"Aku tidak tahu kenapa dia begitu membenciku."
Usapan di kepala Sarada terhenti. Mendengar kalimat yang Gaara keluarkan membuat Sakura sedikit perih. Ucapan yang menunjukan betapa malang dirinya. Tapi, Sakura tak ingin mendengarnya lebih banyak lagi. Didekapnya Sarada semakin erat, lalu mencoba membuka pintu mobil meski Gaara masih tetap diam dalam pemikirannya.
"Lebih baik aku segera masuk."
"Apa kau ingin kuantar ke dalam?" Gaara mendongak setelah Sakura berhasil keluar seorang diri sambil menjaga Sarada tetap berada dalam dekapannya. Meskipun melihatnya sedikit gelisah. Ia terlihat kerepotan.
"Tidak usah. Ini sudah larut. Pulanglah." Balas Sakura tanpa ucapan lebih banyak dan meninggalkan kekasihnya.
Kekasih? Padahal Sakura tidak pernah mencintainya.
.
Sakura berdiri menunggu lift terbuka. Ia tidak pernah merasa jika Sarada ternyata lebih berat dari dugaannya selama ini. Gadis kecilnya mungkin sudah tumbuh semakin dewasa dibalik semua waktu yang mereka lewati. Andai Sasuke masih ada. Sakura tidak akan merasa seperti ini saat ini. Berpergian dengan pria lain rasanya membuat Sakura tidak nyaman. Apalagi saat ia tahu Sarada tidak pernah menaruh niat dengan pria-pria yang mencoba mendekatinya.
Andai Sasuke masih ada. Mungkin saat ini mereka akan menunggu lift bersama. Dan membayangkan Sasuke lah yang mendekap Sarada saat ini juga-
"Berikan padaku."
Sakura menoleh cepat ketika suara Gaara yang terkesan berat dan kelelahan mengisi kesunyian mereka. "Gaara? Bukannya kau sudah pulang?"
Gaara tak menggubris pertanyaan Sakura. Diraihnya tubuh lelap Sarada dalam dekapan Sakura. Mencoba menggantikan wanita ini untuk menggendongnya sampai lantai atas kediaman mereka. Dan Sakura pun membiarkannya melakukannya.
"Anak ini harus diberi pelajaran." Bisik Gaara tak membalas tatapan Sakura padanya. Seketika rasa berat di lengan Sakura menghilang. Jujur, cukup menguras tenaga menggendong Sarada selama itu. Dan ia bersyukur entah karena apa tiba-tiba Gaara menyusulnya. Sampai lari-larian mungkin. Sakura memandangi panel indikator di sisi lift sambil memikirkan seberapa jauh Basemant dari tempat berpijak mereka sekarang. Lalu ia tertawa.
"Kau yakin bisa membuat Sarada menerimamu?" Sakura bersiap. Pintu lift terbuka, dan mereka bersiap melangkah. Sakura masih menunggu jawaban Gaara ketika pintu lift kembali menutup. Namun tak ada jawaban.
Panel lampu indikator terus berganti, menandakan seberapa banyak mereka melewati lantai saat ini. Dalam diam dan kebisuan. Tidak ada yang lain selain mereka. Sakura melihat bayangan mereka dari cermin yang menjadi dinding lift di hadapannya,melihat bayangan Gaara yang berusaha membuat Sarada nyaman dalam pelukannya. Sekejap ia merindukan Sasuke. Andai Sasuke masih hidup. Kemungkinan Sasuke tidak akan membiarkan tangannya menjadi dingin seperti ini. Meski Sasuke bukan tipe pria yang romantis, tapi Sasuke cukup lembut memperlakukan wanita.
"Mungkin, aku harus lebih dulu membuat putrimu mencintaiku dari pada harus membuatmu menerimaku." Lalu sedetik berikutnya Sakura mendapati kehangatan di genggaman tangannya. Sebelum ia menyadari lebih lama, bibirnya telah basah oleh kecupan Gaara sedetik sebelum pintu lift terbuka.
"Ayo."
Sakura membiarkan Gaara menarik tangannya. Mengekori pria yang membawa putrinya dalam dekapannya. Memandangi punggungnya. Dan membiarkan air matanya mengalir.
Andai Sasuke masih ada di sampingnya, apa ia akan membiarkan pria lain terlalu peduli pada istri dan anaknya?
.
.
.
Epilog, End.
.
Tidak ada yang menghendaki perpisahan dengan cara seperti apapun terjadi di dalam kehidupan. Apalagi perpisahaan yang melibatkan orang-orang yang sangat dibutuhkan. Tapi, biar bagaimanapun, kita hanya lah seorang manusia yang harus bertanggung jawab terhadap apapun yang terjadi atas kehidupan masing-masing.
Hinata tidak pernah membayangkan kenyataan seperti inilah yang harus ia jalani. Baiknya ia tidak lagi perlu menangisi apapun yang telah ia putuskan. Hidup ini miliknya. Jika pun harus hancur berkeping-keping, hancurlah itu karena keputusan dan hasil karyanya sendiri. Bukan karena perbuatan orang lain. Karena hanya diri sendirilah yang berhak atas kehidupan diri sendiri. Bukan orang lain. Meski itu ketika bahagia, ataupun menderita.
Melihat Naruto yang akhirnya tidak berniat berbalik ketika ia melangkah meninggalkan dirinya membuat Hinata menangis dalam jeritan.
Apapun yang terjadi, inilah keputusannya.
Akan ia tinggalkan masa lalu. Dan tidak lagi ingin terjerat dalam kepalsuan yang membatasi kebahagiaannya.
.
Setiap hari, di depan senja, Hinata berharap di dalam doa agar bayangnya tidak pernah samar ditelan gelap.
.
.
.
Catatan yang nulis : Ceritanya masih panjang.
Tambahan, Saya bukan seorang penulis. Saya seorang pengagum. Dan masih seorang manusia biasa. Terimakasih.
