Death Game - Stage 1
-Inspiration-
[Disclaimer]
"Naruto, anime, dan manga lainnya"
-Author-
[darkdanu91]
Summary
Sebuah permainan kematian dimana beberapa orang diharuskan saling membunuh satu sama lain untuk dapat membebaskan diri. Tapi, apakah benar mereka dapat bebas?. Siapa musuh dan teman? Ketahuilah itu sebelum bertindak.
.
.
.
Chapter 1 - Terbangun Dengan Ketidaktahuan
Sakit.. Kepalaku sakit. Kuedarkan mataku ke segala arah. Gelap, dingin, tempat ini seperti labirin yang membuatku pusing. Aku berjalan pelan menyusuri setiap koridor yang ada.
Ditangan kananku, sebuah pistol G18 kupegang dengan erat. Benda ini berada tepat disampingku saat aku pingsan. Bersama dengan dua kotak kecil yang berisi beberapa butir pelurunya.
Aku tak mengerti kenapa benda ini ada saat aku pingsan. Ingatan terakhirku adalah seseorang dengan sengaja menyerangku tiba-tiba saat pulang sekolah. Setelah itu, aku tak sadarkan diri dan berakhir di tempat ini.
SRAK..
Sebuah suara membuatku menghentikan langkah. Diriku mendadak waspada saat melihat ada bayangan tepat didepanku. Jika kuasumsikan sebentar lagi orang itu akan berjalan menghampiriku.
Persimpangan koridor membuatku tak bisa melihat sosok itu. Aku merasakan sosok itu berhenti melangkah. Aku menggenggam erat pistol ditangan kananku. Beberapa detik, tak ada tanda-tanda gerakan.
CRAKK.. KLANG..
Sebuah benda bergulir dilantai keramik. Aku membulatkan mata "G-Granat..!!". Dalam kepanikan, reflek aku berlari. Benda itu mengeluarkan cahaya terang bersamaan suara dentuman keras.
BLARR..
Ledakan terjadi, menyebabkan runtuhan tercipta. Beruntung aku masih bisa selamat dari tragedi tadi. Tapi, saat ini aku belum bisa menghirup nafas lega. Seseorang yang ada didepan sana pasti belum menyerah.
Aku tak tau kenapa ia melakukan ini. Ada banyak hal yang menjadi tanda tanya besar di kepalaku. Khususnya, apa alasanku berada disini. Ini tak semacam aku sedang diculik atau menjadi sandera dari suatu hal.
"Keluarlah.. Pengecut.."
Suara itu terdengar didekatku. Keringat dingin mengalir pelan disetiap inci wajahku. Aku dapat mendengar suara benturan sebuah benda dengan besi yang ada.
"Siapa kau..!! Kenapa menyerangku.."
Aku mencoba berkomunikasi dengan orang itu. Suara tawa terdengar setelah aku melontarkan pertanyaan tadi. Apa yang lucu, saat ini aku tak sedang bermain. Aku butuh penjelasan sebenarnya apa yang terjadi.
"Tidak penting siapa aku. Dan kenapa aku menyerangmu.. Itu sudah bagian dari permainan.."
CHECKMATE..
"Kutemukan kau.."
CRAKK.. KLANG..
Aku harus pergi dari tempatku. Orang ini tak bisa diajak berpikir dingin. Benda itu berada tak jauh dan aku harus menghindar sekarang.
BLARR..
Ledakan kembali terjadi. Tapi, aku berhasil menghindar untuk kedua kalinya. Baju seragam sekolahku nampak kusam. Kesampingkan hal itu, saatnya untuk membalas.
Asap dari ledakan aku manfaatkan untuk bersembunyi sebentar. Aku dapat melihat orang itu. Ia memakai hoodie jaket hitam dengan sebuah tas kecil selempang.
Asumsiku mengatakan tas itu berisi beberapa granat didalamnya. Dugaanku tepat tak kala ia mengambil benda itu dari dalam tasnya.
Aku melirik dan sepertinya tak ada lagi senjata lain. Yang ia punya hanya granat. Tapi, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat dirinya unggul.
Kupegang erat pistol milikku. Aku mengecek magazine disana. Satu, dua, delapan, lima belas peluru. Ditambah dua kotak disaku celanaku yang masing masing mempunyai jumlah sama dengan yang ada di magazine.
"Setelah ini apa..??"
Aku bertanya dengan diriku sendiri. Ada dua pilihan yang terlintas. Lari atau melawan. Melarikan diri seperti pengecut tak masalah bagiku. Tapi, kemungkinannya kecil ia akan membiarkanku lolos dan lari begitu saja.
"Jangan terlalu banyak berpikir kawan. Satu detik bisa saja kematianmu saat itu.."
CRAK.. SYUTT..
Sial.. Aku harus berlari. Darimana ia tau letak posisiku. Ditambah lagi, aku tak bisa memastikan ada berapa banyak granat miliknya.
Manikku dapat melihat ia mengejarku dari belakang. Mungkin sudah saatnya, tanpa pikir panjang kutembakkan pistol milikku.
DOR.. DOR..
Aku menghitungnya lima peluru. Sialnya tak ada satupun yang mengenai sasaran. Berlari sembari melihat kebelakang dan melepaskan tembakan terlalu susah bagiku.
Aku melihat ia mengambil satu granat dan bersiap melepaskan pemicunya. Hal itu membuatku bingung sekaligus takut. Apa yang benar-benar sebaiknya aku lakukan saat ini.
Didepanku terdapat sebuah kaca jendela. Tanpa pikir panjang aku pecahkan dengan menembakkan beberapa peluru yang ada.
Aku melompat dengan reflek. Sialnya aku harus menahan sakit tak kala lenganku tergores pecahan kaca. Tapi masa bodoh, sejauh ini aku harus terus berlari. Orang itu masih saja terus mengejarku.
Granat terlempar kearahku. Mengetahui hal itu aku dengan cepat berlari kearah lain. Ia tak begitu bodoh untuk melepaskanku dari pandangannya.
BLARR..
Ledakan terjadi. Suasana mencekam tak kala sebilah pisau ia keluarkan dari tas miliknya. Sepertinya aku merasa granat miliknya telah habis. Dan ternyata ia punya benda lain selain granat.
Dan sepertinya pertarungan jarak dekat sebentar lagi terjadi. Kali ini keuntunganku, sebelum ia benar-benar mengambil jarak kearahku. Aku menembakkan peluru panas kearahnya.
Enam peluru dan tak ada yang tepat sasaran. Aku merutuki diriku sendiri. Tanganku tak pernah bisa berhenti bergetar. Kalau terus begini, aku yang akan mati.
"Kau lemah.. Selamat tinggal.."
Beberapa centi lagi, orang itu mengarahkan pisau miliknya keperutku. Aku terduduk ketakutan. Jangankan untuk menghindar, kedua kakiku bahkan sulit untuk digerakkan.
JDAR.. CRASH..
Suara tembakan terdengar. Tetapi, hal yang membuatku terkejut adalah orang yang didepanku dengan tragis mati mengenaskan.
Cipratan darah mengenaiku. Manikku menatap sebuah lubang didahi miliknya. Langkah kaki terdengar dari arah belakangku.
"Semua sudah berakhir. Kau aman.."
Aku membalikkan badan. Seulas senyum tipis terpatri dari sosok itu. Remaja laki-laki dengan sebuah sniper yang terpegang di tangannya.
Pelaku dari pembunuhan tadi. Sebuah uluran tangan mengarah padaku. Meski nampak ragu, kuberanikan diri untuk menerimanya.
"Salam.. Namaku Menma Ryuu. Panggil saja, Menma.."
"Y-Yah.. S-Salam juga. Aku Uzumaki Naruto, panggil saja Naruto. Sebenarnya apa yang terjadi disini. Apapun itu, aku perlu informasi.."
"Dibalik saku celanamu.. Coba lihat.."
Tanpa pikir panjang, aku mengikuti apa yang ia katakan. Kuraba saku celana kiri dan kanan. Tanganku merasakan sebuah kertas di saku kiri.
Langsung saja kuambil. Aku membuka seksama lipatan kertas tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah tulisan dengan tinta merah.
"Death Game.. Selamat.. Anda terpilih untuk berpartisipasi dalam permainan ini. Bunuhlah setidaknya lima peserta lain untuk mempertahankan diri anda dari kematian..
.. Dalam tubuh anda telah terpasang sebuah chip yang berisikan racun. Lebih dari satu minggu chip akan bereaksi..
.. Siapa yang tak membunuh lima orang. Ucapkan selamat tinggal kepada dunia. Membunuh atau dibunuh, memburu atau diburu, pilihlah mana yang kau inginkan. Death Game.. Happy Fun..
Ini gila.. Aku tak percaya dengan isi kertas ini. Death game.. Apa-apaan semua ini. Tak masuk di akal. Membunuh demi sesuatu yang tidak jelas. Siapa orang gila yang melakukan hal ini.
"Aku tak percaya ini. Menma, bagaimana denganmu.."
Mataku menatap Menma yang sedang mengambil sesuatu dari mayat hasil pembunuhannya tadi.
Ia mengambil tas selempang dengan pisau disana. Benda tajam itu tanpa perasaan merobek perut dari tubuh yang sudah tak bernyawa itu.
Aku membulat tak percaya. Darah segar mengalir mengotori lantai. Menma nampak mencari sesuatu di dalam perut mayat itu.
Tidak berlangsung lama, ia menemukan sebuah benda kecil darisana. Benda itu seperti chip. Atau bisa dikatakan itu memang benar-benar chip.
"Sepertinya orang lain telah memasukan paksa benda ini kedalam tubuh kita. Dan jika apa yang dimaksud kertas itu benar. Maka, kita harus membunuh satu sama lain.."
"T-Tunggu.. Kau gila..!!"
Aku tak habis pikir. Orang ini dengan mudahnya berkata seperti itu. Ditambah lagi, ia dengan santai mengucapkannya.
Pandangan kami bertemu. Tatapan sayu dengan kantung mata miliknya. Sebuah headphone terkalung dilehernya.
"Gila..?? Dengar, biar kuperkenalkan diriku lebih detail. Menma Ryuu, seorang gamers. Benda terakhir yang kumiliki hanyalah headphone ini. Kau pikir aku tau tentang kondisi saat ini..
.. Tidak. Kita sama, sama-sama terbangun dan tak mengerti. Terakhir ingatanku adalah saat memainkan game RPG milikku. Dirumah tak ada siapa-siapa.
.. Hidup sendiri tanpa orangtua. Bekerja dan bekerja. Setiap hari kuluangkan waktu untuk game. Hanya disitu aku dapat sedikit melupakan beban. Tetapi, saat itu ada yang memukul leherku..
.. Terbangun begitu saja ditempat yang tidak kuketahui. Aku tak mengerti, sama sepertimu. Yang kutemukan hanyalah aku dan sebuah senjata bertipe sniper ini. Jika didalam game, ini disebut AWM (Arctic Warfare Magnum)..
.. Lalu setelah itu, kutemukan secarik kertas yang isinya sama seperti kertasmu. Dan aku juga mendapatkan kertas yang sama di mayat ini..
.. Death Game.. seperti yang dibilang. Kita harus terpaksa memainkan permainan ini. Jika kau ingin mati, matilah sendiri. Aku akan memilih untuk tetap hidup dan berjuang.."
Aku terdiam, penjelasan panjang dari Menma memang benar. Tapi aku tak ingin membunuh siapapun. Ini bukan aku terlalu pengecut untuk tidak bisa melakukan hal itu.
Hanya saja, terlalu rumit untuk kujelaskan. Mataku menatap magazine pistolku yang telah kosong. Kuambil kotak peluru dibalik saku belakang. Kini tersisa satu kotak disana.
Kubuka kotak peluru yang ada di tanganku dan mulai memasukinya kedalam magazine. Lima belas peluru telah tersusun rapi kembali. Sekarang apa..?!
"Apa yang akan kau lakukan..??"
Menma bertanya padaku. Ia memasukan pisau yang telah bersih dari darah kedalam tas selempang. Tanpa permisi, ia mengelap tangannya yang berlumuran darah di jaket milik mayat yang sudah tak bernyawa itu.
"Sebelum itu.. Aku juga akan memperkenalkan diri lebih detail kepadamu. Uzumaki Naruto, seorang siswa SMA kelas tiga. Benda terakhir yang kumiliki adalah seragam sekolahku..
.. Terbangun sama sepertimu. Dalam ketidaktahuan bersama sebuah pistol ini. Ingatan terakhirku adalah ketika sepulang sekolah. Seseorang nampak memukul leherku sama seperti dirimu..
.. Lalu untuk apa yang kulakukan?? Aku akan bekerja sama denganmu. Aku siap untuk membunuh. Tetapi, jika seseorang memilih untuk tidak membunuh juga. Aku tidak akan membunuh. Bagaimana..??"
Menma menatap datar. Lalu seulas senyum terpatri kearahku. "Baiklah. Kita lakukan dengan caramu. Pertama-tama, ayo keluar dari tempat ini.." Aku mengangguk setuju.
.
.
.
RUMAH SAKIT, 02:00 PM
[DILUAR PINTU MASUK]
Normal POV
Cahaya bulan bersinar terang dengan ribuan bintang yang bertaburan. Didepan bangunan itu, kedua remaja itu menatap kearah depan.
Langkah kaki mereka mulai meninggalkan tempat tersebut. Diluar dan didalam sungguh diluar pemikiran.
Kini mereka mulai berjalan menyusuri setapak demi setapak. Tempat ini sangat luas. Ada hutan dan banyak bangunan yang sudah tak terpakai.
Beberapa menit telah berlalu. Baik Menma ataupun Naruto, keduanya sama-sama tak banyak bicara.
Tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah toko. Tempat itu memang sedikit kotor. Tapi, saat membuka pintu. Keduanya melihat stok bahan makanan yang masih awet dan kemungkinan semuanya masih baru.
Menma berjalan kearah sebuah rak yang berisi makanan ringan. Ia mengambil salah satu snack yang ada. Diikuti Naruto yang sedang mengamati Menma yang nampak tengah mengecek sesuatu.
"Ini aneh.."
"Aneh.. Apa kau menemukan sesuatu yang janggal..??"
Menma mengangguk pelan "Coba kau periksa tanggal exp di salah satu makanan. Ambil saja secara acak.." Ujarnya.
Naruto kemudian mengambil salah satu snack yang ada. Sama seperti Menma, ia mengecek tanggal exp yang tertera.
"2 Februari - 3 Juli XX10. Ada apa dengan expnya..??"
"Insiden saat kita menghilang. Hari Senin, 1 Januari XX10. Apa aku benar..??"
"Benar.. Kita menghilang di hari yang sama. Siang hari, sekitar pukul 1 siang. Lalu, apa kaitan dengan exp ini..??"
"2 Februari.. Apa yang kita lewatkan selama 1 bulan. Waktu yang selama itu, apa saja yang sudah terjadi. Ini sangatlah aneh.."
BRAKK..
Keduanya berhenti berpikir. Sebuah suara terdengar dari arah luar. Dalam kondisi yang gelap. Menma dan Naruto menunduk sembari bersembunyi di rak-rak makanan.
Pintu toko terbuka pelan. Seseorang nampak masuk. Beberapa saat kemudian, satu orang lagi melakukan hal yang sama.
"Aku takut.."
"Tenanglah Rias. Kita sama-sama takut. Tapi, kita butuh makanan untuk tenaga kita.."
KLONTANG..
"Hiii.. A-Apa itu.."
"Siapa disana..!! Kuperingatkan, kami punya shotgun disini..!!"
Salah satu perempuan nampak memberanikan diri. Maniknya menatap setiap inci demi inci rak makanan yang ada. Detak jantung tak beraturan. Tapi meski begitu, ia tetap maju.
Terbangun dari pingsan. Ketika membuka mata, ia menemukan dirinya berada di tempat seperti ini.
Beberapa menit sebelumnya. Sebuah kejadian yang memilukan terjadi. Ia yang tidak tau apa-apa terbangun dengan sebuah senjata api disampingnya.
Senjata api bertipe shotgun dengan nama M1014 yang mempunyai enam peluru didalamnya. Ia juga menemukan satu kotak kecil yang berisi enam peluru didalamnya, sama seperti jumlah peluru di dalam shotgun tadi.
Ia diburu dalam ketidaktahuan. Seseorang mengejarnya tanpa tau apa alasannya. Berlari ditengah hutan sendirian, bersama sebuah shotgun.
Dinginnya malam dan situasi mencekam. Ia hanya seorang perempuan SMA. Hidup dalam bergelimang harta. Dengan hari-hari yang penuh ceria. Tetapi, semua itu sekarang jelas berbeda.
Ia tidak tau kenapa ia disini. Hal terakhir yang ia ingat ia sedang berjalan menuju ruangan osis miliknya.
Seseorang yang tak ia kenal. Berpakaian seragam hitam dengan cepat membekapnya dengan sebuah kain hitam.
Tibanya disini, ia harus berhadapan dengan seorang laki-laki yang membawa senjata crossbow. Berlari dan terus berlari.
Maaf, hanya sata kata itu yang ia ucapkan. Ketika dimana ia harus mengambil tindakan untuk membunuh laki-laki tadi.
Menjebak dengan keji dan membunuhnya tanpa ampun. Ia mengarahkan moncong shotgun dengan tangan yang bergemetar.
Ia adalah pembunuh. Meski begitu, ia melakukan atas dasar bertahan hidup. Ia baru mengetahui secarik kertas di saku rok miliknya.
Death Game, sebuah permainan kematian. Membunuh atau dibunuh. Menangis ditengah malam dalam ketidaktahuan. Ia harus bertahan, bertekad untuk hidup.
"Keluar..!!"
GREB..
Sebuah tangkapan tangan menahan moncong shotgun miliknya. Tidak sampai disitu, tubuhnya terkunci dengan kedua tangan dibelakang.
Pelaku yang tidak lain adalah Menma. Ia memegang kuat pergelangan tangan perempuan itu. Dengan paksa, ia mengambil shotgun milik perempuan tadi dan melemparkannya kearah Naruto.
HAP..
Remaja itu menangkapnya dengan tepat. Kini kembali ke Menma, ia membekap mulut perempuan tadi dengan tangan kanan. Tangan kiri miliknya masih mengunci pergerakan gadis itu.
Hiks.. Hiks..
Isak tangis keluar. Menma tak peduli, ia masih dalam posisi mengunci. Hingga satu perempuan lagi melihat dengan raut muka terkejut.
"Le-Lepaskan Sona..!!"
Perempuan itu memegang tongkat baseball dengan gemetar. Mata biru dengan raut muka yang menunjukkan ekspresi ketakutan.
Melihat hal itu, Naruto sedikit iba. Pandangannya menatap Menma dengan serius. "Sepertinya sudah cukup, Menma. Mereka berdua juga tidak ada niat jahat..".
Menma juga berpikir begitu. Tetapi, remaja itu tidak ingin gegabah. Ia menatap perempuan yang tengah memegang bat didepannya.
"Senjatamu, apa hanya itu. Bicaralah..!!"
Teriakan Menma membuat perempuan itu takut. Tubuhnya gemetar, ia mengangguk menjawab pertanyaan Menma.
Setelah mengetahui hal itu, Menma kini memeriksa perempuan yang sedang ia kunci. Ia mencoba memastikan tidak ada senjata lain di tubuh perempuan itu.
Setelah memastikan tidak ada. Menma melepaskan perempuan bernama Sona itu dengan pelan.
"Maaf sebelumnya, aku hanya ingin memastikan kalian musuh atau ingin menjadi teman.." tutur Menma terus terang
Perlakuan tadi adalah bentuk bukti pengawasan diri. Death Game, situasi ini membuat remaja itu benar-benar memikirkan setiap hal kecil.
Disampingnya, Naruto berjalan kearah Sona. Ia menyerahkan shotgun milik gadis tersebut. Kemudian, ia bergerak melewati perempuan itu.
Situasi mendadak hening. Menma mengikuti arah Naruto. Keduanya seolah mengabaikan kehadiran dua gadis tersebut.
Naruto mengambil beberapa roti dan beberapa botol minuman. Ia melemparkan satu botol minuman kearah Menma. Yang ditangkap Menma dengan mudah.
Pandangannya kemudian mengarah kearah Rias. Ia menatap tubuh ramping itu nampak gemetar. Meski dalam situasi sekarang, dimana setiap orang harus membunuh satu sama lain. Naruto masih punya sisi kemanusiaan yang disebut peduli.
"Kau lebih suka yang mana..?? Kopi atau teh..??"
Naruto mencoba memulai pembicaraan. Perempuan itu menatap kehadiran remaja itu. Maniknya dapat melihat remaja itu mengambil tempat duduk disampingnya.
Melihat tak ada respon. Naruto menghela nafas. Ia lalu menepuk pelan lantai keramik yang menjadi tempat duduknya. Mengisyaratkan perempuan di dekatnya untuk duduk juga.
"Mau sampai kapan berdiri..?? Tenanglah.. Aku bukan orang jahat.."
Beberapa detik berlalu. Hingga Rias memberanikan diri untuk duduk disamping remaja yang tak ia kenal itu.
Pandangannya menatap lantai. Naruto memberikan sebuah roti coklat kearahnya. Rias sedikit terkejut dan menangkapnya dengan panik.
Melihat reaksi itu, Naruto sedikit tersenyum. Ia membuka pelan bungkus roti yang lain. Mengeluarkan makanan itu dan menggigitnya perlahan.
Disisi lain, Menma tengah mencari sebuah benda yang bisa digunakan sebagai senjata. Remaja itu membuka laci demi laci yang ada.
Didalamnya, ia menemukan dua gunting, korek api, dan sebuah pisau lipat. Menma lalu mencari sesuatu di rak-rak yang ada. Kegiatannya mengundang Sona datang.
Perempuan itu memberanikan diri untuk mendekati Menma. Remaja itu merasakan kehadiran orang lain. Tapi ia memilih tidak peduli.
"A-Ano.. Apa yang kau cari..??"
Sona mencoba bertanya. Menma menatap datar perempuan itu. Ia lalu mengambil beberapa bola pingpong. Lebih detailnya 10 bola.
"Aku ingin membuat bom asap. Bisa kau carikan gula bubuk dan tisu kering. Er.. Kalau tidak mau tak a.."
"T-Tunggu.. Aku mau.. Sebentar.."
Sona mulai berlari kecil. Ia mencari apa yang dibutuhkan Menma tadi. Meski ia tak tau kegunaan dari kedua bahan tersebut.
Disisi lain, Menma berjalan dan mencari satu bahan yang diperlukan. Ia mencoba mencari disetiap inci rak. Membutuhkan waktu lama untuk menemukan benda tersebut.
"Hanya tiga kantong.. Hmm.. Aku rasa cukup.."
Setelah menemukan benda yang dicari. Menma lalu menaruh semua benda yang ada di lantai. Matanya menatap Sona yang berlari kearahnya.
"A-Apa ini cukup..??"
"Hmm tentu.. Duduklah, bantu aku.."
Sona mengambil tempat disamping Menma. Ia kemudian menatap jari menma yang tengah memegang pisau lipat kecil. Dengan benda itu, Menma menyobek santai bungkus tisu yang ada.
Setelah itu, ia mengambil beberapa helai tisu dan membuat sebuah sumbu kecil dari benda tersebut.
"Buatlah 9 sumbu seperti ini. Kau bisa kan, eto..??"
"Sona Sitri.. Panggil saja Sona. Kau sendiri..??"
"Menma Ryuu. Salam kenal, Sona.."
Menma tersenyum lembut. Sona sedikit memerah. Tanpa pikir panjang, perempuan itu mulai membuat beberapa sumbu sesuai permintaan Menma.
Disisi lain, Menma tengah melubangi bola pingpong dengan ukuran yang kecil. Hal itu berlanjut dengan bola pingpong yang lain.
Lubang itu akan ia masukkan bubuk kalium nitrat yang telah ia temukan sebelumnya. Dicampur dengan bubuk gula dengan takaran 3:1 dimana 3 adalah kalium nitrat.
"Jadi.. Bagaimana ceritamu sebelumnya, Sona..??"
DEG..
"Ma-Maksudnya.."
Sona sedikit tersentak. Ia menunggu takut kata-kata yang terlontar dari mulut Menma. Sedangkan Menma, remaja itu masih melakukan pekerjaannya.
Dengan telaten ia memasukan bubuk gula kedalam bola pingpong. Yang sebelumnya telah dimasukkan lebih dulu bubuk kalium nitrat.
"Apa sebelumnya terjadi rencana pembunuhan. Dalam game biasa disebut battle. Karna ini berkaitan dengan membunuh dan dibunuh. Kita sebut saja Death Battle. Jadi, apa kau sudah melakukan pembunuhan pertamamu, Sona..??"
Hiks.. Hiks..
Menma mendengar isak tangis. Sejak awal, sebenarnya ia tau perempuan ini telah membunuh seseorang.
Kecurigaan pertama adalah melihat bercak darah di seragam sekolah miliknya. Kedua, mengetahui beberapa peluru yang telah hilang di shotgun yang Sona pegang.
Kegiatan itu ia lakukan dengan cepat ketika mengunci Sona beberapa saat yang lalu. Sebelum melemparkan shotgun kearah Naruto tadi, ia dengan cepat mengecek ada berapa peluru disana.
Benar saja, jumlah peluru lebih sedikit. Maksimal peluru shotgun M1014 adalah 6 buah. Tapi disana, hanya ada 3 peluru yang tersisa.
"A-Aku seorang pembunuh.. Hiks.. Hiks.."
Menma telah menyelesaikan tugasnya. Semua bola telah terisi. Ia menatap seksama air mata yang mengalir pelan di pipi Sona.
Ia tidak tau harus bersikap seperti apa. Ia jarang berkomunikasi dengan perempuan. Kebanyakan waktunya dihabiskan dengan bermain game online.
PLUK..
Sona merasakan sebuah elusan pelan di punggungnya. Tangan itu berasal dari Menma. Remaja itu memalingkan muka ketika melakukan kegiatan tersebut.
"Jika tidak kuat tak perlu diceritakan. Kau bukan satu-satunya yang telah membunuh orang. Aku pun sama sepertimu.."
Menma mengakui apa yang telah dilakukannya. Sensasi saat dimana ia menarik pelatuk. Saat dimana ia melepaskan peluru panas kearah orang yang memburu Naruto.
Semua itu tak pernah hilang dari ingatannya. Ia tak tau salah atau benar perbuatannya. Menolong dengan cara membunuh seseorang. Saat ini ia tak ingin menyesali apapun.
"Situasi sekarang, yang hanya aku pikirkan adalah terus maju. Berusaha bertahan selama mungkin dan mencari informasi sebanyak yang aku bisa.."
.
.
.
To Be Continued...
