Lamaran Boom by Rameen

Gaara x Hyuuga Hinata

Disclaimer : Naruto © Kishimoto Masasi

Warning : Crackpair, Typos, Ooc, Au, GaaHina fic, two shot, and #SpecialGaaraBirthday

.

.

.

Summary : Diusianya yang menginjak 29 tahun, Hinata tengah galau karena belum menikah, padahal teman-temannya bahkan sudah ada yang punya anak. Dan saat seorang 'anak kecil' –secara tiba-tiba datang melamarnya, Hinata hanya bisa melongo tak percaya. Apalagi 'sesuatu' membuatnya tak bisa menolak lamaran sang 'bocah'.

.

.

.

"Haaahhh…"

Malam itu, disuatu gedung yang cukup mewah. Berpuluh-puluh kendaraan berjejer rapi di area parkir. Suasana meriah dan ramai terasa meski terlihat dari luar. Saat masuk ke dalam, jalanan karpet merah terbentang selurus menuju panggung yang terlihat megah dengan pelaminan yang begitu anggun dan cantik.

Para tamu menyebar ke seluruh ruangan sambil mengobrol dan menikmati makanan serta minuman yang tersaji. Sesekali kedua pengantin yang berada di kursi tahta Raja dan Ratu mereka menyalami para tamu yang datang untuk mengucapkan selamat.

Suasana benar-benar meriah dan diliputi banyak kegembiraan saat itu, tapi…

…seorang perempuan malah duduk di sebuah kursi counter dengan tangan menopang dagu dan pandangan yang antara iri dan miris menatap ke arah pelaminan dimana ada sahabatnya yang sedang menikah disana.

"Dan lagi-lagi aku terdampar di pesta pernikahan sendirian." Gerutunya saat mengeluhkan nasibnya yang selalu sendirian.

Ya, tidak heran jika dia sudah sering mengeluh jika mendatangi pesta pernikahan tanpa teman ataupun pasangan. Bagaimana tidak? Diusianya yang sudah sampai 29 tahun 8 bulan 21 hari 13 jam itu, dia masih sendirian. Tepatnya, single tanpa kekasih. Padahal teman-teman seangkatan SMA dan kuliah yang dekat dengannya sudah menikah semua, bahkan ada yang sudah mempunyai anak.

Tapi dia? Disaat menghadiri pesta seperti itu, dia harus rela menyingkir sendirian daripada harus bersama teman-temannya yang lain yang sudah pasti didampingi oleh para pasangan dan keluarga mereka.

"Apa aku pulang saja ya?" dia lagi-lagi hanya bisa bermonolog sendiri.

Dan saat sepasang sepatu berhenti didekatnya, dia menoleh dan mengerutkan keningnya saat seorang pelayan pria berdiri disana dan tersenyum padanya. Tangannya terulur memberikan segelas minuman padanya. "Maaf, Nona. Ada segelas minuman yang dikirim seseorang untuk Anda." Sang pelayan tersenyum manis padanya.

Membuat perempuan itu semakin mengerutkan alisnya, "Untukku? Dari siapa?"

Pertanyaan itu hanya ditanggapi senyuman kikuk dan geli dari sang pelayan tanpa jawaban. Tangannya semakin menyodorkan minuman itu hingga membuat perempuan itu terpaksa menerimanya. "Saya permisi, Nona. Selamat menikmati."

Meski di bilang begitu, seseorang yang mendapat kiriman minuman dadakan tanpa tahu dari siapa harus tetap waspada kan? Bagaimana kalau minuman itu ada racunnya? Atau mengandung hal-hal aneh yang bisa membinasakan harapan terbesar sang perempuan untuk menikah karena harus berakhir di dalam tanah?

Oh, tidak! Perempuan itu menggeleng saat pikirannya semakin negative dan menyeruak liar.

Dia menatap penasaran pada pelayan tadi yang sudah menjauh darinya dan terlihat sedang melayani beberapa tamu lainnya.

Lalu pandangannya beralih pada minuman di tangannya, mata pearlnya melirik sekeliling ruangan besar itu untuk menemukan seseorang yang kemungkinan menjadi pelaku pengiriman minuman itu. Tapi nihil. Meski dia merasa kalau sedari tadi ada yang memperhatikannya, tapi tetap saja tidak ada yang mencurigakan disana.

Dia menghela nafas lagi saat merasa jika tidak ada hal yang berbahaya disana, dan tidak ada salahnya mencoba. Dia mulai mendekatkan bibir gelas itu kearah bibirnya dan meminum setetes air didalamnya. Lidahnya mengecap rasa manis yang menggiurkan dari minuman itu. "Hm, sepertinya tidak ada racunnya."

Pppffftt…

Dia tersentak dan menoleh ke sampingnya saat suara tawa tertahan seseorang terdengar olehnya. Dia mengerutkan kening saat melihat seorang pemuda berambut merah duduk kelang satu kursi darinya dengan mulut tertutup satu tangannya sementara matanya tertuju pada layar handphone di tangannya.

Perempuan itu hanya mengedip bingung karena merasa jika orang itu pastilah orang aneh. Atau mungkin juga sesuatu di ponsel orang itu membuatnya tertawa.

Mengendikkan bahu, perempuan itu tidak perduli dan kembali meminum minumannya sembari kembali melihat pada pelaminan. Tak lama, lambaian sang sahabat yang mengisyaratkan untuk mengajaknya berfoto membuat dia berdiri, dia menaruh gelas minumannya yang tinggal setengah di meja counter dan berjalan menuju panggung pelaminan.

Seseorang berambut merah yang tadi, menoleh saat perempuan itu sudah melangkah pergi, orang itu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri tempat duduk sang perempuan yang sudah kosong. Tangannya bergerak meraih gelas minuman yang perempuan itu tinggalkan. Sesaat mata emerald miliknya melirik perempuan itu yang kini sedang tersenyum disisi pengantin sambil berpose.

Senyum tipis terukir dibibirnya saat melihat perempuan itu akhirnya bisa tersenyum senang malam itu. Tangannya memutar sedikit gelas itu mengakibatkan airnya berputar pelan. Selanjutnya… sang pemuda berambut merah itu meminum habis sisa air yang ada dengan pandangan yang tak lepas dari sang perempuan.

Dia tersenyum setelah meletakkan gelas itu kembali ke meja. "Tidak mungkin aku membunuhmu, kan? Hinata… nee-chan." Gumamnya geli saat membayangkan wajah waspada Hinata sebelumnya.

.

.

.

Hinata berjalan lesu menuju rumahnya sore itu setelah turun dari taxi di persimpangan jalan. Rumah sederhana pemberian sang Ayah yang kini ditinggalinya memang masih masuk kawasan ramai yang masih bisa di masuki mobil. Tapi Hinata lebih suka sedikit olahraga setelah pulang kerja. Alasan utamanya sih, biar dia tetap sehat dan cantik diusianya sekarang, dengan begitu, mungkin akan ada seseorang yang datang melamarnya.

Tapi…

"Serius nih?"

…pertanyaan sanksi akan keraguan itu keluar dari mulutnya.

Saat sampai didepan pagar rumahnya, dia melihat sedikit ujung dari kertas di kotak suratnya. Dia dengan santai mengambil surat itu dan membukanya. Amplop surat tanpa nama dan bahkan tanpa di lem, membuatnya lebih penasaran.

Dan saat dua lembar kertas dia tarik keluar, alisnya terangkat bingung. Sampai ketika dia melihat tulisan yang ada… maka pertanyaan tadi kembali keluar.

"Aku tidak salah baca, kan?" gumamnya. Hinata menatap lekat foto seorang bocah kecil berambut merah yang tersenyum manis di gambar itu. Yaahh,, manis sih, mungkin akan tampan jika sudah besar. Tapi…

'Nee-chan, aku suka Nee-chan. Menikahlah denganku. Aku akan datang nanti, jadi tunggu aku ya. Daisuki, Hinata-neechan.'

"Err… aku masih yakin jika aku normal." Gumamnya sendiri. "Walau aku sudah mulai galau karena belum menikah, bukan berarti aku mau menikah dengan anak kecil sepuluh tahun, kan?" dia mulai berbicara dengan kertas.

Walau tidak tahu pasti, tapi Hinata bisa setidaknya menebak jika anak difoto itu berusia sekitar 10 tahun.

Lalu Hinata melangkah memasuki rumahnya. Dia membuka sepatunya dan menaruhnya di rak lalu lanjut berjalan menuju kamarnya.

Bruk…

Dia menghempaskan tubuhnya di ranjang sambil menghela nafas panjang. Tinggal sendirian itu benar-benar membuatnya merasa kesepian. Tempat kerjanya yang berada di Suna itu juga membuatnya harus rela pisah dari keluarga. Tapi Hinata juga tidak mau melepaskan pekerjaannya yang sudah sangat nyaman baginya. Lagipula, Hinata menyelesaikan kuliahnya di kota itu, jadi dia sudah merasa dekat dengan kota yang cukup panas itu.

"Uhm," dia kembali melihat foto bocah kecil yang sedari tadi masih dia genggam. Keningnya berkerut saat merasa familiar dengan sosok itu. "Sepertinya aku pernah lihat… kapan ya?"

.

.

.

Sabaku Rei hanya menghela nafas dan tersenyum tipis melihat sang putra bungsu yang tenggelam di balik meja kerjanya dengan setumpuk berkas pekerjaan kantor dan skripsi.

Di usia ke-20 tahun sang putra, Sabaku Rei mendapatkan permintaan yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak. Untung saja saat itu sang istri setia menenangkannya dari kabar yang dibawa oleh sang putra bungsu. Bahkan kedua anaknya yang lain saja hanya mampu diam mendengar keinginan sang bungsu.

.

'Aku ingin bekerja dan mempunyai pendapatan sendiri. Sekarang, aku mengajukan lamaran di perusahaan Ayah. Tidak masalah jika Ayah menempatkanku di bagian manapun, aku akan melakukan tugasku dengan baik.'

Gaara enam bulan lalu yang berbicara tegas di depan seluruh keluarga sambil menyodorkan berkas lamaran pekerjaan lengkap dengan syarat-syarat sah.

'Aku belum mendapatkan gelar pertamaku, tapi dalam tahun ini juga, aku akan mendapatkannya. Jadi tolong pertimbangkan aku untuk menjadi salah satu karyawan di perusahaan Sabaku Corp.'

'Kenapa tiba-tiba…' Rei bahkan tidak bisa berbicara sampai selesai.

'Karena aku ingin menikahi seseorang secepatnya.'

.

"Hah," Rei lagi-lagi menghela nafas lesu. Mengingat kejadian itu saja sudah membuat Rei mengelus dada. Putra bungsunya yang baru berusia 20 tahun sepertinya lebih dewasa dan matang daripada putra keduanya yang sampai sekarang masih memikirkan tentang usaha bonekanya daripada menikah.

"Ayah?" Gaara yang mendengar helaan nafas kuat itu menoleh dan mendapati sang Ayah yang sudah berdiri diambang pintu kamarnya. "Ada apa?"

Rei tersenyum dan menggeleng, dia melangkah masuk dan berdiri di depan meja sang anak. Melihat beberapa berkas dan skripsi yang berantakan di atas meja. "Kapan kau sidang?"

"Mungkin dua minggu lagi."

Rei mengangguk. "Wisudanya?"

"Sekitar sebulan setelah sidang. Aku ikut sidang gelombang terakhir." Gaara mengerjapkan matanya saat Rei belum menatapnya sedari tadi. Dia menutup laporan di depannya dan kembali menatap sang Ayah. "Apa ada sesuatu?"

"Tidak ada. Aku hanya berpikir jika aku tidak perlu menyesal karena sudah menempatkanmu menjadi manager keuangan. Kalau kerjamu bagus dalam setahun terakhir ini, aku akan menaikan jabatanmu."

Gaara tersenyum dan berdiri, dia berjalan menuju sofa yang ada dan menatap sang Ayah seolah mengajaknya untuk duduk bersama. Dan tentu saja Rei menerima tawaran itu.

Kamar Gaara memang luas dengan setengah tembok di tengah yang seolah membagi ruangan. Sebenarnya rumah keluarga Rei itu adalah peninggalan kakek Gaara kepada Rei. Kamar itupun adalah kamar kakek Gaara yang memang di design agar ada tempat untuk tidur dan bekerja. Rei serta istri, dan Temari ataupun Kankurou tidak betah jika memiliki kamar yang seluas lapangan itu. Jadilah Gaara yang tidak terlalu perduli dengan bagaimanapun kamarnya menempati ruangan luas itu.

Dulu sih, Gaara menjadikan ruang kerjanya sebagai tempat bermainnya bersama teman-temannya juga perpustakaan. Tapi sekarang ruangan itu lebih bermanfaat jadi ruang kerjanya.

"Kau bekerja dengan serius," Rei kembali membuka permbicaraan. "Apa kau sungguh serius dengan perempuan itu?"

Gaara mengangguk pasti. "Aku bahkan sudah mengirimkan lamaran." gumamnya pelan.

"Kau mengatakan sesuatu?" Gaara hanya menggeleng saat Rei bertanya. "Hah, bagaimana kalau kau menularkan pemikiran dewasa mu itu pada kakakmu, Gaara? Kankurou terlihat lebih tertarik pada boneka daripada seorang gadis."

Gaara tersenyum mendengar hal itu. Ya, seperti itulah Kankurou. Meski dia suka boneka, bukan berarti dia seperti anak perempuan. Setiap orang punya kesukaan masing-masing bukan, meski hal itu aneh, asalkan tidak salah, kenapa harus di ributkan? "Kudengar dia sudah punya kekasih."

"Benarkah?"

"Iya, aku beberapa kali mendengarnya berbicara dengan seseorang di telpon, dari bicaranya dia berbicara dengan perempuan yang dia sayangi." Rei mengernyit saat Gaara yakin sekali akan hal itu, "Matanya menyala." Lanjut Gaara menjelaskan, setengah bercanda. Walau mungkin garing. Tapi sepertinya itulah gaya bercanda Gaara dan Ayahnya.

Rei hanya mendengus mendengarnya, "Lalu bagaimana denganmu? Apa matamu juga menyala jika berbicara dengan perempuan itu?"

Pandangan mata Gaara melirik ke samping, mengingat jika bukan hanya pandangannya saja yang menyala jika berbicara dengan perempuan itu. Mungkin dia memang hanya sekali berbicara dengan perempuan itu, tapi saat itu, Gaara masihlah seorang bocah yang tanpa ragu untuk tersenyum lebar. Jadi jika hanya tatapan mata, sudah jelas binar-binar bahagia dia tunjukkan.

Melihat putranya yang tersenyum tipis dalam pemikirannya sendiri, Rei sudah bisa menyimpulkan jika putranya memang sudah jatuh cinta. "Ah, sepertinya Kankurou harus rela di langkah."

Senyum Gaara semakin melebar mendengar itu, bagaimanapun kalimat itu mengarah pada pernikahan, kan?

"Ayah percaya kau tahu yang terbaik untukmu, bahkan jika kau menikah muda, Ayah tetap percaya kau akan bisa membimbing istri dan keluargamu nanti."

Gaara menghilangkan senyumnya dan menatap Ayahnya penuh bangga. Dia senang mempunyai sosok Ayah yang percaya sepenuhnya padanya. "Aku akan mengingat kepercayaan Ayah."

Rei menepuk bahu Gaara singkat dan berdiri. "Oh ya, kapan-kapan ajaklah dia kesini dan kenalkan pada yang lain. Terutama Ibumu yang sudah sangat heboh karena penasaran sejak enam bulan yang lalu."

Gaara hanya mengangguk saja, "Aku akan mengajaknya kesini… secepatnya."

.

.

.

"Haaaccciimm.." Hinata menggosok hidungnya yang tiba-tiba saja terasa gatal. "Apa seseorang sedang membicarakanku?" dia mendudukkan dirinya di pinggir ranjang sambil mengusap rambutnya yang masih basah. Matanya tak henti-hentinya melirik foto seorang bocah di nakas samping ranjangnya.

Perasaan familiar itu terus membuatnya penasaran. Disamping itu…

"Ya ampun, kenapa orang pertama yang melamarku harus bocah 10 tahun sih."

…Hinata tak pernah terpikirkan hal seperti itu sebelumnya.

"Uhm, tunggu… rasanya aku pernah menerima ucapan yang sama. Apa mungkin aku pernah di lamar seseorang sebelumnya? Tapi kapan ya, kenapa aku lupa?"

Dia menghitung jarinya, "Pertama aku berpacaran dengan Shino saat kuliah, sudah pasti belum ada pembicaraan tentang pernikahan. Kedua aku berpacaran dengan Kabuto-senpai, dan aku yakin dia juga tidak pernah melamarku. Saat kerjaaaa…" dia mendesah lesu, "Aku belum pernah pacaran lagi setelah itu. Kalau diingat, aku sudah jomblo selama 8 tahun. Ck, hebat sekali kau, Hinata."

Dia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan mengamati foto itu –lagi. "Hei, adik kecil. Coba kalau kau itu sudah besar, mungkin aku akan langsung menerima lamaranmu. Tapi kenapa kau harus lahir sepuluh tahun yang lalu sih?!"

"Hah, pangeranku… kapan datang?"

.

Semilir angin berhembus memasuki jendela kamar Gaara yang tebuka, membuatnya menoleh dan menatap di kejauhan. Sebuah perasaan rindu yang ingin segera bertemu tiba-tiba saja menelusup di hatinya. "Tunggulah, aku akan datang secepatnya."

.

.

.

Tap… tap… tap…

Langkah itu gontai, ke kanan, ke kiri, membawa tubuh sang pemilik semakin sempoyongan.

"Urhm,, kepalaku pusing."

Hyuuga Hinata, 29 tahun, di jam yang menunjukkan pukul sembilan malam, berjalan sendirian di pinggir jalan dalam keadaan mabuk. Dia baru saja pulang dari merayakan proyek yang berhasil didapatkan oleh timnya. Biasanya timnya selalu merayakan di rumah makan dengan makan bersama. Tapi hari itu, berkat ide dari salah satu teman setimnya, mereka mengadakan pesta di tempat karaoke.

Semuanya akan berjalan menyenangkan dan biasa saja… jika mood Hinata yang awalnya baik menjadi turun ke tingkat paling bawah karena sepasang kekasih di timnya yang saling mengumbar kemesraan. Hinata tidak banyak bicara saat itu, tapi dia tiba-tiba saja merasa sangat kesal setiap kali gombalan diantara sepasang kekasih itu dia dengar.

Sial! Kapan dia punya kekasih?

Dan karena hal itu, Hinata melampiaskan emosinya pada bir yang di pesan oleh timnya sampai berkaleng-kaleng, dan violaaaa… sudah jelas efek apa yang ditimbulkan pada Hinata yang sangat jarang menyentuh minuman alkohol, apalagi sampai sebanyak itu.

Bruk… tasnya terjatuh saat tubuhnya limbung ke depan, tapi masih bisa ia tahan. "Ck, kenapa kau jatuh, hah?" dia… berbicara dengan tas. "Kau harus hati-hati biar tidak jatuh," dia menepuk pundak kanannya yang cukup kuat, "Kau harus tetap di pundakku dan kalau perlu berpegangan erat, jadi tidak jatuh."

Selesai mengoceh, dia mengambil tas itu dan kembali memakainya.

Pandangannya menyipit, antara jelas atau tidak dalam melihat jalan. Suasana yang semakin sepi dan gelap sama sekali tidak membantu.

"Oh,, pangeran sayang… kapan datang?" dia berbicara dengan suara kuat sambil terus berjalan gontai, memancing pandangan aneh dari beberapa orang didekat sana. Kepalanya menengadah dengan tangan yang terangkat seolah memanjatkan doa. Matanya terpejam saat rasa berat mulai matanya rasakan.

"Pangeran,, datanglah lalu lamar aku. Kalau sudah terlalu tua, aku akan sulit punya anak." Ucapnya lagi.

Selanjutnya, saat dia membuka mata. Wajah seorang pria yang tampan nan rupawan sudah ada di hadapannya. Rambut merah yang berterbangan ditiup angin, rahang tegas dan berkharisma, pandangan emerald yang menggoda, dan lihat itu… senyum tipisnya yang sungguh menawan.

"Oh, bukan pangeran, tapi malaikat." Gumam Hinata lagi sambil tersenyum. "Tidak apalah, yang penting tampan."

Sosok didepannya hanya menghela nafas dengan senyuman. "Lama tidak bertemu, kau semakin cantik sekarang."

Hinata menghilangkan senyumnya dan menyipitkan pandangannya, dia memajukan sedikit wajahnya dan menatap lekat wajah dihadapannya. Selanjutnya, dia segera mencari sesuatu di dalam tasnya. Dan saat apa yang dia cari ketemu, dia segera mengeluarkan itu dan mensesejajarkannya di wajah laki-laki itu. "Oooohhh,, kau sangat mirip dengan bocah ini."

Orang didepannya melirik foto ditangan Hinata lalu tersenyum saat mengetahui jika foto itu Hinata bawa kemana-mana.

"Ah, andai saja bocah ini sudah sebesar kau, aku pasti akan langsung menerima lamarannya." Hinata meracau lagi. "Aku tidak mungkin bisa menunggu lagi. Walaupun aku menunggu sepuluh tahun lagi, dia baru 20 tahun sementara aku sudah 39 tahun. Mana mau dia sama perawan tua."

Orang itu hanya diam mendengarkan cerita panjang Hinata yang semakin ngawur. "Kau mabuk, nona." Hanya itu saja yang diucap sang laki-laki.

Hinata menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mabuk, tampan." Dia menepuk tangannya sekali dengan wajah kaget, "Oh, jangan-jangan kau memang anak yang ada di foto ini ya?" untuk sesaat bola mata emerald laki-laki itu melebar. "Kau adalah anak difoto ini 10 atau 20 tahun kedepan, lalu kau datang dari masa depan untuk melamarku, benar begitu kan?"

Laki-laki itu memejamkan matanya dan mengendurkan syarafnya yang tadi sempat kaget. Ternyata perempuan ini cukup 'unik' jika mabuk. Selanjutnya, senyum jahil muncul di bibirnya.

"Hm, tapi apa setelah kita menikah kau akan mengajakku ke masa depan?" Hinata memajukan bibirnya, "Aku tidak mau, aku masih mau dimasa ini saja. Aku tidak suka menjalani sesuatu dengan terlalu cepat. Lihat? Karena waktu berjalan terlalu cepat, aku tidak sempat cari pacar padahal usiaku sudah 29 tahun."

Orang itu mulai sulit menahan kekehannya. "Ehem," dia berdeham yang mengundang tatapan setengah fokus Hinata. "Aku memang dari masa depan. Jika kau memang tidak mau pergi ke masa depan, tidak masalah jika kita tinggal disini saja."

"Benarkah?" Orang itu mengangguk. "Baguslah.. hahaha.."

"Jadi, apa kau menerima lamaranku?"

"Uhm," Hinata mengangguk antusias. "Aku mau, aku mau. Ayo, kita menikah sekarang?"

Semburat merah tipis muncul diwajah sang laki-laki saat ajakan menikah itu segera terucap. "Kita perlu persiapan untuk itu, bukan?" tanyanya membuat bibir Hinata maju. "Tapi… mungkin kita bisa melakukan hal lain dulu sebelum proses pernikahan."

"Eh? Melakukan apa?"

"Yaahh,," orang itu mendekat dan berbisik. "Malam pertama mungkin."

Hinata mengedipkan matanya pelan tanpa menjawab, desah nafas orang itu serasa menggelitik lehernya. Membuat Hinata tidak menolak untuk berada lama dalam jarak dekat dengan laki-laki itu.

Melihat Hinata yang tidak menjawab, orang itu kembali menjauh. "Sudah, lupakan saja. Yang penting, kau menerima lamaranku, kan?" Hinata mengangguk lagi. "Bagus, aku akan mengurus pernikahan kita dua minggu setelah aku melamarmu di depan keluargamu."

Hinata kembali tersenyum dan mengalungkan tangannya di leher orang itu, membuat orang itu terdiam. "Hei, siapa namamu?" pertanyaan dengan suara berbisik itu begitu menggoda.

"Gaara…" jawabnya singkat.

"Gaara, namamu bagus." Gaara terpana untuk beberapa saat, selanjutnya dia tersenyum saat menyadari perempuan didepannya ini tidak berubah meski sudah sepuluh tahun berlalu. "Lalu… mana ciumannya?"

"Apa?"

"Ciuman.. didrama tv, atau cerita teman-temanku, mereka pasti berciuman setelah lamaran. Jadi mana ciuman untukku?" suara manja yang merengek itu membangunkan sesuatu dalam jiwa Gaara. Hasrat. Ya, Gaara tidak menyangka jika Hinata mampu merayunya sebegini hebat hanya dalam beebrapa menit saja.

Gaara mulai bergerak, sebelah tangannya menyingkirkan rambut Hinata ke belakang telinga, sementara yang satunya melingkari pinggang sang perempuan. "Ciuman?" tanyanya dengan suara berbisik mesra, Hinata mengangguk. "Akan ku berikan lebih dari sekedar ciuman… tapi tidak disini." Hinata memiringkan kepalanya bingung, "Dirumahmu. Ayo, sekarang kita pulang, Hinata-neechan."

.

.

.

"Uhhmmmpp.." Hinata menggeliat dalam dekapan yang laki-laki. Dia menggigit bibirnya saat hembusan nafas hangat semakin terasa di lehernya, membuatnya tanpa sadar mendesah. Padahal laki-laki itu hanya memberikan kecupan singkat saja di lehernya, tapi ternyata itu berefek besar bagi Hinata.

Semua dimulai sesaat setelah mereka sampai di rumah Hinata.

Begitu pintu tertutup, Hinata yang langsung melemparkan tasnya seketika mendorong Gaara ke dinding. "Kau ternyata cukup agresif, Neechan." Hanya itu yang mampu diucapkan Gaara.

"Kenapa kau terus memanggilku 'Nee-chan'?"

Gaara tersenyum dan membelai rambut indigo terurai Hinata. "Karena kau yang menyuruhku waktu itu."

"Kapan?"

Helaan nafas Gaara terdengar, "Kau lupa." Sedikit kekecewaan disana, tapi tidak terlalu dia pikirkan. "Sudahlah, sekarang lebih baik kau ke kamarmu dan ganti baju sebelum tidur." Gaara kembali memaksa tubuh mungil itu menuju ruangan yang Gaara rasa adalah kamar Hinata.

Dan saat mereka masuk, dugaannya tepat. Itu memang kamar Hinata saat melihat foto Hinata terpajang di salah satu sisi dinding. "Uhmm…" Hinata kembali merengek dan menolak menuju ranjangnya, "Mana ciumannya dulu?"

Pandangan Gaara mulai gelap, bukan karena dia ingin pingsan, tapi dia sudah mulai goyah dengan pertahanannya, dari tadi Hinata terus menggodanya. Benar-benar menggodanya dengan pelukan, suara berbisik, dan permintaan yang menggiurkan.

Bruk…

Kini Hinata lah yang berada dalam himpitan tubuh Gaara dan dinding. Segera Gaara menenggelamkan wajahnya di leher Hinata dan menghirup dalam aroma memabukkan sang perempuan. Hal yang selalu dia nanti-nantikan selama bertahun-tahun dan selalu ia rindukan lebih dari enam bulan ini saat akhirnya dia kembali melihat pujaan hatinya.

Selama enam bulan ini Gaara memang sudah menemukan keberadaan Hinata, tapi selama itu, Gaara hanya menahan diri untuk tidak mendatangi perempuan itu dan mengenalkan dirinya sebagai seseorang dari masa lalu Hinata. Itu akan terasa konyol, apalagi bagian masa lalu itu mungkin hanya sebaris hal tidak penting bagi sang perempuan.

Selama enam bulan pula, Gaara seringkali memperhatikan Hinata. Menatapnya penuh damba dan sorot akan kerinduan yang besar. Sampai akhirnya, dipesta pernikahan yang Gaara hadiri waktu itu. Dia tidak kuasa menahan diri dan berakhir mengirim minuman pada perempuan itu yang sempat dikira beracun. Bahkan Gaara tidak bisa menahan diri untuk tidak meminum sisa air minum Hinata dari gelas yang sama.

Gaara… sangat mendamba perempuan itu lebih dari sepuluh tahun.

"Uhhhmmpp…"

"Nee-chan, apa kau yakin ingin ciuman dariku?" Hinata mengangguk tanpa jawaban. "Hhh,, tapi aku tidak akan bisa menahan diri setelah itu." sesapan Gaara semakin menjadi dileher Hinata.

"Uhm, tapi aku mau…" ucap Hinata manja.

Sialnya, itu benar-benar meruntuhkan pertahanan Gaara. Laki-laki itu dengan segera mengangkat kepalanya dari leher Hinata dan menyatukan bibir mereka. Hanya beberapa detik sebelum itu menjadi lumatan yang lembut dan begitu memabukkan. Tangan Gaara menekan tengkuk perempuan Hyuuga itu sementara tangan lain menarik pinggang Hinata semakin dekat dalam dekapannya.

Nafas keduanya memburu saat ciuman itu terlepas. Wajah keduanya pun sama-sama memerah, entah karena pasokan udara yang menipis, detak jantung yang memompa darah, atau karena efek mabuk untuk Hinata.

"Hinata.." Gaara berbisik penuh damba melihat tatapan Hinata yang seolah juga menginginkannya. Tanpa lama berpikir, Gaara menaikkan perempuan itu dalam gendongannya dan membawanya ke ranjang.

Dia bahkan tidak berpikir lagi tentang semuanya.

Dan mungkin, malam pertama mereka lebih dulu terjadi dari pernikahan.

.

.

.

Bersambung

.

.

.

A/n : Hbd Gaara… semoga semakin sehat selalu dan seing eksis dimanga ya, walau mungkin generasi kalian sudah akan tergentikan oleh generasi baru.

Ini sebenarnya aku niat buat oneshot, tapi entah kenapa mood lagi ngumpul banget nih disini, jadinya panjang. Makanya aku bagi dua chapter. Dan karena fic ini special untuk ultah Gaara hari ini (19-1-2017), maka chap 2 nggak akan lama kok. Mungkin tiga atau empat hari lagi.

Dan karena ini fic crakpair, aku hanya mengingatkan. Seperti fic crackpair ku yang lain yang banyak menerima flame, aku nggak peduli tentang itu. Kalau mau flame silahkan, kalau bisa sih langsung seratus aja... biar fic ini terlihat bagus karena banyak review. Makasih.

Semoga suka… minna…

Salam, Rameen