Dari tirai yang sedikit terbuka, sinar mentari pagi menyelip, menembus kaca bening yang agak besar. Hingga secercah cahaya tepat mengenai mata Akagi yang terlelap, ia mengernyitkan dahi, silau. Kemudian, Akagi menutup matanya dengan tangan. Ugh.. Ya Tuhan, Akagi masih ingin tidur dengan pulas, tolong jangan ganggu dia. Ia berdecak, sinarnya benar-benar menyebalkan. Si kapal induk kebanggaan itu terpaksa bangun, duduk dengan mata masih setengah terbuka. Membenarkan kimono seadanya.
'cklek'
"Akagi-san... Hei! Siapa kau?!"
Akagi menolehkan kepala pada pintu yang terbuka, melihat Kaga yang menatapnya horror sambil menunjuk dirinya seperti seorang tersangka penjahat. Lalu dengan pertanyaan konyol itu, Akagi hanya memiringkan kepala.
"Kenapa sih, Kaga-san? Ini aku, Akagi, kau masih setengah tertidur ya? .. Hoam..,"
"Kau bukan AKAGI! Siapa dirimu, pria cabul?! Bagaimana kau tahu namaku?!"
Hah? Pria cabul? Nama? Akagi makin bingung.
"Kaga-san? Ada apa dengan dirimu? Aku? Pria? Hei, kau mabuk atau apa, tentu saja aku gadis kapal," Akagi yang masih setengah tertidur itu meyakinkan diri dengan menepuk dadanya.
Tunggu—kok? Dadanya tidak ada? Yang ia sentuh hanya dada bidang nan kekar. Akagi langsung melek, buru-buru Akagi meraba-raba dadanya lagi, benar-benar rata, seperti seorang pria. Ia tersadar, suaranya juga bukan seperti seorang gadis. Yang terdengar malah suara bariton. Ia juga merasakan tubuhnya sedikit lebih besar dan berotot. Akagi membeku di tempat. Ini bohong kan?
"Hei, Kaga-san, katakan. Aku perempuan atau laki-laki?"
Sebuah handuk melayang ke wajah Akagi, dengan keras.
"Kau. Bukan. Akagi-san, sialan. Pergi kau, pria cabul! Kau kemanakan Akagi-san, hah?!"
"Katakan saja padaku! Aku ini perempuan atau laki-laki?!"
"Kau buta ya! Kau itu laki-laki! Mana Akagi-san!?" Akagi wajahnya menghitam. Dia bisu. Lidahnya kelu, tubuhnya berkeringat dingin.
Gusti nu Agung, apa yang telah terjadi?
"GUE AKAGI, WOI! SUMPAH DEH! DEMI NASI KEPAL, GUE AKAGI!"
.
.
If I were a man
.
Kantai Collection Fanfiction
Pair : male!Akagi x Shoukaku, dan lainnya(?)
Genre : romance/humor
Disclaimer : Kancolle © Kadokawa Game
Warning : OOC, garing, alur kecepetan, typo(s), Akagi baperan(?), dll
.
.
.
.
Setelah insiden yang sangat mencengangkan, Akagi berhasil dibekuk oleh Kaga dengan tali tambang lalu mengikatnya, dan dibawa ke Laksamana untuk diintrogasi lebih lanjut. Akagi? Dia pingsan ketika Kaga mengikatnya, kepalanya pusing mendadak. Biarkan, terserah mau diapakan Kaga. Dengan kejam, Kaga menyeret seorang pria yang mengaku-ngaku sebagai Akagi ke ruangan Laksamana. Sesampainya di sana, Laksamana dikagetkan dengan suara dobrakan pintu oleh Kaga. Wajah Kaga seram, dingin, dan terlihat judes. Sang Laksamana bergidik, sambil mengintip apa yang Kaga seret. Makin terkejut lagi, Kaga membawa pria asing entah siapa itu, sang Laksamana tidak tahu. "Kaga.. dia-"
"Laksamana, mari kita bangunkan dia. Akan kuhajar orang ini habis-habisan,"
Laksamana menggaruk-garuk pipinya, "Sebelum itu, Kaga, beritahu aku siapa dia. Lalu bagaimana dia.. eng.. kau ikat seperti itu?"
"Dengar, Laksamana, kau bangunkan saja orang ini—"
"Aku tidak tahu permasalahannya, makanya kau ceritakan dulu!"
Kaga menghela nafas, lalu melempar orang yang pingsan itu ke depan, agak jauh darinya. Akagi yang disangka pria cabul itu masih tidak sadarkan diri.
"Aku menemukan pria cabul ini di kamar Akagi ketika aku ingin mengajak Akagi-san sarapan bersama. Terlebih, ia berada di futon Akagi-san dan dia mengaku-ngaku sebagai Akagi-san, Laksamana! Memalukan sekali orang ini! Aku akan mencari Akagi-san!"
Laksamana tercengang, "Eit eit eit, jangan pergi dulu!" Kaga menatap si Laksamana tajam.
Si pemimpin pangkalan menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan, "Bangunkan dia pertama, kita tanyakan siapa orang ini,"
Kaga berjalan mendekati pria itu, kemudian menendangnya. Masih belum bangun, Kaga menampar wajahnya beberapa kali, cukup keras. Akagi menjerit, guling-guling dalam keadaan masih diikat. Kaga menarik Akagi, menyiapkan tinju, "Dimana. Akagi-san. Sialan,"
"Sudah kubilang, aku Akagi, Kaga-san! Masa kau tidak percaya?!"
'Mana ada yang percaya sih kalau lagi begini, mas,' batin Laksamana. "Hei! Pria asing! Bagaimana kau bisa ada di kamar Akagi? kau sembunyikan dimana dia?" tanya Laksamana.
Akagi memberontak dari tahanan Kaga, "Aku Akagi. A-ka-gi! Aku tidak tahu kenapa aku menjadi seorang pria seperti ini!"
Akagi berusaha meyakini mereka. Bahkan, Laksaman dan Kaga saja tidak percaya dengannya, bagaimana menjelaskan apa yang terjadi. Boro-boro menjelaskan, dari bangun tidur pun, Akagi tak tahu menahu apa yang telah terjadi pada tubuhnya hingga menjadi pria yang lebih tampan dari si Laksamana. Potongan rambut yang pendek dan mata yang menajam bagai seorang pria tulen, Akagi pening seketika.
"Tidak ada waktu untukmu menjelaskan, sialan. Katakan saja dimana Akagi-san," Kaga menatap Akagi dingin, yang ditatap bergidik.
"Kaga-san! Sudah kubilang, aku adalah Akagi! Kapal induk Divisi Satu!"
Si Laksamana hanya bisa geleng-geleng kepala, ia memijat pelipisnya. Ini masih pagi, bahkan belum mencapai pukul delapan, tapi masalah selalu datang dengan cepat. Ada-ada saja.
"Kaga, hentikan," perintah si Laksamana. Pemimpin itu mendekati Akagi yang masih terduduk di bawah dengan tambang yang masih mengikat dirinya, Laksamana berjongkok.
"Daritadi, kau yakin sekali bahwa kau Akagi. Nah, buktikan kalau kau memang Akagi, kuberi kesempatan untuk membuktikannya,"
Kaga terkejut, Akagi tersenyum. Laksamana memang selalu dapat diandalkan, beruntunglah Akagi itu.
"Bagaimana dengan memberikanku onigiri? Atau kare? Jangan seporsi! Kalau bisa segunung!"
"Kau hanya lapar saja 'kan, sialan? Mau mencoba mengelabui kami, hah?!" Lagi, Kaga menyemburkan kalimat negatif. Akagi menghela nafas, seperti yang dia duga bahwa menaklukan sang Kaga itu tidaklah mudah. Kepribadian yang dingin nan tegas itu membentuk dirinya menjadi sosok gadis kapal yang kuat, sampai Akagi saja takjub padanya. Tapi, yang namanya sudah seperti saudara sedaging, merubuhkan Kaga sangat mudah bagi Akagi.
"Kaga-san, kau menyukai Zuikaku 'kan?"
Kaga seketika batuk, tersedak. Bagaimana pria bajingan ini bisa tahu? Oke, Kaga sebenarnya tidak ingin dan tak akan pernah ingin untuk mengakui bahwa dia menyukai juniornya sendiri, Zuikaku. Wajah Kaga memerah, sampai ke telinga. Akagi yang melihatnya tertawa terbahak-bahak, "Tuh, aku benar 'kan. Karena kau selalu cerita padaku, ada perasaan aneh bergejolak dalam dirimu tiba-tiba. Perutmu mual, jantungmu berdegup lebih cepat, tubuhmu bergetar tak jelas saat berdekatan pada juniormu. Pfftt.. dan kukatakan bahwa kau sedang jatuh cinta. Pada, Zu-i-ka-ku,"
Kaga tak bisa menahannya lagi, dia berteriak histeris. Si Laksamana kaget, memandang Kaga sedikit ternganga. Akhirnya, Kaga berhenti berteriak. Mendekati Akagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, yang didekati mengedipkan mata beberapa kali.
"Laksamana, pinjam pedang yang tersangket di pinggulmu,"
"Un-untuk apa?" tanya Laksamana takut-takut.
Kaga mengeluarkan aura gelap tiba-tiba, Akagi dan Laksamana bergidik. "Berikan saja padaku,"
Si Laksamana mengeluarkan pedangnya dari sarung, lalu memberikannya pada Kaga. Dengan pedang di genggaman, Kaga kembali mendekati Akagi. Gadis yang mendadak menjadi pria itu mengeluarkan keringat dingin.
"TEITOKU! KENAPA DIKASIH PEDANGNYA?! KAGA-SAN MAU MEMBUNUHKU!" Racau Akagi pada si Laksamana yang memandangnya pasrah, melantunkan doa-doa dan siap mengurus semua pemakaman bagi Akagi. Pria yang meracau tadi menyumpahi si Laksamana dengan berbagai sebutan, kampret emang.
"Bersiaplah," ucap Kaga, mengangkat pedangnya dan siap menebas. Akagi meneguk ludah. Pedang mulai diayunkan, Akagi menutup matanya.
srek!
Lho? Kok?
Akagi membuka matanya, mengecak seluruh tubuh apakah ada yang terluka. Tidak ditemukan. Yang ada, tambang yang mengikatnya sudah terpotong dan tergeletak begitu saja. Wajahnya berubah berseri-seri, lekas menatap Kaga yang menatap balik dengan datar. Apakah Kaga percaya padanya? Betulkah itu? Langsung saja, Akagi memeluk Kaga. Sebuah tinju dilayangkan Kaga pada perut Akagi, pria itu mengerang sakit.
"Apa yang kau lakukan Kaga-san?!"
"... kau itu seorang laki-laki, bego,"
Fix. Kaga mengatai bego Akagi. Pria itu menepuk-nepuk dadanya pelan, kiranya meredakan sakit hatinya tadi. Mulai dari sekarang, entah sampai kapan, Akagi harus jaga-jaga dengan Kaga berhubung ia sudah menjadi seorang pria. Akagi tidak bisa peluk-peluk Kaga, Akagi tidak bisa mandi bareng Kaga, Akagi tidak bisa tidur bareng Kaga, Akagi tidak bisa gandeng-gandeng Kaga. Ah.. kenyataan yang pahit. Rasanya, barang tidak menyentuh atau menggandeng Kaga dalam sehari saja sangat mustahil bagi Akagi. Bukan karena suka atau cinta, Kaga sudah seperti saudara kandungnya sendiri. Ia merasa aman bila Kaga berada di sisinya, hanya itu.
"Jadi, Kaga-san mempercayaiku?"
Kaga menghela nafas, "Karena, tidak ada lagi selain dirimu yang tahu kebenaran tadi, maka mau tak mau aku mempercayaimu,"
"Kata siapa? Aku juga tahu kok," ucap si :aksmana barusan. Seketika, pukulan mentah dilayangkan pada Laksamana dari Kaga. Akagi tertawa garing.
Kemudian Akagi meraba lagi tubuhnya, sedikit membuka kimono tidurnya, "Tubuh gue six-pack juga ya, macam roti sobek,"
BHUAAK!
Kaga memukul Akagi sehingga Akagi agak terpental jauh.
.
Si Laksamana membebaskan Akagi, pemimpin itu sudah percaya padanya. Syukurlah. Sebelum si Laksamana memperbolehkan Akagi keluar dari ruangannya, pria itu memberitahunya bahwa Akagi harus pindah kamar, pindah kamar mandi. Saat gadis kapal lain tahu Akagi sudah berubah menjadi pria secara entah bagaimana, ia harus menguatkan hati, juga kuatkan fisik, takutnya malah digebukin ramai-ramai sama satu kantai.
Laksamana juga bilang bahwa dia akan mencari tahu tentang perubahan gender ini, sementara Akagi harus menjalani hidup yang sekarang sebagai seorang pria. Akagi yang diberi nasihat hanya mengangguk-angguk, sesekali memegangi rambutnya yang sudah benar-benar pendek secara ajaib. Kaga? Gadis itu sudah menghilang setelah ia memukul Akagi. Antara marah dan tidak, Akagi tidak tahu kenapa. Bisa saja kecewa dengan Akagi, entahlah. Takutnya lagi, Kaga akan menyikapi Akagi seperti orang asing. Memikirkannya, Akagi bergidik, tidak ingin dianggap asing oleh Kaga yang seolah saudara sedaging. Si Laksamana berkata, Akagi harus bersikap seperti pria. Okelah, mudah bagi Akagi. Tapi, meyakini tiga ratusan gadis kapal membuat Akagi ingin sekali bunuh diri. Pasti susah. Iya, susah parah.
Gusti ya gusti, apa yang akan terjadi setelah ini? Akagi terus mengelus dadanya sabar, tabah, terus memanjatkan doa di setiap langkah. Oke, lebay banget.
Pagi, pukul delapan lewat lima, Akagi baru saja keluar dari kamar mandi Laksamana. Rambut pendek yang lepek dan sehelai handuk yang melingkari pinggang masih serasa janggal bagi Akagi. Mau bagaimana pun juga, Akagi harus bisa menjalani hidup seperti ini. Yhaa.. bisa dibilang ini baru awal. Bagaimana Akagi bisa sampai ke kamar laksamana? Berhubung masih pagi, para gadis kapal belum sepenuhnya keluar dari kamar mereka. Tadi saja, Akagi harus mengumpat-ngumpat dahulu, seperti mau maling rumah orang.
Akagi membuka lemari pakaian laksamana, yang sebelumnya sudah diberi ijin oleh empunya untuk memakai pakaiannya sementara. Ia mengambil sebuah coretcelanadalambarucoret dan sepasang hakama berwarna putih merah. Lekas, Akagi memakai bajunya. Setelahnya, Akagi butuh makan, sedari tadi perutnya sudah mengeluh minta makan. Nah, bagaimana Akagi harus ke dapur? Pria tersebut nangis dalam hati, mirisnya.
'cklek'
"Akagi-san,"
Akagi menoleh, di sana Kaga berdiri sambil membawa nampan berisi makanan dan segelas air putih, berjalan mendekati Akagi, menyerahkan nampannya. Pria itu hampir tersedak, untungnya dia sudah memakai pakaiannya, kalau tidak? Hidup Akagi akan selesai di situ juga, mengerikan.
"Aku mengambil makanan ini dari dapur, makanlah selagi hangat,"
Akagi tersenyum pada Kaga, lalu air matanya keluar secara perlahan. Akagi terharu, ingin meluapkan perasaan ini, apa daya Akagi tidak bisa memeluk Kaga. Ah baper.
"Terima kasih, Kaga-san. Untung saja ada dirimu,"
Kaga menghela nafas untuk kesekian kali, "Aku tidak bisa membayangkan kau akan dibakar di tengah chinjufu oleh para gadis kapal ketika dipergoki di dapur." Akagi tertawa renyah.
Akagi memandang nampan, sepiring kare super besar, tak lupa segelas air dan makanan penutupnya, puding karamel. Wih.. enaknya, sampai-sampai perutnya tak bisa diajak kompromi dan malah berbunyi lagi.
"Makan di sini saja, Akagi-san. Dan, apa harus kutemani?"
Akagi menggeleng, "Enggak perlu, aku tahu tahu hari ini kamu ada janji dengan Zuikaku untuk melatihnya,"
Wajah Kaga memerah, ia sedikit gelagapan, "Ko-kok Akagi-san—"
"Kau 'kan bercerita padaku dua hari yang lalu, tidak ingat?"
".. Oh."
Oke, Kaga semakin mempercayai pria ini Akagi. Kenapa? Pertama, Akagi sedikit menyebalkan, contohnya saat ini. Kedua, porsi makan yang tidak wajar, menurut Kaga. Dan terakhir, bagaimana Akagi selalu berhasil membuat Kaga salah tingkah. Tolong ingatkan Kaga untuk memukul Akagi nanti mumpung sedang berubah gender.
"Kalau begitu, aku tinggal. Letakkan saja nampannya di kamar laksamana selesai makan, setelah itu terserah Akagi-san mau kemana,"
Akagi mengangguk mengerti, Kaga berjalan keluar kamar, dan menutup pintunya. Akagi tahu, Kaga memang orang yang baik. Seperti apapun wujud Akagi, pasti Kaga selalu siap membantunya. Karena Akagi tahu, Kaga tidak mungkin akan bersikap dingin padanya, apapun Akagi itu. Bagi Kaga, Akagi adalah Akagi, tidak ada yang lain. Lagi, Akagi memanjatkan syukur pada Yang Maha Kuasa, sebab telah diberi partner yang kelewat baik.
Lekas, Akagi meletakkan nampan pada meja laksamana dan melahap makanannya hingga tak tersisa. Ah tunggu, Akagi lupa menanyakan mengapa tadi Kaga memukulnya. Sudahlah.
.
Akagi memutuskan untuk pergi ke dojo
Pria itu menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari kamar laksamana, "Oke, Akagi, santai saja, santai. Anggap masih menjadi gadis kapal. Baiklah, let's do it."
Akagi memutar knop pintu, melangkahkan kaki keluar dan bergegas pergi ke dojo setengah berlari. Lorong-lorong bangunan masih sepi, mungkin para gadis sedang ada di dermaga atau dock atau di kamar mereka, good! Akagi mempercepat langkahnya lagi. Menuruni tangga dan hap! Akagi telah sampai di luar bangunan. Dia menoleh ke kanan lalu ke kiri, gak ada gadis kapal. Sip.
"Anata wa..,"
Akagi tidak jadi menarik langkah. Bodohnya, dia malah menaruh pandang ke belakang, dengan keringat dingin mulai bercucuran. Di sana, Haruna berdiri dan menatapnya bertanya-tanya. Mpoz lah gue, ya gusti.
"Anda.. siapa ya?" tanya Haruna, Akagi terkesiap.
"Aku..,"
Wait! Jujurkah? Bohongkah? Jika jujur, takutnya Haruna tidak akan percaya kalau Akagi berubah gender. Jika bohong? Rasanya tidak enak menyakiti Haruna diam-diam, si gadis kapal dengan hati yang polos nan suci ini. Sepertinya tidak ada pilihan, demi Haruna, Akagi harus jujur. Digebukin? Masalah belakangan. "A-aku.. Akagi,"
"Oh, Akagi-san toh—He?"
Gusti gusti gusti, Akagi makin panik kala Haruna mulai menatapnya makin bertanya-tanya, terkejut campu keseriusan. Ayolah Haruna, percaya saja biar Akagi tidak mati di tempat. Akagi komat-kamit, lantunkan doa kembali.
"Ahahahaha, mana mungkin Akagi-san jadi seorang pria,"
"Aku serius kok,"
"Kamu bercandanya—"
"Astaga, Haruna-san, aku tidak bercanda,"
Jdueer! Sesosok naga dan kilat yang menyambar menjadi latar menghitamnya muka Haruna, ditambah mulutnya yang sedikit menganga. Hell to the o, tanpa pikir panjang, Haruna menjerit, Akagi ikutan menjerit pula.
"Kamu bohong, mas!"
"Aku gak bohong, dek! Aku gak akan pernah bisa bohong sama kamu!"
Bagai suami yang kepergok jadi seme sama istrinya, Akagi sembah sujud di depan Haruna sambil nangis-nangis supaya percaya. Haruna memandang Akagi (masih) tidak percaya, dengan tangan yang menutupi mulut.
"Kalau Haruna-san tidak percaya, silakan tanya pada Kaga-san,"
"Aku butuh kepastian dari kamu! Buktinya mana kalau kamu Akagi-san!?"
"Aku saja tidak tahu kenapa aku jadi begini, Haruna-san!" Haruna bergidik, sedikit mundur ke belakang, wajahnya gelap dan pandangnya pada Akagi makin menjadi-jadi takutnya. Akagi nangis dengan sebuah senyuman lebar. Hari ini Akagi sudah nangis berapa liter? Entahlah, tidak ada yang ngitungin.
"Kumohon, Haruna-san.. percayalah padaku," Haruna menggeleng, Akagi makin pasrah.
"Silakan. Haruna-san boleh bertanya pada Kaga-san atau Laksamana sekarang juga setelah Haruna-san percaya sedikit padaku, ya?"
"..."
"..."
Haruna tampak ragu. Ia memperhatikan Akagi dari atas sampai bawah, warna rambut dan irisnya sama. Mirip dengan Akagi dalam beda jenis, Haruna tak bisa menyangkal, "... Baiklah, Haruna akan percaya padamu, sedikit lho,"
Akagi bangkit, bersorak-sorai sembari menonjokkan tinju pada langit. Berkat ketulusan dan kebaikkan hati sang Haruna, Akagi tahu gadis kapal ini akan mudah percaya padanya. Gusti ya gusti, biarkan Akagi terus memanjatkan syukurnya.
Tiba-tiba, Akagi menarik tangan Haruna, maksud untuk menjabat. "Haruna-san, terima kasih sudah mau percaya. Kalau boleh, aku ingin Haruna-san memberitahukan hal ajaib ini kepada seluruh gadis kapal, agar nantinya mereka tidak membakar atau menenggelamkanku,"
"O-oh, baiklah," Akagi mengacungkan jempol.
"Kalau begitu Haruna-san, aku ijin pergi ke dojo. Mau pergi ke tempat Kongou-san 'kan? Aku titip salam pada dia. Jaa matta!" Akagi membalikkan tubuh, berlari, meninggalkan Haruna yang masih.. eng.. bingung. Iya bingung, antara mau nangis atau senang. Ah sudahlah, kalau terus dipikirkan, yang ada Haruna stress sendiri nanti. Haruna pun membalikkan tubuh juga, berlari kecil menuju tempat kakak tertuanya itu.
.
Untungnya, Laksamana membuat satu dojo lagi di dekat dermaga, agak sedikit mojok. Di sana pula, jarang gadis kapal aircraft carrier yang berlatih, dengan alasan yang tempatnya memang cukup jauh dari pusat pangkalan. Mereka biasanya berlatih di dojo dekat dock. Untuk Akagi, dojo dekat dermaga merupakan dojo yang nyaman, lebih luas dan pemandangannya langsung ke laut. Akagi lebih sering menghabiskan waktu berlatih di dojo itu bersama Kaga dan Divisi Angkatan Lima. Ia lebih suka saat pesawat-pesawatnya terbang bebas di udara, memandanginya beberapa detik saja membuat Akagi tak bisa menahan rasa kagumnya. Saat angin berhembus, melencengkan akurasi menembaknya, Akagi akan menca-menca kecil, lalu tertawa, sebuah tantangan yang baru katanya. Intinya, dojo kedua memang tempat yang terbaik bagi Akagi.
Dalam perjalanan, Akagi berdoa. Doa lagi? Untuk? Pertama, jangan sampai bertemu gadis kapal yang merepotkan. Kedua, tidak ditembak atau ditusuk diam-diam oleh gadis kapal yang curiga padanya. Ketiga, Kaga dan Zuikaku berlatih di dojo pusat. Bisa dikatakan, Akagi sedang ingin sendiri. Perlu diketahui, walau Akagi berusaha untuk hidup menjadi seorang pria, dalam dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang sangat sangat pahit ini. Coba saja bayangkan, saat dimana kalian bangun tidur dan tiba-tiba berubah jenis, pasti syok. Begitu pun Akagi yang sampai sekarang masih memikirkan bagaimana kembali lagi ke wujud gadisnya. Akagi menghela nafas gusar, mengacak-acak rambutnya.
Akagi tidak sadar bahwa ia sudah sampai di depan dojo, syukur sedang tidak bertemu gadis kapal yang lain. Wajahnya berubah sumringah, di dojo tidak ada orang, Akagi yakin akan hal itu. Sebab, dari tempat Akagi berdiri, suara anak panah yang ditembakkan dan mengenai sasaran dapat terdengar. Tetapi, Akagi tidak mendengar apa-apa dari dalam sana, baguslah, Akagi bersorak dalam hati. Buru-buru Akagi melepas sandalnya, melangkah masuk ke dojo.
Mencapai area latihan, Akagi hampir berteriak saat melihat seorang gadis surai putih tengah bersiap menarik anak panahnya kalau tidak cepat-cepat menutup mulut. Sedang Akagi di belakang tidak berani menghampiri, antara takut mengganggu konsentrasi dan dikira pria cabul yang senang melihat lekukan tubuh para gadis. Heck! Ia tidak akan bisa berbuat hal senonoh semacam itu. Akagi menggelengkan kepala, ia salah menduga ternyata. Kalau tahu begini, Akagi nanti saja datang ke sini. Habisnya, ia penasaran, apakah dia masih bisa menembakkan anak panah dengan akurasi yang tepat dalam tubuh pria seperti ini? Maka dari itu, Akagi ingin mencobanya. Berharap sekali, kemampuannya tidak hilang, karena akan merepotkan Laksamana untuk menjalankan misi yang diberikan (itu kalau diberi tugas)
Alih-alih berbalik dan keluar, Akagi malah duduk bersila, menonton gadis yang dengan tenangnya menembakkan anak panah yang nanti berubah menjadi beberapa pesawat. Sejak dulu, Akagi senang melihat para aircraft carrier melepas anak panah mereka, mau itu tengah berlatih atau sortie. Ada sesuatu yang membuat dadanya membuncah, seperti perasaan senang. Saat mereka menutup mata mengumpulkan konsentrasi, mengarahkan anak panah pada target, menariknya dan melepaskannya dengan sekuat tenaga.
Akagi senang melihat Kaga memanah, gadis itu cukup kuat, atau bisa dibilang carrier terkuat di pangkalan. Akurasinya sangat tajam, tak pernah meleset. Merindingkan si Akagi yang menatapnya terkesima. Namun, jauh dari semua itu, ada lagi seseorang yang bikin Akagi tak bisa melepas pandangnya. Dia, si gadis kapal yang tengah diam-diam ditontoni oleh Akagi, Shoukaku. Rambutnya putih menjuntai, ikat kepala merah yang senantiasa bertengger, serta iris keemasan penuh semangat di dalamnya. Akagi akan berdecak kagum, memberikan applause dalam hati. Walau tak sehebat Kaga, Shoukaku cukup terampil memanah. Untuk Akagi pribadi, Shoukaku bisa mengendalikan pesawatnya dengan sangat baik, gadis ini sangat membantu dalam banyak pertempuran dan tidak jarang juga Laksamana akan menempatkan Akagi dengan Shoukaku dalam satu fleet. Saat tangan mereka saling menyentuh untuk bertos ria, sebuah perasaan memaksa masuk dalam hati. Perasaan apa, awalnya Akagi tidak tahu. Kemudian, ketika Shoukaku yang tiba-tiba memeluknya, menyembunyikan kepala pada jenjang leher Akagi, mengeluarkan isak tangis, menangisi Zuikaku yang terluka parah, padahal adiknya itu yakin tidak akan terjadi apa-apa. Tangan Akagi akan menggapai puncak kepala Shoukaku, membelainya dengan lembut, menenangkan juniornya dengan suara yang kelewat lembut. Berkata bahwa semua baik-baik saja.
Akagi sempat memungkiri perasaan itu. Ia tahu perasaan apa yang menganggunya belum lama. Wajahnya yang mendadak memerah dengan melihat Shoukaku menyapanya atau hanya sekadar melambai dari kejauhan. Akagi tahu semua ini.
Akagi tahu, dirinya menyukai Shoukaku.
Setelah itu, kejadian nan ajaib ini datang tak diduga. Akagi berubah menjadi seorang pria, sialnya. Sebenarnya tidak terlalu sial juga, dengan perubahan ini, Akagi makin mantap dengan perasaannya, berhubung mereka akan menjadi pasangan yang normal, jikalau Shoukaku menerimanya sebagai kekasih. Hei hei hei, Akagi, jangan terlalu percaya diri dulu, belum tentu Shoukaku senang denganmu. Oke, Akagi mendadak baper, merengkuh wajah sepenuhnya. Ah, sial sial sial, Akagi baper pakai banget.
Gadis surai putih bagai bangau membalikkan tubuh, lantai kayunya berdecit, Akagi yang mendengarnya panik, lekas menengadah. Bego si Akagi.
Mata mereka saling bertemu, sama-sama membelak. Akagi hampir menganga, panik sekaligus khawatir.
"A-a-nu..—" Gagapnya Akagi mulai muncul.
"Akagi-senpai? Sedang apa di sini?"
"..."
"... Senpai?"
Lha? Lha? Kok..?
"... HEEE?!"
.
.
.
.
.
To Be Continued
A/N: Hola, hola, selama (tengah) malam! Di sini Reyfon. Um.. salam kenal semua, saya masih baru di fandom ini, kurang lebih setahun tapi baru bisa ngepublish satu cerita, miris ah. Ada yang shipper AkagiShoukaku? Kalau ada, mari berpesta sama saya /ngapain/ Kenapa Akagi saya buat jadi cowok? Iseng aja sih, lagipula gak masalah kan ya hahahaha selama Akagi itu ganteng /lho/
Hint-hint Kaga dan Zui juga terlihat di sini, memang niatnya mereka jadi pair sampingan gitu (maaf, saya shipper ZuiKaga, masih suka AKKG juga kok) Saya juga udah lama gak buat fiksi berchapter, tapi dijamin, bakal nyicil-nyicil update, karena saya juga mau ujian. Mungkin 5 atau 6 chapter juga sudah selesai, entahlah. Bisa jadi, gak update karena writer block hahahahanjir sialnya.
Intinya, salam kenal sama senior-senior yang sudah lama bergelut di fandom ini dan para pembaca sekalian.
Kesan, saran, dan pesan sangat Reyfon nantikan untuk kelanjutan fiksi ini.
Kalau begitu, sampai jumpa di chapter selanjutnya!
