Hangatnya sinar matahari pada pagi hari musim panas yang ceria, telah berlalu seakan sirna tanpa bekas. Kemudian berganti dengan semilir angin dingin pada pagi hari yang gelap, Sang Surya entah bersemayam di mana. Memberikan kesempatan pada musim gugur yang telah siap meskipun masih dini.

Haruno Sakura membuka matanya yang terasa berat. Udara dingin di musim gugur membuatnya enggan turun dari tempat tidur. Ia menguap lebar sembari memaksa diri bangkit dari kasur nyamannya. Dengan langkah terseret-seret dan mata setengah terpejam juga selimut tebal yang melingkari hampir seluruh tubuhnya, Sakura berjalan ke sisi jendela. Membuka daun jendela lebar-lebar dan menarik napas dalam-dalam. Namun, udara yang terasa dingin membuat gadis yang identik dengan musim semi itu cepat-cepat menutup jendela dan semakin mengeratkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Matanya terarah ke jam kecil di atas meja dan ia pun terkesiap.

"Oh, Kami-sama!" pekiknya.

Ia melempar selimutnya asal dan berlari ke pintu kamar. Membukanya cepat dalam satu kali sentakan dan sukses membuat sepupunya yang tengah menikmati secangkir coklat panas di meja dapur menoleh kaget.

"Ada apa, Saku-nee?" Gadis bertubuh ramping berambut coklat sebahu –yang sedang menggenggam secangkir coklat panas dengan kedua tangan, menatap Sakura dengan alis terangkat heran. Sakamoto Matsuri. Gadis yang berusia satu tahun lebih muda dari Sakura ini sebenarnya adalah cucu dari nenek Chiyo –yang saat ini menjadi kepala Rumah Sakit di Osaka dan juga merupakan nenek dari Sakura.

"Aku terlambat!" seru Sakura panik sambil berlari ke kamar mandi di samping dapur.

"Seingatku hari ini nee-san tidak ada jadwal kuliah." Matsuri menimpali.

Sakura menggeleng dari dalam kamar mandi –yang tentu saja tidak bisa dilihat Matsuri. "Perpustakaan."

Sejak empat bulan yang lalu, Sakura bekerja di perpustakaan swasta tak jauh dari tempat tinggalnya. Hanya kerja part time dengan gaji yang tak seberapa, tapi ia sangat menyukai pekerjaannya ini. Memang sejak kecil Sakura gemar sekali membaca. Mulai dari bacaan ringan seputar manga, novel sampai buku-buku klasik yang telah mendunia. Oleh karenanya ia sangat senang saat mendapatkan selebaran lowongan kerja part time di perpustakaan swasta, tempat di mana ia bisa membaca buku sepuas hatinya. Tanpa gangguan, tanpa mengeluarkan uang, dan di tambah lagi ia yang akan mendapatkan uang. Oh Sakura, kau benar-benar cerdas!

Matsuri menyesap coklat panasnya. "Nee-san, santailah sedikit. Lagipula bukankah nee-san baru kembali dari Hokkaido tadi malam, kupikir atasan nee-san mau mengerti."

Seruan Sakura dari kamar mandi terdengar samar karena tertelan bisingnya air yang mengucur deras dari shower. Matsuri mengendikkan bahu dan kembali menyantap sepotong pancake yang menjadi menu sarapan paginya hari ini. Tepat saat Matsuri memasukkan suapan terakhir pancake madunya, pintu kamar mandi terbuka dengan suara keras diikuti siluet merah jambu yang melesat ke kamar tidur. Tak butuh waktu lama, suara pintu lemari yang dibuka dengan gaduh menyusul dari arah kamar yang didominasi warna pastelitu. Matsuri hanya menggeleng pelan melihat tingkah heboh sepupu merah jambunya itu.

Beberapa menit kemudian, Sakura muncul dari balik pintu kamarnya dan sudah berpakaian lengkap. Rambut sebahunya yang senada bunga Sakura sudah tampak rapi meski masih terlihat agak basah. Tak lupa tas selempang yang menyampir di bahu kecilnya. Tangan kanannya tampak menggenggam ponsel flip metalik yang menempel di telinga kanannya.

"Iya kaa-san, aku sudah sampai…. Ya, aku mengerti. Aku bisa menjaga diriku sendiri. kaa-san juga baik-baik di sana. Jaa." Sakura menaruh ponselnya dalam tas selempangnya. Ia mendudukkan dirinya di kursi kosong di depan Matsuri sembari menarik napas dalam-dalam.

"Mebuki-basan?" tanya Matsuri yang dibalas anggukan oleh Sakura.

Orang tuanya baru saja menelepon untuk menanyakan apakah ia sudah sampai di Kyoto dengan selamat. Ya, orang tuanya selalu mencemaskannya, selalu khawatir apabila Sakura tinggal jauh dari mereka. Bahkan saat pertama kali gadis itu mengutarakan niatnya untuk kuliah dan tinggal di Kyoto, kedua orang tuanya sempat menentang keras. Hingga akhirnya lambat laun orang tuanya mengijinkan, meskipun dengan syarat ia harus tingga bersama sepupunya di Kyoto. Sering Sakura merasa tertekan dengan sikap orang tuanya yang terlalu berlebihan itu, dan sesering itu pula Sakura selalu meyakinkan dirinya untuk memaklumi sikap orang tuanya itu.

"Kau tahu benar kenapa mereka sangat mengkhawatirkanmu, Saku-nee," ujar Matsuri setiap kali kakak sepupunya itu mengungkapkan rasa tertekannya dan akan diakhiri dengan gerutuan kecil dari Sakura. "Aku tahu, Matsu."

"Aku tahu," ujarnya lirih.

Matsuri meletakkan secangkir coklat panas di hadapan Sakura. " Ba-san dan ji-san sangat meyayangimu, nee," ujarnya sembari mendudukkan tubuhnya kembali. Ia menatap Sakura yang tengah menyesap coklat panasnya. Ia paham, ia mengerti bagaimana perasaan yang dirasakan oleh sosok yang sudah ia anggap kakaknya itu. Namun, bagaimanapun juga Sakura harus mengerti juga perasaan orang tuanya. Sakura hanya terdiam. Ia meletakkan cangkirnya yang kini isinya telah habis dan memandang keluar jendela di mana daun-daun momiji mulai berubah warna.

Sakura menarik napas dalam-dalam lalu berujar, "Aku mengerti." Ia menguraikan senyum ceria sembari mengacak rambut coklat adik sepupunya itu. "Aku sudah terlambat, Matsu. Aku berangkat dulu. jaa…."

Tanpa menunggu balasan –atau bisa dibilang omelan dari Matsuri, Sakura berlari menuju garasi di samping rumah –tempat di mana ia menyimpan sepeda merah miliknya. Ia melirik jam putih yang melingkar di tangan kirinya. Uh-oh, sepertinya ia sudah tertalu lama mengobrol dengan Matsuri tadi, dan itu artinya ia tidak bisa menikmati keindahan musim gugur di pagi ini.

.

Naruto Fanfic © Masashi Kishimoto

Life Must Go On

By Blue Chrysanthemum

.

Sudah hampir satu setengah tahun sejak Sakura pindah ke Kyoto untuk menempuh pendidikan di Kyoto University, dan selama itulah ia tinggal di rumah Matsuri yang berada di pinggiran Kyoto bagian barat. Rumah yang mereka tempati tidak terlalu besar, tapi cukup untuk kedua remaja ini. Rumah bergaya minimalis yang mengangkat tema natural. Berbagai tanaman hidup tampak menghiasi beberapa sudut rumah ini.

Lima belas menit kemudian, Sakura sudah tiba di perpustakaan tempatnya bekerja. Sebuah perputakaan bergaya Jepang semi tradisional. Sesampainya di halaman depan, Sakura memarkir sepeda merah tuanya di bawah pohon. Bunyi khas terdengar saat tangan Sakura menggeser fusuma* dengan lambang kipas dwi warna tersebut. Setelah melepas sepatunya di genkan* dan menyimpannya di getabako*, Sakura kembali melangkah hingga sampai pada ruangan luas dengan rak-rak yang tersusun rapi. Tertata buku-buku sesuai kelompoknya. Diantaranya ada yang sudah berubah warna .Namun, ada juga yang masih terlihat baru. Kesemuannya berbaur jadi satu. Meja-meja yang ditemani beberapa kursi tertata rapi di atas lantai yang berwarna coklat kayu. Nyaman. Ia mengumbar senyum ramah pada pengunjung perpustakaan sebelum meletakkan tas selempangnya di meja petugas. Sepasang emerald-nya memindai sekeliling untuk mencari atasannya.

Pandangannya beralih ke sisi ruangan di mana terdapat shoji* yang menghubungkan ruangan ini dengan halaman samping. Tangan Sakura terangkat menyentuh hikite* dan menggesernya pelan. Memperlihatkan taman kecil yang dilengkapi kolam batu alam, tanaman bonsai dan gemericik air yang bersumber dari pancuran bambu kecil. Langkah kakinya menyusuri roka* yang membawanya ke bagian belakang bangunan ini. Di sebelah kirinya terdapat beberapa ruangan yang digunakan sebagai tempat pribadi si pemilik rumah.

Langkah kaki itu akhirnya berhenti di unjung roka. Meskipun sudah enam bulan lebih bekerja di sini, namun baru kali ini ia melihat belakang rumah ini saat musim gugur. Sepasang emerald miliknya berbinar kagum. Tanpa sadar, bibir mungilnya menggumamkan 'wow' pelan sebagai wujud apresiasinya. Dihadapannya, tersaji lukisan hidup yang memukau bagi siapapun yang melihat. Sebuah master piece dari Sang Khaliq.

Lautan biru berkilauan dengan pasir putihnya yang tampak halus, ditemani pohon-pohon yang berjejer teratur di halaman belakang. Merahnya momiji yang berbaur dengan pohon evergreen memantulkan keindahan tersendiri. Sukses membuat sepasang emerald itu tenggelam dalam pesonanya. Pandangan Sakura pun tertumbuk pada sosok pemuda yang sedang berdiri di tepi pantai. Membelakanginya.

Jarak antara dirinya dengan pantai memang tidak terlalu jauh, sehingga ia masih bisa melihat dengan jelas setiap detail yang melekat pada diri pemuda itu. Pemuda itu mengenakan kemeja hitam –dengan lengan yang digulung asal sebatas siku yang tampak kontras dengan kulit putihnya. Rambut raven gelap yang tertata sempurna tampak bergoyang pelan.

"Sakura, kau sudah datang rupanya."

Terlalu serius mengamati, membuat Sakura tak menyadari atasannya sudah berdiri di belakang tubuhnya. Alhasil ia berjingkat kaget saat memutar tubuhnya ke belakang dan mendapati jarak yang begitu dekat antara dirinya dengan pemilik perpustakaan ini. Segera saja ia membungkukkan badan memberi salam.

"Ohayou, Itachi-niisan."

"Ohayou. Sudah lama?"

Sakura menegakkan kembali badannya dan menggeleng pelan. "Baru saja sampai. Maaf karena terlambat datang, Itachi-niisan." Lagi, ia menundukkan kepalanya.

Uchiha Itachi –nama pemilik perpustakaan tersebut tersenyum ramah. Ia menatap kearah lain sebelum kembali menjatuhkan pandangannya pada Sakura.

"Tidak apa-apa. Ayo, kuperkenalkan seseorang padamu," ujar Itachi lalu menuruni undakan menuju halaman belakang. Sakura hanya mengekor di belakang hingga langkah mereka terhenti pada pemuda yang beberapa saat lalu ia amati diam-diam.

Uchiha Sasuke berdiri tegak di tepi pantai yang berada di belakang perpustakaan. Ia memandang cekungan luas berisi liquid asin itu dengan ke dua tangan yang di masukkan ke saku celana. Sejujurnya, ia tidak sepenuhnya menikmati pemandangan Kyoto di musim gugur ini. Tidak dengan semua bayang masa lalu yang terus menghantuinya.

Sasuke memutar tubuhnya ketika Itachi –kakak laki-lakinya memanggil. Sasuke bisa melihat seorang gadis berdiri kikuk di belakang Itachi. Gadis itu berperawakan sedang –mungkin tingginya setara dengan bahu Sasuke dengan rambut pink pucat yang tergerai bebas sebatas bahu. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Haruno Sakura. Pekerja part time yang saat ini berstatus sebagai mahasiswi di Universitas Kyoto.

Sakura berjalan lambat dengan setengah sadar seolah sebagian jiwanya masih tertinggal di pantai tadi. Ia menggeser shoji dan kembali melangkah ke meja kerjanya.

'Kenapa aku ini?' ia bertanya pada dirinya sendiri sambil menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Matanya terpejam erat berusaha keras menenangkan diri karena jantungnya yang tidak mau berdetak normal. Sejak tadi ia berjuang agar rasa gugupnya tidak terlihat oleh kedua pemuda Uchiha itu. Ketika Itachi memperkenalkan Sasuke Uchiha sebagai adiknya yang baru pulang dari Paris, diam-diam Sakura mengamati pemuda di hadapannya itu.

Sasuke Uchiha. Cara pemuda itu berdiri, suara baritone yang terkesan datar dan dalam. Tanpa Sakura sangka sebelumnya, pemuda itu mengarahkan pandangannya kearah Sakura. Iris klorofil Sakura bertemu dengan iris sehitam obsidian pemuda itu. Seakan ingin mempermanis suasana, semilir angin turut berpartisipasi mempermainkan rambut mereka berdua. Begitu pun dengan guguran momiji merah yang terbang diantara keduanya. Seolah turut menyambut pertemuan pertama mereka.

Sakura membuka matanya dan menghela nafas keras-keras. Rasa penasaran timbul dalam diri gadis itu. Rasa penasaran akan pemuda yang telah menarik perhatiannya. Dan saat itu hanya satu hal yang terbesit dalam pikirannya.

Ia harus menghilangkan rasa penasarannya itu.

Ya… harus.

.

"Kau sudah menelepon ibu?" Sasuke menggeleng tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya. Tidak mempedulikan pria berusia dua puluhan yang berdiri di sampingnya.

Uchiha Itachi mendesah memandang ototou-nya yang kelihatan tidak peduli itu. Sasuke sudah tinggal di Paris lebih dari lima tahun dan selama itu ia tidak pernah kembali ke Jepang. Sepanjang pengetahuan sang Kakak, kehidupan adiknya di Paris sudah cukup baik. Karena itu ia agak heran ketika Sasuke meneleponnya tiga hari yang lalu dan berkata ia akan kembali tinggal di Kyoto. Uchiha Itachi sudah bertanya pada ibunya tentang apa yang sebenarnya diinginkan Sasuke karena anak itu sendiri tidak mau menjelaskan, tetapi ibunya juga tidak bisa membantu banyak. Apalagi setelah tiba di Kyoto, Sasuke sama sekali belum menelepon orang tua mereka di Paris.

"Ibu pasti khawatir, Sasuke. Teleponlah." Itachi berusaha membujuk ototou -nya.

"Ibu tidak punya alasan untuk khawatir. Sudah kubilang padanya aku datang ke sini untuk berlibur," gumam Sasuke ringan. "Kita tidak perlu memberitahu Ibu tentang hal selebihnya." Ia membalik lembaran buku yang tengah di bacanya dengan tenang. Sebaliknya, Uchiha Itachi memandang adik semata wayangnya itu dengan raut kekawatiran yang tampak jelas.

Selama lima tahun terakhir ini, adiknya menjadi pribadi yang tertutup. Anti sosial. Ia lebih memilih menghabiskan waktu ditumpukan buku-buku tebal atau menyendiri di tepi pantai dari pada bersosialisasi. Ia dan keluarganya sudah melakukan berbagai cara untuk membuatnya kembali seperti dulu. Termasuk mengirimnya ke luar negeri. Namun sampai sekarang usahanya belum juga berbuah.

Itachi tahu benar apa yang dialami adiknya itu. Kehilangan satu-satunya orang yang paling dekat dengan kita bukanlah suatu yang ringan. Apa lagi dengan perasaan bersalah yang selalu menghantuinya. Kadang Itachi sedikit menyesali sikap keluarganya yang terlalu mementingkan bisnis. Membuat Sasuke kecil kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Meski begitu ia sadar tak ada gunanya menyalahkan yang sudah berlalu. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah berusaha. Berusaha mengembalikan adik kecilnya yang manis.

"Sasuke." Suara rendah milik Itachi kembali memanggil. Namun, seperti yang sudah-sudah, Sasuke tak mengindahkan panggilan kakaknya dan terus menenggelamkan diri dalam tumpukan buku-buku tebal dihadapannya. Itachi kembali menghela napas yang entah sudah keberapa kalinya. Ia menepuk pundak adiknya pelan, "Makanlah, kau belum makan sejak kemarin sore kan."

"Hn."

Hanya itu yang terucap dari bibir tipis Sasuke. Sejujurnya ia khawatir dengan kondisi adiknya itu. Ia hanya berharap agar mukjizat segera datang.

"Sekarang aku di perpustakaan… yup, besok jam tiga sore?... mm, baiklah." Sakura berbicara pelan, mengingat saat ini ia sedang berada di tempat yang mengharuskan suasana tenang. Tangan kirinya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, sedang tangan kanannya menulis sesuatu di buku besar. Sepertinya, daftar peminjaman dan pengembalian buku.

"Baik. Sepuluh menit lagi aku sampai."

Sakura menoleh ke sumber suara bernada rendah yang Sakura kenali milik atasannya. "Sudah dulu ya, Gaara. Jaa~." Sakura menutup ponsel flipnya, lalu menatap Itachi yang sudah berada di depannya.

"Mau pergi, Itachi-nii?" Tanya Sakura yang melihat Itachi tampak rapi dengan kemeja putih dan celana hitamnya. Tangannya dengan cekatan memasang jas hitamnya.

"Iya. Ada rapat mendadak. Tolong jaga perpustakaannya ya, Sakura." Itachi menyempatkan mengusap puncak Sakura sebelum beranjak pergi.

Sakura mengangguk mengamati kepergian laki-laki yang sudah dianggap kakaknya itu sejenak, lalu menutup buku dihadapannya beranjak dari tempat duduknya, menyusuri rak-rak buku untuk melakukan pekerjaannya yang lain –menyusun dan merapikan buku-buku sesuai tempatnya, sesekali tangan putihnya terhenti pada buku yang dianggapnya menarik. Tiba-tiba langkahnya tertahan. Iris klorofilnya menangkap sosok seorang pemuda. Sakura sedikit menarik kepala untuk melihat lebih jelas diantara rak-rak buku yang menghalangi.

Pemuda itu duduk di salah satu bangku yang berada di pojok dekat jendela, agak tersembunyi. Ia menempati bangku tepat di sudut di samping jendela kaca yang menampilkan lautan biru di luar sana. Pemuda itu menunduk kearah buku yang terbuka di meja sambil bertopang dagu dengan sebelah tangan. Ia terlihat sedang membaca, tapi Sakura memerhatikan mata pemuda itu tidak bergerak. Pandangan pemuda itu memang terarah ke buku, tapi perhatiannya tidak tercurah ke sana. Sepertinya ia sedang melamun. Poni panjang di sisi wajahnya tampak berayun pelan kala angin musim gugur menyusup melewati gorden yang terbuka dan membelai wajah rupawan itu. Tanpa sadar seulas senyum tersungging di wajah Sakura dan ia merasakan sesuatu yang hangat hinggap dipipinya . Tentu saja ia mengenalnya, pemuda itu adalah adik kandung atasannya. Sasuke Uchiha, dan Sakura yakin pemuda itu tengah melamun karena sama sekali tidak menyadari Sakura yang berdiri tidak jauh di sampingnya yang hanya dipisahkan oleh sebuah rak buku. Sakura memandangi wajah yang sedang melamun itu dan tiba-tiba merasa ingin tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu.

Sasuke masih bergeming, sibuk dengan pikirannya sendiri. Sama sekali tidak menyadari bahwa Sakura sedang memandanginya. Sakura sendiri tidak tahu berapa lama ia memandangi pemuda itu. Ia baru tersadar ketika Sasuke bergerak, seakan juga baru tersadar dari lamunannya. Pemuda itu tampak menghela nafas sebelum menutup bukunya dan melempar pandang jauh ke luar jendela. Saat itu Sakura memutuskan untuk menghampiri pemuda itu.

"Hai, Sasuke." Sasuke mendengar sapaan ramah itu dan berpaling. Sepintas Sakura melihat kilatan emosi pada obsidian kembar pemuda itu ketika bertemu pandang dengan emerald Sakura. Sakura tersenyum manis dan ramah –kuda-kuda yang selalu Sakura terapkan saat menghadapi orang yang masih baru dikenalnya. Ayolah, memberikan imej baik itu perlu. Dirasa cukup, kemudian ia mengambil tempat kosong di depan Sasuke.

Sakura merasa sedikit canggung berada di hadapan pemuda ini. Lagipula, kenapa ia tadi malah berjalan menghampiri Sasuke. Mereka bahkan belum kenal dekat. Sakura melirik sekilas pada pemuda yang tampaknya tidak berniat untuk melakukan interaksi dengannya itu. Terlihat dari sikapnya yang lebih memilih menatap pemandangan di luar sana. Sakura sedikit dongkol. Memang apa sih yang menarik di luar sana. Gerutunya. Ia harus melakukan sesuatu untuk mencairkan suasana yang kaku ini.

"Ngomong-ngomong, kau sedang baca apa, Sasuke?" Sakura tersenyum ramah dengan emerald yang berbinar cerah. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya guna melihat judul buku dihadapan Sasuke.

Sepasang obsidian menatap Sakura sekilas. Alih-alih menjawab pertanyaan gadis depannya, Sasuke malah berdiri dan memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. "Jangan bertingkah seolah-olah kita sudah berteman dekat, Haruno," ujar Sasuke dan melangkah pergi.

Sakura melongo. Reflek kepalanya berputar mengikuti punggung Sasuke yang mulai menjauh. Ini sungguh kejadian langka. Seumur-umur ia tidak pernah diacuhkan seperti barusan. Dan apa niat baiknya untuk beramah tamah baru saja ditolak mentah-mentah. Astaga… sekarang Sakura mulai meragukan pelajaran biologi yang membahas bahwa manusia itu berdarah panas. Pemuda itu benar-benar dingin. Atau, jangan-jangan dia bukan manusia.

Oh ayolah… kau mulai tidak beres, Miss Haruno.

o0o

Dan sepertinya, kita harus membiarkan nona muda ini istirahat dahulu agar kembali mendapatkan kewarasannya. Untuk itu… sampai jumpa di chapter selanjutnya~

Tsuzuku

Fusuma : Panel berbentuk persegi panjang yang dipasang vertikal pada rel dari kayu, dapat dibuka atau ditutup dengan cara didorong. Kegunaannya sebagai pintu dorong atau pembatas ruangan. Fusuma ini menggunakan bahan yang tidak tembus cahaya.

Shoji : Sama dengan fusuma hanya saja shoji menggunakan bahan yang tembus pandang.

Genkan : Tempat dimana orang melepas sepatu mereka.

Getabako : Rak atau lemari untuk menyimpan sandal atau sepatu.

Hikite : Pegangan pintu pada fusuma atau shoji

Roka : Bagian berlantai kayu yang mirip dengan lorong yang berada di pinggir rumah.

Pojok Author:

Fic multichap pertama saya…

Bagaimana pendapat para reader sekalian?

Saran dan kritik ditunggu ne~ ^^

.

.

Blue Chrysanthemum