Alert: Fic yang nauzubillah susahnya untuk saya bikin karena harus nyontek berbagai macam literatur. Setting cerita berada pada Kerajaan Korea Dinasti Joseon. Bacalah sambil berimajinasi dengan keadaannya (kalau anda suka nonton K-Drama Korea moga-moga udah bisa ngebayangin). Mungkin masih ada misstypo meskipun saya udah coba check and recheck. Membutuhkan review dari anda semua agar saya bisa menulis fic seperti ini lebih baik lagi.
Oh iya, dalam fic ini ada berbagai macam istilah korea, tapi saya udah masukkin arti istilahnya di bagian paling bawah halaman ini.
Disclaimer: Para tokoh Vocaloid dan Utaloid dan -loid yang lain-lain bukan punya saya. Saya juga enggak punya hanbok, istana korea, kerajaan korea dan sya la la~ lain yang ada disini. Hanya ingin menumpahkan imajinasi gila yang bertumpuk di akal.
Happy Reading ^^
"Yang mulia...yang mulia Tuan Putri,"
Dayang istana berseliweran kesana kemari, berteriak memanggil Tuan Putri yang sosoknya telah menghilang entah kemana. Tidak hanya para dayang istana, para pengawal istana beserta kasim pun kerepotan mencari sosok Tuan Putri yang menghilang.
Iringan Raja yang diikuti oleh para kasim dan dayang istana berhenti sesaat, sang Raja amat tertarik dengan kehebohan yang ada. Rasa penasaran menyergapi pria baya tersebut, dengan langkah berwibawa sang Raja menghampiri para dayang yang berlarian kesana kemari. Para dayang istana, kasim beserta pengawal istana membeku untuk sesaat. Sang Raja menghampiri mereka, tak ada pilihan selain untuk diam dan membungkuk hormat kepada Yang Mulia Raja.
"Ada keributan apa?" sang Raja bertanya kepada dayang yang terlihat senior.
Sesaat dayang senior tersebut tidak menjawab, ia masih membungkuk hormat tetapi wajahnya memandang ke arah lain, tampak gelisah dan takut. Kearah manapun dayang itu memandang tidak masalah asalkan tidak memandang wajah Yang Mulia Raja. Di negeri Korea ini, Yang Mulia Raja adalah titisan dewa kahyangan.
"Berani kau tidak menjawab pertanyaan Yang Mulia!" hardik kasim yang menemani Raja. Sang Raja menoleh sesaat dan tersenyum, memberi tanda kepada kasim untuk bersabar.
"Tidak apa, katakan padaku," perintah Raja dengan nada yang lembut.
Mendadak dayang senior tersebut langsung jatuh tertunduk, kepalanya bersujud sehingga dahinya menyentuh tanah. Dayang yang lain diikuti para kasim dan pengawal istana serempak mengikuti dayang senior tersebut, bersujud hingga dahi mereka menyentuh tanah.
"Maafkan hamba Yang Mulia, akan tetapi Tuan Putri...Tuan Putri...," jawab dayang tersebut dengan gugup.
"Ada apa dengan putriku?" Raja mulai penasaran.
"Tuan Putri Rin menghilang dari istananya, maafkan kami Yang Mulia," isak dayang tersebut.
"Bagaimana mungkin Tuan Putri menghilang dari istananya!" kembali sang kasim menghardik dayang senior tersebut.
"Hamba rela dihukum mati," dayang tersebut kembali terisak.
Sang Raja terdiam sesaat sebelum menghembuskan napasnya.
"Lagi-lagi ia kabur," gumam sang Raja.
.
.
TEKA-TEKI
Presented by Latifun Kanurilkomari
.
.
Seorang gadis berambut blonde dan bermata sapphire menelusuri suasana pasar. Wajahnya tampak cerah dan bersemangat. Kakinya melangkah cepat menyebabkan Hanbok[1]nya berkibar. Matanya menelusuri dagangan yang dijajakan di pasar. Terkadang gadis itu berhenti sesaat untuk mengamati aneka macam barang yang ditawarkan oleh penjual untuk menarik minat gadis itu. Gadis itu terus melangkah dengan semangat.
"Tuan Putri Rin, jangan tinggalkan hamba,"
Gadis berambut blonde tersebut berhenti sesaat kemudian membalikkan badannya. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang, wajahnya tampak cemberut.
"Aku kan sudah bilang, di luar istana jangan panggil aku Tuan Putri!" decak gadis itu dengan sebal.
Gadis lain dengan rambut berwarna kuning lembut berhenti tepat di depan gadis bernama Rin, napasnya tersengal-sengal.
"Tapi, mana berani hamba memanggil nama Tuan Putri," ujar gadis lain tersebut.
"Kalau begitu panggil aku dengan sebutan 'Nona Rin', asalkan jangan memanggilku Tuan Putri jika kita berada di luar istana," perintah Rin.
"Hamba bisa dihukum mati karena tidak sopan,"
"Terserah, asalkan jangan panggil aku Tuan Putri. Ini perintah, See U!"
Gadis yang dipanggil See U hanya bisa terdiam, tetapi wajahnya tampak ngeri. Rin menyilangkan tangan di depan dadanya, seakan menunggu respon dari See U.
"Nah?"
"Baiklah, Nona Rin," gugup See U. Rin mengangguk puas dan tersenyum. Gadis itu kembali meneruskan langkahnya diikuti oleh See U.
"Istana saat ini pasti sedang heboh karena anda telah menghilang. Hamba pasti akan dihukum dengan sangat berat," lirih See U dengan nada suara yang menyedihkan.
"Tenang saja, nanti biar aku yang menjelaskan pada mereka semua," Rin menjawab dengan ringan, matanya tidak lepas dari barang dagangan yang dijajakan.
"Anda tidak paham. Meskipun anda berusaha untuk menolong saya, tetapi peraturan dayang istana sangat tegas, hamba pasti akan dihukum sangat berat kali ini," lirih See U.
Rin memandang See U.
"See U, hanya kaulah satu-satunya dayang yang ku percayai. Kau adalah temanku sejak kecil. Hanya engkau yang selalu menemaniku hingga saat ini. Jika kukatakan bahwa aku akan melindungimu, aku pasti akan melindungimu," ujar Rin sambil meletakkan tangannya di pundak See U, berusaha menegaskan maksudnya.
Wajah See U memerah untuk sesaat, merasa terharu dengan pernyataan Tuan Putri.
"Ji-jika Yang Mulia berkata begitu, hamba hanya-,"
"Kyaa~ See u coba lihat itu, sepertinya menarik sekali,"
See U hanya terpaku sesaat, merasa kecewa ternyata sang Putri sama sekali tidak mendengarkan perkataannya dan malah sudah berlari ke arah yang lain. See U menghela napas jengkel sebelum akhirnya mengejar sang Putri.
"Tuan Put- ah, maksudnya Nona Rin, tunggu hamba,"
See U mengejar Rin yang saat ini sedang berhenti dan mengamati benda yang dijual di pasar. Matanya memandang dengan penuh minat, sesekali tangannya meraba barang dagangan yang ada.
"Daenggi [2]?"
Rin hanya mengangguk dengan semangat. Matanya yang berwarna aqua menatap dengan penuh semangat, tangannya memilah berbagai macam Daenggi yang berwarna menarik.
"Tapi tu- ah maksud hamba Nona Rin, di istana anda memiliki banyak Daenggi. Bahkan jika anda menginginkan yang lain anda hanya perlu memerintahkan kami para dayang istana untuk membuatnya. Kenapa anda tertarik sekali dengan Daenggi murahan untuk rakyat jelata semacam ini?" bisik See U ditelinga Rin.
Rin tetap bersemangat memilih berbagai macam Daenggi yang ada.
"Kau tidak paham See U. Hadiah termasuk dalam perilaku cinta dan kasih sayang. Aku bermaksud memberikan Daenggi ini kepada Haku,"
Mata See U membulat.
"Maksud anda, Yang Mulia Tuan Putri Haku?" See U kembali berbisik, takut ada yang mencuri dengar. Rin hanya mengangguk semangat.
"Istana adalah tempat yang sangat dingin, dipenuhi dengan intrik politik dan kepentingan kekuasaan. Meskipun ayahanda adalah Raja yang baik dan bijaksana, tetapi sifat tersebut jarang terlihat bagi Permaisuri serta para Selir ayahanda," gumam Rin dengan nada kecewa.
See U hanya terdiam. Sebagai dayang istana kepercayaan Yang Mulia Tuan Putri Rin, See U paham sekali dengan maksud beliau.
Tuan Putri Rin adalah keturunan satu-satunya dari hubungan antara Yang Mulia Raja Leon dan Permaisuri Lola. Yang Mulia Raja sangat menyayangi Tuan Putri Rin dan mengajarkan segala macam kebaikan dan kebijaksanaan pada Tuan Putri. Akan tetapi keberadaan Tuan Putri lah yang menjadi pangkal permasalahan. Tuan Putri Rin adalah seorang wanita. Tidak peduli betapa bijaksananya Tuan Putri, seorang wanita tidak diperbolehkan menjadi seorang Raja bagi negeri ini. Hal ini memicu berbagai macam intrik politik dan kekuasaan. Rencana licik sudah terbentuk, dimulai dari pengkhianatan hingga rencana pembunuhan. Tak ketinggalan, Permaisuri Lola pun sudah ikut bermain dalam berbagai rencana kotor untuk menjadikan Tuan Putri Rin sebagai seorang Ratu. Yang Mulia Raja Leon yang bijaksana segera mengambil langkah. Beliau membatasi gerak Tuan Putri agar tidak perlu terjerumus dalam permainan kotor kekuasaan keluarga kerajaan dan para menteri. Salah satu caranya adalah menahan Tuan Putri Rin di dalam istana kerajaan.
"Aku ingin memberikan Daenggi ini kepada Haku. Aku ingin adikku itu juga merasakan hangatnya hidup sebagai bagian dari keluarga kerajaan meskipun hanya sedikit," ujarnya sambil mengulurkan beberapa koin logam untuk membayar Daenggi yang telah dipilih oleh Rin.
See U hanya terdiam, tidak mampu mengeluarkan suatu kata apapun untuk merespon argumen Tuan Putrinya.
Rin tersenyum senang dan kembali melangkah mengamati pasar. Banyak sekali yang dapat diamati di pasar jelata ini, dimula dari taraf kehidupan para rakyat negerinya serta kedamaian yang ada. Rin sangat menyukai kehidupan rakyat jelata, karena itulah terkadang ia suka mencuri kesempatan untuk berjalan-jalan keluar istana. Setelah mengamati keadaan rakyat untuk sesaat, Rin merasa inilah saatnya untuk kembali ke istana.
"Akhirnya, hamba pikir anda tak akan pernah ingat lagi untuk kembali ke istana," gumam See U lega. Rin hanya tersenyum senang dan puas.
Tiba-tiba saja Rin terhuyung ke belakang. Untunglah See U segera menangkap tubuh Rin sehingga gadis itu tidak perlu merasakan kerasnya tanah yang dipijaknya. Rin segera memeriksa barang-barang yang telah dibelinya. Semuanya aman dalam pelukannya.
"Maafkan saya nona. Saya tidak sengaja,"
"Tuan, kalau berjalan tolong lebih hati-hati," gertak See U.
"Maaf...maaf nona, saya benar-benar tidak sengaja,"
Rin memandang sosok yang tidak sengaja menabraknya. Seorang pemuda berhanbok biru muda dengan Po [3] biru tua dan Gat [4] hitam sedang memunguti buku-bukunya yang berjatuhan. Rin langsung berjongkok dan membantu pemuda itu memunguti semua bukunya, mengindahkan larangan See U yang melarang Rin untuk memunguti buku-buku itu.
"Mohon maaf nona, hamba melamun sehingga tidak sadar arah kepergian saya," gumam pemuda itu.
Rin hanya tersenyum, "Tidak masalah, lain kali tolong lebih hati-hati," ujar Rin sambil menyerahkan buku yang ia pungut. Pemuda itu menerima buku yang disodorkan oleh Rin.
"Anda sarjana dari Sungkyunkwan [5] ?" tanya Rin penasaran.
"Bagaimana nona tahu?" gumam pemuda itu. Rin menunjuk pada buku-buku yang sedang dibawa oleh pemuda tersebut.
"Buku-buku itu mengenai Literatur Klasik Cina. Subjek pelajaran itu adalah pelajaran wajib bagi murid-murid Sungkyunkwan," jelas Rin.
Pemuda itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Sebenarnya saya sudah lulus dari sana. Terkadang para guru meminta hamba untuk mengajar di Sungkyunkwan. Ah, maafkan ketidaksopanan saya. Nama saya Len dari keluarga Kagamine. Bolehkah hamba tahu nama nona?"
Rin bimbang sejenak sebelum akhirnya menjawab.
"Nama saya Rin. Saya tidak punya marga," gumam Rin pura-pura sedih.
"Ah, maafkan ketidaksopanan saya," gumam Len dengan nada bersalah, Rin menjawab dengan gelengan kepala.
"Maafkan saya, tetapi saya harus pergi ke Sungkyunkwan sekarang. Senang berkenalan dengan anda, Nona Rin," gumam Len sambil membungkuk sedikit sebelum akhirnya pergi dengan tergesa.
Rin masih terdiam sejenak, memandangi arah kepergian pemuda bernama Len tersebut.
"Marga Kagamine, bukankah itu adalah marga bangsawan dari menteri kepercayaan Yang Mulia Raja?" tanya See U, Rin hanya mengangguk.
"Benar. Ayahanda memang pernah bercerita bahwa menteri Kagamine merupakan menteri yang dapat dipercaya. Pemuda tadi mungkin adalah putranya," ujar Rin sambil lalu. Saat Rin hendak melangkah, tak sengaja kakinya menendang benda yang lunak. Rin memandangi benda tersebut kemudian memungutnya. Sebuah buku literatur klasik Cina.
"Pasti milik pemuda yang tadi, benar-benar ceroboh," ujar See U sambil melirik dibalik bahu Rin.
Rin hanya terdiam sesaat sebelum akhirnya memutar tubuhnya dan melangkah pergi.
"Tuan ah...maksud hamba Nona Rin hendak kemana?"
"Ayo kita ke Sungkyunkwan,"
"Hee~,"
~000~
Rin dan See U sedang berdiri di depan gedung Sungkyunkwan yang megah. Beberapa sarjana dan pelajar berlalu lalang memasuki gerbang tersebut. Rin menunggu agak jauh sementara See U menghampiri pintu gerbang Sungkyunkwan yang megah. See U berbicara sebentar dengan seorang pelajar sebelum akhirnya pelajar itu menghilang. Tak lama kemudian pelajar itu kembali dengan ditemani oleh pemuda yang berpapasan dengan mereka berdua. See U menyerahkan buku tersebut. Entah apa yang mereka berdua bicarakan akan tetapi pemuda itu sempat memandang Rin dan membungkuk hormat. Rin membalas membungkuk kepada pemuda tersebut. Tak lama kemudian See U kembali kepada Rin sebelum akhirnya mereka melangkah pulang.
~000~
Pemuda bernama Kagamine Len itu memandangi kepergian See U dan Rin hingga mereka berdua menghilang dari pandangan. Len memeriksa buku yang diantarkan oleh kedua gadis tersebut, buku literatur ini memang miliknya. Pantas saja ia tidak menemukannya di tumpukan buku yang ia bawa.
Len menyadari kertas yang terselip diantara buku. Rasa penasaran mulai menyergap hati pemuda itu. Dengan penasaran ia menarik kertas tersebut dan mulai membaca;
Up above the shimmering sea
Two or Three Seagulls are hovering.
Rolling, wheeling, they write a poem.
I don't know the alphabet they use.
On the broad expanse of sky
I will write a poem too. [6]
Len membulatkan matanya sebelum akhirnya tersenyum membaca Sijo[7] tersebut.
"Sudah kuduga, ia memang bukan gadis biasa," gumam Len dalam hati. Pemuda itu menyimpan baik-baik Sijo yang ditulis oleh Rin.
~000~
Rin dan See U memasuki Gwanhwamun - gerbang utama kawasan istana. Rin menyamar sebagai dayang istana sementara See U memang sengaja mengenakan pakaian dayang istana. Mereka berdua menyamar sebagai dayang istana yang memiliki keperluan di luar dinding istana yang dingin. Mereka menelusuri jalan istana, berusaha agar tidak bertemu dengan seorangpun.
"Tuan Putri, apa tidak masalah kalau anda memberikan Sijo tadi kepada Tuan muda tersebut? Bagaimana jika Tuan muda itu menyadari identitas anda?" See U merasa khawatir.
"Jangan terlalu khawatir See U. Lebih baik kita cepat-cepat menuju paviliunku," ujar Rin ringan. See U hendak membantah tetapi akhirnya terdiam setelah menerima tatapan tegas dari Rin.
Setelah beberapa saat yang menegangkan, akhirnya mereka sampai di Paviliun Cermin, bangunan dimana Rin tinggal. Setelah memastikan tidak ada seorangpun yang berada di kawasan paviliun tersebut, mereka berdua segera masuk dan mulai membereskan penampilan mereka. See U sebagai Sanggung [8] utama Yang Mulia Tuan Putri Rin membantu Rin memperbaiki penampilannya. Rin mengenakan Dangui [9] berwarna merah muda dan Seuran Chima[10] berwarna merah gelap. Tidak lupa See U menghias rambut Rin dengan Baetsi Daenggi [11], Cheopji [12] dan Daenggi yang senada dengan pakaiannya.
Rin memperhatikan penampilannya melalui cermin, wajahnya tampak tidak puas.
"Nah, Tuan Putri, anda sudah tampak cantik. Apa yang membuat anda berwajah murung?" ujar See U sambil memperhatikan penampilan Rin. Dayang itu masih berusaha memperbaiki penampilan Rin agar terlihat lebih baik.
Rin menghela napas. "Aku tidak suka hidup dalam istana. Sesaat aku di luar istana dan semuanya terasa begitu menyenangkan. Saat ini aku telah kembali ke istana, semuanya terasa begitu menyiksa," gumamnya.
"Yang Mulia, tolong jangan bicara sembarangan. Jika Yang Mulia Permaisuri mendengar kata-kata anda, beliau akan menghukum anda," tegur See U.
Rin hanya mendesah napas. Sesaat gadis itu hendak membantah teguran See U akan tetapi pintu istananya terbanting terbuka.
"Beraninya kau membanting pintu tanpa memberi salam!" See U menegur seorang Nain [13] yang saat ini membungkuk meminta maaf. Wajahnya tampak ketakutan.
"Tidak apa-apa See U. Ada perlu apa?" Rin bertanya ramah kepada dayang yang masuk tersebut.
"Maafkan hamba Yang Mulia. Tetapi Yang Mulia Permaisuri ingin anda menghadap beliau," cicit dayang tersebut ketakutan. Wajahnya nampak cemas.
Rin menghela napas, sesaat ia menutup matanya. "Baiklah, aku akan segera kesana. Kabarkan kedatanganku," perintah Rin kepada dayang tersebut. Dayang tersebut langsung membungkuk hormat dan segera pergi.
"Yah, sepertinya ibunda akan memarahiku karena aku menghilang dari istana untuk beberapa saat," gumam Rin sambi tersenyum miris. See U memasang wajah khawatir.
"Jangan terlalu khawatir," Rin memasang senyumnya yang cerah.
~000~
Rin sedang duduk berhadapan dengan ibunda Permaisuri Lola, mengarahkan pandangannya pada meja kayu yang menjadi pemisah mereka berdua. Meskipun Lola adalah ibu kandung Rin, tetapi ia harus menghormati Lola sebagai Permaisuri, bukan ibu kandungnya.
"Kalian boleh keluar," perintah Lola kepada para dayang yang ada di ruangan tersebut. Para dayang tersebut membungkuk hormat sebelum akhirnya benar-benar keluar dari ruangan tersebut.
BRAK!
Rin terkaget sesaat dengan bunyi meja yang dipukul, tetapi gadis itu tetap mengarahkan pandangannya ke meja kayu.
"Lagi-lagi kau keluar istana dan bergaul dengan rakyat jelata," geram Lola. Rin masih terdiam seribu bahasa.
"Apa kau tidak meyadari posisimu? Kau adalah calon Ratu, harusnya kau lebih menjaga perilakumu!" bentak Lola, tetapi Rin masih tetap terdiam.
"Posisimu saat ini sedang terdesak! Putra dari Selir Miriam itu akan dijadikan sebagai putra mahkota sementara Yang Mulia Raja akan menikahkanmu dengan putra bangsawan yang tidak dikenal. Jika kau keluar dari istana ini sama saja dengan gagalnya impianmu menjadi seorang Ratu!"
Rin tersentak dan langsung menatap wajah Permaisuri. Bukan berita mengenai putra Selir Miriam, Pangeran Dell, yang akan menjadi putra mahkota yang mengagetkan. Bukan pula impian menjadi Ratu yang akan gagal, karena menjadi Ratu adalah impian ibundanya, bukan impian Rin. Gadis itu kaget karena ia akan dinikahkan dengan putra bangsawan.
"Apa maksud ibunda?" gumam Rin bingung.
"Yang Mulia Raja baru saja berkunjung padaku dan menyatakan rencana pernikahan itu padaku,"
Rin kembali menundukkan pandangannya. Berusaha memikirkan semua masalah ini dengan jernih.
"Aku tak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh Yang Mulia. Kenapa beliau-,"
Tetapi Rin tidak mendengarkan semua geraman kemarahan Permaisuri. Yang ada dipikiran gadis itu sekarang adalah kata "pernikahan" yang sepertinya sangat menakutkan bagi gadis itu.
"...sudahlah, lebih baik kau kembali saja ke paviliunmu. Aku akan mencoba menyelesaikan masalah ini,"
Rin menyadari bahwa dirinya melamun di saat yang tepat. Gadis itu membungkuk hormat sebelum akhirnya keluar dari kediaman Permaisuri. See U telah menunggu dengan wajah yang cemas. Saat Rin telah muncul dari kediaman Permaisuri, dayang tersebut langsung berlari untuk menjemput Rin.
"Apa yang dikatakan oleh Permaisuri? Apakah anda dimarahi dengan keterlaluan?" tanyanya khawatir. Rin tidak menjawab, kepalanya masih dipenuhi dengan benak pernikahan.
Tanpa menjawab, Rin segera melangkahkan kakinya. See U beserta para dayang pengiring mengikuti kepergian Rin dengan tergopoh-gopoh. Tak lama kemudian Rin menghentikan langkahnya tepat di depan bangunan Geunjeongjeon, aula besar dimana Yang Mulia Raja selalu memimpin rapat untuk menentukan kebijakan negara.
"Mau apa Yang Mulia ke bangunan ini?" mata See U membelalak sempurna.
Rin sama sekali tidak mengindahkan pertanyaan See U.
"Umumkan kedatanganku," perintah Rin pada dayang penjaga bangunan tersebut. Dayang itu membungkuk homat sebelum akhirnya mengumumkan kedatangannya pada Yang Mulia Raja. Rin menunggu sesaat sebelum akhirnya memasuki ruangan, meninggalkan See U beserta para dayang pengiring di luar ruangan.
~000~
Dayang penjaga pintu membukakan pintu kayu itu untuk Rin, menampilkan pemandangan seorang Raja yang sedang duduk di singgasanannya. Gonryongpo[14] yang dipakai oleh Yang Mulia Raja membuat sosok pria itu tampak agung dan berwibawa. Rin membungkuk hormat kepada Yang Mulia Raja sebelum akhirnya menegakkan dirinya sendiri. Mata aqua gadis itu terarah ke lantai kayu, tidak berani bertatapan bahkan dengan ayah kandungnya sendiri.
"Putriku, akhirnya kau kembali," ujar Raja Leon pada Putrinya.
"Iya, Yang Mulia," gumam Rin.
"Putriku, bukankah sudah kukatakan untuk memanggilku 'ayahanda'? Meskipun aku adalah Raja negeri ini, tetapi aku tetaplah ayahmu," ujar Leon dengan nada jengkel.
Rin melirik Leon dengan tatapan nakal serta senyum menggoda sebelum akhirnya tertawa pelan.
"Anak nakal. Kemarilah, duduklah bersamaku," Leon menepukkan singgasananya, meminta Rin untuk duduk disebelahnya.
Rin melangkah perlahan mendekati ayahnya. Gadis itu mendudukkan dirinya disebelah ayahnya dan menatap Leon dengan penuh kasih sayang.
"Jadi, bagaimana perjalananmu menyusup keluar dinding istana?" tanya Leon dengan tertarik, Rin membelalakkan mata.
"Bagaimana ayahanda tahu?"
"Kepergianmu membuat seisi istana geger. Lain kali jika engkau ingin menyusup keluar istana, pilihlah saat yang lebih tepat," kekeh Leon, Rin hanya bisa tersenyum malu.
"Jadi, bagaimana kabar para rakyat?" Leon kembali bertanya dengan serius.
Rin menceritakan pengalamannya menyusup keluar istana untuk yang kesekian kalinya. Raja Leon mendengarkan dengan penuh minat. Sesekali Raja itu menyela Rin, bertanya mengenai kondisi masyarakatnya lebih mendetil. Raja Leon sebenarnya tidak mempermasalahkan kesukaan Rin untuk menyusup keluar dinding istana dan mengamati kehidupan para rakyat. Sayang, para menteri dan keluarga kerajaan menganggap hal itu bukanlah hal yang patut dilakukan oleh putrinya.
"Begitu, baguslah kalau rakyat merasa senang dengan suasana negara kita saat ini," ujar Leon setelah selesai mendengarkan cerita Rin. Rin hanya mampu mengangguk sopan kepada ayahandanya.
"Jadi, ada perlu apa putriku datang mengunjungiku di aula ini?" ucap Leon dengan penasaran. Matanya yang teduh menatap putrinya dengan kasih sayang.
Sesaat Rin teringat dengan maksudnya datang menemui ayahandanya. Rin menundukkan pandangannya, merasa tidak nyaman.
"Tidak apa-apa, katakanlah padaku,"
Rin menghela napas sesaat sebelum akhirnya memandang kepada ayahnya.
"Ayahanda, apakah benar bahwa hamba...hendak dinikahkan?" tanya Rin ragu-ragu.
Leon mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya menghela napas. Pria itu belum menjawab. Rin memperhatikan ayahnya dengan sabar, menunggu jawaban dan ekspresi dari pria baya itu.
"Benar," jawabnya tegas.
Rin terdiam sesaat. "Apakah keberadaan hamba begitu berbahaya sehingga ayahanda mengambil keputusan ini?" tanya Rin sambil menundukkan pandangannya.
"Putriku, aku hanya ingin memastikan keselamatanmu saja. Kau tahu aku sangat mencintaimu," jawab Leon lembut sambil membingkai wajah Rin dengan kedua tangannya.
"Hamba mengerti," gumam Rin lirih sambil tersenyum.
Hati Leon terenyuh, perlahan ia menarik Putrinya kedalam sebuah dekapan yang hangat.
"Bagaimanapun, kau tahu bahwa aku selalu bangga memiliki seorang putri seperti dirimu," bisik Leon tepat ditelinga putrinya. Rin hanya terdiam.
"Sayangnya, lingkungan kita tidak mengijinkan. Permaisuri Lola disertai pendukungnya sudah mulai menjalankan rencananya. Saat ini ada banyak nyawa yang harus kulindungi, terutama nyawamu serta nyawa adikmu, Pangeran Dell," Leon kembali melanjutkan.
"Karena itulah, aku ingin engkau berada di pihak yang tepat. Pernikahan ini kuharapkan dapat membawa situasi keluarga kerajaan ke situasi yang tenang," Leon melepaskan pelukannya dan mulai mengelus wajah Putrinya.
"Hamba paham," bisik Rin.
"Tolong lindungi Pangeran Dell dengan segala kemampuanmu. Aku pun juga akan melakukan hal yang sama," bisik Leon tegas.
Rin menatap mata teduh milik ayahnya itu. Baru saat itu disadari oleh Rin betapa lelah ayahnya. Guratan garis pada wajahnya yang tua, tatapan matanya serta helaan napasnya menunjukkan betapa ayahnya selalu berada dalam keadaan waspada. Permaisuri yang diharapkan menjadi pendukung bagi ayahnya ternyata juga ambil peran dalam intrik kekacauan posisi di istana. Sebagai putri ayahnya, Rin hanya mampu mendukung ayahnya sesuai dengan kedudukan dan kemampuan yang gadis itu miliki.
"Jadi...Tuan muda dari keluarga mana yang akan menikah dengan hamba?" gumam Rin pelan.
"Kalau hal itu, aku memutuskan akan menyerahkannya kepadamu," ujar Leon.
Rin menatap ayahnya, tidak mengerti.
"Aku memberikan kebebasan padamu untuk memilih pemuda yang akan menikahimu. Tentu saja aku berharap engkau akan memilih Tuan muda dari keluarga bangsawan yang kuat sehingga ia akan menjadi pendukung dan pelindungmu dari segala macam situasi. Tetapi semua itu terserah padamu,"
Sesaat bayangan Rin berlari ke Tuan muda yang bertabrakan dengannya di pasar. Tetapi sesaat wajahnya tampak kaget kemudian gadis itu langsung menggelengkan kepalanya.
"Ah...sepertinya Putriku sedang membayangkan seseorang?" tanya Leon dengan nada menggoda.
Wajah Rin memerah tetapi gadis itu hanya diam saja. Ia semakin menundukkan pandangannya.
"Wah...wah, apakah aku harus memerintahkan pada para kasim dan tentara istana untuk menjemput pemuda tersebut?"
"Ti-tidak usah ayahanda. Hamba...hamba ingin mencari suami yang tidak hanya dari kalangan bangsawan yang kuat tetapi juga cerdas dan bijaksana,"
"Hmm...lalu, apa pendapatmu?"
Rin memandang ayahnya dan tersenyum dengan lembut.
~000~
"Yang Mulia, apa yang terjadi di dalam sana bersama dengan Yang Mulia Raja?" See U bertanya dengan nada ingin tahu. Wajar saja dayang itu ingin tahu karena Rin berada di ruangan tersebut selama dua jam, sungguh waktu yang lama.
"Nanti akan kuceritakan padamu," Rin tersenyum penuh misteri.
Rin, See U beserta para dayang pengiring berjalan melewati taman istana. Tak sengaja mata Rin menangkap dua sosok anak kecil yang sedang bermain dan berlari kesana kemari. Rin tidak mampu menahan senyumnya, ia segera melangkahkan kakinya untuk menghampiri kedua anak kecil tersebut.
Kedua anak kecil tersebut juga melihat sosok Rin yang sedang berjalan mendekat. Tanpa diperintah, mereka langsung berlari menyambut Rin. Para dayang yang menemani mereka berdua awalnya mengejar kedua anak kecil tersebut. Akan tetapi setelah melihat sosok Rin, mereka segara berhenti berlari dan membungkuk hormat.
"Kakak Rin," teriak mereka berdua sambil memeluk Rin. Rin hanya mampu tertawa menerima pelukan mereka.
"Dell, Haku," Rin memanggil nama mereka dengan lembut.
"Kakak Rin, apa benar kau tadi keluar istana?" tanya Dell bersemangat.
"Apa benar?" ulang Haku dengan mata berbinar.
Rin tidak mampu untuk menahan tawa. Gadis itu mengelus puncak kepala kedua anak kembar tersebut.
"Benar. Tadi aku keluar dari istana kemudian berjalan-jalan di pasar," jawab Rin dengan riang. Kedua anak kembar tersebut tampak kagum, kedua mata mereka berbinar.
"Hua~ curang, aku juga mau keluar istana,"
"Aku juga mau, aku juga mau,"
"Kalau kalian sudah lebih besar, nanti kita akan sama-sama ke pasar. Bagaimana?" Rin tersenyum dengan kepolosan kedua anak kembar tersebut.
Kedua anak kembar tersebut bersorak girang mendengar ajakan Rin. Tanpa Rin tanya, mereka berdua langsung menceritakan pengalaman mereka berdua hari ini.
Rin menghela napas dan memandang kedua anak tersebut. Pangeran Dell dan Putri Haku, anak kembar dari pasangan ayahanda Raja Leon dan Selir Miriam. Mereka baru berumur delapan tahun, sembilan tahun lebih muda daripada Rin, akan tetapi mereka harus ikut terseret dalam perebutan kekuasaan istana.
Rin mengelengkan kepalanya. Selir Miriam adalah Selir yang bijaksana, salah satu sifat yang jarang ada pada istri-istri ayahanda Leon. Beliau awalnya berasal dari dayang pengawas istana yang dinikahi oleh ayahanda, karena itu beliau mengetahui seluk beluk keadaan yang kacau ini. Selain itu, Selir Miriam mempunyai banyak kenalan yang dapat membantunya jika ia mengalami kesulitan. Rin yakin, Selir Miriam pasti akan melindungi kedua anaknya dengan taruhan nyawa sekalipun.
"Oh iya, tadi di pasar aku membelikan kalian hadiah," ujar Rin bersemangat.
Dell dan Haku membelalakkan mata mereka pada kata hadiah.
"Untuk Haku, Daenggi yang cantik," Rin menyodorkan Daenggi yang disimpan di dalam saku hanboknya.
"Terima kasih kakak Rin,"
"Dan untuk Dell, ini adalah buku literatur cina klasik. Aku dengar dari ayahanda bahwa kau suka mencuri baca literatur klasik milik ayah bukan?"
Dell hanya tertawa polos, "Terima kasih kakak Rin,"
Ah, Rin merasa bahagia sekali melihat wajah mereka berdua yang tersenyum. Karena itulah Rin bertekad akan selalu melindungi mereka berdua apapun yang terjadi.
~000~
Seorang pemuda berambut blonde sedang memainkan pedangnya. Tubuhnya bergerak dengan tangkas dan mengeluarkan jurus-jurus tendangan yang ringan tetapi mematikan. Sesekali tangannya mengeluarkan jurus pukulan, seakan-akan melawan musuh yang tak terlihat. Matanya waspada dan wajahnya serius. Peluh mengalir dari dahinya. Setelah mengeluarkan beberapa jurus, tubuhnya kembali tegak. Pemuda itu menghembuskan napas kemudian mengistirahatkan tubuhnya.
"Tuan muda...Tuan muda Len,"
Pemuda berambut blonde yang dipanggil Len itu menoleh. Seorang pelayan pria berlari menghampirinya. Ketika jaraknya sudah dekat, pelayan itu membungkuk memberi hormat.
"Ada apa?" tanya Len disela napas lelahnya.
"Tuan muda, ayah anda ingin bertemu dengan anda,"
Len mengangkat alisnya dan terdiam sejenak.
"Aku mengerti, aku akan segera bertemu dengan ayah," ujarnya kepada pelayan tersebut.
Pelayan itu membungkuk hormat terlebih dahulu sebelum akhirnya pergi dari hadapan Len.
~000~
Len memberi salam hormat kepada ayahnya sebelum akhirnya ia duduk di hadapan ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk dalam diam, tanda menerima salam yang dilakukan oleh Len.
"Ada perlu apa ayah memanggil saya?" tanya Len.
"Aku memanggilmu kemari karena ada hal yang perlu kusampaikan," ujar Kagamine Rinto, ayahanda dari Len.
Len memandangi ayahnya dengan serius, menunggu ucapan ayahnya selesai. Rinto mengambil sebuah gulungan berhiaskan kain yang mewah. Ia memberikan gulungan itu kepada Len. Len menyambut gulungan tersebut kemudian membukanya. Matanya perlahan membaca barisan tulisan yang tertulis pada gulungan kain tersebut. Setelah selesai membaca, ia kembali melipat gulungan tersebut dan menatap wajah ayahnya, tampak tidak mengerti. Len menunggu ayahnya untuk menjelaskan, tetapi tak ada kata apapun yang keluar dari lisan Rinto. Karena itulah Len berinisiatif untuk bertanya langsung.
"Apa ini, ayah?"
Rinto menghembuskan napas sebelum menjelaskan.
"Kau tentu pernah mendengar tentang Putri Yang Mulia Raja, yaitu Yang Mulia Putri Rin,"
Len mengangguk. Siapa di negeri ini yang tidak mengenal Putri Rin? Seorang Putri yang kabarnya gemar menyusup keluar istana dan bermain-main dengan rakyat jelata. Len tersenyum sedikit, ia merasa geli dan takjub denga hobi Tuan Putri Rin tersebut. Ia juga mendengar mengenai kecantikan dan kebijaksanaannya yang diwarisi dari Yang Mulia Raja. Sayang sekali, meskipun Len adalah seorang putra dari bangsawan yang merupakan salah satu menteri kepercayaan sang Raja, pemuda itu juga belum pernah bertemu dengan Putri Rin. Terkadang Len juga kasihan sekaligus kagum dengan Putri tersebut yang bertahan berdiri di tengah-tengah intrik perebutan kekuasaan istana yang menyeramkan.
"Kedudukan Tuan Putri saat ini sudah tidak aman lagi. Yang Mulia Raja memutuskan untuk menikahkan Yang Mulia Putri dengan pemuda bangsawan demi keamanan Tuan Putri," jelas Rinto. Len memandangi ayahnya, sedikit paham dengan situasi yang ada.
"Yang Mulia Tuan Putri mengajukan sebuah syarat, beliau hanya akan menikah dengan pemuda yang berhasil menyelesaikan teka-teki yang Tuan Putri ajukan," lanjut Rinto.
"Yang kuberikan kepadamu adalah gulungan berisi teka-teki yang diberikan oleh Tuan Putri. Beliau memberi waktu tiga hari sejak gulungan itu diberikan kepada para peserta. Jika dalam tiga hari kau berhasil menyelesaikan teka-teki tersebut, maka di hari keempat kau akan bertemu dengan Tuan Putri," jelas Rinto.
Len kembali mengangguk paham. Pemuda itu kembali membuka gulungan teka-teki yang diberikan oleh ayahnya dan mulai membaca kembali.
Bagi rakyat jelata, benda ini terlahir bersama mereka.
Bagi kaum bangsawan, benda ini merupakan pilihan. Mereka menginginkannya atau tidak, semua itu tergantung pada pilihan mereka.
Bagi keluarga kerajaan, benda ini merupakan hal yang mahal. Tak peduli seberapa keras engkau berusaha, benda ini sangat sulit untuk diperoleh.
Benda apakah itu?
Len membaca teka-teki itu dalam diam. Sesekali matanya menelusuri kembali barisan teka-teki yang ada. Ia menutup matanya, berusaha membayangkan apa yang dimaksud dengan teka-teki sang Putri. Sesaat matanya terbuka, wajahnya terlihat menimbang sebelum akhirnya tersenyum puas. Rinto memperhatikan wajah putranya dengan bingung.
"Ada apa? Apakah ada keanehan dari teka-teki tersebut?" tanya Rinto bingung.
"Saya sudah menemukan jawabannya," jawab Len dengan ringan. Rinto membelalakkan matanya, tampak terkejut.
"Apa kau yakin dengan jawaban tersebut?"
"Saya yakin sekali. Teka-teki ini sangat mudah,"
"Ka-kalau begitu, bersipalah untuk menemui Yang Mulia Tuan Putri empat hari lagi...,"
"Ayah, saya mempunyai permohonan," Len menatap ayahnya dengan penuh hormat.
"Apa permohonanmu?" tanya Rinto.
~000~
PLAK!
Rin merasakan pipinya perih, sebentar lagi pasti akan muncul tanda merah.
"Kau...beraninya kau mencoba menggagalkan rencanaku!" geram Lola. Tangannya yang mengepal diletakkan di atas meja. Tubuhnya gemetar, menahan amarah yang besar terhadap putrinya.
"Ibunda...sudah cukup," bisik Rin lirih.
"Diam! Kau tak tahu apa yang kaulakukan! Kau menggagalkan semuanya!" Lola kembali berteriak.
Rin hanya bisa menghela napas, gadis itu menutup matanya. Hatinya terasa sakit sekali. Bukan karena tamparan yang mendarat di pipinya, bukan pula karena gertakan amarah ibunya. Hati Rin sakit sekali karena ibunya berambisi dengan kekuasaan dan berusaha menjadikannya seorang Ratu. Rin mengerti, menjadi Raja memang berarti engkau mempunyai kekuasaan yang luas dan absolut. Tetapi kekuasaan itu diiringi dengan tanggung jawab yang berat. Salah langkah maka seorang Raja dapat menyebabkan negerinya hancur dan banyak nyawa rakyat hilang. Rin tidak mau hidup seperti itu. Hidup dengan menanggung tanggung jawab yang berat dan banyak nyawa yang tergantung padanya. Ia hanya ingin hidup dengan tenang dan bebas bagaikan angin.
"...pergilah kau dari sini!" teriak Lola.
Rin membungkuk hormat lalu keluar dari ruangan tersebut. Di luar paviliun Ratu, See U tampak cemas dan gugup.
"Tuan Putri, pipi anda memerah. Ayo kita segera kembali ke paviliun anda," ujar See U cemas. Rin hanya mengikuti tarikan See U untuk segera kembali ke paviliunnya.
Rin memandang hampa jalan menuju paviliunnya, See U juga tidak mengatakan apapun. Dayang utama Rin itu paham bahwa Rin masih terlalu sedih dan belum ingin berbicara. Di tengah perjalanan Rin berhenti melangkah, matanya memandang ke depan. See U mengikuti arah pandangan Rin dan ikut terhenti. Di depan mereka terdapat iringan Selir Miriam. Selir Miriam menangkap sosok Rin kemudian melangkah mendekati Rin. Ia membungkuk hormat kepada Rin, tanda Selir itu menghormati posisi Rin sebagai putri keturunan Raja.
"Tuan Putri, pipi anda...," Miriam tidak mampu melanjutkan ucapannya.
"Tidak apa-apa," bisik Rin lirih.
Miriam memperhatikan Rin sejenak. "Paviliun hamba tidak jauh dari sini. Tuan Putri, ikutlah dengan hamba," gumam Miriam.
Rin memperhatikan sejenak sebelum akhirnya mengangguk menyetujui.
to be continued...
~000~
Istilah kosa-kata:
[1] Hanbok :Pakaian tradisional rakyat Korea
[2] Daenggi : Pita yang digunakan untuk mengikat dan menghias rambut panjang
[3] Po :Gaun yang dikenakan oleh pejabat bagi laki-laki di Dinasti Joseon
[4] Gat :Jenis topi yang dikenakan oleh para pria di Dinasti Joseon. Dikenakan dengan po (gaun) oleh pejabat saat keluar rumah
[5] Sungkyunkwan :Sekolah bagi para laki-laki keturunan bangsawan. Sekarang sudah jadi Universitas umum di Korea
[6] I Will Write a Poem Too : Puisi kontemporer korea dari abad 20, pengarang puisi ini adalah Yi Unsang (1903-1982)
[7] Sijo :Puisi korea
[8] Sanggung :Wanita istana yang bertugas langsung di bawah anggota keluarga kerajaan dan manajer kepala departemen dimana mereka ditugaskan
[9] Dangui :Pakaian sehari-hari para ratu dan putri
[10] Seuran Chima : Rok panjang dengan pola emas
[11] Baetsi Daenggi :Seperti bando dengan hiasan berbentuk kecil di atas kepala
[12] Cheopji :Konde kecil di kedua sisi rambut
[13] Nain : Dayang istana
[14] Gonryongpo : Jubah besar berwarna merah dengan lambang naga, baju harian untuk raja dan putra mahkota
~000~
Literatur:
1. Wikipedia
2. Ta _(titik)_ Tania _(titik)_ blogspot _(titik)_ com
3. Runaway-Mey _(titik)_ blogspot _(titik)_ com
4. w_w_w _(titik)_ sijopoetry _(titik)_ com
5. Sejong Culutural Society
A/N: Begitulah para reader...ditunggu reviewnya, OK? ^^
