"Err, Vic …"
"Oui?"
"Emangnya … ukuranmu serata apaan?"
JEDUAK!
Thanks to Arthur-lagi, berkat pertanyaannya barusan, kini jidatnya sudah dicium dengan mesra oleh sebuah ensiklopedia psikologi setebal lima sentimeter. Poor Arthur.
.
.
.
Days in Kost
Hetalia : Axis Powers© Hidekaz Himaruya
Beware for Human!AU, /absolute/ abalness, OOCness, bad and /im/mature language, typo, and many more. I'm still labil/?/ at making humor-genred-fanfiction
Picture? Not mine. Thus-it doesn't even related to my fanfiction- /le cries/
The main character/s/ will be different in each chapter
A/N : Italic/s/ are past-or someone's mind
Don't like? Don't read! ; ;
Douzo, ne!
.
.
Chapter one : "Jemuran"
.
.
Awan menyingkir sejauh satu meter lagi—meninggalkan genangan air yang sudah kering karena lupa memakai sunblock dan terbakar matahari. Matahari menampakkan ekspresi kemenangannya dengan shine bright like Doit—maaf, dengan memulai pertengkaran musim panas di World District. Hal ini diperparah dengan mogok kerjanya seluruh pedagang es keliling di World District sehingga distrik itu menjadi semakin panas.
Benar-benar nggak jelas.
Keadaan yang nggak jauh berbeda menimpa mahasiswa penghuni Heta-kost, suatu kos-kosan yang terletak di bagian sudut terang, cemerlang nan berbau asem di World District yang kini sibuk mencari-cari sapu lidi terdekat untuk dijadikan kipas angin.
Iya, kipas angin. Karena memakai makalah dari dosen sudah terlalu mainstream.
Seperti biasa, basecamp mereka tersayang itu tidak pernah jauh dari yang namanya masalah—entah mereka yang mencari-cari masalah atau si masalah yang kegeeran karena merasa didekati mereka. Cie—dan sebagai orang yang bangun paling pagi di musim liburan yang tercinta ini, Alfred F. Jones adalah orang yang akan menjadi pesuruh teman-temannya di pagi itu.
Oke, author sudah overdosis doujin sehingga menjadi seperti ini. Back to story.
Hup!
Huup!
Huuup!
HUP!
"Yaaaaaah, kalo kayak gini susah banget ngambilnya! Oi oi, Arthur, tolong bantu ambilin jemuran diatas dong! Itu alis 'kan tinggi banget, siapa tahu aja bisa sampai diatas!" sergah Alfred dengan segala keberisikkannya karena salah satu tangan tercintanya itu tak kunjung menggapai jemuran yang nyangkut di atas sana—atap rumah yang dengan labilnya tidak mau menyerahkan sepotong jemuran ke arah seorang Alfred.
Cowok berkacamata yang kece itu sendiri takut jatuh karena sedari tadi kerjaannya adalah lompat-lompat nggak jelas di pinggir balkon kamar cewek-cewek yang berbatasan langsung dengan rumah tetangga sebelah—dimana rumah itu punya seekor anjing galak yang siap mengunyah celananya jika ia jatuh.
"Bloody hell. Alis nggak bisa dipakai untuk melompat, kucrut!" Arthur menatap sengit jemuran di atas atap itu. Setebal-tebalnya dan setinggi-tingginya alis seorang Arthur Kirkland, tetap saja tidak bisa dipakai untuk melompat mengambil jemuran yang tergantung tiga puluh meter diatas permukaan tanah. Lagipula, dia kagak mau ngambil jemuran itu karena yang nyangkut disana adalah sepotong bra milik Bella—adiknya Govert yang berjambul kece kayak habis digulung.
Arthur bisa aja dianggap sebagai maling undies jika terlihat sangat ngeles hanya untuk memanjat ke atap dan mengambil bra milik Bella—dan, mau ditaruh dimana harga diri, muka, serta alisnya yang tercinta di hadapan keluarga Kirkland, bro?
"H-huweeee …" Bella mewek semakin keras, "M-masa itu mau dibiarin di atas atap? 'Kan jadi nggak enak kalo diliat tetangga …."
Tatapan ngeles Bella menjelajahi seisi ruang tengah yang cukup besar namun cukup ngenes itu.
"F-feliciano, bantuin gue dong—" tukasnya cepat.
Sementara itu, pemuda ber-ahoge itu hanya mengerdipkan matanya dengan nggak kecenya. "Sori, Bella-chan, aku tidak bisa melakukan aktifitas olahraga, ve~"
"Antonio, Lovi, tolongin …"
Nggak ada respon. Barangkali mereka sudah kabur buat berburu tomat yang lagi sale besar-besaran di pasar sedari tadi—atau mungkin Lovi yang diculik Antonio untuk ikut berburu tomat di pasar.
"Kiku~" ia mengerling ke arah pemuda bermarga Honda itu.
Namun, sayang sekali, dia dikacangin. Kiku sedang mengadakan rapat luar biasa bersama kedua teman sesama fujoshi dan fudanshi-nya.
"Ne, ne, Kiku-kun, ada punya doujin baru, nggak?" Mei mengeluarkan notes berisi daftar pairing-nya itu. "Minggu ini ada festival untuk fujo, lho. Mau kesana?"
"Ada kok, Giri-"
"Aku punya DenSuuuuuuuu~" Eliza langsung nyerocos dengan riangnya. "Oh, oh, mau yang PolLith juga? Aku punya banyak! Fluff lho! By the way, festival? Gue ikut."
Kiku menghela nafasnya, pasrah lalu menyerahkan setumpuk besar doujin ke hadapan kedua gadis fujoshi itu. "Iya. Aku ikut juga, kalau begitu."
"Yeaaaaaaay~"
Dan rapat mereka terus berlanjut.
Back to Bella, ia speechless karena sedari tadi cengo memperhatikan diskusi sengit orang-orang di dekatnya ini. "Ah, y-yaudah …" Bella-pun ngibrit sejauh-jauhnya.
Bella memandang galau seisi ruang keluarga itu. Ada Francis, Kiku-dan-kawan-kawan, bang Govert, Feliciano, Gilbert, dan Ludwig. Sepertinya, Ivan dan Yao tidak sedang berada di ruang tengah karena sibuk kejar-kejaran di halaman belakang dengan soundtrack film India yang dibeli Arthur diam-diam dan dicuri oleh Ivan dengan segala kenekatannya.
Gadis itu menepuk jidatnya, frustasi. Nggak mungkin juga dia minta tolong ke Francis. Adanya dia dikira fangirl yang ngebet dikasih fanservice. Kalo minta tolong abang Govert, ogah—soalnya Govert sendiri lagi melakukan seni menata tulip rainbow dengan segala penghayatannya dan itu nggak bisa diganggu gugat. Feliciano? Coret duluan. Gilbert? Bakalan bernasib sama kayak minta tolong ke Francis.
Head to the wall. Headwall.
"Lud .." panggilnya kepada Ludwig—pilihan terakhirnya yang lagi membaca majalah gosip di salah satu sofa. Gaada sahutan.
"Ludwig .." panggilnya sekali lagi. Entah karena terlalu menghayati isi majalah, telinganya perlu dibawa ke dokter THT, atau ia yang memakai headset invisible buatan Matthew yang khusus untuk orang-orang invisible, nggak ada sahutan lagi.
Bella menepuk jidatnya dengan frustasi sekali lagi.
"Ludwig," panggil Bella, setengah berteriak. "Elo cowok, 'kan?"
Dan akhirnya, Ludwig tersedak dengan tidak awesome-nya setelah mendengar pertanyaan itu. Ia langsung menjawab seadanya.
"Nein, gue cewek." Tampang you-don't-say itu sejenak bertengger di wajahnya. "Mein Gott. Demi bruder yang mendadak tobat, tentu saja gue cowok. Mau bukti? Ngeri lho, mbak."
Bella facepalm.
"Nyaa, Ludwig yang kece, baik hati, dan suka menabung, bantuin ngambil itu di atas atap dong. Pweaaaaaase ..." Kali ini, nada memohon Bella sedikit dipaksakan. Dia sudah lelah.
"Ja, ja." Ludwig menghela nafas seberat-beratnya, beranjak dari tempatnya duduk, lalu naik ke lantai tiga buat manjat ke atap dan mengambil bra milik Bella—iyalah, masa' mau bikin bakmi di atas atap? Coret ide itu, bung.
Ludwig memanjat atap kos-kosan itu. Sungguh adegan yang seharusnya tidak dipublikasikan secara eksplisit-namun entah kenapa, Feliciano, Gilbert, dan Francis menonton usaha Ludwig yang sedang mengambil bra di atas sana seakan-akan itu adalah film telenovela kece yang musti ditonton minggu ini. Oh, Antonioooooo--lupakan. Balik ke cerita.
Set.
Yak, dan tangan Ludwig yang kekar berhasil meraih mangkok berbahan kain yang berkibar itu, namun salah satu pengaitnya nyangkut di salah satu paku dan terlibat kisah kasih di atas atap, meninggalkan Ludwig yang menjadi forever alone di depan mereka. Kesal karena susah banget-sebanget-bangetnya dalam mengambil bra itu, akhirnya dengan segala kepasrahan seorang Ludwig-yang keceh dan sekseh, ia memutuskan untuk menarik paksa bra putih itu hingga—
BRET.
—robek.
.
.
.
"Das." Tangannya menyodorkan bra yang sudah nggak bernyawa-atau nggak berbentuk lagi itu pada Bella yang kini di wajah moe-nya sudah terpampang wajah seorang korban PHP.
" … Kalo kayak gini, bilang aja dari awal. K-kenapa musti kayak gini? H-HUWAAAA!" Bella histeris, melihat benda kesayangannya sudah rusak. Semua menggeleng sembari menatap Ludwig dengan tatapan 'ini-anak-orang-bro' sementara Govert membalikkan meja di hadapannya dengan frustasi melihat vas bunga yang baru saja dibelinya dari Yao pecah karena teriakan adiknya yang mencapai tiga oktaf sepuluh detik yang lalu.
"Apaan sih? Tadi nggak mau bantu. Sekarang malah nyalahin gue 'kan," gerutunya sambil melengos pergi ke kamarnya lalu mengunci pintu itu dari dalam—dengan bra yang masih ada di genggamannya.
Entah apa yang dilakukan oleh seorang Ludwig bersama bra robek di kamarnya.
Setengah jam dari kejadian itu, Ludwig keluar dari kamarnya, naik ke lantai tiga, mengetuk pintu kamar para cewek-dan ternyata, seorang Victorique Sesel—pacar Arthur yang membuka pintunya.
"Hola, Lud~" sapanya, ramah. Tanpa basa-basi sebasi nasi basi, Ludwig langsung menarik tangan—beserta ikan marlin gadis berkulit tan itu dan menculiknya ke dalam kamar Ludwig sendiri. Ia nggak peduli dengan ancaman Arthur yang terus berkoar-koar menebar ancaman pelemparan scone korosif penemuan terbarunya yang akan dilemparkan ke arah kamar Ludwig untuk melelehkan pintunya.
"Bloody git! Loe apain pacar gue? Get outta there, Ludwig!" racau Arthur dengan nggak elasnya.
"Hahaha- gitu toh …"
Eh? Mereka ngapain? Ada apaan sih, sampe segitunya?
.
.
.
Cklek!
Akhirnya, setelah satu jam berlalu, pintu berwarna coklat-dengan garis-garis berwarna pink hasil karya Gilbert yang mabuk itu terbuka, mengeluarkan cewek tercinta Arthur dengan senyum sumringah di wajahnya.
"Bonne chance, Lud!"
Lalu, keluarlah Ludwig dari kamar itu yang kemudian memandang Arthur-dengan sepiring scone pencabut nyawa di tangannya dengan tatapan aneh.
" … Elo keliatan aneh deh," kata Ludwig dengan wajah tanpa dosa.
"BLOODY HELL!?"
Set.
Prang.
Nyess.
Tepat sebelum Arthur akan melakukan lempar piring, Vic menepis tangan itu dan mengakibatkan piringnya pecah, scone-nya berserakan, dan akhirnya melelehkan ubin yang terkena ciuman mesra dari scone buatannya. Ludwig sendiri sudah ngacir ke atas sebelum Arthur menghujaninya dengan scone susulan.
"Udah dong. Ini soal minta maaf sama si Bella." Vic menghela nafasnya lelah.
Sementara itu, Arthur hanya menampakkan ekspresi alis-salto andalannya.
"So, gue musti bilang wow, gitu?"
.
.
.
Sesampainya Ludwig di kamar cewek-tepatnya kamar Bella, dia buru-buru menyembunyikan bra itu di balik punggungnya-supaya terkesan dramatis-lalu mengetuk pintu itu satu kali.
"Bella, ini gue, Ludwig."
Pintu itu memang terbuka, namun menampakkan Natalya dengan pisau di tangan dan tampang 'njir-gue-baru-bangun-bego' di mukanya.
"Apa lo?"
Ngacangin Natalya, Ludwig langsung menuju Bella yang lagi nangis di pangkuan Eliza.
"… Ludwig ... Ludwig jahat amat sih sama gue, Liz …"
"Bel …" panggil Ludwig.
"Itu baru gue beli lho, Liz …"
"Bella …" panggilnya lagi.
"Gue mau balik ke Brussels aja. Ke toko wafel gue. Cowok disini pada nggak greget semua! Huaaaaa …."
"Bella van Cordelya. Jangan. Ngacangin. Gue." Sejenak, perintah-atau ancaman yang cetar membahana itu menghentikan kegiatan menangis-tersedu-sedu Bella.
Bella menengok ke arah Ludwig. Kosong—iyalah, dia belon makan siang, lalu ke tangannya. Ada bra miliknya di situ.
"Das. Pake." Ludwig menyerahkan bra itu ke tangan Bella.
Tangisan Bella pecah seketika. Baek banget si Ludwig sampe mau ngejaitin bra-nya yang rusak. Namun, begitu mau dipake—
"Wait, what-" Bella menjerit frustasi, "Kok jadi kekecilan? Sama aja boong, mpret! Ujung-ujungnya juga gabisa dipake lagi! HUWAAAAA!" Dilemparnya bra yang malang itu ke lantai lalu kembali menangis tersedu-sedu.
Padahal udah gue bantuin …
Ludwig balik ke kamarnya lagi, ngambek, dengan mulutnya yang maju sejauh lima sentimeter. Kasian kau, nak.
"Vic, gue nyesel minta tolong sama elo."
"Q-quoi?" Vic syok dengan elitnya.
"Ternyata ukuran elo itu BEDA jauh sama Bella. Di dia kekecilan." Ludwig nemplokin jidatnya sendiri, frustasi. "Makanya, sebelum bantu geginian, gedein dulu itu tet—"
BLAK!
Belon selesai dia ngomong, sebuah buku fakultas kedokteran yang tebalnya dua sentimeter sudah menghantam jidat seksehnya. Thanks to Arthur, sekarang mereka berdua saling bertatapan seakan-akan mata mereka saling mengatakan, 'maksud-elo-apaan'.
"Git, elo ngomong apa tadi?" tanya Arthur, sarkastik.
"Au ah, rainbow! Bete gue!"
BLAM!
Dan pintu kamar Ludwig dibanting dengan halusnya, menyisakan Vic dan Arthur yang kini melongo dalam keheningan.
"Err, Vic …"
"Oui?"
"Emangnya … ukuranmu serata apaan?"
JEDUAK!
Thanks to Arthur-lagi, berkat pertanyaannya barusan, kini jidatnya sudah dicium dengan mesra oleh sebuah ensiklopedia psikologi setebal lima sentimeter. Poor Arthur.
.
.
End of Chapter One : "Jemuran"
.
.
Author's absurd note :
/flips laptop tercinta dengan depresinya/ MEIN GOTT- Maafkan hamba-Mu yang /nggak/ ketjeh ini karena membuat /fan/fict disaat lagi sakau kekurangan stok puding, aaaa- /jerit-jerit frustasi/
Abaikan. Plis. /pasang kacamata/
::SFx : Traktakdungcess:: /ga
Pertama-tama, aku ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada anak-anak alumni #HetaKost, event yang gue bikin beberapa minggu yang lalu bersama kak FemPreussen_ -sekarang iMikasaAckerman yang kece badai. Anak #HetaKost, kalian luar biasa, bre. Danke. /pose anak kost/
Aku cuma mengontrak ide stuck-of-daily-life-nya, kakak- ; A ;)
Buat kak Anm_Seychelles, aku pinjem human name-nya Seychelles, ja … Q v Q
Kedua, maaf apabila terasa garing dan EYD masih keceplosan, bro. Belum terbiasa buat nulis fanfict parody sih- /sujud/ dan tolong-jangan-bantai-Rinnie-karena-menyengsarakan- Ludwig, da?/kedip kedip frustasi/ /ditabokDoitsu
Next chapter : Random. /?
Sí, thanks for reading, da~ Mind to give this /un/awesome Rin the pudding of love a.k.a. review?
Danke Schön. Aufwidersehen~ _(:'3
Rinnie.
