Brak.
Jaejoong terkesiap mendengar suara nampan beradu dengan meja. Dia mengalihkan perhatiannya dari objek yang sedari tadi mengunci matanya lalu menatap dua yeoja yang kini sudah menyamankan diri di kursi.
"Berhenti memandangnya seperti itu, Jae." Kim Heechul, yeoja berambut hitam panjang dan berwajah cantik namun judes berujar sambil mengaduk-aduk piring berisi saladnya.
Jaejoong mendesah. "I can't help it."
Kim Junsu, yeoja berwajah imut dengan mata sipit dan tubuh montok mengarahkan pandangannya ke meja yang berada di pojok kantin. Meja yang terlihat paling menonjol dengan sekumpulan namja populer beserta yeoja yang masing-masing bergelayut manja di lengan mereka.
Junsu mendecih. "Siapa lagi yang sedang bersamanya itu?"
"Suzy, hoobae kita di kelas 1," jawab Jaejoong lemah.
"Ah, dia? Aku pernah berbincang dengannya sekali. Kudengar dia memang terkenal di kalangan senior. Tapi tak kusangka dia berkumpul bersama mereka, kupikir dia anak manis," sahut Heechul santai.
"Wajahnya membuatku muak," timpal Junsu dengan ekspresi mau muntah. Dengan rakus, dia mulai memasukkan suapan besar jajangmyun ke dalam mulutnya dan mengunyahnya tak sabar. "Tak usah hiraukan player brengsek itu, Jae. Kau cantik dan populer, banyak namja yang mengantri ingin jadi pacarmu. Cobalah terima salah satu dari mereka."
"Junsu benar. Tidakkah kau lelah terus menyukainya dan tersakiti seperti ini? Kau harus move on, Jae. Yunho bukanlah satu-satunya pria di dunia ini."
Jaejoong menghela nafas. Doe eyes-nya memandang sendu namja tampan berambut brunette yang kini tengah berbagi ciuman panas dengan seorang yeoja di pangkuannya.
'Seandainya aku bisa, Chullie...'
Like A Star
Author : Grace Jung a.k.a Jung Eun Hye
Main Cast : Kim Jaejoong, Jung Yunho
Support Cast : Kim Junsu, Kim Heechul, Park Yoochun, etc.
Genre : Romance, Hurt, School Life
Warning : Genderswitch! for uke, cerita pasaran
DON'T LIKE? DON'T READ THEN!
LIKE? ENJOY READING ^^
.
.
CHAPTER 1
.
.
Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore ketika rapat OSIS berakhir. Jaejoong, selaku orang terakhir yang keluar ruangan, menutup pintu besar berwarna cokelat tua itu dan menguncinya.
Dia menghembuskan nafas panjang seraya memijat-mijat bahu kirinya dan meregangkan otot-otot lehernya. Tubuhnya sangat lelah dan bayangan berendam di air panas yang nyaman benar-benar menggodanya hingga ia ingin cepat-cepat sampai di rumah.
Jaejoong menyusuri koridor dengan langkah cepat. Tujuannya sekarang adalah lapangan basket, baru setelah itu ia akan menitipkan kunci ruang OSIS di pos satpam dan pulang.
Dia baru saja akan berbelok dan menuruni tangga saat tiba-tiba sesosok namja muncul dari belokkan dan menghadang jalannya. Jaejoong terkesiap. Hampir saja mereka bertabrakkan jika saja ia maupun namja itu tak cepat-cepat mengerem langkah mereka.
Jaejoong mendongak. Nafasnya serasa tercekat di tenggorokkan ketika ia mendapati wajah tampan dengan mata sipit setajam musang berada dekat di atasnya. Mereka saling bertatapan dan Jaejoong dapat merasakan dadanya yang berdebar kencang seperti biasa. Dengan cepat dia memutus kontak mata mereka lalu memukul bahu namja itu keras.
"Ya! Kau mengagetkanku!"
Jung Yunho terkekeh sebelum kemudian mengalungkan lengannya ke leher Jaejoong dan mengendus surai cokelat almond panjangnya. "Sudah selesai, Ketua?"
Suara berat Yunho yang seksi dan begitu dekat dengan telinganya membuat perut Jaejoong terasa tergelitik. Dia menggenggam tangan Yunho yang menggantung di bahunya lalu berdua mereka mulai berjalan menuruni tangga.
"Berhenti memanggilku seperti itu!" protes Jaejoong mem-pout-kan bibirnya. Yunho memang selalu menggodanya dengan memanggilnya ketua semenjak dia dinobatkan menjadi ketua OSIS dua bulan lalu.
Cup.
Mata Jaejoong membulat dan wajahnya memanas saat bibir hati itu dengan lancang mengecup bibir cherry-nya.
"Dan berhenti membuat pout seperti itu! Bukankah sudah kubilang kalau aku akan menciummu setiap kau melakukannya? Atau kau memang sengaja ingin kucium, eoh?" Yunho menaik-naikkan sebelah alisnya, yang dibalas Jaejoong dengan satu cubitan keras di pinggangnya.
"Ya!"
"Aish," Jaejoong hanya bisa menggerutu sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Kebiasaan Yunho yang senang mengecup bibirnya sudah berlangsung lama, namun sejak Jaejoong menyadari perasaannya terhadap namja itu, semuanya berubah dan terasa berbeda. Kecupan yang dulu ia terima dengan senang hati atas dasar persahabatan, kini telah menimbulkan getar-getar lain di hatinya.
Ia tak bisa lagi memandang kontak fisik yang intim itu sebagai bentuk kasih sayang seorang sahabat. Ia mengharapkan lebih. Betapa ia sangat serakah, huh?
"Latihanmu selesai setengah jam lebih cepat. Bukankah sebentar lagi tim kalian akan bermain di babak semi final?"
Setelah menitipkan kunci ruang OSIS pada satpam sekolah, mereka berjalan berangkulan menuju halte bus –satu-satunya kendaraan alternatif mereka mengingat pihak sekolah tak mengizinkan siswa membawa kendaraan pribadi.
"Pelatih Lee ada urusan. Kurasa ia meninggalkan istrinya yang sedang sakit, wajahnya terus gelisah saat ia melatih kami."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Jaejoong, menatap Yunho dengan alis terangkat.
"Eoh?" Yunho mengerjap lalu memalingkan wajahnya. Dia tampak gugup. "Entahlah, perasaanku mengatakan demikian. Insting seorang pria, mungkin?"
"Hmm," gumam Jaejoong, memutuskan untuk tidak peduli. Kedua matanya lalu berbinar cerah saat mereka melewati sebuah minimarket. "Yun, bagaimana kalau kita beli cokelat dulu? Persediaan cokelatku sudah habis," rajuknya.
Yunho tersenyum seraya mengacak-acak rambut Jaejoong gemas. "Sure, my princess."
.
..GJ..
.
Jung Yunho dan Kim Jaejoong. Murid Paran High School mana yang tak mengenal dua sosok populer itu? Jung Yunho sang kapten tim basket yang tampan serta Kim Jaejoong sang ketua OSIS yang cantik dan ramah. Pasangan yang sungguh sempurna, bukan begitu? Seandainya mereka benar-benar sepasang kekasih.
Namun bukan, mereka tak terlibat hubungan romantis macam itu. Meski banyak yang salah mengartikan kedekatan mereka, mereka hanyalah sepasang sahabat.
Yah, sahabat.
Satu fakta yang akhir-akhir ini sangat mengganggu Jaejoong dan membuatnya frustasi.
"Arghh, damn it! Kenapa susah sekali!"
Jaejoong membanting bolpoinnya ke lantai dengan sepenuh hati dan perasaannya. Sudah dua jam sejak ia mulai mengerjakan pekerjaan rumahnya dan sampai sekarang ia hanya mampu menyelesaikan lima dari sepuluh soal. Tak salah jika ia mengklaim Matematika sebagai pelajaran paling menyebalkan.
Jaejoong menutup buku tulisnya kesal. Mood-nya menghilang. "Lebih baik aku tidur," gumamnya. Dengan langkah terseret dia beranjak menuju kloset dan mengambil piyama Hello Kitty kesayangannya.
Tuk.
Jaejoong baru saja selesai berganti pakaian dan menghempaskan diri ke kasurnya yang empuk dan lembut saat tiba-tiba suara benda yang bergesekkan dengan permukaan kaca terdengar. Dengan enggan dia mengangkat wajahnya dari bantal. "Mwoya?" gerutunya.
Dia turun dari ranjang dan berjalan menghampiri pintu geser menuju balkon yang terbuat dari kaca. Dia membuka pintu lalu berjongkok mengambil sebuah benda yang menyerupai bola di lantai. Sebuah bola pingpong. Dahi Jaejoong mengernyit ketika menyadari ada kertas berisi tulisan yang menempel pada bola itu.
'CD dan bra merahmu sungguh seksi. Kau ingin menggodaku, eoh?
Ps: dadamu ternyata besar ya ;p'
Wajah Jaejoong memerah bak kepiting rebus. Dia berdiri dan memandang sang pelaku pelemparan yang kini tengah tersenyum mesum di balkon rumah seberang. Shit!
Jaejoong segera menutup pintu dan menarik tirai hingga menghalangi pandangannya ke luar. Dia lalu melempar tubuhnya ke kasur dan membungkus diri dengan selimut. Ini sangat memalukan!
Astaga, kenapa dia lupa menutup gorden? Koreksi, dia bukannya lupa, tapi sengaja agar cahaya bulan purnama yang terang bisa masuk.
Dia lupa jika ada makhluk bernama Jung Yunho di seberang sana.
Jaejoong membuka selimutnya hingga sebatas leher. Pandangan matanya melayang pada sebuah figura yang berdiri manis di atas meja nakas. Figura berisi fotonya bersama Yunho musim panas 3 tahun lalu di pulau Jeju. Tanpa sadar Jaejoong tersenyum.
Dia dan Yunho adalah tetangga, karena itulah mereka bisa bersahabat seperti sekarang. Yunho dan keluarganya pindah ke kompleks perumahan ini sekitar 12 tahun lalu, saat dia masih berusia 5 tahun.
Awalnya Jaejoong senang akan mendapat teman bermain baru yang sebaya dengannya, namun pikiran itu lenyap saat mendapati tingkah Yunho yang ternyata menyebalkan dan nakal. Namja itu suka membuatnya menangis dan mereka selalu berakhir dengan menjambak rambut satu sama lain.
Jaejoong terkikik geli mengingat itu.
Entah sejak kapan mereka menjadi akur, dia pun lupa. Mereka tak lagi bertengkar dan sebagai gantinya mereka akan selalu menghabiskan waktu bersama. Dari saat sarapan, berangkat hingga pulang sekolah, bermain di luar, bahkan tak jarang Yunho akan menginap di rumahnya, begitu pun sebaliknya. Namja itu pula lah yang selalu menjadi tameng terdepannya ketika dia diganggu oleh sekumpulan anak nakal.
Mereka benar-benar menjadi sangat lengket bak amplop dan perangko, hingga orang-orang di sekitar mereka mengatakan 'di mana ada Jaejoong pasti ada Yunho'. Tak ada yang tak mengenal mereka, karena mereka berdua terlihat begitu menonjol. Hal ini pun berlanjut sampai mereka Lulus Sekolah Dasar dan melanjutkan tingkat SMP dan SMA di sekolah yang sama.
Tuk.
Eoh? Jaejoong bangun dan mendudukan diri. Masih dengan selimut yang membalut tubuhnya, ia beranjak dari ranjang menuju balkon. Dapat ia lihat Yunho yang masih setia dengan senyum miringnya di seberang sana. Jaejoong mengerucutkan bibirnya sebelum membungkuk dan meraih bola pingpong di bawah.
'Kemarilah. Akan kubuatkan cokelat panas ^0^'
Seulas senyum manis terbentuk oleh sudut bibir Jaejoong. Dia memberi tanda 'Ok' dengan dua jari tangannya sebelum masuk kembali ke dalam kamar dan mengambil boneka gajah berwarna biru kesayangannya. Setelah itu ia berlari keluar menuruni tangga menuju lantai dasar.
"Kau mau ke mana, sayang?"
Suara lembut sang ibu menghentikan langkah Jaejoong. Dia menoleh dan mendapati kedua orangtuanya tengah duduk di depan televisi sambil menikmati secangkir teh. Jaejoong hanya menunjukkan cengirannya.
"Aku akan tidur di tempat Yunho, eomma."
Setelah memberikan kecupan kilat di pipi ibu dan ayahnya, Jaejoong bergegas pergi. Tak menyadari tatapan sendu yang orangtuanya lempar ke punggung mungilnya yang menghilang di balik pintu.
.
.
"Kyunghee?" Jaejoong memutar kepalanya dengan cepat, menatap Yunho seakan dia adalah alien yang terdampar. "Kau bercanda, ya?"
Yunho mengeratkan rangkulannya pada bahu Jaejoong dan menyandarkan dagunya pada kepala yeoja yang tengah bersandar di dadanya itu. Dia memejamkan mata, mencium wangi strawberry yang menguar lembut dari surai almond di bawahnya. Wangi favoritnya.
"Ani. Nama itu terlintas begitu saja di otakku saat Kang saengnim menanyaiku tadi. Bukankah itu universitas bagus?"
"Tentu saja bagus," sahut Jaejoong, terdengar gemas. "Tapi tidak, Yun, aku tidak bisa. Aku tidak sepintar dirimu kalau kau lupa."
"Aku tidak lupa, Boo," balas Yunho tak kalah gemas. "Maka dari itu aku akan menjadi tutormu mulai sekarang."
"Mwo?" Jaejoong segera menegakkan tubuhnya. Dia menggeleng keras. "Andweee! Aku sudah cukup sibuk sekarang, Yun."
"Arraseo. Ucapkan selamat tinggal padaku dua tahun lagi kalau begitu."
"Yuunnn...!"
Yunho tertawa lalu mengacak rambut Jaejoong kasar. "Tidurlah. Kau tidak mengantuk?"
Jaejoong yang semula mendengus sambil merapikan rambutnya yang berantakan kembali menyandarkan kepalanya pada dada Yunho, sementara kedua tangannya mendekap erat Changmin, boneka gajah pemberian Yunho saat ulang tahunnya yang ke-10.
"Aku ngantuk~"
"Tidurlah." Yunho memeluk Jaejoong dengan satu lengannya, sedangkan tangan yang lain ia gunakan untuk mengusap-usap kepala yeoja itu. Kebiasaan yang selalu ia lakukan sejak dulu sampai sekarang. Terlalu intim memang untuk remaja berlainan jenis yang tidak mempunyai hubungan khusus apa pun seperti mereka. Namun Yunho tak peduli, yang ia tahu ia nyaman melakukannya dengan Jaejoong.
Setelah memastikan Jaejoong tertidur, Yunho dengan hati-hati memindahkan kepala yeoja itu ke atas bantal dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Dia turun dari ranjang, mematikan televisi yang menyala lalu mengambil dua mug kotor bekas cokelat panas untuk ia cuci.
Di dapur, dia berpapasan dengan ibunya.
"Jaejoong sudah tidur?" tanya wanita berusia kepala empat yang masih terlihat cantik itu. Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan ayahnya saat ia melewati ruang tengah.
"Sudah, eomma," jawabnya singkat. Dia berjalan menuju bak cuci piring, diikuti sang ibu yang mengekorinya.
"Dia sudah sembuh? Tidak perlu selimut tambahan? Pakaian hangat?"
"Tidak."
"Benarkah? Hhh, pergantian musim seperti ini selalu membuat tubuh Joongie lemah. Jangan lupa untuk menutup pintu balkon. Matikan AC, dan blablabla..."
Ibunya mulai berceloteh, membuat Yunho menggerutu dalam hati. 'Dasar cerewet,' batinnya. Kedua orangtuanya sudah menganggap Jaejoong sebagai bagian dari keluarga mereka, wajar jika mereka begitu memperhatikannya. Apa lagi gadis cantik itu memang baru sembuh dari demamnya beberapa hari lalu.
Tapi –well, ini Jaejoong yang mereka bicarakan. Dialah yang paling mengenal dan memperhatikan yeoja itu. Tak mungkin ia membiarkannya sakit. Mengingat saat-saat tubuh mungil itu terbaring tak berdaya di tempat tidur sungguh membuat hatinya tak tenang, karena ia tidak dapat berkonsentrasi pada apa pun, bahkan latihan basketnya.
Karena itulah saat melihat wajah pelatih Lee yang gelisah tadi sore, ia jadi teringat dirinya sendiri.
Lucu, bukan? Bagaimana bisa ia membandingkan Jaejoong dengan istri pelatihnya?
'Ck, dia hanya sahabatmu, Yun!' Yunho berkali-kali merapalkan kalimat itu dalam hati sambil menggelengkan kepalanya.
.
.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Jung Il Woo mengalihkan pandangannya dari berita malam di televisi dan menatap istrinya penasaran.
Shin Min Ah mengeratkan selimut putih tebal dalam dekapannya dan melanjutkan langkahnya menaiki tangga. "Membawa selimut tambahan untuk Jaejoongie. Anak itu baru saja sembuh, aku takut dia kedinginan dan sakit lagi."
"Mereka berdua sudah tidur?" tanya Il Woo lagi. Dia berdiri dan mengikuti Min Ah menuju kamar anak mereka satu-satunya di lantai dua.
"Hmm," Min Ah menggumam pendek. Dia membuka pintu yang ternyata tak terkunci lalu menyalakan lampu untuk menerangi kamar yang gelap gulita itu –hanya cahaya bulan yang mengintip dari pintu kaca balkon.
Pemandangan yang mereka dapati selanjutnya membuat mereka menahan nafas saat melihat sepasang sahabat itu terlelap damai dengan Yunho yang memeluk Jaejoong erat. Min Ah dan Il Woo berjalan mendekat.
"Apa menurutmu mereka tidak melewati batas?" Min Ah melapisi selimut yang menutupi tubuh kedua remaja itu dengan selimut yang dibawanya. Il Woo yang berdiri di sebelahnya merangkul bahunya.
"Entahlah."
"Mereka sangat serasi. Apa kelak mereka akan selalu bersama seperti ini?"
"Tentu." Il Woo tersenyum memandang putranya. "Aku yakin itu."
.
..GJ..
.
"Yunho oppa..!"
"Kyaaaa~ oppa kau keren sekali!"
"Oppa, aku mencintaimu!"
"Oppa~!"
"Oh, god! Bagaimana bisa kau bisa se-sexy itu?!"
"Hyaa~ aku ingin pingsan~"
Heechul melemparkan tatapan iritasinya pada segerombolan yeoja yang berteriak-teriak histeris di deretan bangku tak jauh darinya. "Tidak bisakah mereka memasang papan peringatan bertuliskan 'yang tak berkepentingan dilarang masuk'? Ingin rasanya kusumpal mulut jalang-jalang itu dengan kaos kaki busuk."
Jaejoong terkekeh melihat ekspresi wajah Heechul yang masam. "Kalau begitu kita juga tidak akan bisa masuk, Chullie~"
"Oh, tentu saja bisa. Dengan izin spesial kaptenmu tercinta," ucap Heechul dengan nada suara yang dibuat-buat, membuat Junsu yang tengah bermain game di ponselnya terbahak. Jaejoong menggembungkan pipinya.
Saat ini ia beserta kedua sahabat cantiknya tengah berada di lapangan basket indoor sekolah mereka. Hari ini sekolah pulang lebih cepat dan Jaejoong diminta Yunho untuk menemani latihannya sekaligus membawakan bekal makan siangnya. Jadilah dia menyeret Junsu dan Heechul bersamanya.
"Astaga, jeritan mereka membuat kepalaku pusing. Aku ke toilet dulu."
Junsu melesat pergi, meninggalkan Jaejoong dan Heechul berdua. Mereka pun memutuskan untuk pindah tempat duduk ke deretan bangku di seberang, mencegah telinga mereka rusak jika duduk di sana lebih lama lagi.
"Kau benar-benar menyukainya, ya?"
"Eh?" Jaejoong mengalihkan pandangannya dari depan dan menatap Heechul bingung. Heechul mengacak rambutnya gemas, membuat Jaejoong mencebilkan bibir sebal. Kenapa orang suka sekali mengacak rambutnya, eoh?
"Yunho. Caramu menatapnya seolah-olah hanya ada dia seorang di dunia ini, sedang yang lainnya tak terlihat."
Jaejoong mengerjap sebelum kemudian rona tipis muncul menghiasi pipi putihnya. Dia menundukkan wajah malu. Begitukah?
Heechul tersenyum kecil lalu memandang lurus ke depan.
"Aku baru berteman denganmu dan Junsu saat kita masuk SMA, jadi aku kurang begitu paham dengan hubunganmu bersama Yunho. Tapi apa pun itu, kurasa semua yang kami coba katakan tentang 'berhenti mencintai namja itu' atau 'bukalah hatimu untuk yang lain' adalah sia-sia, karena kau tak akan pernah bisa berpaling darinya, benarkan?"
Jaejoong mendongak dan mengangguk samar. Dia lalu mengikuti arah pandang Heechul ke lapangan, di mana para pemain tim basket inti tengah berlatih tanding bersama anggota club yang lain. Matanya terpaku pada sosok jangkung dengan kulit tan-nya yang basah oleh keringat yang kini sedang memberi arahan pada anggota tim. Dia tersenyum getir.
"Apa yang bisa kuharapkan? Aku sudah bersamanya sejak kecil. Dari saat kami masih suka bertengkar hingga aku menjadi lengket padanya, mengikutinya ke manapun dia pergi. Hanya dia satu-satunya namja yang dekat denganku dan selalu menjagaku. Bodoh jika aku tak jatuh hati padanya."
Jaejoong mengeluarkan kotak bekal dan botol minuman dari tasnya saat peluit tanda latihan selesai berbunyi. Dia melambai riang ketika Yunho tersenyum ke arahnya. Tampan. Namun tangannya langsung lemas saat tiba-tiba seorang yeoja menubruk Yunho, menggandeng lengan namja itu posesif.
"Yah! That bitch. Apa yang dia pikir sedang dilakukannya?" seru Heechul kesal.
Jaejoong memperhatikan dalam diam Yunho yang berusaha melepas tangan yeoja itu. Mereka terlibat pembicaraan singkat sebelum yeoja yang ia ketahui bernama Tiffany itu menghentak-hentakkan kakinya dan pergi dengan wajah tertekuk.
"Benar-benar seperti nenek lampir, ne?"
Jaejoong terkesiap kaget saat sebuah deru nafas disertai bisikkan menggelitik telinganya. Dia menoleh. Park Yoochun berdiri di sebelahnya dengan senyum lebar. Sebuah handuk menutupi kepala namja itu.
"Yoochun!"
"Hai, Jae, Chul! Aku tak melihat baby su-ieku yang imut dan sexy. Di mana dia?"
"Toilet," jawab Heechul singkat, menatap Yoochun seakan dia adalah debu yang harus dibersihkan. Pasalnya namja itu memang namja kurang ajar yang suka sekali mengerjai dan menggoda Junsu.
"Toilet?" ulang Yoochun mengernyit, lalu tersenyum aneh. "Bagus. Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa!"
"Kau yakin Junsu akan baik-baik saja?" tanya Jaejoong khawatir ketika melihat tubuh Yoochun menghilang di balik pintu.
"Mungkin," jawab Heechul terdengar sangsi.
Tak berselang lama, Yunho muncul dengan sebuah handuk kecil yang melingkari lehernya. Dia tersenyum sebelum kemudian mencium kening Jaejoong dan mendudukkan diri di sebelahnya, mengabaikan sekumpulan yeoja di seberang yang kini sudah menjerit-jerit tak terima. Jaejoong merona sementara Heechul berdehem pelan.
"Kurasa aku perlu menyusul Junsu. Sampai nanti."
Jaejoong hanya mengangguk pelan saat Heechul menepuk bahunya dan pergi, meninggalkannya berdua bersama Yunho.
"Apa yang kau masak hari ini, Ketua?" tanya Yunho seraya meraih botol minuman di pangkuan Jaejoong dan meneguknya rakus hingga air keluar dan mengaliri dagu serta lehernya. Jaejoong menghela nafas lalu meraih handuk di leher Yunho, mengusap jejak-jejak air itu pelan.
"Bisakah kau berhenti minum seperti anak kecil?"
Yunho nyengir. "Maaf."
"Ini, bento kesukaanmu," ucap Jaejoong tersenyum manis. Dia mengulurkan kotak bekal bermotif beruang-beruang kecil pada Yunho. Kotak bekal yang khusus ia beli untuk namja itu. Yunho menerimanya dengan senang hati.
"Gomawo. Kau memang sahabat terbaikku."
Dada Jaejoong berdenyut nyeri mendengarnya, namun dia tetap tersenyum. "Tentu saja. Apa yang bisa kau lakukan tanpa aku, eoh?"
Yunho mendongak dari bento-nya, menatap Jaejoong dengan mata musangnya yang teduh. Untuk sesaat mereka terdiam dan saling menyelami kedalaman mata masing-masing, hingga kemudian Yunho menggeleng pelan dan tersenyum kecil.
"Tak ada. Tak ada yang bisa kulakukan tanpamu, Jae. Oleh karena itu jangan pernah kau pergi meninggalkanku. Tetaplah di sisiku dan menjadi sahabatku."
Jika hati terbuat dari kaca, maka bisa dipastikan hati Jaejoong akan pecah saat itu juga. Jaejoong menggenggam tasnya erat, berusaha menahan matanya agar tidak memanas. Dia lalu terkekeh.
"Kau bercanda? Mana mungkin aku meninggalkanmu?" ucapnya sementara bibirnya memaksakan sebuah senyum. "Kita akan selalu menjadi sahabat... seperti katamu."
'Tidak, Yun... Aku tidak ingin menjadi sahabatmu...'
.
..GJ..
.
Ruangan itu tampak senyap. Kwon BoA berdiri kaku di tempatnya, sementara gagang telepon yang masih tersambung bergetar di tangannya. Dia mencengkram gagang itu erat ketika suara seorang wanita yang tampak sedang berusaha menahan isakan terdengar dari seberang sana.
"Terimakasih telah menjaganya dengan baik selama ini. Sungguh, kami tak tahu bagaimana harus membalasnya."
BoA membuka mulutnya yang tiba-tiba terasa kering dengan susah payah. "Bahagiakan dia. Hanya dengan itu cara anda membalasnya, Nyonya."
"Tentu, tentu saja. Kau tidak perlu khawatir BoA-ssi, akan kubuat dia menjadi wanita paling bahagia di dunia ini. Kau bisa pegang janjiku."
BoA tersenyum pedih. "Saya percaya pada anda."
"Terimakasih, sekali lagi terimakasih. Entah berapa kali aku harus mengucapkannya."
"Nyonya..."
"Kami akan segera ke sana secepatnya. Dua minggu mungkin waktu yang cukup?"
Dua minggu? Tanpa sadar BoA menghitung hari dalam benaknya. Kedua matanya memanas. Menahan suaranya agar tidak bergetar, dia menjawab, "Tentu. Kami akan menunggu anda."
Kaki BoA terasa lemas. Begitu sambungan terputus, dia langsung jatuh terduduk. Pandangannya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berada di sebelah telepon. Fotonya bersama sang suami dan anak mereka satu-satunya.
Air matanya mengalir melihat gadis yang terlihat ceria di tengah mereka. Gadis yang begitu cantik. Dengan kulit putih pucat, Doe eyes yang indah dan selalu berbinar ramah, serta bibir cherry yang selalu mengumbar senyum, membuat setiap orang dengan mudah jatuh dalam pesonanya.
BoA terisak pelan.
"Bagaimana ini, yeobo... Apa yang harus kita lakukan..."
.
.
"Eomma, aku pulang!"
Jaejoong memasuki rumah dengan sedikit gontai. Ucapan menyakitkan yang keluar dari mulut Yunho masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya tak bersemangat meski namja itu sudah mentraktirnya es krim.
Jaejoong melepas sepatunya kemudian berjalan lurus menuju tangga saat tak sengaja matanya menangkap siluet tubuh wanita yang terduduk di lantai. Dia menurungkan niat untuk naik ke kamarnya di lantai atas dan melangkah menghampiri wanita itu. Wanita yang tak lain adalah ibunya.
"Eomma~" panggilnya.
Hati Jaejoong mencelos saat ibunya menoleh dengan wajah penuh air mata. Dia segera berjongkok. "Eomma, waegure?!" serunya cemas.
Wanita itu memeluknya, membuat seragam Jaejoong basah oleh air matanya. Walau ragu, Jaejoong pun balas memeluknya. Dalam hati dia merasa tak tenang. Tak pernah dia melihat ibunya menangis sebelumnya. Ada apa sebenarnya?
"Eomma," panggil Jaejoong lagi, kali ini lebih pelan.
Wanita itu melepaskan pelukannya lalu menangkup kedua pipi Jaejoong dengan tangannya yang bergetar. Jaejoong mengatupkan bibir tipisnya, hatinya terasa teriris melihat keadaan ibunya yang terlihat menyedihkan. Dia hanya diam saat tangan itu mulai mengelus-elus pipinya.
"Kau tahu eomma sangat mencintaimu, kan?"
Perasaan Jaejoong makin tak tenang. Namun dia tersenyum lembut. "Tentu saja."
Ibunya ikut tersenyum, lalu kembali memeluknya. "Eomma dan appa akan selalu mencintaimu, sampai kapan pun. Jangan pernah lupakan itu."
.
.
Jaejoong masuk dan menutup pintu kamarnya. Pandangan matanya kosong.
"Orangtuamu. Orangtuamu menemukanmu, sayang."
Air mata yang sedari tadi ditahannya tanpa sadar menetes.
"Mereka menghubungi kami tiga hari lalu. Dan baru saja tadi... baru saja tadi ibumu menelepon, menanyakan kabarmu."
Tetes-tetes air mata itu turun semakin deras, bersamaan dengan tubuh lemasnya yang perlahan merosot di balik pintu.
"Mereka menginginkanmu kembali. Kau akan datang kepada mereka, kan?"
Jaejoong menutup mulut dengan tangannya, menahan isakan.
"Mereka telah kehilanganmu begitu lama. Mereka pasti sangat merindukanmu. Kau harus kembali, Jae."
Jaejoong membenamkan wajah di kedua lututnya yang tertekuk, terisak keras.
Dia bukanlah anak keluarga Kim. Dia tinggal di panti asuhan semenjak bayi hingga kemudian pasangan suami-istri itu mengadopsinya ketika dia berusia 5 tahun. Sifatnya yang ceria dan senang bergaul membuat ia dengan mudah menerima mereka sebagai orangtua barunya. Mereka sangat menyayanginya, memperlakukannya seolah ia adalah anak kandung mereka.
Dia tidak pernah memikirkan orangtua kandungnya, setidaknya tidak sampai dia menginjak bangku SMP. Pertanyaan-pertanyaan seperti 'siapa sebenarnya orangtua yang telah melahirkannya?' atau 'bagaimana dulu dia bisa berakhir di panti asuhan?' mulai mengusiknya. Namun dia tak punya keberanian untuk bertanya sehingga dia hanya dapat memendamnya seorang diri.
Dia sudah sangat bersyukur dengan kehidupannya sekarang.
Tapi, apa yang baru saja dia dengar dari ibunya sungguh membuatnya shock. Dia hanya bisa diam dan terduduk kaku di kursinya ketika wanita itu mulai menjelaskan semuanya dengan wajah berlinang air mata.
Tentang orangtua kandungnya yang ternyata telah menemukan keberadaannya di sini, tentang mereka yang akan datang menjemputnya dua minggu lagi, dan tentang mereka yang akan membawanya ke New York –tempat tinggal mereka sekarang.
Apa yang harus ia rasakan sekarang? Bahagia karena sebentar lagi ia akan berkumpul bersama orangtua kandungnya? Atau sedih karena ia harus berpisah dengan orangtua yang selama ini telah merawat dan menyayanginya?
Jaejoong tak tahu. Dua perasaan itu seakan melebur menjadi satu, membuat dadanya sesak. Dia butuh tempat untuk menumpahkan semua perasaannya yang kacau ini. Kemudian Jaejoong terhenyak saat mengingat sesuatu yang ia lupakan.
"Yunho..." gumamnya lirih.
.
.
.
.
To be continues...
Ini hanya 3shot :)
Untuk BoA dan Shin Minah yg tetap memakai marga aslinya, jangan ngerasa aneh ya. Aku baru nyadar kalo dia Korea marga istri ga ngikutin marga suami, cuma anak mereka yang nurunin. Tapi untuk ff lain udah terlanjur yah mau gimana lagi -_-
Review? ^^
