Disclaimer : Akira Amano
Warning : Ini fanfic pertama yang author tulis. Author masih baru dan belum berpengalaman, mohon dimaklumi jika ada typo(s), alur kecepetan, dan hal-hal tidak berkenan lainnya.
Note : Cerita ini terjadi 3 tahun setelah para arcobaleno terlepas dari kutukan, dan sedikit berbeda dengan cerita di manga dan anime nya.
.
.
.
Little Sisters In Act
.
.
.
Prolog
.
.
.
Cattleya Middle School, Tokyo
"Miyuki-sama, selamat atas kelulusan anda!"
Seorang gadis di antara kerumunan itu memberikan sebuah buket bunga yang besar sambil menangis.
"Terima kasih," gadis yang bernama Miyuki itu tersenyum dan menerima buket bunga yang diberikan oleh kouhai-nya.
Di gerbang asrama sekolah khusus putri Cattleya Middle School terlihat banyak siswi menangis. Beberapa adalah siswi yang sudah lulus dan akan pergi dari asrama itu untuk melanjutkan pendidikan mereka, sedangkan sebagian besar adalah para kouhai yang ingin melihat para senpai yang mereka kagumi untuk terakhir kalinya.
Begitu juga dengan gadis berambut hitam dan bermata onyx bernama Miyuki. Begitu banyak kouhai yang datang karena ingin mengantar kepergian sang senpai idola mereka. Miyuki, mendapat beasiswa dan merupakan ranking tetap nomor satu di sekolahnya. Dengan wajah cantik, tubuh yang proporsional dan kepribadian yang lembut membuatnya menjadi idola para siswi dan merupakan kesayangan para guru walaupun dia seringkali melakukan pelanggaran yang sama.
"Sudahlah, kalian jangan memanggilku dengan menggunakan '-sama' lagi," Miyuki tertawa kecil sambil menepuk bahu kouhai-kouhai nya yang menangis dan tersenyum menenangkan mereka. "Walaupun saya lulus bukan berarti kita tidak akan bertemu lagi kan? Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi," lanjutnya sambil tersenyum lembut yang membuat wajah beberapa kouhai nya memerah.
'Cantik sekali….' Mereka membatin bersamaan.
"Eh…Senpai," seorang gadis berambut bergelombang sebahu memanggil pelan, membuat Miyuki menatapnya.
"Ada apa?"
"Apa benar….senpai akan melanjutkan sekolah di sebuah kota kecil?" gadis itu bertanya dengan ragu, takut membuat senpai yang diidolakannya tersinggung.
"Benar, aku akan melanjutkan sekolah di Namimori, kota kelahiranku,"
"Kenapa tidak melanjutkan bersekolah di Tokyo dengan beasiswa? Bukankah senpai mendapatkan undangan dari sekolah elit Aoyama Gakuen?"
Miyuki tersenyum melihat kouhai-kouhainya yang menatapnya dengan penasaran. Apa yang membuat Miyuki menolak undangan beasiswa dari sekolah terfavorit di Tokyo? Padahal banyak anak yang rela mengeluarkan uang untuk membayar lebih agar bisa diterima di sana.
"Karena ada yang menungguku di rumah," Miyuki tersenyum lembut dan matanya seakan menerawang.
Kouhai-kouhainya hanya saling pandang, tidak mengerti apa dikatakan idola mereka. sebelum salah seorang dari mereka sempat bertanya, para suster sudah mamanggil mereka, memperingatkan sudah waktunya mereka kembali ke asrama. Sebagian besar kouhai merasa kecewa dan mereka bergantian memeluk senpai mereka sebelum kembali ke asrama. Sesudah semua kouhai masuk ke dalam asrama, seorang perempuan tua keluar dari gerbang asrama.
"Suster kepala," Miyuki tersenyum dan menundukkan kepalanya sedikit, memberi salam yang di balas dengan senyuman dan anggukan oleh Suster Kepala.
"Miyuki, sejak pertama kamu masuk ke sekolah ini, kamu tidak banyak berubah. Karisma yang kamu punya, sikapmu dan penampilanmu. Sejak kamu masuk di sekolah ini, kamu sudah menunjukkan bahwa kamu adalah seorang lady," Suster Kepala tersenyum lembut dan mengelus kepala Miyuki pelan. "Walaupun kamu sering kabur dari asrama dan hilang selama berhari-hari walaupun penjagaan di asrama sudah di perketat," lanjut suster kepala sambil tertawa kecil yang dibalas Miyuki dengan tertunduk malu mengingat kebiasaannya yang sebenarnya jauh dari sifat seorang lady.
"Saat pertama kali menghilang kamu benar-benar membuat kami panik, hanya meninggalkan selembar kertas bertuliskan 'aku akan kembali lusa siang'," Suster Kepala dan Miyuki tertawa kecil mengingat kejadian itu.
"Saat kedua kali kamu menghilang kami masih sedikit panik dan begitu ketiga kalinya kamu menghilang para suster memutuskan untuk memperketat penjagaan terhadapmu. Tapi kami masih penasaran sebenarnya bagaimana kamu bisa tetap meloloskan diri dari penjagaan ketat itu. karena sadar hukuman tidak akan membuatmu jera melarikan diri, kami melonggorkan penjagaan terhadapmu,"
"Saya tidak tahu apa saja yang kamu lakukan di luar sana, tapi saya hanya berharap yang kamu lakukan bukanlah hal yang berbahaya."
Suster Kepala mengangkat tangannya dan mengelus pelan wajah Miyuki seakan Miyuki adalah anaknya sendiri. Miyuki tersenyum sedih dan menyentuh tangan Suster Kepala yang ada di pipinya.
"Miyuki, jaga dirimu baik-baik. Apapun yang terjadi, Saya dan semua suster di sini percaya padamu dan pada apa yang kamu lakukan sehingga kami tidak pernah lagi mempertanyakan apa yang kamu lakukan selama kamu menghilang,"
Setelah memberikan salam terakhirnya sambil menangis yang dibalas oleh Miyuki dangan pelukan lembut, Suster Kepala pun pergi menghampiri murid senior lainnya. Miyuki tersenyum dan berjalan keluar dari gerbang sambil membawa sebuah koper besar berwarna hitam.
Miyuki berhenti sejenak dan membalikkan badanya menatap sekolahnya yang sudah hampir tidak terlihat. Walaupun sudah hampir memasuki musim semi, tetapi dinginnya udara masih terasa menusuk. Angin berhembus membuat ujung pita putih berenda yang menghiasi rambut gadis itu ikut berhembus.
"Sayonara, Catlleya," bisiknya lirih
Miyuki mengalihkan pandangannya, kembali menatap depan dia mengeluarkan selembar foto dari jaket biru yang dipakainya. Ditatapnya foto ditangannya dengan lembut sebuah senyum manis terpasang di wajahnya. Foto yang berisi potret dua orang, seorang gadis cantik berambut hitam panjang dengan senyum lembut sedang memeluk lengan seorang laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya. Gambar di foto itu terlihat sangat kontras satu sama lainnya. Sang gadis terlihat senang dan memeluk lengan si laki-laki yang memandang kamera dengan tatapan membunuh dan raut tidak suka.
"Aku akan segera pulang, Kyou-nii," gumam gadis itu senang sambil memasukkan kembali foto yang dipegangnya ke dalam jaket. Dia kembali berjalan menuju tempat yang sudah lama tidak dia datangi itu. Rumahnya.
XXXXX
Cavallone HQ, Itali.
Di sebuah ruangan terlihat seorang gadis manis berwajah datar, berambut hitam bergelombang hingga pinggang yang dia kepang satu dan bermata silver yang indah, memakai jas lab berwarna putih sedang mencampurkan beberapa cairan dari satu tabung ke tabung lainnya. Terlihat bahwa ruangan itu penuh dengan meja yang berisi banyak tabung dan cairan kimia berwarna-warni di dalamnya. Gadis itu meletakkan tabung yang di pegangnya ke sebuah besi berlubang yang di bagian bawahnya terdapat api. Setelah menunggu beberapa saat dia meniup asap dari dalam tabung itu dan meletakkannya di dalam wadah.
"Sudah jadi," gumam gadis berwajah datar itu sambil menyeringai kecil.
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan seorang pria berambut pirang masuk ke dalam ruangan sambil tersenyum ceria.
"Ririn~"
Pria berambut pirang itu dengan cepat berjalan ke arah si gadis berwajah datar yang dia panggil dengan Ririn dan memeluknya erat. Ririn yang jauh lebih pendek dari Dino hanya bisa pasrah saat wajahnya terbenam ke dalam perut kakanya yang memang tinggi.
"Ah, kak Dino baru pulang dari tugas?"
Ririn memperhatikan 'kakak' nya yang masih memakai pakaian formal. Ririn mengingat beberapa hari yang lalu kakak angkatnya itu pergi untuk menjalankan urusan politik antar famiglia.
"Iya, maaf aku meninggalkan mu sendirian," kata Dino begitu melepas pelukannya sambil menatap adiknya.
"Tidak apa-apa, saat kakak pergi Bluebell dan Daisy menginap di sisni kok, jadi Ririn tidak sendirian, mereka baru pulang siang tadi,"
"APA?! Apa si Byakuran Gesso mesum itu juga datang kesini? Kamu tidak apa-apa kan? Apa saja yang dia lakukan padamu? Ayo jawab kakak!"
Dino langsung berteriak histeris dan mengguncang-guncangkan bahu Ririn dengan histeris. Romario yang sejak tadi berada di dekat pintu langsung menghampiri bosnya, melihat wajah Ririn yang mulai memutih.
"Boss, tolong hentikan! Anda hampir membuat nona pingsan,"
Seakan tersadar, Dino langsung melepas tangannya dari Ririn sambil meminta maaf. Ririn hanya menghela nafas sambil mengucapkan terima kasih pada Romario mendapati sikap sister-complex akut kakaknya.
"Tenang saja, Byakuran tidak ke sini. Kikyou-san yang datang dan mengantarkan Bluebell dan Daisy. Mereka bilang akan mengerjakan misi dan Byakuran pergi ke tempat Giglio Nero Famiglia untuk membicarakan masalah tentang Millefiore makanya tidak ada yang bisa menjaga Bluebell dan Daisy dan menitipkan mereka di sini,"
Ririn menjelaskan sambil melepas jas lab nya dan menggantungkannya di gantungan pintu diikuti oleh Dino dan Romario.
"Baguslah kalau begitu. Ririn, kamu belum makan kan? Ayo kita makan malam bersama,"
Dino langsung menarik adiknya ke ruang makan. Di meja sudah tersedia makan malam. Dino duduk di bagian paling ujung meja makan, sedangkan Ririn duduk di sisi kanannya.
"Ririn,"
Dino berusaha memulai pembicaraan. Terlihat jelas kalau dia ragu untuk mengatakannya.
"Ada apa?"
Ririn menghentikan makannya dan menatap Dino. Dino bergerak tidak nyaman di kursinya. Tiba-tiba dia merasa gugup.
"Sebenarnya," Dino memandang Ririn yang dengan sabar menunggu kelanjutan kata-kata Dino. "Aku..akan pergi ke Jepang selama beberapa bulan," lanjut Dino dengan susah payah. Dia memandang adik nya yang masih memandangnya lurus.
Selama beberapa saat tidak ada yang mengatakan apapun. Ririn mengambil gelas di hadapannya dan meminumnya hingga habis. Setelah itu matanya kembali menatap Dino yang memandangnya dengan tatapan bersalah.
"Lalu?"
Dino menatap Ririn yang menatapnya dengan dahi berkerut. Dino balas menatapnya sambil memiringkan kepalanya.
"Kamu akan sendirian," jawab Dino pelan.
"Kak, Ririn bukan anak kecil. Titipkan saja Ririn pada Giglio Nero, di sana ada Yuni, Aria dan Luce. Bibi Sepira dan paman Kawahira juga pasti tidak keberatan," ucap Ririn sambil menghela nafas.
"Kamu…tidak marah?" Dino menaikkan satu alisnya menatap Ririn.
"Tidak. Ririn tahu pasti Kakak akan membantu Vongola Famiglia kan? Beberapa tahun yang lalu Kakak juga pergi untuk cukup lama untuk membantu Vongola kan? Walaupun kembali dengan luka parah,"
Dino menatap gadis di depannya itu. Tiga tahun yang lalu, akibat pertempuran melawan para Vindice akibat Checker Face, dia memang kembali dengan luka parah. Tiga tahun yang lalu. Saat dia menemukan gadis di depannya dan menjadikannya adik angkat.
Dino tersenyum dan mengangguk pada Ririn. Dino senang walaupun Ririn masih miskin ekspresi dan tidak bisa tersenyum setidaknya mata gadis itu memancarkan ekspresi. Tiga tahun yang lalu, gadis itu seperti boneka. Jika gadis itu tidak bergerak dan bersuara saat Dino menemukannya tiga tahun yang lalu, dia mungkin sudah menganggap gadis itu boneka sungguhan.
"Kak," panggilan pelan dari adiknya membuyarkan lamunan Dino. "Ririn mau tidur sama kakak, boleh?" Ririn memiringkan kepalanya yang menurut Dino sangat imut.
"Tentu saja boleh," kata Dino sambil tersenyum lembut dan mengusap kepala Ririn.
Setelah selesai makan Dino mengurus berkas dan pekerjaannya sedangkan Ririn kembali ke laboratorium yang dibuat khusus untuknya dua tahun yang lalu. Ririn sadar dirinya memiliki otak yang di atas rata-rata dari anak seumurannya pada umumnya. Sebenarnya tidak hanya otaknya. Dia tahu.
Ririn mengammbil jas lab putih miliknya dan berjalan menuju jendela. Menatap langit penuh bintang dan bulan purnama berwarna emas. Ririn memegang matanya yang sedikit terasa panas. Dia memandang pantulan dirinya dari kaca jendela. Dia menyentuh pantulan wajahnya dan matanya yang sekarang bersinar berwarna keemasan.
Ririn mengeluarkan leontin berwarna silver yang tergantung di lehernya dari dalam baju dan memperhatikan ukiran leontin itu dan membukanya. Dia memandangi foto kecil saat dia berumur dua tahun sedang duduk di pangkuan ibunya, di belakang mereka ada ayahnya berdiri di belakang.
Ririn menghela nafas berat dan memasukkan kembali leontin itu ke dalam bajunya. Dia mengeluarkan tiga lembar foto dari dalam kantung jas putihnya.
"Vongola Famiglia," gumamnya. Matanya yang bersinar berwarnya keemasan menelusuri setiap wajah di foto itu.
"Boss, Sky Guardian, Sawada Tsunayoshi. Storm Guardian, Gokudera Hayato. Rain Guardian, Yamamoto Takeshi. Sun Guardian, Sasagawa Ryohei. Lightning Guardian, Lambo dari Bovino Famiglia," Ririn menghela nafas sambil menyeka keringat di pelipisnya.
Dikeluarkannya foto kedua dan menutupi foto pertama yang berisi Tsuna dan para guardiannya yang sedang pulang sekolah karena masih memakai seragam. Foto kedua berisi gambar seorang gadis dan seorang laki-laki dengan model rambut yang sama.
"Mist Guardian…Rokudo Mukuro?" sinar emas di mata gadis itu menghilang. Dia menatap langit melihat bulan purnama tidak terlihat, tertutup oleh awan. Tidak lama kemudian bulan kembali terlihat dan sinar emas kembali terlihat di mata gadis itu.
"dan Dokuro Chrome atau Nagi," gadis itu melanjutkan. Dia mengeluarkan foto ketiga dan tersenyum.
"Cloud Guardian, Kyoya Hibari dan…Pipistrello nero di Vongola," Ririn menatap seorang gadis dan seorang laki-laki yang sangat mirip di foto itu.
"Kelelawar hitam dari Vongola, aku ingin bertemu denganmu," gumamnya. Ada seberkas kilatan di mata gadis itu.
Ririn menghela nafas dan memasukkan ketiga foto itu ke dalam kantung bajunya begitu mendengar suara langkah kaki. Tidak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka dan kepala sang Cavallone terlihat mengintip dari balik pintu, bersamaan dengan hilangnya sinar emas di mata Ririn.
"Ririn, sudah malam, ayo tidur," Dino memanggil adiknya yang berjalan menuju pintu dan melepas jasnya.
"Iya," jawabnya singkat sambil mengikuti Dino.
End of prologue
Readers sekalian, terima kasih sudah mau menyempatkan diri membaca cerita saya yang nggak jelas ini!
Saya sangat-sangat berterima kasih karena anda sekalian bersedia meluangkan waktu untuk membaca fanfic yang saya tulis ini.
Berhubung saya orangnya biasa menulis dengan tata bahasa yang 'sedikit' baku saya jadi sedikit bingung bagaimana menulis fanfic yang bahasanya mengalir tetapi tidak kaku.
Jika anda ingin membaca kelanjutan cerita ini silahkan mereview. Satu review saja saya butuhkan untuk melanjutkan cerita ini, terima kasih.
