"Cotton Candy"

.

.

.

.

Cast : Kwon Soonyoung, Lee Jihoon, & Lee Seokmin

Main Pairing : SoonHoon

Genre : Romance, Fantasi, Angst

Summary : Apa kau percaya cinta pada pandangan pertama ? Ini adalah kisah sepasang kekasih yang memiliki pemikiran yang berbeda. Lee Jihoon, seorang penulis novel terkenal yang entah bagaimana bisa menjalin hubungan dengan Kwon Soonyoung, seorang namja yang bahkan identitasnya saja tak diketahui.

Warning : Typo bertebaran dimana – mana, YAOI, etc

Happy reading ^^

.

.

.

.

Lee Jihoon, jangan pernah menganggap remeh tubuh mungilnya karena di balik tubuh kecilnya itu tersimpan otak yang sangat brilliant. Berkat otak brilliant dan bakat menulisnya, nama Lee Jihoon kini berada di posisi puncak sebagai penulis novel terkenal. Beberapa buku karyanya bahkan pernah menjadi hits dan mencapai angka penjualan best seller.

Meski ketenaran dan uang telah berada di tangannya sekarang, namja mungil itu tak lantas menjadi sombong dan meninggalkan bangku kuliahnya. Banyak para penggemar bahkan para pembaca awam novelnya tak menyangka bahwa penulis novel yang mereka baca itu adalah karya tangan seorang namja muda berusia 20 tahun.

Siapa yang akan menyangka bahwa hobi menulis Jihoon di akun fanfictionnya semasa SMA dulu menarik hati seorang penerbit. Yeah~ Jihoon dulu hanyalah seorang murid SMA penggemar group idol yang hanya mencoba-coba menulis fanfiction seperti para penggemar lainnya namun ternyata karya asal-asalannya itu menarik hati seorang penerbit yang sukses membawa namanya kini di kenal oleh hampir seluruh Korea.

Hidup Jihoon sungguh sangat beruntung. Lancar, bahagia, dan tenang sampai suatu hari ketenangannya itu di usik oleh seorang namja tak tahu diri yang seenaknya menyatakan perasaannya dihari pertama mereka bertemu. Dan dengan seenak jidatnya namja itu berkata dengan lantang.

"Jihoon-ah~ aku menyukaimu. Aku sudah menyukainya sejak pertama kali kita bertemu tadi. Kurasa aku sudah jatuh Cinta pada pandangan pertama padamu."

Mendengar pengakuan itu membuat Jihoon langsung melayangkan buku catatan yang ia bawa tepat kearah namja itu. Bagaimana tidak kesal ? Mereka bahkan baru bertemu tadi pagi itu pun dengan tak sengaja dan sorenya ia di tembak begitu saja. Heol~ siapapun yang mendengar cerita ini pasti akan tertawa. Jihoon bahkan sama sekali tak mengenal sosok namja gila yang berani berteriak kencang di tengah gedung kuliahnya itu.

Jihoon yang saat itu sudah sangat malu karena seluruh penghuni gedung jurusannya itu berada memandanginya dengan berbagai macam tatapan yang sulit diartikan, akhirnya Jihoon hanya berlari pergi sambil mengumpat tanpa menjawab pernyataan cinta namja itu. Tidak perlu jawaban langsung, karena Jihoon sudah pasti menolaknya.

Namun apa yang terjadi sekarang ? Jihoon malah terjebak dengan namja gila itu. Jangan tanyakan bagaimana bisa Jihoon akhirnya menerima perasaan namja itu karena Jihoon sendiri juga tak tahu. Semuanya hanya mengalir begitu saja. Jihoon hanya mulai terbiasa. Dan berulang kali pula Jihoon menyesali keputusannya itu karena namja itu terus saja menempel padanya, mengusik hidupnya, membuat hidup Jihoon tak bisa setenang dulu.

Kwon Soonyoung...

Jihoon benci nama itu. Jihoon benci melihat wajah bodoh itu setiap hari. Jihoon benci bagaimana nada cerianya selalu terngiang-ngiang di benaknya. Jihoon benci mengakuinya. Jihoon benci mengakui bahwa ia juga menyukai Kwon Soonyoung.

"Soonyoung-ah~ berat~" Bukannya menyingkir, mendengar rengekan Jihoon barusan malah membuat namja bermarga Kwon itu semakin menyamankan kepalanya di bahu Jihoon. "Disitu ada bantal, jangan manja. Bahuku pegal !"

Sonyoung langsung mengerucutkan bibirnya. "Kau sendiri apa tidak pegal seharian menatap layar laptop seperti itu."

"Aku sedang bekerja. Jangan ganggu atau aku akan mengusirmu dari rumahku sekarang juga." ancam Jihoon yang langsung membuat Soo young ciut dan lebih memilih menyamankan tubuhnya tiduran di samping Jihoon yang kini tengah bersandar di kepala ranjangnya dengan memangku laptop kesayangannya itu.

"Jika capek berbaringlah sebentar untuk meregangkan otot-ototmu itu." ucap Soonyoung yang melihat Jihoon terkadang memijat pelipis dan tengkuknya yang terasa kaku karena terlalu lama bergulat dengan laptopnya itu.

"Aku di kejar deadline Soonyoung-ah~ aku tak bisa bersantai begitu saja."

Soonyoung sudah biasa menghadapi kekasihnya yang keras kepala seperti ini. Akhirnya Soonyoung berinisiatif sendiri, mengambil laptop Jihoon begitu saja, mematikannya lalu menaruhnya di meja kecil di samping Jihoon. Awalnya Jihoon ingin protes tapi diurungkannya saat melihat tatapan Soonyoung yang jadi sedikit garang itu.

Soonyoung tahu, ia sudah hafal dengan sifat Jihoon, begitu pula sebaliknya. Jika Jihoon sudah mulai keras kepala dan melawannya maka Soonyoung-lah yang akan bertindak dan bersikap lebih tegas. Jika ia tidak tegas maka anak seperti Jihoon itu akan terus merengek dan berbuat semaunya.

"Lihatlah~ sudah lewat tengah malam dan kau belum istirahat sejak siang tadi. Sekarang istirahatlah dan lanjutkan lagi bekerjanya besok pagi saat otakmu sudah fresh. Jangan terlalu memaksakan diri. Ingat jika kau juga masih punya jadwal kuliah besok. Jangan memforsir tubuhnya dan..."

"Dan jangan sampai jatuh sakit karena kau tidak mau repot mengurusiku. Begitu kan ?!" sahut Jihoon memutus ucapan Soonyoung yang tengah menasehatinya itu.

Soonyoung hanya tersenyum dan dengan gemas mengacak surai merah muda Jihoon. "Ugh~ pintarnya kekasihku yang keras kepalanya ini." goda Soonyoung lalu mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Jihoon, membuat Jihoon tersenyum sekilas menatap Soonyoung sebelum akhirnya ia membalas kecupan singkat itu.

"Ja~ saatnya tidur~" ucap Soonyoung lalu membawa tubuh mungil itu kedalam dekapan hangatnya. Jihoon pun menenggelamkan wajahnya kedada Soonyoung, menutup matanya sembari menikmati aroma tubuh Soonyoung yang selalu menjadi penenang dalam tidurnya.

.

.

.

.

Soonyoung tersenyum begitu keluar dari kamar Jihoon. Melihat Jihoon yang tengah sibuk di dapur, membuat makanan untuknsarapan mereka berdua. Soonyoung lalu menarik bangku di salah satu sisi meja makan dan duduk disana. Sesekali sembari memperhatikan punggung Jihoon yang masih sibuk di depan kompor, Soonyoung mengemili apapun makanan yang sudah ada diatas meja makan di hadapannya itu.

"Apa masih lama ? Aku sudah sangat lapar~"

"Kalau begitu minum saja dua botol air putih jumbo di dalam lemari es itu. Aku jamin laparmu pasti akan langsung hilang." bahas Jihoon membuat Soonyoung mengerucutkan bibirnya.

"Dan setelah itu perutku langsung jadi buncit. Apa kau mau memeluk perut buncitku ini nanti."

Jihoon berbalik sembari membawa sup jagung buatannya yang baru saja matang itu lalu mendudukkan dirinya di bangku di depan Soonyoung. "Aku tak masalah. Bukankah Bagus jika perutmu buncit nanti kan bisa aku jadikan bantal pengganti."

"Sialan~" umpat Soonyoung membuat Jihoon terkekeh tertahan. "Apa novelmu sudah selesai ?"

Jihoon mengangguk sambil memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. "Akhirnya aku bisa bebas setelah seminggu penuh bergadang. Ah~ apa kau tak lihat kantung mataku ini." ucap Jihoon masih dengan mulut yang penuh makanan sambil menunjuk-nunjuk kantung matanya yang memang terlihat jelas.

Sejenak tak ada pembicaraan diantara mereka berdua. Hanya suara sendok dan sumpit yang bertemu dengan mangkuk mereka yang memenuhi ruang makan itu. Keduanya sibuk menyantap makanan masing-masing.

"Ehem~" Jihoon berdehem sambil sesekali melirik Soonyoung didepannya. Ada satu hal yang ingin Jihoon sampaikan tapi ia merasa ragu-ragu untuk mengatakannya."Uhm~ Soonyoung-ah~"

Soonyoung yang merasa di panggil pun mendongak menatap Jihoon. "Wae ?"

"Uhm~ aku dan tubuhku terasa sangat kaku. Sepertinya aku butuh refreshing."

"Oh~ kalau begitu selesai makan berbaringlah di sofa, aku akan memijatmu."

Jihoon menghela napas beratnya. Terkadang otak kekasihnya ini memang terlalu lambat untuk menangkap maksud orang lain. "Bukan aku butuh pijatan. Maksudku sepertinya aku butuh refreshing keluar. Contohnya jalan-jalan. Lagi pula ini kan weekend, besok aku harus kembali kuliah lagi. Jadi ayo kita jalan-jalan keluar."

Soonyoung tampak berpikir. "Ah~ kau mau mengajakku kencan begitu ?" ucap Soonyoung sambil menaik turunkan keningnya. Sungguh~ Jihoon hanya mengajaknya jalan-jalan saja tapi kenapa dianggap mengajaknya kencan.

Jihoon dengan berat hati hanya mengiyakan ucapan Soonyoung dan mengangguk lemah. "Baiklah~ kalau begitu ayo kita ke bioskop."

Dan jawaban Soonyoung barusan sungguh membuat kesabaran Jihoon habis. Dibantingnya sendok yang di pakainya makan tadi keatas meja dengan sangat keras membuat Soonyoung terlonjak kaget. Okey~ lupakan soal refreshing dan ajakan jalan-jalan Jihoon tadi. Jihoon sekarang benar-benar kesal.

"Yakh~ Kwon Soonyoung aku benar-benar bingung padamu. Kenapa setiap kali aku mengajakmu keluar selalu saja bioskop bioskop dan bioskop. Apa kita tidak punya tempat kencan yang lain ha ?! Dan setiap kali aku mengajakmu makan diluar, bermain ke taman hiburan, atau menemaniku belanja kau tidak pernah mau. Wae ? Aku bosan jika seperti ini terus. Kau bilang bahwa kau mencintaiku tapi kau bahkan tak pernah mengajakku berkencan seperti pasangan normal lainnya. Hanya bioskop..."

"Aku lebih suka tempat yang gelap."

"Wae ?"

"Karena mereka tak bisa melihatku dalam gelap."

Jihoon memutar matanya malas. Jawaban yang sama dan jawaban itu sudah berulang kali Jihoon dengar. "Kau selalu saja memberi jawaban yang sama setiap kali kita bertengkar. Apa kau tak punya alasan lain yang lebih kreatif dan masuk akal ?!"

Soonyoung mendongak, menatap sayu kearah Jihoon yang tampak tengah menahan amarah itu. "Karena di tempat terang sekalipun mereka akan semakin tak melihatku."

Jihoon menghela napas kasarnya. Sungguh ia tak habis pikir sekarang. Jihoon sudah biasa menghadapi sifat aneh kekasihnya itu. Jihoon tak tahu harus bagaimana lagi. Jihoon lebih memilih pergi, karena jika ia tetap bersama Soonyoung ia tak yakin masih bisa menahan luapan amarahnya. Ia hanya akan terus bertanya dan mendengar jawaban tak masuk akal dari kekasihnya itu.

Soonyoung yang di tinggalkan sendirian di tempat makan hanya bisa menunduk sedih, menatap kosong pada beberapa makanan buatan Jihoon yang masih ada di atas meja itu.

"Mianhae Jihoon-ah~"

.

.

.

.

Seokmin menghela napasnya melihat sahabatnya yang satu ini bersikap kekanakan seperti ini sudah biasa. Terlebih lagi jika sahabatnya itu sedang ada masalah, kesal, ataupun stress, sudah pasti ia akan langsung menuju ke rumahnya seperti saat ini.

Jihoon yang baru saja sampai di daerah perumahan Seokmin sekitar setengah jam yang lalu itu langsung saja menggedor-gedor pintu rumah Seokmin, membuat sang sahabat yang tengah menikmati tidur siangnya di hari libur ini terusik dan menggeretu.

Namun ketika melihat bahwa Jihoon lah yang datang, Seokmin langsung menghentikan acara menggerutunya dan segera membukakan pintu untuk sahabat mungilnya itu. Tanpa permisi Jihoon langsung masuk ke dalam rumah itu, mengabaikan Seokmin yang berdiri di depan pintu tanpa memberi salam kepada sang empunya rumah.

Seokmin hanya menggelengkan kepalanya dan menghela napas maklum karena ini bukan kali pertama atau keduanya Jihoon seenaknya di dalam rumahnya itu. Jihoon bahkan selalu bersikap seperti ini setiap kali berkunjung ke rumah Seokmin, menganggap bahwa rumah sahabatnya adalah rumahnya juga, jadi ia bebas melakukan apapun sesuka hatimu.

Seperti saat ini, Jihoon langsung mengeluarkan isi tas sekolahnya yang ternyata berisi berbagai jenis makanan ringan. Jihoon yang sedang badmood memang lebih akan bersahabat pada makanan. Seperti saat ini ia menikmati berbagai macam snack yang sempat ia beli di tengah perjalanan tadi.

Seokmin yang melihat ruang tamunya kini sudah seperti kapal pecah. Bungkus snack bertebaran dimana-mana, meja ruang tamunya bahkan sudah berpindah sampai ke depan pintu kamarnya, dan jangan lupakan bantalan sofa yang entah bagaimana kini sudah tergeletak begitu saja di depan toilet.

Sungguh~ Jihoon yang sedang kesal dan marah itu benar-benar mengerikan. Dia bisa melempar kemanapun barang-barang di sekitarnya tanpa memikirkan milik siapa barang-barang itu. Jihoon sama sekali tak peduli. Yang terpenting adalah pelampiasannya terpenuhi.

Seokmin berjalan kearah Jihoon yang kini tengah mengemili entah snack keberapanya sambil menonton TV. Seokmin melirik sekilas layar TV yang dilihat Jihoon setelah meletakkan kaleng minuman ringan kesamping Jihoon lalu ikut duduk di sampingnya.

"Sejak kapan kau suka nonton acara berita eoh ?"

Jihoon tak menanggapi pertanyaan tak berguna Seokmin itu. Jihoon malah mengambil kaleng minuman yang diberikan Seokmin tadi lalu meneguknya sampai habis tak bersisa. Dan Seokmin lagi-lagi hanya bisa menggelengkan kepalanya maklum. Memang seperti inilah Jihoon, hanya asal menyalakan TV, tak peduli acara apa yang ia tonton, dan menyetel volumenya sekeras mungkin.

"Yakh~ letakkan itu !" pekikan tiba-tiba Jihoon membuat Seokmin kaget dan meletakkan kembali remote TV yang tadi di pegangnya.

"Wae ?"

"Siapa yang menyuruhmu mengambil remote itu ha ?!"

"Aku hanya mau mengganti channelnya saja."

"Siapa yang mengijinkanmu menggantinya ha ?!"

"Astaga Jihoon~ ini TV ku ! Ingat kau sedang berada di rumahku !" Seokmin menghela napasnya kasar. "Lagi pula dari tadi kau juga tak melihatnya." gumam Seokmin selanjutnya dengan nada yang begitu rendah, seperti berbisik.

Jihoon mendelik. "Apa kau bilang ?"

Seokmin langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan apa-apa." ucapnya cepat dan diakhiri dengan cengiran.

Tapi memang benar kata Seokmin tadi karena Jihoon memang tak melihat acara yang ia setel. Matanya memang menatap ke layar TV tapi pandangannya kosong. Dan Seokmin berani bertaruh bahwa pikiran Jihoon juga sedang tak berada di tempatnya sekarang.

Jihoon memutar-mutar kaleng minuman ringan ditangannya yang sudah hampir habis itu. Lalu ia letakkan kaleng itu tepat di dahi Seokmin membuat sang empunya dahi mengerut bingung, menatap horor kearah namja galau disampingnya itu.

"Wae ?"

"Apa kau tak punya soju ? Atau bir ? Kalau tidak punya bisakah kau membelikanku wine ?"

"Yakh~ jangan macam-macam Lee Jihoon ! Aku tak mau membuat rumahku ini semakin berantakan kalau kau mabuk lagi. Jika kau benar-benar mau mabuk, ajak saja Soonyoung yang sama-sama sinting sepertimu jika sedang mabuk." Seokmin langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangannya begitu ia sadar dengan sebuah kata yang baru saja keluar dari mulut tanpa rem nya itu.

Apa Seokmin baru saja menyebut Jihoon sinting ? Aish~ mati saja kau Lee Seokmin ! Dan Seokmin sudah menyiapkan telinganya untuk menerima omelan keras dari Jihoon dan dahinya untuk tamparan tangan Jihoon.

Tapi hal yang ia takutkan itu tak kunjung terjadi. Jihoon malah diam terpaku di tempatnya. Tak ada pergerakan apapun dari namja mungil itu. Yang Seokmin lihat saat ini hanya mata sipit yang mulai mengenangkan air di sudut matanya.

Jihoon yang sadar langsung menghapus air mata yang sudah berada di pelupuk matanya itu agar tak jatuh. Ia sungguh tak suka jika ia selalu menjadi rapuh dan cengeng seperti ini setiap ada yang menyebut nama itu.

Soonyoung...

"Wae ? Apa kau kemari karena bertengkar dengan Soonyoung ?" dan tanda diamnya Jihoon itu memperkuat tebakan Seokmin. Dihelanya napasnya, Seokmin juga sudah biasa melihat hal ini. Ia akui bahwa Jihoon dan Soonyoung memang sering bertengkar.

Dan Seokmin sangat tahu penyebab pertengkaran mereka. Seokmin bahkan bisa di bilang lebih mengerti dengan masalah mereka daripada Jihoon sendiri. Seokmin tahu semua hal yang tak Jihoon tahu, semua tentang kekasih teman kuliahnya itu. Seokmin tahu tapi ia tak bisa memberitahukannya pada Jihoon.

"Seokmin-ah~" panggilan Jihoon membuat Seokmin tersara dari lamunannya. "Kau kan teman masa kecilnya Soonyoung, apa benar-benar tak ada yang kau tahu tentangnya ? Kau tak tahu tentang keanehannya itu ?"

"Dia tidak aneh Jihoon. Dia sama seperti kita... Dulu..." kata terakhir yang Seokmin ucapkan itu terdengar seperti bisikan.

Jihoon mengerutkan keningnya. "Dulu ? Ada apa dengan dia dulu ?"

Dan pertanyaan Jihoon itu sukses membuat Seokmin kelabakan. Ia kembali menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Bukan apa-apa, aku hanya asal bicara."

Jihoon yang tak percaya lalu memiringkan kepalanya dan memandang Seokmin penuh selidik. "Ck~ tapi jika diingat-ingat lagi, pertemuan kalian dulu sedikit aneh. Saat kita tak sengaja bertemu di minimarket dan aku memperkenalkan Soonyoung padamu. Saat itu kau terlihat sangat kaget, wajahmu bahkan sangat tegang dan matamu juga melotot saat melihat Soonyoung. Wae ? Tatapanmu itu sama seperti orang yang melihat hantu."

"Hahaha~ hantu apa maksudmu. Astaga..." Seokmin langsung tertawa, mencoba mencairkan suasana yang terasa tak nyaman baginya ini.

"Kau kan bisa melihat hantu, mungkin saja kan kau melihat aura gelap di sekitar Soonyoung atau ada hantu yang menempe padanya makanya membuatnya aneh seperti sekarang."

Seokmin kini hanya bisa mencoba terkekeh canggung. "Imajinasimu itu sungguh sangat hebat. Pantas saja kau jadi penulis novel terkenal."

Mendengar ucapan Seokmin itu membuat Jihoon mengerucutkan bibirnya. "Jadi ?"

"Jadi..." ucapan Seokmin terputus saat ponsel Jihoon tiba-tiba saja berdering. Melihat kontak penelponnya membuat Jihoon langsung mengangkatnya. Seokmin tak tahu siapa yang menelpon Jihoon tapi Seokmin dapat melihat raut wajah Jihoon langsung berubah masam.

"Nde~ aku akan menggantinya." ucapan terakhir Jihoon itu mengakhiri percakapannya di telepon.

"Wae ? Apa ada masalah ?" tanya Seokmin yang melihat Jihoon berdiri dan menggendong tas ranselnya.

"Nde~ investor kali ini tak menyukai cerita yang baru saja selesai kutulis. Mereka menyuruhku mengganti kembali ceritanya. Ugh~ padahal deadline nya tinggal seminggu lagi. Kurasa aku harus bergadang lagi selama seminggu." gerutu Jihoon sambil berjalan ke pintu diikuti Seokmin di belakangnya.

"Aku pulang dulu."

Seokmin lalu tersenyum ceria sembari mengepalkan kedua tangannya keatas lalu berteriak kearah temannya itu. "Fighting Lee Jihoon !"

.

.

.

.

Sesampainya di apartemen, Jihoon tak langsung masuk kedalam. Ia hanya diam terpaku di depan pintu. Begitu ia membuka pintu tadi pemandangan yang di suguhkam padanya adalah wajah damai Soonyoung yang tengah tertidur di sofa sambil memeluk bantalan sofa.

Jihoon menghela napasnya kemudian berjalan pelan menghampiri Soonyoung. Di letakkannya ransel yang tadi ia gendong itu di lantai begitu saja. Tangan mungilnya kini terulur meraih bantalan sofa lain yang tak terpakai kemudian mengangkat pelan kepala terlelap Soonyoung. Dengan penuh hati-hati Jihoon meletakkan bantalan sofa itu dibawah kepala Soonyoung.

"Bukannya dijadikan bantal malah dijadikan guling. Dasar Kwon pabo~" cibir Jihoon masih berjongkok di samping Soonyoung.

Dipandanginya wajah damai Soonyoung dalam diam. Jihoon terus memandanginya tanpa berniat mengalihkan pandangannya sedikitpun. Terkadang Jihoon heran, kenapa dia bisa semarah itu pada namja di hadapannya kini. Apa hanya karena sifat anehnya yang tak suka keramaian itu ?

Di balik semua itu, Soonyoung adalah namja yang baik. Bahkan terlampau baik. Dia namja periang, humoris, baik hati, bahkan ia jarang marah terutama kepada Jihoon. Tapi Jihoon malah sering sekali berteriak padanya hanya karena hal sepele dan membuat hal sepele itu menjadi penyebab pertengkaran mereka.

Dan kini begitu melihat wajah lelah Soonyoung yang tengah terlelap membuat Jihoon kembali berpikir ulang. Kenapa ia bisa mudah marah seperti tadi ? Bahkan meneriaki Soonyoun dan menyakiti hati namja yang mencintainya itu.

Jihoon masih tetap berada di posisinya meski kini Soonyoung telah merubah posisi tidurnya menjadi menyamping menghadap Jihoon. Tangan mungil Jihoon terulur untuk merapikan rambut Soonyoung yang nampak terkena keringat di dahinya.

"Apa dia sedari tadi menungguku disini ?" gumam Jihoon pada dirinya sendiri.

Di elus-elusnya surai kecoklatan Soonyoung dengan sangat lembut agar namja di hadapannya itu tak terusik dan terganggu dalam tidurnya. Jihoon lalu memajukan tubuhnya, mengecup sekilas kening Soonyoung sebelum akhirnya berlalu masuk kedalam kamarnya.

.

.

.

.

Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah-celah jendela apartement Jihoon, mengusik tidur seseorang yang tengah nyenyak merebahkan tubuhnya di atas sofa itu. Soonyoung mengucek matanya, mencoba menyadarkan dirinya dari alam mimpi.

Begitu ia telah terbangun sepenuhnya, mata sipitnya langsung bertemu dengan punggung seseorang. Seseorang yang terlihat tengah sibuk menggerakan kesepuluh jari-jari mungilnya itu di atas keyboard laptopnya. Soonyoung tersenyum sekilas begitu menyadari bahwa Jihoon-nya sudah kembali.

Sedetik kemudian tubuh Soonyoung sudah menempel pada punggung Jihoon. Memeluknya dari belakang tanpa merubah posisinya. Dan Jihoon sama sekali tak merasa terusik dengan sikap manja kekasihnya itu. Jihoon terus fokus pada pekerjaannya itu tanpa menghiraukan Soonyoung yang kini telah mencuri sebuah kecupan di pipinya.

"Kapan pulang heum~? Kenapa tak membangunkanku ?"

"Semalam." jawab Jihoon singkat tanpa mengalihkan pandangannya pada layar laptopnya. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya yang turun akibat ulah Soonyoung itu.

"Kenapa kau mengetiknya lagi ? Bukannya novelmu sudah selesai kemarin ?" tanya Soonyoung saat matanya menatap layar laptop Jihoon.

"Investornya tak suka dengan ceritaku kemarin dan aku harus mengulangi semuanya dari awal jadi jangan menggangguku. Jika kau lapar buat saja mie instan yang ada di rak dapur."

Soonyoung yang masih Setia meletakkan kepalanya di bahu Jihoon itu hanya menggelengkan kepalanya. "Aku tak lapar. Berada di dekatmu saja membuatku sudah kenyang." gombalan Soonyoung barusan sukses membuat Jihoon mendelik kearahnya. Soonyoung hanya tersenyum dan dengan cepat mencuri sebuah kecupan dari bibir Jihoon, membuat sang empunya bibir semakin menatapnya tak suka.

"Morning kiss~" ucap Soonyoung lalu tersenyum tak berdosa. "Kali ini cerita tentang apa ?" lanjut Soonyoung mengalihkan suasana.

Jihoon pun kembali menatap layar laptopnya. "Molla~ aku hanya mengetik apa yang ada di otakku saja sejak semalam. Aku sama sekali tak punya ide."

"Jadi kau sudah disini semalaman ?"

"Heum~"

"Kalau begitu istirahatlah dulu. Setidaknya sarapan dulu agar otakmu itu lebih fresh."

"Aku tak lapar."

Soonyoung hanya menghela napasnya maklum. Kekasihnya ini memang sedikit keras kepala jika sedang fokus mengerjakan sesuatu. Apalagi jika sudah asyik mengetik seperti ini, Jihoon bahkan bisa melupakan rasa laparnya selama 3 hari.

"Apa aku boleh menyumbangkan ide ?" mendengar ucapan Soonyoung membuat Jihoon menatap.

"Mwo ?"

"Bagaimana jika kau menulis kisah cintaku."

Jihoon mengerutkan keningnya bingung. "Apa maksudmu ?"

"Cinta pada pandangan pertama, kurasa kisah Cinta seperti itu akan sangat laku. Kau tahu, banyak orang di luar sana yang percaya pada cinta pada pandangan pertama. Jika kau tambahkan sedikit bumbu pasti akan jadi cerita yang bagus."

"Tapi aku tak percaya cinta pada pandangan pertama." Jihoon langsung menatap laptopnya lagi begitu mengucapkan kalimat itu, membuat Soonyoung mengerucutkan bibirnya.

"Tapi kisah Cinta seperti itu sedang laku saat ini. Ayolah~ pakailah tema itu~ setidaknya berikan cerita itu sebagai hadiah terakhirku." kini Jihoon berbalik menatap Soonyoung yang kini tengah mengerjap-kerjap kan matanya memohon.

"Kenapa aku harus membuat cerita ini untukmu ?" tanya Jihoon dengan nada yang sangat tegas. Keduanya kini tengah menyelami mata masing-masing. "Apa jika aku menulis cerita ini seperti kisahmu-"

"Kisah kita." sahut Soonyoung mencoba membenarkan ucapan Jihoon.

Jihoon menghela napasnya. "Baiklah~ kisah kita, apa kau akan memberitahuku maksud dari sikap anehmu selama ini ?"

"Jika kau memberikan cerita ini sebagai hadiah untukku..." ucapan Soonyoung terhenti sejenak. Ia mencoba menelan ludahnya untuk melanjutkan kalimatnya. "Aku akan..." jeda lagi membuat Jihoon tak sabar.

"Mwo ? Kau akan apa ?"

"Aku akan... Aku akan mengajakmu kencan. Ayo kita kencan seperti pasangan lain. Kita jalan-jalan berdua dan pergi ke taman hiburan bersama."

Jihoon mengerjapkan matanya mendengar ucapan Soonyoung barusan. "Kau... Serius ?" tanya Jihoon memastikan dan di tanggapi anggukan kepala oleh kekasihnya itu.

Dan sebuah senyuman kini terkembang Indah di wajah Jihoon. "Kau janji ?" ucap Jihoon sembari menjulurkan jari kelingkingnya yang langsung di sambut oleh kelingking Soonyoung.

"Aku janji." ucap Soonyoung mantap membuat senyum Jihoon makin lebar.

"Baiklah kalau begitu aku harus segera menyelesaikan semua ini agar kita dapat kencan lebih cepat." Soonyoung terkekeh melihat kekasih mungilnya yang menjadi sangat semangat itu.

Soonyoung kini bangkit untuk duduk lalu meraih tangan Jihoon, menggenggamnya dan membawa tubuh mungil itu kedalam pelukannya. "Ini kisah kita, kau sudah sangat menguasainya jadi tak perlu susah payah berpikir. Kerjakan nanti saja, sekarang kau butuh istirahat. Lihat kantung matamu itu semakin tebal."

Jihoon hanya mengerucutkan bibirnya namun sama sekali tak berniat untuk membantah Soonyoung.

"Kemarilah~" Soonyoung membawa tubuh mungil Jihoon bangkit untuk ikut bersamanya berbaring di sofa.

Jihoon berbaring membelakangi Soonyoung yang masih terus memeluknya dari belakang. Soonyoung menyamankan kepalanya di tengkuk Jihoon, menenggelamkan kepalanya disana sambil sesekali menciumi tengkuk Jihoon, menikmati aroma tubuh yang sangat membuatnya candu itu. Sedangkan Jihoon hanya memejamkan matanya mencoba tidur dan menikmati perlakuan Soonyoung, terlebih saat tangan Soonyoung yang memeluknya itu menariknya kebelakang, membuat tubuh mereka semakin menempel.

Dan tanpa aba-aba Jihoon membalikkan tubuhnya membuat kedua wajah itu kini saling menatap dengan jarak yang sangat sangat tipis. Merasa diundang, Soonyoung pun semakin merapatkan tubuhnya dan memajukan wajahnya terus hingga menepis jarak diatara keduanya.

Bibir mereka saling menempel cukup lama. Hingga salah satu belah bibir berinisiatif untuk bergerak dan tentu saja itu adalah bibir Soonyoung. Mata keduanya masih terpejam rapat. Soonyoung melumat bibir Jihoon bergantian, menyesap manisnya bibir bawah dan atas Jihoon. Sesekali Soonyoung mencoba melesakkan lidahnya kebelahan bibir Jihoon yang masih saja tertutup rapat itu.

Soonyoung membuka matanya, memperhatikan Jihoon yang masih diam saja di bawahnya itu. Selalu seperti ini. Setiap Soonyoung meminta akses lebih Jihoon tak pernah memberikannya. Bahkan Jihoon tak pernah membalas setiap lumatannya. Bibirnya terus tertutup seolah pertanda bahwa ia belum bisa menerima Soonyoung sepenuhnya.

Soonyoung tahu... Soonyoung sadar... Tapi ia tak mau memaksa Jihoon. Ia tak butuh balasan dari Jihoon. Yeah~ Soonyoung tak butuh. Lebih baik seperti ini, jadi jika suatu saat ia harus pergi, Jihoon-nya tak akan terlalu sedih.

.

.

.

.

Hari berikutnya saat Jihoon bangun, ia tak menemukan keberadaan Soonyoung di apartementnya. Jihoon bahkan sudah mencoba mencarinya ke sekitar kawasan gedung apartementnya tapi Soonyoung tak ada dimanapun.

Jihoon yang menyerah karena sudah capek berkeliling akhirnya memutuskan kembali ke apartementnya. Setelah selesai mandi, Jihoon keluar kamarnya tapi sosok Soonyoung belum juga kembali. Langsung saja Jihoon mengambil ponselnya, mengecek siapa tau Soonyoung menelponnya tadi atau mengiriminya pesan. Namun sayang, sama sekali tak ada telpon ataupun pesan di ponsel Jihoon.

Jihoon mengerucutkan bibirnya lalu melempar sembarangan ponselnya itu ke sofa kemudian ia berjalan menuju dapur, hendak membuat makanan untuk sarapan. Jihoon mencoba berkonsentrasi mengiris wortel di depannya itu agar tak salah jadi mengiris tangannya sendiri. Tapi sayang, pikiran Jihoon masih saja di penuhi nama Kwon Soonyoung.

"Mungkin dia hanya jalan-jalan sebentar." gumam Jihoon masih sembari mengiris bahan masakan di depannya. Namun sedetik kemudian surai pink nya itu bergoyang kekanan dan kekiri. "Tidak~ Soonyoung bahkan tak suka keramaian."

Kini Jihoon tengah mengaduk telur lalu memasukkan wortel, daun bawang, dan kubis yang tadi ia iris lalu mencampurnya jadi satu. "Mungkin dia sedang ke minimarket. Atau ke supermarket." Jihoon lalu menuangkan campuran telur tadi keatas penggorengan. Namun kepala mungil Jihoon kembali bergerak. "Itu juga tidak mungkin. Anak itu bahkan tak punya uang sepeserpun."

Jihoon membalik telur dasarnya lalu melipatnya menjadi memanjang. "Atau mungkin dia pulang kerumahnya ?" Setelah dirasanya matang, ia mengangkat telur itu kemudian memotong-motongnya jadi seperti telur gulung. "Tidak~ rumahnya bahkan ada diluar kota, ia tak mungkin pulang dengan tangan kosong."

Disuapkannya satu potong telur gulung itu kedalam mulut kecilnya lalu mengunyahnya. "Uhm~ atau mungkin anak itu pergi ke kampusnya ?" kembali Jihoon menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak~ dia bilang kan sedang cuti kuliah jadi tidak mungkin dia ke kampus."

Kembali Jihoon memasukkan potongan kedua telur gulungnya kedalam mulutnya. "Satu-satunya tempat yang bisa ia tuju hanya rumah Seokmin. Benar~ anak itu pasti sedang bersama Seokmin sekarang." tebak Jihoon yakin masih dengan mulut penuh telur gulung ia bicara.

Tiba-tiba saja ponsel Jihoon berbunyi membuat sang empunya berlari mengambilnya. Seulas senyum terpatri indah di wajah yang sedang menggembung karena masih mengunyah itu. Nama kontak yang sedari tadi ia tunggu-tunggu itu akhirnya menelponnya juga. Tanpa banyak berpikir Jihoon langsung mengangkat panggilan itu.

"Yakh~ kau dimana ha ?! Kenapa pergi tak bilang-bilang ha ?!" teriak Jihoon agak kurang jelas karena mulutnya masih di penuhi makanan.

"Jihoon-ah~ suaramu kenapa ? Apa kau sakit ?" namja di seberang telepon itu mengerutkan keningnya begitu mendengar cara bicara Jihoon yang aneh.

"Aniya~ aku hanya sedang makan telur gulung." jedak sejenak hingga Jihoon kembali bicara. "Baru saja kutelan. Yakh~ kenapa kau tak jawab pertanyaanku eoh ?!"

"Aku dirumah Seokmin." jawab Soonyoung membuat wajah Jihoon berubah seolah berkata 'sudah kuduga'.

"Apa kau mencariku ?"

"Ani~" jawab Jihoon tegas, padahal siapa tadi yang terlihat galau.

Soonyoung hanya tersenyum tipis di seberang telepon. Ia tahu sifat kekasih mungilnya itu. Seorang Lee Jihoon tak akan mau mengakui perasaannya dengan mudah.

"Aku tak akan pulang beberapa hari. Aku ada urusan, mungkin butuh waktu beberapa hari. Jadi tidak usah mencari dan menungguku pulang."

Jihoon terdiam mendengar perkataan Soonyoung itu. "Kau mau kemana ?" terdengar nada khawatir sekaligus sedih dari ucapan Jihoon barusan.

"Aku tak akan pergi jauh. Tenang saja. Aku juga tak akan meninggalkanmu begitu saja. Kita akan bertemu lagi minggu depan saat kau menyelesaikan menulis kisah kita. Setelah itu kita bisa pergi berkencan seperti keinginanmu."

Jihoon menghela napasnya. "Nde~ arraseo~"

"Kututup dulu ya~"

"Nde~"

"Aku akan sering menghubungimu."

"Nde~"

.

.

.

.

Soonyoung benar-benar menepati perkataannya. Meski ia tak bisa bertemu Jihoon untuk saat ini, namun setiap hari bahkan setiap jam ia selalu menghubungi Jihoon entah itu untuk menanyakan keadaan Jihoon, apakah Jihoon sudah makan atau belum, apa yang sedang Jihoon lakukan, atau bahkan hanya sekedar ingin mendengar suara kekasih mungilnya itu saja.

Dan Jihoon dengan senang hati menerima setiap panggilan telepon dari Soonyoung itu. Meski terkadang ia sangat capek karena harus bergadang demi mengejar deadline novelnya yang kini hanya tinggal beberapa hari lagi, Jihoon tetap merespon setiap pesan dari Soonyoung yang masuk ke ponselnya.

Yah~ meski terkadang Jihoon pun malas membalasnya karena terlalu capek dengan urusan pekerjaannya, urusan kuliah, bahkan terkadang ia merenungkan kekasihnya itu. Jihoon akui bahwa ada satu hal mengganjal di dalam hatinya tentang sang kekasih dan hal itu mengganggunya setiap malam.

Dan hari ini, hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Hari dimana Jihoon harus menyerahkan karya tangannya ke penerbit dan investor. Tepat subuh tadi Jihoon akhirnya berhasil menyelesaikan seluruh ceritanya.

Jihoon meregangkan badan-badannya yang benar-benar terasa kaku itu. Duduk berjam-jam di depan layar laptop selama beberapa hari ini sungguh membuat tubuhnya terasa digebuki oleh preman jalanan.

Jihoon butuh istirahat. Jihoon butuh memejamkan mata berkantung hitamnya itu. Dan Jihoon butuh kasurnya sekarang juga.

Setelah mengirimkan novel barunya itu ke e-mail penerbitnya, Jihoon langsung mematikan laptopnya, beranjak dari duduknya dan berjalan begitu pelan menuju kamarnya sambil beberapa kali menguap.

"Ugh~ nyamannya~" gumam Jihoon begitu punggungnya merasakan empuknya kasur miliknya yang sudah beberapa hari ini ia tinggalkan itu. Baru Jihoon hendak menutup matanya dan berpindah ke alam mimpi, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.

Jihoon pun mengumpat, ia bersumpah akan membunuh siapapun yang menelponnya saat ini jika ia menelpon bukan untuk hal yang penting dan mendesak. Tangan mungil Jihoon meraba ke sekeliling kasurnya, mencari ponselnya yang terus saja berdering berisik itu berada.

Tanpa membaca siapa yang menelponnya, Jihoon langsung saja mengangkatnya dan berbicara dengan nada kesalnya.

"Yeoboseyo~"

"Jihoon-ah~ ayo keluar. Aku mau menepati janjiku sekarang."

.

.

.

.

Setelah menerima telpon dari Soonyoung, Jihoon melompat dari kasurnya dan bergegas berganti pakaian. Dicobanya satu persatu pakaian-pakaiannya yang tergantung di dalam lemarinya itu.

Jihoon menggeleng ketika melihat penampilannya di cermin. Ia mengenakan kaos putih berbalut jaket jeans dan dipadukan dengan celana jeans robek-robeknya. Dilihat kembali penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kakinya.

"Tidak~ ini tidak benar. Masa pergi berkencan dengan celana robek-rebok begini." segera Jihoon mengganti lagi pakaiannya, mencoba pakaiannya yang lain.

Jihoon kembali menggeleng melihat penampilannya di depan cermin lagi. Celana selutut berwarna cokelat dengan kemeja bermotif bunga berwarna kuning yang tak ia kancingkan membiarkan kaos putih polosnya terlihat.

"Kenapa aku jadi seperti turis begini ?"

Jihoon terus saja menggonta-ganti pakaiannya, mencari style yang cocok ia pakai hari ini. Bagaimanapun ini adalah kencan yang berbeda dari biasanya. Akhirnya Soonyoung mengajaknya jalan-jalan keluar juga. Dan Jihoon tak mau hanya berpenampilan biasa saja. Ia harus tampil memukau di depan Soonyoung.

Dan setelah percobaan entah keberapa kalinya akhirnya Jihoon memantapkan hatinya dengan pakaian yang ia pakai saat ini. Sweater pink panjang yang berpadu dengan celana jeans utuh dan sebuah topi pink yang berwarna senada dengan rambutnya itu.

Setelah dirasanya sempurna, Jihoon langsung meraih tasnya dan berlari keluar dengan tergesa. Waktunya sudah terbuang banyak hanya untuk memilih baju tadi.

Sesampainya di taman kota, tempat yang menjadi lokasi janjiannya dengan Soonyoung, Jihoon bergegas mencari dimana sosok Soonyoung berada. Ia hanya berharap Soonyoung tak bosan menunggunya yang begitu lama itu dan merubah pikirannya karena kesal.

Seulas senyum terpatri di wajah Jihoon begitu matanya menangkap sosok Soonyoung tengah duduk di salah satu bangku di taman itu. Jihoon segera berjalan mendekati Soonyoung.

"Soonyoung-ah~" panggil Jihoon membuat sang empunya nama menoleh san tersenyum manis.

"Akhirnya kau datang juga. Aku sudah hampir lumutan menunggumu disini." gerutu Soonyoung bercanda membuat Jihoon menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Mianhae~ aku tadi sedang bersih-bersih apartement jadi aku harus menyelesaikannya dulu baru datang kemari. Jelas Jihoon bohong. "Jadi... Mau kemana kita hari ini ?"

Pertanyaan Jihoon itu langsung di tanggapi senyuman manis khas Kwon Soonyoung. "Kita ke Lotte World. Ayo naik roller coaster dan bianglala, pasti akan sangat seru."

"Jinja ?" Soonyoung langsung menganggukkan kepalanya.

"Nde~ ayo kesana dan kita harus menaiki semua wahana yang ada disana."

"Woah~ jinja ini pasti sangat menyenangkan." teriak Jihoon girang. "Cha~ kalau begitu ayo kita berangkat, kita harus bergegas supaya bisa menikmati semua wahana itu." Jihoon langsung menggenggam tangan Soonyoung dan menariknya namun Soonyoung langsung menghentikannya.

"Wae ?" tanya Jihoon bingung.

"Seokmin sedang ke toilet, kita harus menunggunya."

"Mwo ? Seokmin ?"

"Nde~"

"Tapi kenapa dia bisa ada disini ?"

"Aku yang mengajaknya."

"Mwo ? Wae ? Wae ?"

"Kupikir tidak akan seru jika hanya berdua saja jadi kuajak saja dia. Lagipula kau pasti juga akan butuh teman nanti."

Tolong ingatkan Jihoon saat ini jika kekasihnya ini memang orang aneh. Tadi ia bilang mau berkencan dengan Jihoon kan ?! Tapi kenapa ia malah mengajak orang lain ? Jihoon benar-benar tak habis pikir. Kekasihnya ini memang sungguh aneh dan menyebalkan.

.

.

.

.

"Woah~ Lotte World memang yang terbaik." pekik Seokmin girang setelah mencoba beberapa wahana disana.

Hari sudah mulai larut dan mereka butuh istirahat dan mengisi perut mereka yang sudah saling demo dari tadi. Tentu saja mereka lapar, mereka bahkan sudah mengelilingi hampir seluruh sudut di taman bermain itu.

Senyum bahagia terus terukir di bibir Seokmin, hingga mereka kini telah duduk di salah satu restoran yang ada di dalam kawasan Lotte World. Seokmin sungguh menikmati hari ini, namun itu semua berbanding terbalik dengan wajah Jihoon saat ini.

Namja mungil itu sejak berangkat tadi sudah memasang wajah cemberut dan terus saja mengumpat dalam hati. Mood nya benar-benar sedang buruk saat ini. Sia-sia saja waktu yang telah Jihoon habiskan hanya untuk memilih pakaiannya tadi.

Dan yang membuat Jihoon semakin kesal adalah kedua namja di depan dan di sampingnya yang kini tengah saling tertawa itu. Bagaimana tidak ? Setelah mengacaukan acara kencannya, mereka masih bisa tertawa lepas seperti itu ?

Tunggu saja~ Jihoon bersumpah akan menggunduli mereka dengan gunting taman setelah pulang dari sini nanti. Bisa-bisanya mereka tertawa, apa mereka tak bisa melihat perasaan Jihoon saat ini ?

"Aku ke toilet dulu." pamit Jihoon.

Sepeninggalan Jihoon raut wajah Seokmin dan Soonyoung langsung berubah drastis. Mereka saling menatap satu sama lain dalam diam, saling merenung dalam pikiran masing-masing.

"Kau masih belum menemukannya ?" ucap Seokmin memecah keheningan.

Soonyoung menggeleng sebagai jawaban. "Belum. Ah~ kenapa susah sekali menemukan orang brengsek itu ! Aku merelakan waktu satu mingguku yang seharusnya bisa aku habiskan bersama Jihoon demi mencari orang itu."

Kembali keheningan menyelimuti mereka berdua. Seokmin hanya memandangi Soonyoung yang kini tengah menunduk sambil mengacak-acak rambutnya itu.

"Kurasa sudah waktunya kau memberitahu segalanya pada Jihoon." ucap Seokmin kembali membuka pembicaraan.

Soonyoung menggeleng pelan. "Aniya~ sekarang masih bukan waktu yang tepat."

Seokmin menghela napas kasarnya. "Lalu kapan waktu yang tepat itu eoh ? Kau selalu saja mengatakan hal seperti itu. Apa kau tak lihat wajah sedih dan kecewa Jihoon tadi ?"

Tak ada jawaban dari Soonyoung.

"Aku sudah tak tega lagi berbohong padanya Soonyoung-ah~ lebih baik kau cepat buat keputusan. Waktumu benar-benar semakin terbatas. Jika kau terus saja berkeliaran seperti ini, kau tak akan pernah bisa kembali. Tapi..."

"Tapi jika aku kembali sekarang itu tak ada bedanya dengan mati." sahut Soonyoung memotong ucapan Seokmin. "Bukankah aku hanya punya dua pilihan saat ini ? Kembali tapi kau tidak pernah tahu kapan kau akan mulai membuka matamu lagi. Atau tetap disini dan kau akan bisa kehilangan segalanya."

"Jadi... Pilihanmu..."

"Untuk saat ini aku akan tetap memilih yang kedua. Aku masih ingin terus bersama Jihoon, menghabiskan waktu bersamanya."

"Soonyoung-ah~"

"Karena jika aku kembali sekarang, aku tak bisa jamin bahwa aku akan bisa kembali lagi padanya."

"Soonyoung-ah~"

"Aku tak bisa. Tidak untuk saat ini. Jadi kumohon biarkan aku berada disisinya."

.

.

.

.

Jihoon menatap ponselnya yang terus saja berdering dari tadi. Sejak kejadian di taman hiburan tempo hari itu membuat Jihoon berpikir keras. Apakah benar Soonyoung mencintainya ? Jika memang benar kenapa dia selalu menganggap hubungan mereka seperti candaan.

Soonyoung tak pernah mendengarkan kritikannya. Soonyoung selalu menyepelekan keluhannya. Dan Soonyoung tak pernah menganggap serius hubungan mereka. Padahal Soonyoung duluanlah yang menyatakan perasaannya pada Jihoon. Dia bilang Cinta pada pandangan pertama, bukankah seharusnya cinta pada pandangan pertama itu begitu dalam ?

Tapi kenapa Jihoon tak pernah merasakannya. Apa hanya karena Jihoon tak suka dengan cara berpacaran mereka yang terkesan sembunyi-sembunyi ini ? Atau karena memang sejak awal Jihoon tak punya perasaan pada Soonyoung ?

Jihoon tak tahu harus menjawab apa pada pertanyaannya sendiri itu. Sudah beberapa hari ini Jihoon merenung, setiap malam memikirkan pertanyaan itu namun tak juga ia temukan jawabannya.

"Kenapa tak diangkat ? Mungkin itu telepon penting." sebuah suara seorang yeoja menyadarkan Jihoon dari lamunannya.

Jihoon hanya tersenyum canggung dan menggelengkan kepalanya pelan. "Itu hanya panggilan salah sambung, tak usah dihiraukan." Jihoon langsung membalik ponselnya agar nama Soonyoung yang muncul di layar ponselnya itu tak terlihat meski suara berisik di ponselnya itu masih saja terus berdering.

"Noona~ apa sudah selesai menata rambutnya ? Hanya begini saja ?"

Yeoja yang berprofesi sebagai stylist tadi langsung mengangguk. "Nde~ wajahmu sudah sangat imut, tak perlu di buat macam-macam. Gaya natural kurasa yang paling cocok untukmu di depan kamera nanti." ucap yeoja yang terlihat lebih tua dari Jihoon itu membuat Jihoon mengangguk mengerti.

"Pakaianmu ada disana, gantilah dulu nanti aku tambahkan beberapa aksesoris yang penting. Aku tinggal ke toilet sebentar ya~" lanjut yeoja tadi yang lagi-lagi ditanggapi anggukan oleh Jihoon.

Yeah~ hari ini adalah hari yang cukup penting bagi Jihoon karena sebentar lagi ia akan mengadakan interview yang di tayangkan langsung dari toko buku terbesar di Seoul itu. Jihoon sudah biasa merasakan perasaan gugup di hari pertama perilisan setiap novel buatannya itu.

Namun kali ini ada yang sedikit berbeda. Jika biasanya Jihoon merayakan perilisan bukunya dengan fansign event maka untuk buku ke sepuluhnya ini ia akan mengadakan siaran langsung. Dan hal itu membuat Jihoon dua kali lipat lebih gugup.

"Jihoon-ah~ waktunya sudah tiba." pekik seorang yeoja lain dari balik pintu yang Jihoon yakini adalah PD untuk acaranya kali ini.

Jihoon pun menghela napas beratnya kemudian langkah kaki-kaki mungil Jihoon membawanya hingga ke atas stage dimana orang-orang yang mengaku sebagai penggemar tulisan tangannya itu, beberapa wartawan, dan para kru TV telah berkumpul.

Jihoon tersenyum senang lalu duduk di salah satu kursi yang telah disediakan, duduk menghadap sang MC dan mulai menjawab berbagai macam pertanyaan yang di berikan oleh sang MC.

"Jihoon-ssi, ini adalah novel karyamu yang kesepuluh. Kudengar tak mudah mencapai semua ini dan berada bisa berada disini dengan fans yang begitu banyak." ucap sang MC menunjuk para fans yang telah datang memenuhi tempat itu, membuat para fans berteriak histeris.

"Ah~ nde~ kamsahamnida." Jihoon tersenyum dan memberikan sebuah tanda hati kecil kepada para pengunjung dengan jempol dan jari telunjuknya. "Sebenarnya aku sampai di posisi ku saat ini juga berkat para fans."

"Ada yang ingin kau ucapkan pada para fansmu ?"

"Nde~ uhm~ terima Kasih banyak telah membaca karya-karyaku selama ini. Aku masih sangat muda jadi aku yakin masih butuh banyak belajar dan pengalaman dalam dunia penulis ini. Jadi aku harap kalian semua masih mau mendukungku meski novelku kali ini mungkin tak akan kalian sukai."

"Ah~ itu tidak mungkin. Para fans pasti akan selalu menyukai setiap karyamu." ucap sang MC membuat Jihoon tertawa canggung. "Tapi kudengar ada sesuatu yang berbeda dengan tulisanmu kali ini. Cerita kali ini adalah cerita cadangan dari cerita asli yang sudah kau buat. Apa maksudnya ini ?"

"Cerita awalku adalah tentang kisah seseorang yang rela melakukan apapun demi pujaan hatinya. Tapi karena investor dan penerbit menganggap cerita itu terlalu pasaran akhirnya mereka memintaku mengetik ulang semuanya dari awal padahal waktu yang tersisa hingga deadline hanya seminggu."

"Woah~ jadi kau mengetik buku ini hanya dalam waktu seminggu ?" tanya sang MC dengan rasa kekagumannya. Sang MC kini mulai membuka-buka buku di tangannya itu. "Ada hal menarik dalam buku ini yang membuat siapapun yang melihatnya pasti jadi penasaran dengan isinya. Sampulnya sungguh unik dan full colour. Boleh aku tahu arti dari gulali-gulali dalam sampul ini ?"

Jihoon menatap buku yang di tunjukkan oleh MC itu pada kamera. "Ada seseorang yang menginspirasiku. Orang itu memintaku menuliskan kisah cintanya dengan kekasihnya, dan jadilah buku itu."

"Jadi ini kisah nyata ?"

"Nde~ dan orang itu sangat suka dengan gulali. Dia juga suka dengan warna-warna cerah. Jika kutanya apa warna favoritnya, ia hanya akan menjawab dia suka dengan semua warna asal warna itu terang. Dia tak suka dengan warna gelap karena ia benci dengan tempatnya berada ini. Dan warna yang paling dia benci adalah abu-abu."

"Wae ?"

"Karena warna abu-abu itu tidak nyata, sama seperti dirinya saat ini." ucapan Jihoon berhenti saat melihat tatapan bingung dari semua orang yang ada disana. "Jangan tanya apa maksudnya padaku karena sampai sekarang pun aku juga tak mengerti dengan maksudnya."

"Ah~ baiklah~ uhm~ Jihoon-ssi, cerita kali ini adalah tentang Cinta pertama. Apa ada sesuatu yang khusus tentang cerita ini ?" lanjut sang MC mencoba mengalihkan pembicaraan yang tak ia mengerti itu.

"Seperti yang kubilang tadi, ini adalah kisah nyata seseorang yang kukenal. Ia menembak kekasihnya saat ini di hari pertama kali mereka bertemu. Bukankah itu terdengar cukup gila ? Dia bilang itu yang namanya Cinta pada pandangan pertama."

"Jadi kau percaya cinta pada pandangan pertama ?"

"Ani~" ucap Jihoon tegas. Kini mata sipitnya menatap tajam kearah salah satu kamera yang sedang merekamnya. "Aku tak pernah percaya Cinta pada pandangan pertama. Orang yang saling mencintai itu butuh proses penjajakan dan pengenalan karakter satu sama lain. Cinta butuh proses, tak mungkin bisa tercipta begitu saja dalam sekejap mata. Jadi jika ada seseorang yang mengatakan padamu bahwa kau adalah cinta pada pandangan pertamanya jangan pernah mempercayai itu. Karena itu hanya halusinasi saja. Cinta tanpa mengenal satu sama lain hanya akan menyakiti salah satu pihak."

"Jadi kau tidak percaya dengan apa yang kau tulis sendiri Jihoon-ssi ?"

"Nde~ aku tak pernah percaya pada orang yang dengan mudahnya menyatakan perasaannya dan mengatakan cinta pada pandangan pertama. Karena itulah aku menulis buku ini. Aku menulisnya agar orang itu sadar bahwa cinta pada pandangan pertama itu adalah cinta palsu."

.

.

.

.

Acara perilisan novel kesepuluh Jihoon itu akhirnya selesai juga setelah ia mengadakan fansign kecil untuk 50 pembeli pertama bukunya hari ini. Jihoon terlihat kelelahan, ia berjalan menuju ruang gantinya untuk beristirahat sebentar sebelum pulang.

Namun ponselnya sedari tadi tak henti-hentinya bergetar. Bahkan saat acara berlangsung tadi pun ponsel itu terus saja bergetar terus-menerus di dalam saku celananya. Jihoon yang kesal akhirnya mengeluarkan ponsel itu dari saku celananya, menatap nama kontak yang terus saja menelponnya tanpa henti itu sebelum akhirnya ia putuskan untuk menjawab panggilan itu.

"Jihoon-ah~"

"Soonyoung-ah dengarkan aku dan jangan menyela. Jangan menjawab apapun yang akan kukatakan padamu." jeda beberapa detik, tak ada yang bersuara diantara keduanya hingga Jihoon menghela napas beratnya dan mulai membuka bibirnya.

"Aku yakin kau tak sebodoh itu, aku yakin kau tadi melihat acaraku juga, dan aku yakin bahwa kau mengerti apa yang aku ucapkan diatas panggung tadi. Ya~ itu semua kutulis untukmu agar kau sadar bahwa hubungan kita ini tak sehat."

"Apa yang kau takutkan Soonyoung sampai kita harus menjalani hubungan sembunyi-sembunyi seperti ini. Aku tak habis pikir, sungguh~. Selama ini aku berusaha menjalaninya dengan segala kemampuanku. Aku mencoba percaya padamu. Aku mencoba bertahan disisimu. Dan aku mencoba untuk mencintaimu."

"Tapi kurasa semua usaha ku itu sia-sia saja. Kenapa aku merasa bahwa hanya aku disini yang berusaha. Kau bilang kau mencintaiku tapi kenapa kau tak pernah membuktikannya padaku ? Aku mencoba menunggu sembari menata perasaanku untukmu juga. Aku yang mencoba membuka hatiku untukmu saja berusaha agar hubungan kita ini berjalan lancar tapi kenapa kau yang bilang suka lebih dulu malah diam saja ?"

"Jihoon-ah~ aku..."

"Mianhae Soonyoung-ah~ tapi aku harus jujur padamu. Aku... Tak pernah punya perasaan padamu." jeda sejenak saat Jihoon mencoba menahan isakan yang hampir saja lolos dari bibirnya. "Aku sudah berusaha membalas perasaanmu tapi kurasa semuanya sia-sia saja. Jadi kupikir lebih baik kita akhiri sampai disini saja. Jangan pernah menemuiku lagi. Aku tak ingin melihat wajahmu lagi. Pergi dari hidupku. Aku muak denganmu."

Dan bersamaan dengan terputusnya sambungan telepon yang dilakukan oleh Jihoon itu, isakan Jihoon pun pecah. Air mata yang sudah ia tahan sedari tadi itu akhirnya keluar juga membasahi pipi pucatnya. Amarahnya meluap begitu saja tanpa bisa di hentikan. Ini terlalu berat bagi Jihoon.

.

.

.

.

Sudah 3 hari berlalu sejak Jihoon memutuskan hubungannya dengan Soonyoung. Ia bahkan mengganti password pintu apartementnya agar Soonyoung tak bisa lagi masuk seenaknya kedalam tempat tinggalnya Jihoon.

Meski begitu ponsel Jihoon belum juga berhenti berdering sejak tiga hari yang lalu itu. Nama kontak yang sama terus menerus menelponnya tanpa henti. Saking bosannya mendengar nada deringnya sendiri itu membuat Jihoon bahkan berpikir untuk membanting ponselnya agar diam.

Namun Jihoon mengurungkan niatnya. Bagaimana pun juga banyak kontak penting yang kapan saja mungkin akan menelponnya. Itu juga menjadi salah satu alasan Jihoon tak bisa men-silent ponselnya, karena setiap saat bisa saja investor atau penerbit menelponnya. Jika ia ketahuan mengabaikan telpon dari dua orang itu maka bisa di pastikan bahwa riwayat karirnya sebagai penulis akan tamat begitu saja.

Seminggu telah berlalu dan hidup Jihoon kini benar-benar tenang. Kehidupan sunyinya sebelum bertemu dengan Soonyoung akhirnya kembali lagi. Jihoon benar-benar merindukan datangnya hari ini lagi. Tapi... Entah kenapa Jihoon kini juga merasa merindukan hari-hari yang ia habiskan bersama Soonyoung dulu.

Namja itu, Kwon Soonyoung, sebut saja mantan Jihoon sekarang sudah berhenti menelponnya sejak beberapa hari yang lalu. Jihoon pikir mungkin Soonyoung sudah bosan mengejarnya dan sudah menemukan orang lain sebagai gantinya.

Tapi kenapa Jihoon merasa hatinya sakit saat memikirkan hal itu ?!

Jihoon menggelengkan kepalanya membuat rambut hitamnya bergoyang kekanan dan kekiri. Ia baru saja kembali dari salon untuk merubah warna rambutnya. Setiap kali Jihoon berkaca, rambut pink nya itu membuatnya teringat Soonyoung. Namja itu pernah bilang bahwa ia sangat suka dengan rambut pink Jihoon. Selain warna itu membuat Jihoon makin manis, warna itu juga mengingatkannya pada gulali, makanan yang sangat ia sukai.

Jihoon menghentikan langkahnya begitu mata sipitnya tak sengaja menatap penjual gulali di seberang jalan yang ia lalui itu. Melihat gulali-gulali itu membuat Jihoon jadi teringat pada Soonyoung.

Jihoon jadi ingat di hari mereka pergi ke Lotte World bersama Seokmin, saat Seokmin sedang pergi ke toilet, ia sempat berjalan-jalan berdua bersama Soonyoung. Disana, mereka juga bertemu dengan penjualan gulali. Saat itu Jihoon dapat melihat dengan jelas mata berbinar Soonyoung.

"Kau mau makan gulali ?" tanya Jihoon yang melihat pandangan mata Soonyoung tak juga teralihkan dari penjual gulali yang berada tak jauh dari tempatnya dan Soonyoung saat itu.

"Ani~ aku tak punya uang untuk membelinya."

"Biar aku belikan." setelah mengatakan hal itu Jihoon langsung melangkah maju hendak menghampiri sang penjual gulali namun tangannya langsung di cekal dan di tahan oleh Soonyoung.

Soonyoung menggeleng dan tersenyum. "Tidak perlu, aku tidak bisa makan gulali saat ini. Nanti saja, jika kau bertemu denganku lagi baru kau belikan aku gulali itu."

Mendengar ucapan Soonyoung barusan membuat Jihoon mengerutkan keningnya bingung. Soonyoung yang sadar akan ucapannya langsung berkelit. "Maksudku nanti saat aku ulang tahun kau harus membawakanku se-truk gulali."

"Wae ?"

"Karena aku sangat suka gulali. Dan kau harus ada di hadapanku saat aku menghabiskan semua gulali itu."

"Wae ?"

"Karena kau sama manisnya dengan gulali-gulali itu. Bahkan jika kutatap terus, kau bahkan lebih manis dari semua gulali itu." mendengar rayuan tiba-tiba Soonyoung itu membuat pipi Jihoon memanas.

"Kau tahu, kau dan gulali itu rasanya sama-sama manis di bibirku." dan sebuah kecupan manis langsung mendarat di bibir Jihoon begitu Soonyoung mengatakan kalimat itu.

Jihoon menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat kejadian itu. Diraihnya ponsel yang sedari tadi diam di saku celananya itu, mengotak-atiknya sampai ia berhenti di salah satu kontak seseorang.

Jihoon ragu, jarinya berulang kali maju untuk menekan tombol berbentuk telepon di samping nomor itu namun ia urungkan. Begitu berulang kali hingga akhirnya ia tak tahan lagi dan menekan nomor itu.

Jihoon langsung mengerutkan keningnya saat mendengar jawaban dari nomor yang ia telpon itu. Bukan jawaban dari orang yang ia hubungi ataupun nada sambung yang ia dengar, tapi malah jawaban operator yang membuatnya mengernyit.

"Maaf~ nomor yang anda hubungi tidak terdaftar."

Jihoon menatap layar ponselnya dengan heran. Berulang kali sudah ia mencoba menelpon nomor itu namun jawaban yang ia dapat sama saja.

"Apa-apaan ini ?!"

.

.

.

.

Jihoon yang sedang menonton TV itu mengalihkan pandangannya kearah pintu saat suara bel apartementnya berbunyi. Jihoon melirik jam dinding yang berada di atas TV nya itu. Jihoon mengernyitkan dahinya, waktu bahkan sudah menunjukkan pukul 9 malam. Jihoon pun bangkit, berjalan kearah pintu untuk mengecek siapa yang datang malam-malam begini.

"Oh~ Seokmin~" pekik Jihoon begitu mendapati Seokmin lah yang berada di balik pintu.

Seokmin tersenyum. "Boleh aku masuk ?"

"Tentu, masuklah~" Seokmin pun langsung masuk setelah mendapat ijin dari sang pemilik apartement itu. "Duduklah dulu, akan kubuat kau minum."

"Mian baru bisa datang jam segini padahal kau sudah menghubungiku sejak tadi siang."

"Gwaenchana~" sahut Jihoon sambil melangkah kearah dapur. "Sepertinya kau sedang sangat sibuk. Apa kau sibuk menangkap hahan ?" canda Jihoon.

"Kau pikir aku pemburu hantu apa." sahut Seokmin yang kini tengah menggonta-ganti channel TV. "Kenapa kau ingin bertemu denganku ?"

"Aku hanya ingin tanya sesuatu." Jihoon berjalan ke ruang tengahnya, tempat Seokmin kini duduk sambil membawa segelas orange jus dan sepiring snack.

"Tanya apa ?" ucap Seokmin lalu meneguk orange jus yang baru saja diletakkan Jihoon keatas meja didepannya.

"Soonyoung... Kau tahu dimana dia sekarang ? Kemarin aku menghubungi nomornya tapi sambungannya bilang jika nomor itu tak terdaftar. Apa yang sebenarnya terjadi hem~? Kau tahu sesuatu kan ?"

Mendengar pertanyaan Jihoon itu membuat Seokmin menghentikan minumannya seketika. Ditatapnya Jihoon yang kini juga tengah menatapnya menunggu jawaban. Seokmin terus menatap dalam mata Jihoon. Ia ingin menjawabnya tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu dan tenggorokannya bahkan terasa berat hanya untuk menelan ludah.

"Apa kau masih mengharapkan Soonyoung kembali ?"

Jihoon tersenyum miring. Bukannya menjawab pertanyaannya tadi, Seokmin malah balik bertanya padanya. Dan kini Jihoon semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi dan itu tak di ketahuinya.

"Aku hanya ingin menyapanya saja. Aku penasaran apakah dia sekarang bisa hidup enak tanpa harus menumpang padaku. Atau dia sekarang malah sudah menemukan orang lain dan menjadi benalu orang itu." ucap Jihoon begitu pedas sembari berjalan kembali kedapur untuk mengambil minumannya sendiri.

"Jangan begitu Jihoon-ah~ jika kau tahu yang segalanya kau pasti akan menyesal telah mengatakan itu semua."

"Wae ? Apa kenyataannya lebih mengerikan dibanding yang kupikirkan tadi." Jihoon berkata sambil memunggungi Seokmin, ia tengah menuangkan sirup ke dalam gelasnya. "Apa seleranya telah berubah ? Jangan-jangan dia sekarang sedang tidur dengan tante-tante genit di motel."

"Jihoon-ah !"

"Bukankah tante-tante itu lebih punya banyak uang dari pada aku ? Ah~ Soonyoung pasti sangat betah dengan kehidupannya sekarang."

"Yakh~ Jihoon-ah jaga bicaramu !" pekik Seokmin yang hanya di balas tatapan tajam oleh Jihoon.

Jihoon menggenggam erat gelas berisi sirup strawberrynya itu sambil berjalan mendekati Seokmin. "Kalau kau tak ingin aku berpikir buruk tentang sahabatmu itu maka katakanlah yang sebenarnya. Katakan apa yang sebenarnya tengah terjadi ? Kenapa nomornya tiba-tiba saja tak terdaftar ? Kenapa semua pesan dan chat yang kukirimkan padanya beberapa hari ini tak ada satu pun yang terkirim. Dan... Kenapa fotoku bersama Soonyoung yang kami ambil selama ini bisa menghilang begitu saja padahal aku sangat yakin bahwa aku tak pernah menghapusnya. Bahkan semabuk-mabuknya aku, sekesal-kesalnya aku, semarah apapun aku pada Soonyoung, aku tak pernah berniat menghapus kenangan kita."

seokmin terlihat masih belum mau membuka mulutnya. Jihoon pun melanjutkan ucapannya. "Kemarin aku datang ke kampus Soonyoung." perkataan Jihoon itu membuat Seokmin terlonjak.

"Aku pikir aku bisa bertemu dengannya disana. Aku hanya berpikir untuk meluruskan masalah kami dan berbicara baik-baik, tapi apa yang kudapat ? Tak ada satu pun mahasiswa disana yang mengenal Soonyoung. Bahkan saat aku bertanya ke bagian kantor kampus itu sama sekali tak ada data mahasiswa bernama Kwon Soonyoung. Jadi... Kuharap kau mengatakan yang sebenarnya sekarang, Lee Seokmin."

Jeda sejenak, Jihoon mencoba menetralkan emosinya, napasnya memburu tam teratur. "Jadi kenapa foto-foto itu menghilang begitu saja ?"

Jihoon masih terus berdiri menghadap Seokmin, menunggu jawaban Seokmin yang tak kunjung-kunjung membuka mulutnya itu. "Seokmin-ah~ kumohon~ aku tahu ada yang tak beres. Jadi... Beritahu aku."

"Jihoon-ah~ mianhae~" Seokmin menghela napas beratnya. "Soonyoung... Kecelakaan." Jihoon membulatkan matanya tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan namja di hadapannya ini.

"Mw-mwo ?" tangan Jihoon bergetar memegangi gelas minumnya, jantungnya bahkan kini berdetak begitu cepat.

"Soonyoung koma. Anak itu... Soonyoung... Dia sudah koma selama 3 tahun."

Dan seketika tubuh Jihoon terasa sangat lemas. Tangannya bahkan tak kuat memegangi gelas minumnya sendiri membuat gelas itu kini terjatuh dan berubah menjadi pecahan kaca berkeping-keping.

.

.

.

.

Jihoon terus menyeret kakinya mengikuti langkah pelan Seokmin menuju salah satu bangsal yang ada di rumah sakit itu. Tadi begitu Jihoon mendengar semua cerita dari Seokmin ia langsung berlari menuju rumah sakit tempat Soonyoung dirawat ini. Jihoon masih tak percaya maka dari itu ia harus membuktikannya sendiri.

Namun begitu sampai di depan pintu masuk rumah sakit langkahnya menjadi semakin berat. Ia kini takut, takut melihat kenyataan yang ada.

"Seokmin-ah~ kuberi kau satu kesempatan untuk jujur. Jangan bercanda lagi dan katakan bahwa ini semua bohong."

Seokmin menghentikan tangannya yang hendak meraih gagang pintu kamar didepannya itu. Ia menoleh menatap wajah Jihoon yang kini sulit diartikannya.

"Masuklah." ucap Seokmin begitu ia membuka pintu kamar itu.

Jihoon pun mau tak mau mengikuti langkah Seokmin masuk. Dan pemandangan pertama ia Jihoon lihat adalah berbagai macam alat kedokteran penunjang kehidupan yang menyala dan berbunyi membuatnya merinding. Langkah kaki Jihoon semakin masuk hingga ia kini berhenti tepat di samping ranjang seorang pasien.

Jihoon membekap mulutnya seketika begitu melihat wajah pasien yang tengah terbaring tak sadarkan diri dengan berbagai alat medis yang menancap di tubuhnya itu. Jihoon membelalakkan matanya, ia mengenal siapa orang yang tengah terbaring tak berdaya di hadapannya dan kini.

Jihoon sangat mengenalnya. Dan keyakinan Jihoon itu semakin kuat saat ia membaca nama pasien yang tertulis di sebuah papan yang ada di atas kepala ranjang itu.

"Kwon Soonyoung, koma sejak November 2013 hingga sekarang."

Itulah yang tertulis disana membuat tubuh Jihoon kembali lemas seketika. Badannya hampir ambruk jika saja ia tak segera menggenggam pinggiran ranjang di depannya itu.

"Jadi selama ini... Soonyoung yang aku kenal. Soonyoung yang selalu bersama ku, dia... Adalah..."

"Jiwa Soonyoung yang keluar dari raganya akibat kecelakaan 3 tahun yang lalu." sahut Seokmin membuat air mata yang sedari tadi di tahan oleh Jihoon itu akhirnya jatuh juga. Tangisnya pecah.

Masih dengan rasa tak percayanya, Jihoon meraih tangan Soonyoung, menggenggam tangan yang terasa begitu dingin itu masih dengan isakan di bibirnya.

"Hiks~ Soonyoung-ah~ hiks~"

.

.

.

.

Sejak Seokmin menceritakan segalanya pada Jihoon mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Soonyoung, membuat namja mungil itu kini tak pernah meninggalkan Soonyoung barang sebentar. Jihoonlah kini yang merawat Soonyoung.

Jihoon sudah tahu kronologi kecelakaan yang membuat Soonyoung kini terbaring tak berdaya. Kasus tabrak lari saat Soonyoung pulang dari latihan bersama klub dance nya di sekolah menengah atasnya dulu. Namun sayang meski 3 tahun telah berlalu, pelaku tabrak lari itu belum juga ditemukan.

Seokmin juga mengatakan padanya bahwa dirinya bukanlah cinta pada pandangan pertama Soonyoung. Soonyoung sudah berkali-kali bertemu dengan Jihoon dan mengikutinya. Dan itu butuh waktu satu tahun sampai ia berani menyatakan perasaannya padamu saat itu.

Mengingat perkataan Seokmin beberapa hari yang lalu itu membuat Jihoon tersenyum dengan mata berkaca-kacanya. "Dasar bodoh~ jadi karena itu aku dipandangi seperti orang gila. Aku berteriak pada sosok yang bahkan tak bisa dilihat orang lain."

Ditatapnya Soonyoung yang masih memejamkan matanya dengan selang oksigen di dalam hidungnya itu. Jihoon meraih tangan Soonyoung lalu menggenggamnya dan mengelus-elusnya dengan lembut.

"Jadi karena itu... Karena kau tak terlihat oleh orang lain... Karena itulah kau tak pernah mau aku ajak keluar, kecuali ke bioskop. Karena hanya di tempat gelap seperti di bioskop lah orang-orang tak akan melihatku bercengkerama dengan angin. Aku tak akan diperhatikan dan dianggap aneh. Kau... Juga mengajak Seokmin waktu itu agar aku ada teman mengobrol ? Dan... Agar orang-orang tak menganggapku gila kan jika mengobrol denganmu ?"

Jihoon menghela napas beratnya. Dengan susah payah ia menahan air matanya yang terus saja melesak keluar. "Dasar bodoh. Kwon bodoh."

Jihoon terus saja datang kerumah sakit. Menjaga Soonyoung, menemani Soonyoung, bahkan mengajak ngobrol Soonyoung meski orang yang ia ajak bicara itu tak pernah merespon. Namun hal itu tak jadi masalah untuk Jihoon. Meski setiap hari akan selalu sama saja seperti ini, Jihoon tak akan bosan. Ia akan terus menemui Soonyoung, sampai namja itu kembali membuka matanya, tak peduli meski butuh 3 tahun lagi sampai Soonyoung kembali sadar.

Sudah 1 bulan berlalu sejak Jihoon mengetahui segalanya. Dan Jihoon juga menepati janjinya, ia terus datang setiap hari.

Dan hari ini akhirnya tiba juga. Hari spesial bagi Jihoon, maka sebelum datang menjenguk Soonyoung tadi ia sempatkan berdandan dulu. Jihoon pun melangkah dengan riangnya menuju kamar rawat Soonyoung. Begitu pintu kamar itu ia buka, Jihoon langsung tersenyum cerah dan berlari kecil menghampiri Soonyoung.

"Tada~ kubawakan sesuai janjiku padamu." ucap Jihoon setelah menunjukkan sebuah gulali yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang punggungnya itu seolah ingin memberi kejutan pada Soonyoung.

"Soonyoung-ah~ saengil chukkae hamnida~" ucap Jihoon masih dengan tersenyum. "Bukankah kau bilang bahwa aku harus membelikanmu gulali di hari ulang tahunmu. Aku sudah menepati janjiku maka seharusnya kau juga menepati janjimu untuk memakannya dengan lahap." senyuman Jihoon memudar begitu saja saat ia teringat perkataan Seokmin waktu itu.

'Sebenarnya Soonyoung punya 3 pilihan. Pertama ia bisa pergi ke akhirat dan mengakhiri semuanya, melupakan segalanya termasuk dirimu. Kedua ia bisa tetap menjadi jiwa bebas dan terus berkeliaran di sekitarmu. Atau pilihan ketiga adalah kembali ke dalam raganya untuk hidup kembali. Tapi, jika ia kembali pun ia tak bisa langsung sadar dari komanya, semuanya butuh proses. Karena sekali ia kembali ke dalam tubuh nya, ia tak akan bisa keluar lagi dengan seenaknya. Setelah ia kembali ia akan terjebak di dalam tubuhnya sendiri, hanya bisa menunggu waktu yang tepat untuk sadar, dan itu semua tergantung pada kondisi tubuhnya sendiri. Dan apa kau tahu kenapa anak itu akhirnya memilih pilihan ketiga yang selama ini ia hindari itu ? Itu karena dirimu Jihoon-ah~ Soonyoung sangat mencintaimu dan ia ingin lebih lama bersamamu. Jadi dia rela terjebak di dalam tubuh itu dan menunggu. Tapi... Tak ada yang bisa menjamin bahwa ia akan sadar lagi, karena ia sudah terlalu lama meninggalkan tubuhnya karena dirimu.'

Tangan mungil Jihoon kini memukul-mukul pelan dada Soonyoung. "Dasar bodoh. Hiks~ kenapa kau malah mengikutiku. Karena kau terlalu lama bersamaku, kau jadi terjebak didalam tubuhmu sendiri begini kan !? Hiks~ jika saja kau tak berkeliaran dan langsung masuk kembali kedalam tubuhmu waktu itu kau tak akan selama ini koma dasar bodoh ! Hiks~" dan tangis Jihoon kembali pecah. Entah sudah yang keberapa kalinya ia menangis demi namja bodoh bernama Kwon Soonyoung itu.

Jihoon mendekati wajah Soonyoung, membelai pipi pucat Soonyoung terasa begitu dingin itu. Kini tatapan Jihoon beralih menatap bibir pucat Soonyoung yang tertutup rapat. Bibir itu... Bibir yang biasanya terus bicara tanpa henti, bibir yang sering memuji dan menggodanya, dan bibir yang sangat suka mencuri ciuman darinya.

Mengingat semua itu membuat Jihoon kembali menangis. Ia rindu pada Soonyoung nya yang cerewet. Jihoon rindu pada Soonyoung nya yang suka bercanda. Jihoon juga rindu pada Soonyoung nya yang selalu bersikap manja padanya. Jika ia tahu akhirnya akan seperti ini, Jihoon tak akan pernah menolak perlakuan Soonyoung padanya dulu.

Jihoon sungguh menyesal. Tapi rasa penyesalan itu pun tak ada gunanya saat ini. Bahkan tak ada yang bisa menjamin kapan namja di hadapannya ini akan membuka matanya. Bahkan bisa saja mata itu tak akan terbuka selamanya. Adapun keajaiban, belum tentu Soonyoung akan mengingatnya.

Dan entah dorongan dari mana, Jihoon menunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Soonyoung hingga bibir merahnya menempel pada bibir pucat Soonyoung. Di kecupnya belahan bibir yang sudah lama tak ia rasakan itu. Di lumatnya bibir bawah dan atas Soonyoung secara bergantian. Jihoon tak berhenti meski tak ada balasan dari Soonyoung. Kini dia tahu bagaimana rasanya memberi tanpa mendapatkan balasan. Dan itu membuat hati Jihoon terasa tercabik-cabik. Sebegitu jahatkah dirinya pada Soonyoung selama ini ?

Piiip~

Piiip~

Piiip~

Alat-alat di sekitar mereka tiba-tiba saja berbunyi tak teratur. Jihoon langsung menghentikan ciumannya dan memandang bingung kearah sekitarnya. Tiba-tiba saja rasa takut menghampirinya. Dan rasa takut itu semakin menjadi kala tubuh Soonyoung yang sedari tadi diam itu tiba-tiba terlonjak-lonjak dengan tubuh yang mengejang.

"Dokter ! Dokter ! Suster !" Jihoon langsung saja berteriak histeris memanggil para medis sekeras yang ia bisa. Para dokter dan suster pun langsung berlarian masuk kedalam kamar itu.

"Pasien mengalami syok." kata seorang suster.

"Cepat bawakan alat kejut jantung." teriak sang dokter membuat seorang perawat langsung berlari keluar.

"Apa yang terjadi pada Soonyoung ? Soonyoung akan baik-baik saja kan ?!" ucap Jihoon dengan bibir bergetarnya. Seorang perawat lalu mendorong tubuh Jihoon keluar.

"Anda tungguhlah disini, pasien sedang mengalami syok. Kami akan melakukan apapun yang kami bisa." ucap perawat itu lalu kembali lagi kedalam dan menutup pintunya.

Dan Jihoon hanya menurutinya dengan tubuh lemah yang kapan saja bisa jatuh itu. Memaksa masuk pun tak ada gunanya bagi Jihoon. Ia hanya akan merasa semakin sesak melihat Soonyoung yang sedang berjuang melawan hidup dan mati itu.

Jihoon kini berjalan ke ujung koridor, tubuhnya melorot begitu saja kelantai. Dipeluknya kedua kaki mungilnya lalu menangkupkan kepalanya kedalam tangannya yang memeluk kakinya itu. Jihoon kembali menangis, ia sungguh sangat takut saat ini.

Kepala mungilnya langsung mendongak saat ia mendengar suara troly yang berjalan begitu cepat melewatinya. Perawat tadi telah kembali membawa alat kejut jantung untuk Soonyoung. Tubuhnya semakin bergetar hebat. Jihoon tak berani melihatnya. Jihoon hanya bisa menatap pintu kamar itu dari jauh dengan mata penuh harap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

.

.

.

.

"Annyeonghaseyo Jihoon-ssi~" sapa seorang yeoja pada seorang namja yang kini tengah duduk di hadapannya itu.

"Nde~ annyeong."

"Ah~ sudah 8 bulan lamanya sejak terakhir kali kita bertemu di perilisan novel kesepuluhmu. Semoga kau masih mengingatku. Aku akan sedih jika kau melupakanku." yeoja yang berprofesi sebagai MC itu mencoba menggoda Jihoon, membuat Jihoon terkikik sekilas.

"Tentu saja aku masih mengingat noona. Aku bahkan merindukan noona." balas Jihoon dengan candaannya membuat beberapa penonton yang hadir di acara malam ini ikut tertawa tipis.

"Jihoon-ssi, seperti yang sudah di ketahui bahwa malam ini kita menggelar acara fanmeeting sebagai perayaan terjualnya novel kesepuluhmu itu dengan angka yang sangat fantastis. Banyak penggemarmu yang penasaran dengan buku terbarumu ini. Begitu juga denganku. Aku secara pribadi merasa bahwa ending cerita kali ini sedikit menggantung."

"Aniya~ cerita itu bukannya menggantung, hanya cerita itu belum memiliki akhir."

"Belum memiliki akhir ? Maksudmu kau berencana membuat sequelnya ?" ucap sang MC membuat para penonton yang melihat acara itu ikut penasaran. Mereka semua juga mengharapkan adanya sequel seperti yang MC itu katakan.

Jihoon hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu. "Aku tak tahu, aku bahkan masih tak tahu bagaimana akhir kisah ini."

"Nde ?" tanya sang MC bingung dengan jawaban Jihoon.

"Sebenarnya waktu itu, saat aku bilang ini adalah kisah temanku, itu bohong. Ini bukanlah kisah temanku. Buku itu menceritakan kisahku. Kisah yang bahkan aku sendiri tak tahu apakah benar ini semua adalah akhirnya." setelah mengatakan itu semua wajah Jihoon tiba-tiba berubah sedih.

"Woah~ ini benar-benar tak disangka. Apakah orang yang kau maksud waktu itu ada disini ? Apa orang yang beruntung menjadi kekasihmu itu ada disini sekarang ? Bolehkah kita menyuruhnya naik ke atas panggung untuk mendengar cerita darinya ?"

Jihoon hanya tersenyum. "Orang itu tak ada disini. Dan dia tak akan mungkin berada disini sekarang."

"Apa dia menonton di rumah ?"

"Ani~ dia juga tak bisa menontonnya."

"Oh~ kurasa dia benar-benar orang yang sibuk."

"Ani~ dia bahkan hanya seorang pengangguran yang menjadi benalu padaku." ucapan Jihoon barusan membuat semua orang disana tercengang. "Dia hanya tak bisa, karena sekarang dia berada di tempat yang sangat jauh. Begitu jauh sampai aku tak bisa menggapainya."

"Uhm~ Jihoon-ssi~" sang MC menjadi bingung harus berkata apa saat melihat Jihoon kini sedang menangis.

Jihoon menghapus air matanya yang tanpa ijin keluar itu. Dia kembali mendongakkan kepalanya dan tersenyum. "Bolehkah aku mengatakan sesuatu padanya disini. Ada satu kata yang baru kusadari bahwa selama ini belum pernah kuucapkan padanya. Dia bahkan sudah ratusan kali mengatakan padaku, hanya aku saja yang tak peka."

"Nde~ silahkan."

Jihoon lalu mengganti posisi duduknya, kini ia tepat menghadap sebuah kamera yang sedang merekamnya. Jihoon tersenyum meski bekas air mata masih terpampang di kedua matanya.

"Aku tahu ini sudah sangat telat. Aku bahkan tak yakin apakah kau akan mendengarnya. Mianhae Soonyoung-ah~ karena aku telat menyadari bahwa kau sangat berarti bagiku. Soonyoung-ah... " Jihoon menjeda sejenak untuk menyiapkan sebuah kata yang selama ini ia pendam.

"Soonyoung-ah... Saranghae~"

.

.

.

.

E

N

D

.

.

.

.

Ah~ sebenarnya ini FF request'an dari eonni ku tersayang sebagai hadiah UlTahnya kemarin ^^ Semoga FF ini tak mengecewakan ^^

Maaf~ jika ceritanya ada yang aneh dan banyak typo xD

Gomawo yang sudah berkenan membaca FF ini ^^

RnR pliiiisss~^^