Putih salju kian mendominasi pekarangan setiap rumah. Meski natal sudah berlalu dua hari yang lalu, lantunan lagu-lagunya masih terdengar nyaring terutama pada rumah mewah di ujung jalan. Keluarga Kentwood dikenal cukup kental akan religi mengingat kakek mereka adalah seorang pendeta.

Kereta kuda hilir mudik kesana kemari. Asap-asap cerutu berbaur dengan asap ketika mereka berbicara. Aksen negara yang khas menyatu dengan bisingnya roda kereta yang berputar. Sebagian melakukan transaksi, sebagian lagi melakukan percakapan akrab entah itu bisnis ataupun mengenai hal menjadi rutinitas. Tak memandang musim ataupun cuaca.

Adapun Mr. Trelawney melambaikan tangan sebagai sapaan. Ia berjalan menghampiri dengan sebuah tongkat yang menjadi penyeimbang langkahnya. Pelatihan militer tahun lalu membuatnya cedera. "Selamat sore, Uzumaki. Lama tak bertemu,"

Pemuda tanggung berumur dua puluh tiga tahun itu membalas jabatan tangannya. Uzumaki Naruto tersenyum lebar. "Halo, Mr. Trelawney. Kurasa kakimu mengalami perkembangan yang cukup baik."

Laki-laki itu tertawa kecil sambil memperhatikan kaki kanannya. "Seperti yang kau lihat." Mata coklat itu beralih menatap lawan bicara."Bagaimana keadaan ayahmu di Paris?"

"He's right. Ibu tidak pernah melewatkan perkembangan kesehatannya,"

"Ahh ... pria yang beruntung." Keduanya menoleh ketika mendengar lengkingan seekor kuda. "Kurasa kereta kudaku sudah siap. I must go,"

"Yeah, be carefull, Mr. Trelawney."

Naruto menatap kepergian kereta kuda mewah itu yang semakin menjauh. Tujuannya kali ini adalah toko roti. Menyesap kopi bersama beberapa roti gandum mungkin bisa membantunya menyelesaikan tugas malam ini.

Toko roti tersebut bukanlah toko yang besar. Hanya sepetak namun cukup populer di daerahnya. Wangi vanilli bercampur susu kedelai serta gandum menjadi perpaduan sempurna untuk menarik penciuman orang-orang yang kebetulan melintas. Tak heran toko ini selalu ramai setiap hari. Terlebih akhir tahun dan momen natal seperti ini.

Naruto mengambil dua potong roti isi coklat kacang dan dua roti gandum ekstra almond. Setelah membawa paperbag ditangannya dan menyelesaikan transaksi, Naruto melangkah cepat meninggalkan toko tersebut. Tak nyaman rasanya berdesakan dengan orang-orang lapar.

Jalanan cukup lengang. Udara kian mendingin pada pukul tujuh malam seperti ini. Mantel coklatnya sudah dirapatkan dan siap untuk pergi. Namun langkah itu terhenti ketika mendapati seorang gadis berdiri bersebrangan dengannya. Menggenggam erat sebuah payung hitam yang melindungi dirinya dari tetesan salju. Rambutnya indah, berkibar terbawa angin malam. Kedua pipinya memerah karena dingin.

Entah apa yang dilakukan gadis itu disana—atau mungkin menunggu seseorang—yang pasti cukup menarik perhatian pemuda bermata safir itu hingga melupakan niatnya untuk cepat kembali ke rumah.

Tanpa sengaja tatapan keduanya bertemu. Si gadis dengan cepat menunduk dan menggenggam payung lebih erat. Naruto mengernyit tipis. Apa ia terlihat menyeramkan?

Gadis itu kemudian berjalan diantara kerumunan orang-orang. Seperti sedikit terburu-buru. Naruto tak mempermasalahkan hal itu. Ia pun melangkah menyebrangi jalan, langkahnya di percepat. Gadis itu tak istimewa, sama seperti gadis Inggris lainnya. Hanya cara gadis itu menggunakan payung hitam cukup menarik baginya.

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

Miss Spearsza's present

Cahaya Dibalik Teduh

.

(Naruto. U & Hinata. H)

WARNING : Westren, typo(s), and more. If you really don't like this please klik back.

Bukannya tidak peduli tetapi putra Uzumaki Kushina itu dapat memilah hal yang menurutnya penting dan tidak penting sama sekali. Namun kehadiran gadis berpayung hitam itu dengan intensitas yang cukup sering, meninggalkan beberapa rangkai pertanyaan dalam fikirannya. Lusa Naruto mendapatinya bermain dengan kucing kecil di pinggir jalan, atau kemarin gadis itu memainkan tumpukan salju menggunakan sepatunya, yang jika tatapan mereka bertemu ia akan menyembunyikan tubuh mungilnya di kerumunan orang yang berjalan.

Jadi? Bagian mana yang tidak membuat Naruto penasaran?

Pemuda tinggi itu mengambil secarik kertas dari kotak pos di depan rumah dan membawanya masuk. Ada kemungkinan ibunya mengirim telegram. Ah, ini akan menjadi akhir tahun yang suram. Jadwal perkuliahannya membatasi Naruto untuk segera berangkat ke Paris. Ia merindukan kedua orang tuanya tersebut.

Naruto membaca telegram tersebut, yang kurang lebih begini bunyinya :

Bagaimana kabarmu, sayang? Kami merindukanmu. Padahal Ibu berharap natal tahun ini bisa kita rayakan bersama. Urusan perekonomian yang ayahmu jalani sedang mengalami hambatan, jadi kemungkinan jadwal kepulangan kami akan diundur.

Kau baik disana, sayang? Ibu rindu membuatkan pie buah kesukaanmu, hahaha. Kalau perkuliahanmu sudah selesai, datanglah kemari. Jika kau mengkhawatirkan kesehatan ayah, tenang saja, Ibu dapat menanganinya dengan baik.

Tidak ada yang penting dari surat ini, hanya ungkapan kami merindukanmu. Sampai jumpa di Paris, Anakku.

Tertanda,

U. Kushina

Naruto menghela nafas berat. Sudah hampir satu tahun kedua orangtuanya menjalani bisnis perekonomian di Paris dan ia belum memiliki kesempatan untuk menyusul. Naruto mengambil secarik kertas kosong yang terselip di lembaran tugasnya lalu menulis beberapa balasan yang sekiranya menggambarkan ia pun merindukan Ayah dan Ibunya.

Setelah melipatnya dengan rapi dan memasukannya ke dalam amplop coklat, pemuda Inggris itu meraih mantel dingin dan topi flatcapnya. Ia berniat untuk mengirim telegram tersebut. Jam arlogi sakunya menunjukan pukul setengah tujuh malam dan Naruto mengira-ngira kantor pos tutup satu setengah jam kemudian.

Ramai mendominasi kota London. Kereta kuda yang dinaikinya berjalan lambat seiring banyak manusia yang menghalangi jalan. "Kau bisa berhenti di toko baju di depan sana,"

"Yes, Sir."

Terpikir olehnya untuk membeli topi dan syal hangat sebagai kado natalnya untuk Ayah dan Ibu. Ia bisa menyelipkan surat yang dibuatnya pada paket tersebut.

Toko baju yang cukup termahsyur di London ini memiliki luas yang cukup untuk menampung puluhan mantel dan baju hangat. Mereka membagi kelompok baju-baju ini menjadi tiga bagian. Yang pertama berbahan biasa dengan kualitas tidak terlalu bagus namun sangat nyaman digunakan, yang kedua memiliki kualitas yang menengah, dan yang terakhir kualitas bahan asal Paris itu menjadi langganan para bangsawan dan orang-orang kaya.

"Ada yang bisa kubantu?"

Yamanaka Ino menyambutnya. Gadis kenalan Sakura—sahabatnya—itu tersenyum lebar ketika mengetahui Narutolah yang datang. "Lama tak bertemu. Kukira kau menghilang dari negeri ini,"

Naruto mendengus, "Kau yang terlalu mengurung diri seperti ayam," kemudian keduanya tertawa. "Aku ingin topi flatcap dan syal berwarna merah, apa kau punya?"

"Tentu. Sebentar, akan ku ambilkan untukmu."

Iris mata sebiru samudera itu menatap keseluruhan toko. Keluarga Yamanaka mendirikan toko ini sudah hampir 5 tahun, tak ada perubahan yang berarti kecuali tanaman besar yang kini menghiasi pintu masuk. Mungkin satu yang membuat toko baju ini sedikit istimewa. Beberapa barang antik abad 13 hingga 15 terkumpul menjadi satu di sebuah etalase—yang jika di beli akan menguras lebih banyak pounds dari sakumu. Bahkan sebuah telepon meja di ujung sana sempat menjadi perbincangan heboh Sakura beberapa bulan lalu karena—yang katanya—pernah di gunakan oleh istri dan Raja Edward II. Entahlah.

Tiba-tiba pandangannya menemukan gadis itu lagi. Kini berdiri tepat di seberang jalan dengan masih menggenggam payung hitam, cukup jauh dari tempatnya berada. Naruto bahkan hampir melupakan bahwa toko Ino berada tiga meter dengan toko roti yang pernah di singgahinya.

"Aku memiliki 2 motif syal merah. Kau pilih yang mana?" Ino datang dengan topi dan 2 pilihan syal di tangannya.

"This one. Bisa kau bungkus sebagai kado natal?"

"Ya, tentu."

Naruto memandang ragu Ino sesaat. "Eem ... Ino?"

"Ya?"

"Kau lihat gadis di seberang jalan sana?"

Ino mengalihkan kegiatan membungkusnya. Gadis pirang itu menghela nafas panjang, terdengar sedih bagi Naruto. "Yes of course. Dia selalu berdiri disana saat petang datang,"

"Kau mengenalnya?"

"Tidak juga. Aku hanya mendengar beberapa hal mengenai dirinya."

Safir biru itu memandang Ino dengan seksama. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sehingga kilauan permata aqua di depannya seolah menyimpan jawaban atas pertanyaannya selama ini.

"Can you tell me what is that?"

.

.

Ia tidak begitu menyukai salju. Jika ia berhak meminta, mungkin butiran salju itu tidak akan pernah menjadi musim dalam panjatan doanya. Namun nyatanya keadaan cukup kejam. Menantang sejauh mana kekuatan kakinya melangkah saat musim itu datang justru dalam intensitas yang cukup banyak. Atau mungkin kini tak ada lagi yang ia sukai dari apa yang dilihatnya. Semua hambar dan mati rasa. Sehingga desember tidak lagi sebagai bulan yang kerap kali ditunggunya setiap tahun.

Kereta kuda hilir mudik. Sedikit mengumpat mengapa kalangan atas di negeri ini begitu menyukai kemewahan. Tidakkah menjejakan kaki mereka akan lebih berguna dibanding membiarkan keduanya mengukang-ukang di dalam bilik kereta dan membiarkan hewan gagah itu membawanya kemanapun mereka mau. Ah, kalangan bangsawan memang selalu menengadah, itu yang pernah kakeknya bilang.

"Besok datanglah tepat waktu, kalau tidak, jangan harap aku mengizinkan kau meraih pundi-pundi pounds lagi di tempatku. Mengerti!"

Brakk

Kejam. Mrs. Morstan memang dikenal tidak ramah pada semua pekerjanya. Dan tentu saja keterlambatannya pagi tadi memberikan dampak yang cukup buruk. Sudah hampir tiga kali sebelum ancaman barusan di proklamirkan. Kerterlaluan memang, tapi jangan salahkan dia sepenuhnya. Jika saja pundi-pundi uang yang didapatnya cukup untuk menyewa satu kereta kuda, mungkin sudah dilakukannya sejak dulu.

Arloji perak yang beberapa bagiannya sudah berkarat itu menunjukan angka 7 dan 12. Kakinya melangkah pasti. Menyesuaikan diri diantara kerumunan manusia bergaun indah dan bermantel tebal serta menyembunyikan rambutnya di balik topi.

"Hei, Nona, perhatikan langkahmu!"

"Sorry,"

Masa bodoh dengan pria yang baru saja ditabraknya. Tujuannya hanya ada pada gedung ballroom didepan sana.

Ia bukan pemilik gedung tersebut sehingga memiliki akses bebas. Hanya saja gedung tak terpakai sejak pergantian raja itu memang tidak pernah di kunci. Dan ia memanfaatkannya setiap malam.

Suara pintu tua terbuka mendecit lantai hingga suara menggema di seluruh ruangan. Kegelapan menyambut. Ia meraih saklar lampu dan kini ruangan itu sepenuhnya terang menderang. Dulunya gedung ini digunakan para bangsawan dalam mengadakan pesta kebesaran. Mengadakan jamuan makan malam hingga membicarakan beberapa hal mengenai kekayaan dan kejayaan. Memuakan.

Ia berjalan ke arah meja di pojok ruangan dan membunyikan Gramofon, mengalunkan nada waltz yang indah. Seperti sebuah sihir, tubuh itu perlahan ikut mengalun, bernada dan berirama. Sepatu itu ditanggalkannya, melangkahkan dengan pasti kaki-kaki kecil itu untuk menari. Menghirup sedalam mungkin udara di sekitarnya meski yang dirasa hanya kehampaan yang tak berarti, tersapu oleh alunan nada. Mata seindah rembulan itu terpejam, meresapi rasa yang mungkin tertinggal di relung hatinya.

Tubuh itu berputar dan melangkah bebas. Seolah dunia menyaksikan aksinya malam itu. Merasakan degup jantung dan desir darah yang dipertunjukannya. Kaki dan tangan itu lihai dalam memainkan nada sesuai alunan lagu, seperti sesuatu yang sering dilakukannya.

Tak ada apapun disini, hanya ruang kosong dan ia berada di tengah seorang diri. Meresapi tiap rasa yang mengaliri nadinya. Pengkhianatan takdir pada hidupnya. Membuat senyum yang selalu di sunggingkannya pudar tak bersisa. Menghancurkan setiap butir harapan yang selalu ia panjatkan yang kini tak lagi terucap. Membiarkan semua mempermainkannya, seperti alunan nada ini yang menarik tubuhnya. Menarik semua yang pernah di dekapnya erat.

Sementara seorang pemuda di belakang sana terpana. Mengagumi apa yang kini tengah dilihatnya di balik pintu ballroom yang terbuka setengah. Uzumaki Naruto seperti melihat malaikat menari.

Kaiser-walzer milik Johann Strauss mendominasi ruangan besar itu dan di tengah sana berdiri seorang gadis jelita dengan baju kebesaran menunjukan bahwa waltz itu memang indah. Sungguh, dibalik payung hitamnya, kini ia menjelma bagai malaikat tanpa sayap. Rambut panjang itu bergoyang indah dan kaki-kaki kecil itu bekerja sesuai gerakan yang dituntut sang pemilik.

"Beautiful."

Hanya itu yang terucap di bibirnya. Rasa penasaran membuatnya bergerak untuk mengikuti gadis itu. Dan sampailah ia pada gedung yang cukup terpencil ini. Jauh dari keramaian orang-orang dan kota London.

Tiba-tiba wajah tegas itu mengeras. Terkejut atas apa yang baru saja terlintas dalam penglihatannya. Gerakan itu memang indah dan cantik, namun seperti ada sesuatu yang hilang disana. Langkah itu tidak pada tempatnya. Atau mungkin seharusnya langkah itu tak sendiri, melainkan beriringan. Naruto terhenyak dalam diam. Yang diketahuinya lusa lalu adalah kenyataan.

Gadis itu hanyut dalam dunianya. Rasa rindu membuncah bercampur dengan sesal dan amarah yang menyelimuti hatinya. Hingga tubuh mungil itu tersentak kaget, hampir terjatuh kalau saja kedua lengan kokoh itu tidak menumpunya. Keduanya terpana.

Naruto kemudian terhenyak. Ketika warna mata yang teduh itu menatapnya bertanya, menuntut jawaban dari apa yang sedang terjadi. Namun pemuda itu memilih diam. Membiarkan pertanyaan gadis itu melayang entah kemana. Membawa tubuh mungil dalam dekapannya itu untuk melanjutkan langkah. Menari bagai dua ekor angsa yang indah.

Gadis itu menitikan air mata ketika Naruto memutar tubuhnya. Perasaan hangat ini pernah di junjungnya setinggi mungkin, sebelum semuanya hancur berkeping. Membuatnya tak ingin mengenal apapun mengenai kehangatan. Tetapi siapa pemuda ini? Dia tidak mengenalnya sama sekali. Datang tanpa permisi dan memberikan apa yang selama ini ia butuhkan, ia rindukan. Dan ketika musik itu berhenti, Naruto tak serta merta melepas dekapannya. Membiarkan gadis itu menatapnya heran dengan genangan air mata.

"Who are you?" lembut dan jernih. Suara itu mengalun bagaikan lembayung dikala senja.

"Kau menunggu dan tetap begitu meski tidak ada arti dari apa yang kau lakukan. Tidak seorangpun datang terlebih yang kau tunggu, karena mereka tidak akan pernah datang. Aku mungkin asing bagimu, tapi mungkin saja Tuhan menjadikanku jawaban atas kesetiaanmu menunggu harapan. Maka izinkan aku untuk memulainya. Aku tidak datang secara kosong, tetapi aku datang untuk mengisi kekosonganmu. Dan melengkapi langkah tarianmu,"

Naruto mendekat. Berbisik lirih pada telinga yang siap mendengar, karena empunya kini bergetar dalam tangis yang gentar. "Juga melengkapi kekosongan hatimu, Hyuuga Hinata."

Maka jangan salahkan Hinata ketika wajah itu tenggelam dalam dekap hangat sang pangeran. Pemuda asing ini datang, yang bahkan ia sendiri tak tahu namanya, memberikan sejuta kehangatan yang telah lama hilang. Atau mungkin memberikan arti lebih dari apa yang ia minta kepada Tuhan.

Tangannya meremas pelan baju Naruto saat bibir itu menyentuh bibir mungilnya yang beku dan bergetar. Memberikan sensasi menenangkan dan melegakan luar biasa. Hinata merasa lebih nyaman dan aman.

"Berikan aku cinta. Berikan aku kebahagiaan. Berikan aku segalanya. Berikan aku ..." rintih Hinata putus asa.

Naruto tidak tahu, atau lebih tepatnya tidak mau tahu sejak kapan perasaan itu tersemat rapi di hatinya. Mungkin terlalu mudah dan singkat tetapi pada dasarnya tak ada yang tahu. Rasa penasarannya akan Hinata sejak tiga minggu yang lalu membuatnya sampai pada titik ini. Dimana ia menemukan sendiri jawabannya. Dimana ia mengerti bagaimana Tuhan berencana.

Tapi tak ada yang ingin ia pikirkan mengenai apapun. Karena gadis dalam dekapannya kini akan menjadi miliknya.

...

Bersambung

...

Omake

"Namanya Hyuuga Hinata. Gadis itu sudah berada di sana sejak satu tahun yang lalu tepat di musim dingin tiba. Menurut kabar berita yang kuketahui, Ayahnya sakit keras dan meninggal sedangkan dua bulan setelahnya kekasihnya tewas terbunuh perampok jalanan. Aku juga sempat mendengar jika mereka berdua merupakan pasangan menari yang cukup termahsyur asal Wales. Dan menurut gosip yang akhir-akhir ini tersebar, sebelum kematiannya, sang kekasih menjanjikan menari bersama tepat di hari ulang tahun gadis itu. Merayakan hari jadi mereka. Dan disanalah gadis itu menunggu. Sungguh gadis yang malang,"

Naruto terdiam menatap Ino. Bagaimana warna mata yang biasanya ceria itu tertunduk sendu atas ceritanya. Membuat sesuatu dalam batinnya bergejolak untuk gadis yang entah sejak kapan menarik perhatiannya.

Dan Naruto bertekad untuk satu hal.

.

.


Note :

Gue kembali dengan cerita western untuk pertama kali. Judul dan ide lahir ketika hujan turun di luar. Cerita ini akan melalui beberapa chapter yang gue sendiri tidak menargetkan sampe chap berapa, seselesainya aja.

So, mohon kritik serta saran yang membangun karena mungkin cerita ini akan gue seriusin. Bisa tulis di kotak review ^^

Semoga kalian suka dan bisa meramaikan fanfiksi NH lagi ^^

.

.

Salam,

Miss Spearsza

11/02/2017