Peeking Out
Erehmi & Sve Ann
.
Gundam Seed/Destiny © Bandai, Sunrise, and creators
This is just a fanwork and no material profit taken from this
.
.
Summary :
Setelah jatuh dari loteng dan melakukan perjalanan menembus waktu yang tidak diudga, Kira menjauhi Athrun. Bukannya ia menyalahkan Athrun atas insiden itu, tapi Kira merasa takut.
.
Warning : adanya typo yang bertebaran
.
.
.
Kira menggerakkan bola matanya dengan cepat meski dia tetap tidak berani mengangkat kepala. Hidungnya gatal oleh debu dan bau apak yang diselipi bau menusuk kotoran tikus. Ia mengibaskan lengan kirinya, menyingkirkan perasaan geli seolah kaki-kaki kecil baru saja melintas di permukaan lengan bajunya. Bulu kuduknya terus berdiri sejak ia memasuki rumah tua ini, dan kalau boleh jujur, ia ingin keluar dari tempat mengerikan ini sekarang juga. Harga diri dan rasa tanggung jawab yang membuatnya tidak terhasut pikiran menggoda itu.
Lantai kayu di bawah kakinya berderit ketika dia melangkah ke arah jendela kamar tak bertirai. Kira menyipitkan mata saat sinar matahari menusuk sarafnya dengan lebih intens. Tangan kanannya menarik kunci di bagian bawah yang mulai berkarat dan menggeser jendela itu ke samping dengan susah payah. Ia menarik napas dalam-dalam, menyambut udara segar musim semi yang membuat hidungnya bahagia. Kira mencondongkan badannya ke luar dan berteriak ke arah teman berambut birunya di bawah sana, "Nggak ada!"
Anak laki-laki yang mengenakan kemeja di balik rompi hijau itu mendongak. Tangannya menahan topi kabaret di atas kepalanya ketika embusan angin menerpa, membuat rerumputan hijau di sekitarnya menari dengan gemulai. "Bukan di sana! Jendela yang pecah yang di atasnya!"
Kira memutar badannya dan melihat ke arah yang dimaksud sang sahabat. Benar saja, ada jendela lain yang lebih kecil di atas jendela ini dengan lubang berbentuk lingkaran di tengah-tengah. "Coba cari di langit-langit, biasanya ada tangga untuk ke loteng!" imbuh temannya lagi.
Kira kembali tegak dan menoleh ke belakang. Kamar gelap dengan lapisan dinding yang terkelupas dan sarang laba-laba di langit-langit serta perabotan yang dibiarkan ... dia harus menjelajah lebih lama di tempat ini? Ya, tentu, pasti menyenangkan.
Anak laki-laki berambut cokelat itu melempar tatapan kesal pada temannya. Memang, sih, dia yang melempar bola terlalu kuat sampai melambung tinggi dan memecahkan kaca jendela rumah tua Kakek Philps. Anak-anak Kakek Philps menjemputnya satu bulan yang lalu untuk tinggal di rumah mereka, jadi untungnya rumah ini kosong. Tetap saja, seharusnya ia tidak mengambil bola bisbol mereka sendirian, kan? Paling tidak temani di lantai bawah, kan bisa, bukannya di luar, di bawah sinar matahari yang hangat, udara segar, wangi bunga sakura ...
"Jangan khawatir. Aku lihat dari sini kok," ujar sang anak laki-laki berambut biru dengan senyum lembutnya, menyadari kegelisahan sang teman.
Kira menyiapkan diri dengan memasukkan stok udara segar sebanyak yang ia bisa ke paru-parunya. "Jangan ke mana-mana, Athrun!"
.
.
Untuk kesekian kalinya sore itu, Kira merutuki banyak hal. Kenapa lengannya harus mengayun terlalu lebar kali ini? Kenapa Kakek Philps tidak mengunci pintu rumahnya setelah pindah? Kenapa Athrun tega menyuruhnya mengambil bola sendirian?
Ia menemukan tangga yang dimaksud setelah menarik tali yang menggantung di langit-langit tidak jauh dari kamar yang tadi ia masuki. Jantungnya masih mengentak terlalu cepat karena insiden di tangga beberapa detik yang lalu. Salah satu anak tangga itu patah ketika kaki kanannya bertumpu, tepat saat kaki kirinya baru menapak udara. Kedua telapak tangannya bahkan masih merah dan lecet karena cengkraman mati-matiannya pada tepian tangga.
Masih dengan posisi tiarap di loteng, Kira menelan ludah dan mulai mencari. Di sana, bola putih sumber masalah itu berada di dekat kardus-kardus besar berdebu di samping gitar dan raket tenis yang warnanya sudah pudar, tidak jauh dari jendela yang pecah. Kira berdiri dan harus menunduk untuk sampai ke tempat itu. Beban di paru-parunya seolah hilang sebagian ketika bola itu berada di genggamannya. Ia menghela napas dan berbalik. Sekarang, ia hanya harus berjalan, turun, berjalan, dan turun la—
Baru menginjakkan dua langkah, suara kretak yang terlalu nyaring dari bawah kaki dan perasaan hampa mendadak yang menyerang menghancurkan rencananya. Kira memejamkan mata erat-erat.
.
.
Suara alarm yang memekakkan membuatnya terlonjak. Kira membuka matanya dengan kalut dan mengambil satu tarikan napas yang sangat dalam dan berisik. Ia tidak mengenal alarm itu, juga ruangan gelap dan langit-langit yang terbuat dari metal, dan suara-suara yang saling tumpang-tindih di sekitarnya—
Ledakan besar terdengar sangat dekat dan mengguncangkan lantai—tidak—seluruh tempat, tempat apa?
Panik, Kira merangkak dengan lutut dan kedua tangannya menuju dinding dan berdiri. Ia langsung menarik tangannya. Dinding metal itu terlalu dingin. Ini di mana?
"ATHRUUUUN!"
Kira berputar ketika mendengar nama itu disebut. Matanya membelalak begitu ia melihat apa yang ada di hadapannya. Ia berada di sebuah ruang komando kapal. Seorang wanita berambut cokelat yang tidak dikenal duduk di kursi paling tinggi di tengah-tengah sambil terus meneriakkan beberapa perintah. Banyak sekali komputer dan monitor yang menampilkan berbagai grafik yang tidak ia mengerti. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding ketika kapal itu kembali berguncang hebat.
"AKU AKAN MENGHABISIMU!" Suara lain terdengar dari speaker yang entah ada di mana, membawa serta suara pertempuran dari luar sana.
Kira mengangkat kepalanya dan mendekat ke arah sang komandan. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat melalui jendela besar di depannya. Robot raksasa—dua robot raksasa—sedang bertempur habis-habisan di sebuah pulau. Robot biru dan merah. Mereka saling menendang, menebas dan memotong dengan pedang laser masing-masing, menghancurkan bagian kaki dan tangan satu sama lain dengan teriakan-teriakan yang membuat darah Kira membeku.
Mata ungunya menangkap foto seseorang yang sangat mirip dengannya di salah satu monitor di sebelah kanan. Kira menghampiri monitor itu dalam lima langkah lebar. Napasnya tertahan ketika ia melihat namanya di bawah foto itu. Tidak salah lagi, laki-laki yang ada di monitor itu adalah dirinya hanya saja terlihat lebih ... tua?
Kalau begitu Athrun yang disebut tadi ...
Kira memperhatikan gambar robot di monitor dan yang ada di luar sana bergantian. Kira yakin kalau robot itu adalah robot berwarna biru yang baru saja dikurung oleh robot berwarna merah—tidak, robot itu sekarang berganti warna menjadi abu-abu. Kenapa?
Kedua robot itu saling meneriakkan nama lawan: Kira dan Athrun, dengan kemarahan dan kebencian yang sangat tebal. Seluruh bulu kuduk Kira berdiri. Ia melihat sesuatu terbang keluar dari robot berwarna abu-abu—bukan, orang, Athrun?—meninggalkan robotnya dan robot berwarna biru—robot milik Ki—miliknya?
Perasaan ngeri yang sangat hebat membuatnya tidak bisa bernapas. Ia mengangkat kedua tangannya secara refleks ketika ledakan yang sangat besar memekakkan telinga dan seluruh indranya. Tubuhnya terempas dan menghantam lantai dengan kuat.
.
Athrun mendongak ke arah jendela di lantai dua ketika suara gaduh pertama terdengar. Ia menyerukan nama Kira yang dibalas dengan sahutan, "Bukan apa-apa!" dari dalam. Jadi, Athrun kembali membersihkan topinya dari kelopak bunga sakura yang berjatuhan. Dia meringis ketika suara gaduh kedua terdengar lebih nyaring dan lebih lama. Kali ini ia tidak langsung menanyakan keadaan temannya itu. Yah, mungkin Kira sedang bekerja keras menggeser barang-barang di dalam sana?
Lima menit kemudian tidak ada suara sama sekali. "Kira?" Athrun memanggil. Tidak ada jawaban. Perasaannya mulai tidak enak. Ia memanggil temannya lagi dengan lebih keras. Masih tidak ada jawaban. Tanpa ragu, Athrun berlari ke dalam.
Ia hampir tersandung papan kayu yang mencuat di lantai saat hendak menaiki tangga ke lantai dua. Begitu sampai di puncak teratas, ia berhenti sejenak untuk mengingat-ingat letak jendela yang ia lihat di luar sebelum melesat ke arah kanan. Athrun akhirnya melihat tangga yang tersambung ke langit-langit. Salah satu anak tangganya patah dan meninggalkan serbuk serta bongkahan kayu di lantai. Athrun baru akan mendaki saat ekor matanya menemukan pintu kamar yang terbuka di sebelah kanannya. Bukan, bukan kondisi pintu yang terbuka yang menarik perhatiannya, tapi sosok seseorang yang tergeletak di sana.
Athrun berjalan dengan hati-hati dan berdiri di depan pintu. Pikiran yang terlintas pertama kali begitu melihat Kira yang berbaring di sisi kanannya seperti bayi itu adalah, "Kenapa dia malah tidur di sana?" Sedetik kemudian ia baru menyadari serpihan-serpihan kayu yang berada di sekeliling temannya, beberapa malah mengotori rambut dan baju anak berambut cokelat itu. Athrun melihat ke atas dan baru mengerti apa yang terjadi.
Athrun berlari menghampiri Kira dan baru akan memanggil namanya ketika objek perhatiannya itu merintih dan bergerak. Kira mengerjapkan beberapa kali seperti orang yang baru bangun tidur. "Kau luka?" tanya Athrun khawatir.
Ia tidak menyangka akan respons yang diberikan Kira.
Mata violet itu terbuka lebar dengan ketakutan yang sangat jelas. Athrun terlonjak ke belakang. Ia menahan bahu Kira untuk menenangkan anak itu, tapi Kira malah memberontak. "Kira! Hei, ini aku! Tenanglah!" serunya, mencoba membenam rasa panik dan bingung yang mulai bangkit.
Kira malah memberontak semakin kuat dan berusaha berdiri, menjauhkan Athrun dengan segala kekuatannya. Cengkraman Athrun hampir terselip dan ia cepat-cepat memperbaiki pegangannya. Ia berteriak ketika siku Kira berhasil menghantam pipinya, "Kira! Ini aku, Athrun! Kau kenapa, sih?"
"LEPASKAN AKU!" Kira berteriak.
Athrun melepaskan tangan dan mengangkat keduanya di atas kepala. Sekarang ia benar-benar panik. Apa yang terjadi? Kenapa Kira tiba-tiba bertingkah seperti ini?
Kira berusaha mengatur napasnya yang memburu. Tenggorokannya tercekat. Tanpa aba-aba, air mata mengalir deras dari kedua matanya, memberi jejak di wajahnya yang penuh debu.
Athrun menunggu dengan jantung yang menggila. Tapi tidak ada jawaban yang dilontarkan.
Kira berlari menubruk bahu Athrun dan melewatinya begitu saja. Suara derapnya bergema terlalu kuat di penjuru rumah yang sepi. Athrun Zala terduduk, mengikuti arah pergi sahabatnya dengan wajah tercengang. Otak berusia tiga belas tahun miliknya tidak sanggup bekerja dengan cukup cepat.
Apa yang sebenarnya terjadi?
.
.
Keesokan harinya di kantin sekolah, Athrun masih menemukan pemandangan yang sama ramainya seperti hari biasa. Ugh, tentu saja, karena kantin di jam makan siang sudah pasti diserbu oleh para murid yang kelaparan. Sambil membawa nampan berisi menu makan siang yang telah dipesan, kepala biru Athrun sibuk menoleh ke kanan dan kiri, berharap bisa menemukan bangku yang masih bisa menampung satu orang untuknya.
Di deretan baris tengah Athrun melihat sebuah lengan terangkat tinggi kemudian bergoyang pelan—ah ternyata itu adalah Cagalli tengah memberi sinyal padanya untuk duduk bersama. Manik hijau milik Athrun pun menyadari kehadiran Kira disamping si gadis bersurai kuning. Berbekal sedikit senyum tipis, Athrun pun memutuskan untuk menghampiri.
Ah, semoga saja perkataan Kira kemarin hanya delusinya semata, atau paling tidak hanya sebuah candaan dari Kira karena rasa kesalnya pada Athrun karena—secara tidak langsung—membuatnya jatuh dari loteng.
Yah—semoga saja.
Pemuda berambut biru mengambil bagian tempat duduk di bangku yang berhadapan dengan keduanya. Isi sup jagung milik Cagalli terlihat belum berkurang sedangkan Spagetti di piring Kira sudah habis dan menyisakan dua mangkuk pudding vanilla.
"Kok baru ke kantin?" sapa Cagalli pada kawannya yang baru saja bergabung.
Srakk—Kira menggeser bangkunya kemudian langsung bangkit. Cagalli dan Athrun langsung memandang kerahnya dengan dua tatapan bebeda. Jika Cagalli melihatnya dengan tatapan bingung, maka Athrun hanya mampu melemparkan ekspresi wajah bersalah.
"Loh Kira, mau kemana?" Akhirnya Cagalli menyuarakan pertanyaan yang ada di kepala.
Jeda beberapa detik sebelum Kira menjawab, "Kelas"
Mendapat jawaban dengan nada kesal begitu membuat Cagalli akhirnya diam, memandang punggung Kira yang semakin menjauh. Athrun pun mengikuti arah pandangan Cagalli dan tak berapa lama kembali memandang meja makan, bahkan pudding vanilla kesukaannya saja tidak ia sentuh setelah aku datang kesini. Jadi yang kemarin itu bukan bercanda ya?
"Hari ini Kira jadi menyebalkan!"
Cagalli berujar sebal sambil menyendok sup jagungnya. Athrun jadi semkain merasa bersalah karena perasaan kesal Kira padanya pun ikut berdampak pada teman sejak kecilnya ini.
"Emm—sepertinya Kira sedang marah padaku makanya dia bersikap seperti itu."
"Eh, apa yang tejadi sama kalian? Kemarin sepertinya baik-baik saja."
Yang ditanya tidak langsung menjawab, tangannya sibuk mengaduk salad diatas piring baru beberapa menit kemudian ia menjelaskan kronologi kejadian kemarin dari sudut pandang Athrun tentu saja. Sedangkan yang menjadi lawan bicara hanya menyimak baik-baik dengan sesekali memberikan anggukan kepala tanda paham.
"Jadi kemungkinan Kira mendapatkan mimpi buruk saat ia pingsan, begitu?" tanggap Cagalli, Athrun memberikan anggukan. "Lalu ia secara tiba-tiba memusuhimu. Memang apa sih, mimpinya? Kekanakkan sekali."
Kepala biru menggeleng, tanda tidak menyetujui begitu si kawan terkekeh mendengar ceritanya. "Cagalli, ini bukan hal yang baik untuk kau cemooh," nasehat Athrun, "Dan—itu dia yang tidak ku ketahui."
"Maaf, maaf. Habisnya… Kira cengeng sekali sih"
Ucapan Cagalli dijawab dengan kebisuan Athrun. Sang anak perempuan pun menepuk pelan bahu sang kawan beda kelas.
"Sudah-sudah, nanti aku akan bicara dengan Kira juga agar kita bisa main bersama lagi. Nah sekarang ayo makan sebelum jam istirahat selesai."
.
.
Setelah mengerjakan tugas sekolah dan membereskan buku yang perlu dibawa esok hari, Cagalli menyempatkan diri untuk mengetuk kamar Kira. Awalnya ia mengira akan diabaikan oleh saudara kembarnya ini, tetapi ternyata pemuda yang sudah berganti piyama tidur itu masih bersedia untuk membukakan pintu untuknya.
"Sudah mau tidur?" tanya Cagalli ketika menlongokkan kepala melihat isi kamar Kira yang sudah bersih dari serakan buku catatan dan tugas.
Kira mengangguk.
"Um…" Cagalli terlihat bingung ingin memulai pembicaraan. Bagaimanapun, menghadapi Kira yang sedang dalam keadaan down itu tidak semudah menyangkal guru yang mempergokimu tengah mencontek jawaban teman.
"Tadi Athrun bercerita padaku tentang, err—kesalahpahaman diantara kalian?"
Salahkanlah mulut jujur Cagalli yang mengakibatkan wajah mengantuk Kira menjadi semakin muram. Yah, gadis itu sudah pasrah saja bila besok Kira menolak untuk bicara dengannya juga. Mungkin ia harus menuliskan surat permintaan maaf—karena ia merasa tidak memiliki wajah—untuk Athrun karena gagal menjalankan misi.
Namun kembali tidak diduga saudara kembarnya ini malah membuka bilah pintu semakin lebar, seolah mengundangnya untuk berbincang di dalam kamar, kecuali jika tidak melihat sikapnya yang langsung menagmbil langkah menjauh dari Cagalli. Dasar tsundere, rutuknya dalam hati, tetapi juga mengikuti langkah Kira yang duduk di kursi belajarnya sedangkan Cagalli memilih untuk duduk bersial diatas ranjang.
"Jadi, dia menyuruhmu untuk bicara denganku?"
Cagalli menggeleng, "Sama sekali tidak. Aku datang atas rasa penasaranku sendiri. Apa sih yang sebenarnya terjadi diantara kalian?"
Sesuai dugaaan, Kira tidak menjawab secara langsung. Ia malah melemparkan pandangan pada sebuah pigura yang tergeletak diatas meja belajarnya—sebuah fotonya bersama Cagalli dan Athrun saat liburan musim panas tiga tahun yang lalu.
Tiga tahun yang lalu ya.
Cagalli yang tidak sabar pun akhirnya mengubah posisi dan ekspresi, kedua lengan dilipat di depan dada, "Ayolah Kira, jangan bertindak kekanakan begini. Memangnya sudah berapa lama kalian berteman? Masa harus berselisih karena hal yang belum jelas begitu? Maksudku, Athrun kan bukan penyebab kau jatuh sampai pingsan."
Pertanyaan sang adik akhirnya sedikit menggugah sisi emosi Kira yang sejak kemarin sedikit meluap. Benar, mereka bertiga—Kira, Cagalli dan Athrun—sudah mengenal sejak mereka duduk dibangku taman kanak-kanak. Pertengkaran bukanlah hal asing dalam hubungan pertemanan mereka, bahkan itu sering terjadi. Dari masalah sepele hingga adu fisik antara Athrun dan Kira—walaupun saat itu Kira yang lebih banyak memukuli Athrun dan ia dapat mengingat dengan jelas bahwa saat itu mereka baru duduk dibangku kelas dua sekolah dasar. Yah, itu memang wajar terjadi dalam pertemanan anak laki-laki, begitulah kata kedua ibu mereka yang mampu memaklumi alasan terjadinya perkelahian.
Kali ini Kira memandang Cagalli tanpa sorot menyebalkan. Wajah lembut Kira akhrinya kembali teduh seperti sedia kala, dalam hati Cagalli mengucap syukur karena tidak perlu berbelit-belit untuk membujuk Kira agar mau bicara.
"Um—kemarin aku bermimpi atau apalah itu namanya, tentang dunia lain, maksudku dunia yang sangat bebeda denfan sekarang. Dan disana aku melihat diriku sendiri dan Athrun entah mengapa begitu ingin membunuhku."
Kedua bola mata Cagalli sedikit membesar mendengar penuturan Kira. Dirinya pun terkejut, tapi—"Rasanya masih sulit untuk menerima bahwa itulah alasan kenapa kau mengacuhkan Athrun seharian ini," ia menghela nafas sebelum melanjutkan pendapatnya, "Percayalah itu hanya mimpi, Kira. Apa kau tidak ingat bahwa Athrun lah yang sering sekali membela ketika kau dijahili?"
Kedua manik violet milik Kira bergulir dari wajah Cagalli, selintas pandangan tentang dirinya yang masih mengenakan seragam taman kanak-kanak pun kembali bangkit.
"Jadi—aku bersalah ya?"
Mendengar penuturan polos dari Kira membuat Cagalli terkekeh pelan tanpa sadar. Kedua kakinya diturunkan dari tepi ranjang kemudia menghampiri Kira yang terlihat begitu bimbang. Sebuah tepukan pada bahu pun diberikan sebagai penyemangat dari sang saudara perempuan.
"Menurutku begitu, sih. Jadi minta maaflah sana ke Athrun. Sikapmu yang begini jadi membuatku tidak enak juga."
"Baiklah…"
Setelah pembicaraan selesai, Cagalli pun pamit kembali ke kamar tidurnya.
.
.
Setelah mendapat pencerahan dari sang adik perempuan, perasaan Kira saat ini terasa lebih ringan. Niat baiknya untuk meminta maaf pada Athrun pun akan ia laksanakan saat jam istirahat saja, agar ia memiliki banyak waktu untuk mengobrol. Namun saat jam istirahat berlangsung, pemuda berambut cokelat itu tidak melihat sosok sang kawan dimanapun. Barulah ia mengetahui alasan ketidakhadiran teman berambut birunya saat ia datang berkunjung ke kelas Athrun.
"Apa?! Pindah sekolah?"
Raut wajah ceria Kira seketika pudar begitu mendengar penjelasan dari teman sekelas Athrun—Lunamaria Hawk.
"Iya. Sepertinya saat pulang sekolah kemarin orang tua Athrun langsung datang ke sekolah dan mengurus surat kepindahannya. Aku melihatnya saat melewati ruang kepala sekolah."
Degup jantung Kira saat ini berpacu lebih cepat. Kepala cokelat menunduk dengan kedua bola mata yang sedikit membesar. Dalam kurun waktu kurang dari lima menit, rasa penyesalan kembali berputar memenuhi kepala. Kenapa ia harus mendiamkan Athrun sejak kemarin? Kenapa ia menolak ajakan Cagalli untuk pulang bertiga seperti biasa? Kenapa ia harus egois? Kenapa ia harus marah karena alasan yang tidak pasti kebenarannya?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kira berjalan lunglai menuju kelasnya. Bahkan ia lupa untuk mengucapkan terimakasih pada anak perempuan berambut magenta yang telah memberikan penjelasan padanya. Maaf saja, tetapi yang ada di kepala Kira saat ini adalah harapan agar bisa segera pulang dan langsung mengunjungi rumah Athrun. Semoga saja ia masih sempat.
.
.
Sesuai harapan. Begitu bel pulang sekolah berbunyi dan sensei melangkah keluar kelas Kira langsung melesat menuju pintu dan berlari menuruni tangga menuju gerbang. Bahkan ia meninggalkan Cagalli yang juga baru keluar kelas, tanpa mengatakan apapun. Pikirannya hanya dipenuhi oleh minta maaf pada Athrun sepanjang perjalan dari sekolah menuju komplek perumahannya.
Keadaan panik adalah hal yang buruk bagi Kira. Jika itu terjadi maka segala wejangan tentang kehati-hatian dan keteraturan selalu terabaikan begitu saja. Maka tanpa adanya firasat buruk yang melintas sedikitpun, Kira menyebrangi zebra cross yang terlihat belum terlalu ramai. Ya—belum terlalu ramai sehingga kendaraan yang melaju pun tidak mengurangi kecepatannya saat pemuda itu menyebrang. Sampai akhirnya—BRAKK ….
Sebuah mobil yang mengabaikan rambu lalu lintas menghantam tubuhnya. Sang pemuda berusia tigabelas pun jatuh tersungkur diatas aspal yang hangat dengan kesadaran mengambang. Darah segar segera membasahi helai cokelatnya yang lembut. Satu kalimat yang digumamkan sebelum kedua matanya menutup rapat.
Maaf Athrun…
Para pengguna jalan yang berada disekitar lokasi pun ikut panik dan langsung mendekat ke tempat kejadian perkara.
.
.
Athrun melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya yang telah menunjukkan pukul dua. Seiring bergulirnya waktu, kedua manik zamrudnya semakin terlihat tak fokus. Kenapa mereka harus pindah rumah secara tiba-tiba begini, sih?
Nyonya Zala yang menyadari kegelisahan sang putra pun akhirnya datang menghampiri. Telapak tangannya yang halus mengusap kepala biru dengan lembut.
"Athrun… ayo, kita akan segera berangkat." Ujar sang wanita dengan penuh kasih. Sejak sepuluh menit yang lalu putranya hanya duduk berdiam diri di depan pintu. Tanpa dipungkiri, rasa gelisah yang menghampiri putranya pun ikut menyusup dalam relung batinnya.
"Tapi aku belum berpamitan dengan Kira dan Cagalli, bu."
Ah, begitu ternyata. Lenore Zala menyungingkan senyum lembut demi menenangkan perasaan sang anak. Usapan pada kepala birunya pun tak memudar, "Tapi kau sudah berpamitan pada keluarga Hibiki, kan?"
Di jawab dengan anggukan.
"Surat salam perpisahannya sudah dititipkan belum?"
"Sudah."
"Jadi—apa yang kau khawatirkan? Nyonya Hibiki pasti akan menyampaikan salam darimu kok."
Merasa kalimat yang diutarakan sang ibu dirasa ada benarnya juga maka ia pun bangkit dan langsung berjalan menuju mobil yang akan mengantarkannya ke tempat yang baru, suasan yang baru, lingkungan yang baru dan—teman yang baru.
Mesin mobil dinyalakan, Athrun mengambil posisi duduk dibangku tengah. Jendela mobil yang terbuka mengantarkannya pada langit yang berwarna kelabu. Perasaan gelisah semakin menyusup dalam hatinya. Setelah perselisihan yang belum diselesaikan, kali ini ditambah dengan beban bahwa ia belum berpamitan secara langsung pada kedua sahabat terbaiknya itu.
Semoga Kira dan Cagalli tidak kehujanan saat pulang sekolah.
Mobil pun melaju, membawa rasa penyesalan dan gelisah yang menyusup dalam diri Athrun zala.
.
.
.
FIN
.
.
A/N : Alhamdulillah fic ini bisa selesai di hari terakhir deadline. Sebelumnya saya ingin minta maaf sama kak Erehmi kalau cerita yang dibuat sama kak Erehmi jadi kacau begini ditangan saya, dan tidak sesuai dengan keinginan kakak. Oh iya, bebeapa bagian dari tulisan kakak juga ada yang saya ubah… Karena yah, saya sesungguhnya bingung mau membawa cerita ini kemana, maka jadilah begini. Sekali lagi saya mohon maaf.
Tapi saya juga senang karena melalui challenge Takabur ini saya bisa bekolaborasi buta dengan kakak. Saya benar-benar senang sekaligus berdosa(?) karena tulisan saya yang acak-acakan begini disandingkan dengan tulisan kakak yang rapi dan jelas. Duh, saya jadi malu.
Dan bagi reader yang membaca, fic ini merupakan hasil kolaborasi buta kak Erehmi dengan saya dalam challenge Takabur. Jadi, kak Erehmi yang merupakan starter memberikan potongan cerita yang belum selesai dan sayalah yang sebagai finishingnya. Jadi mohon maaf jika semakin kebawah, gaya tulisannya berbeda dan tulisan ini jadi tidak nyaman untuk dibaca. Saya mohon maaf juga atas itu semua.
Sudah, sekian dulu obrolan(?) dari saya. Mohon maaf kalau banyak kekurangan. Terimakasih bagi penyelenggara challenge Takabur ini, dan juga bagi yang membaca tulisan kami.
Salam,
Erehmi & Sve
