Manga/anime : Noragami
Disclaimer : Adachitoka-sensei
Warning : boyslove and typos yang bertebaran :D
Have a nice day minna-san :D
Meeting
Barisan bukit terlihat bergerak cepat seiring dengan laju lokomotif kereta api yang membelah angin di siang hari. Terik matahari ikut menyinari daratan hijau nan asri di luar sana. Tiba-tiba pencahayaan di dalam kereta berkurang ketika memasuki sebuah terowongan, berganti dengan kegelapan yang menyelimuti hampir seluruh sudut di dalam gerbong. Para penumpang terlihat tenang akan kejadian itu, mereka tampak tidak peduli dengan perubahan cahaya yang terus terjadi karena kereta yang melewati beberapa terowongan panjang.
Terang!
Gelap!
Terang!
Dan seterusnya…
Saat terowongan habis dilalui, maka cahaya kembali menerobos masuk—mengisi setiap sudut ruang yang mampu dilaluinya.
Suara pemberitahuan yang dibunyikan operator kereta mulai menggema—membuat sebagian penumpang bersiaga di tempat duduk mereka.
"Yokohama… Yokohama…"
Tak lama kemudian kereta berhenti di sebuah stasiun. Penumpang kereta segera keluar dan calon penumpang pun sudah bersiaga di depan pintu masuk kereta.
Kerumunan manusia terbelah, berhamburan ke segala arah, menyisakan seorang pemuda bersurai pirang dengan koper besar di tangan kanannya. Kaca mata hitam bertengger manis di batang hidung mancungnya, sedangkan manik kuning cerahnya sedang berusaha membaca tulisan pada selembar kertas dari balik kaca mata hitamnya.
"Dia bilang akan menjemputku di stasiun."
Pemuda itu melipat lagi kertas yang dibawanya—memasukkannya ke dalam saku celana kain berwarna abu-abu yang dikenakannya. Ia menyeret kopernya menuju salah satu coolcase yang menyedikan minuman dingin. Melihat-lihat variasi minuman yang mampu menghilangkan dagaha saat musim mulai menghangat seperti saat ini. Tangannya merogoh saku jaket bulu tebalnya, menemukan beberapa koin sisa kembaliannya saat berbelanja di minimarket tadi, lalu memasukkannya ke lubang koin pada lemari dingin di depannya. Sekaleng soda pun jatuh ke lubang yang berada pada bagian bawah mesin.
"Sudah lewat 10 menit."
Pemuda itu merogoh lubang tempat sodanya terjatuh, namun tangannya kalah cepat dengan tangan seseorang yang telah berdiri di belakangnya.
Sejak kapan?
"Hei!" pemuda itu berteriak protes.
"Kau mau ini?"
Dengan kedua mata yang terbuka lebar, pemuda itu berkata, " Kau…" terlihat jelas ekspresi terkejut dari raut wajahnya.
"Hm? Kau melupakanku?" orang itu memiringkan kepalanya, sekaligus memasang senyum yang begitu menjengkelkan bagi pemuda bersurai pirang.
"Tentu saja tidak bodoh!" mengacuhkan orang asing yang telah merebut sodanya, pemuda itu kembali menghadap coolcase—berniat membeli minuman lagi.
"Yuki-chan, jangan marah begitu." Rajuk si orang asing bersurai hitam. Melihat Yukine yang masih mengacuhkannya, ia meletakkan dagunya di atas bahu pria bersurai pirang yang lebih pendek darinya. "Kita bisa bagi berdua."
"Tidak mau!"
'Klang'
Yukine meraih sekaleng soda yang berhasil dibelinya—mengabaikan kepala si pria asing yang masih bertengger di bahu kecilnya yang jatuh akibat kehilangan sandaran. Tak peduli, ia pun berjalan santai meninggalkan pria bersurai hitam yang masih memanggil namanya.
"Yuki-chan! Tunggung!"
"Jangan panggil aku dengan nama memalukan seperti itu!" desisnya marah, namun pria bersurai hitam itu nampaknya tidak terpengaruh. Ia pun mengejar Yukine yang sudah mendahuluinya, menangkap bahu si pria pirang, lalu merangkulnya dengan bersahabat.
"Jangan sok akrab, Bakayato!"
"Kau harus memanggil namaku dengan benar, adik kecil." Pria bersurai hitam—Yato itu mencubit pipi Yukine hingga memerah.
"Aku bukan adikmu!" Yukine menepis tangan Yato yang melingkari lehernya, "Umur kita tidak berbeda jauh!" tambahnya lalu pergi menjauh meninggalkan Yato yang masih meneriaki namanya.
"Baiklah…" Yato menarik nafas panjang setelah berhasil mengejar Yukine. Tak ingin pemuda pirang itu kembali meninggalkannya, ia segera menahan lengan berbalut jaket tebal itu, memegangnya kuat agar tak kabur lagi.
"Kau ke sini bukan untuk bertengkar denganku, kan?" Yato berbicara dengan nafas yang masih terengah.
"Tentu saja!"
"Nah, sesuai mandat dan tanggung jawab yang telah nenekmu berikan kepadaku…" Yato merangkul bahu Yukine. Bibirnya ia dekatkan pada daun telinga pemuda yang lebih pendek darinya itu, lalu berbisik dengan suara pelan, "…kau akan jadi milikku!"
Yato bisa merasakan bahu Yukine yang menegang dalam rangkulan tangan kanannya, tanpa disadarinya senyum jahil muncul begitu saja di bibirnya, "…nee, Yukine… mau kah kau tinggal bersama Kak Yato sekarang?"
"Hah?!"
Tidak sampai di situ saja aksi jahil Yato berlangsung. Saat wajah Yukine menoleh ke samping, tangan kiri Yato bergerak menyetuh pipi mulus wajah pemuda yang haya berjarak beberapa senti meter dari wajahnya sendiri.
"Hei, wajahmu semakin imut saja." Yato tersenyum jahil, kedua manik birunya begitu menikmati ekspresi kaget yang Yukine buat di wajahnya.
Yukine merasa wajahnya begitu panas, terutama bagian pipi yang dielus-elus telapak tangan Yato yang berkeringat itu. "Singkirkan tangan menjijikanmu dari pipiku, atau sebagai gantinya kupukul wajahmu!" geram Yukine. Kedua alisnya sudah menukik tajam sekarang.
Cepat-cepat Yato menyingkirkan tangannya dari pipi Yukine, namun tangan kanannya masih setia bertengger di ceruk leher Yukine.
"Kau tidak bermagsud menyingkirkan yang satunya lagi?" Yukine bertanya. Tentu ia sadar dengan rangkulan Yato di bahunya, dan ada sensasi basah di sana. Yukine pun kini rasanya ingin mandi berjam-jam agar jejak keringat Yato menghilang dari tubuhnya.
"Aku hanya merindukan adik kecilku ini. Kau memangnya tidak merindukanku?" balas Yato dengan bertanya. Yukine langsung menggeleng cepat.
"Besok adalah hari pertamaku sekolah. Aku tidak mau semuanya kacau karena dirimu, Yato!" Yukine menepis tangan Yato dari bahunya, lalu berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal.
"Aku ini senpaimu! Setidaknya kau harus memanggilku Yato-senpai!"
"Baka-Senpai!"
Upacara penyambutan siswa baru telah usai. Kini semua siswa tengah menikmati bento di bawah guguran bunga Sakura, namun beberapa juga ada yang mengunjungi kantin karena tisak membawa bekal seperti yang lainnya. Termasuk Yukine-pemuda pirang dengan kemeja berantakannya.
Kedua tangan terlihat sangat betah bersemayam dalam saku celananya. Wajahnya yang terbilang baby face itu berhasil mengundang bisik-bisik di kalangan siswi yang kebetulan melihat penampakan sok cool-nya.
Tidak peduli dengan sekitarnya, Yukine berjalan dengan langkah santai menuju kantin yang letaknya tak jauh dari aula tempat kepala sekolah berpidato atas kedatangan siswa dan siswi baru di sekolah mereka.
"Silahkan, ini ramenmu. Selamat menikmati!" Si penjaga kantin menyerahkan nampan berisi semangkuk besar ramen, dan sepiring kecil onigiri.
"Hm…" Yukine mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana, tak lupa beberapa lebar uang untuk membayar makanannya. Si penjaga kantin kembali tersenyum, namun pria pirang itu tampak tak berniat membalas senyum tulus seorang ibu kantin.
kedua tangannya sudah bersiap mengangkut nampan dan sebotol air mineral, namun hal itu tidak terwujud karena tiba-tiba sebuah… oh tidak! Magsudnya, sepasang tangan manusia menahan nampannya dari atas meja pesanan.
Yukine menoleh ke arah sepasang tangan itu berasal. Dan di sanalah ia mendapati senpai paling menyebalkannya tersenyum penuh arti.
"Hei! Kau hampir saja menjatuhkan ramenku!" teriak Yukine tak terima. Ia bisa melihat tumpahan kuah ramen yang mengori meja dan nampannya.
"Kau tidak mematuhi aturan sekolah. Jadi, aku harus menghukummu, Yukine!"
Yukine sudah memasang wajah marahnya. Sebaliknya, Yato masih setia menampilkan senyum jahil di wajahnya. "Itu bukan urusanmu! Aku lapar, dan aku harus makan sekarang!" balas Yukine, lalu meraih nampannya lagi—pergi meninggalkan Yato dan mencari meja kosong untuk dirinya.
"Tentu saja itu urusanku. Aku adalah ketua osis di sekolah ini!" ucapnya lalu mengekori Yukine.
"Aku tidak peduli!"
Yukine akhirnya menemukan meja kosong yang tersisa di sudut ruangan, dekat dengan jendela yang menampilkan lapangan tembak—tempat berlatih ekskul penembak. Ia bisa melihat beberapa siswa berlatih di sana. Mungkin persiapan untuk mengikuti perlombaan.
Mengalihkan pandangannya, Yukine menatap ramen panas di hadapannya, membelah sumpit menjadi dua lalu menjepit beberapa helai mie ramen. Namun, ketenangannya menyantap makan siangnya kali ini tidak akan terjadi, karena dengan tiba-tiba lagi, sepasang sumpit ikut menjepit mie ramen di dalam mangkoknya.
Tidak perlu lagi ditanya siapa pelakunya.
"Yato!" Yukine berteriak. Beberapa siswa yang ada di sana menoleh ke arahnya, namun tak begitu dipedulikannya, karena yang menjadi prioritasnya saat ini adalah seonggok manusia berparas menawan yang duduk di seberang meja, yang luar biasanya lagi, ia memasang wajah tanpa dosa padahal telah memakan ramen milik orang seenaknya.
Merasa namanya diteriaki, si pemilik nama pun menatap Yukine. "Iya? Apa kau ingin berbicara sesuatu padaku?" rasanya Yukine ingin menendang pantat Yato sekarang.
"Kau sudah keterlaluan!"
"Hm? Bukannya dulu kita sering berbagi makanan?" Yato memasang wajah polos menanggapi protes dari Yukine.
"Itu dulu! Sekarang berbeda!" Yukine meletakkan sumpitnya di atas meja cukup keras, sehingga menimbulkan bunyi yang berhasil menarik perhatian orang-orang sekitar. "Nikmati makananku! Aku tidak bernafsu!" tambahnya, lalu pergi meninggalkan Yato yang dalam keadaan bengong dan mulut penuh dengan ramen.
Yukine berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi siswa dan siswi dengan wajah marah, bahkan dahinya kini berkerut sebal. Beberapa orang pun memulai aksi bisik-bisik mereka saat Yukine sudah melintasi mereka.
Sampai akhirnya Yukine di depan sebuah pintu yang terbuat dari bilah-bilah bambu, berbeda dengan pintu pada umumnya. Pintu ini unik dan cara membukanya pun dengan digeser.
Yukine menaikkan sebelah alisnya bingung. Di dalam benaknya tak henti-henti ia memuji fasilitas yang begitu lengkap di sekolah ini. Dari lapangan tembak, hingga ruangan di balik pintu aneh ini.
Pelan-pelan, Yukine menyentuh permukaan pintu bambu. pintu pun digeser dan menimbulkan bunyi yang cukup keras. Saat pintu terbuka sepenuhnya, sebuah pemandangan unik terpampang di hadapannya. Angin berhembus menyapa surai pirangnya, disertai dengan bunyi lonceng angin yang terpasang di beberapa titik. Terutama di sudut-sudut atap, sehingga angin dengan mudah memainkan lonceng-lonceng tersebut.
Di balik pintu bambu itu bukanlah sebuah ruangan, melainkan aula yang cukup luas yang terhubung langsung dengan halaman belakang. Lantainya terbuat dari kayu jati berplemir, warnanya coklat mengkilap. Beberapa batang kayu tua berbalut bantalan putih yang mengelilingi hampir seluruh sisinya berdiri tegak di tengah-tengah halaman. Terlihat beberapa goresan pada bantalan hingga kapuk di dalamnya keluar dan bertaburan di tanah.
Yukine melanjutkan langkahnya lebih masuk ke dalam Dojo, mengamati berbagai macam hal yang tersaji di sana. Namun, belum sampai ia menyelesaikan langkah ketiga, seseorang menepuk bahunya dari belakang, alhasil keseimbangannya pun berkurang. Dengan sigap, orang yang menepuk bahu Yukine langsung menangkap tubuh pria kecil yang hampir terjatuh itu.
"Kau tidak apa-apa?"
Yukine hanya bisa memandang si penolongnya dengan tatapan kaget sekaligus kagum. Ia terdiam melihat wajah manis yang terlihat panik dari sudut pandang matanya.
Merasa sudah kembali ke bumi, segera Yukine langsung menegakkan diri—melepaskan diri dari rangkulan gadis manis yang kini berdiri di hadapannya.
"A-aku baik-baik saja." Jawabnya sedikit kaku. Yukine tak menyangka kalau penolongnya adalah seorang gadis.
"Aku kira kau akan pingsan tadi." Si gadis berhelaian hitam panjang itu pun menatap Yukine dengan seulas senyum di wajah cantiknya. "Ano… kau sedang apa di sini?" pertanyaan gadis di depannya langsung membuat Yukine bingung harus menjawab apa. haruskah ia mengatakan kalau dirinya sedang dikejar Yato?
"Kau berminat ikut klub berpedang?" tanya si gadis lagi saat sadar pemuda di depannya masih diam, bahkan belum menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Aku…"
"Yukine!" suara Yato menggelegar dari kejauhan, sosoknya yang aneh muncul dengan keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya. Dan Yukine tanpa sadar bergidik ngeri melihat keringat itu kini mulai menetes dan mengotori lantai dojo.
"Yukine! Kita belum selesai bicara… eh!?" Yato menghentikkan langkahnya tiba-tiba. Kedua manik biru cerahnya menatap—ah, tidak! Magsudnya, memelototi gadis manis yang berdiri di hadapan Yukine. Wajah putihnya pun kini terlihat kemerahan. Yukine bingung dibuatnya.
"Hiyori!?" teriak Yato sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah gadis bersurai hitam itu.
"Waaah… apa yang dilakukan seorang ketua osis di sini?" Hiyori melipat tangannya di depan dada. " Kau mau mengganggu adik kelas lagi?"
Yato menegang di tempatnya berdiri. Hiyori sudah memasang wajah sanggarnya, lalu melangkah pelan ke arah Yato yang semakin berkeringat. Ohh… Yukine ingin muntah sekarang.
"Hiyori, kau salah paham! Aku tidak sedang mengganggunya!" teriak Yato membela diri. Hiyori semakin mendekati Yato, dan Yato mulai melangkah mundur menjauhi Hiyori.
"Haah?! Benarkah itu?"
"T-tentu saja!" Yato masih bersikeras. Ia benar-benar berada pada tekanan gadis di depannya ini. "Yukine! Katakan sesuatu!" Yato melirik Yukine dari balik tubuh Hiyori yang menghalangi jarak pandangnya terhadap pemuda bersurai pirang yang kini masih berdiri dan terlihat tak peduli.
"Memang faktanya kau selalu menggangguku, Yato-baka!" Yukine tersenyum miring, lalu pergi meinggalkan Yato yang dihakimi sendiri oleh Hiyori.
Yukine bisa mendengar teriakan Yato yang memanggil namanya, namun itu tak menumbuhkan niatnya untuk bertemu pemuda menjijikan itu. Tinggal bersama dengannya dalam satu atap saja sudah menjadi mimpi buruk yang menjadi kenyataan bagi Yukine. Bahkan, ia tidak tahu lagi ekspresi apa yang akan ditunjukkannya saat mereka bertemu di apartemen. Ia tidak tahu lagi sikap acuh seperti apa yang harus ia lakukan lagi. Yang ia tahu hanya, setiap dirinya dekat dengan pemuda gila bersurai hitam itu, jantungnya berdetak kencang—terlalu kencang untuk bisa dikendalikan. Dan ini menjadi masalah baginya.
Yukine memijit keningnya frustasi. Memikirkan semuanya membuat kepala terasa berat dan penuh. "Yato… kau benar-benar sudah membuatku gila."
Satu chapter untuk hari ini:D
Thanks buat yang sudah bacaaa :D
Jangan lupa review nya ya! Karena review adalah bahan bakarku untuk membuat epep :D
