Disclaimer : Masashi Kishimoto
Mama buat Bima © Nuansa_Jingga
AU. OOC. Settingan Indonesia.
.
.
Sakura
Tanpa diberitahu pun, aku sudah tahu bahwa kehidupan cintaku payah—benar-benar payah, jika boleh ditambahkan. Dua kali jatuh cinta, dua kali menjalin kasih, dan dua kali ditinggal nikah. Menyedihkan. Sebagai seorang gadis yang cerdas dan baik hati, aku sadar nggak ada gunanya mengasihani diri sendiri dalam kesedihan yang berlarut-larut. Hidup itu untuk masa depan, buksn masa lalu. Aku paham, baik Gaara maupun Neji bukan jodoh yang ditakdirkan Tuhan untukku, aku sudah move on kok dari mereka. Yeah, walau sebagian anggota keluarga—dan juga hati kecilku yang manis dan malang—masih belum percaya kalau aku udah bisa ngelupain pacar terakhir aku, Si Kampret Neji.
Yeah, walau kehidupan cintaku nggak berjalan mulus dan juga rencana pernikahanku dan Neji waktu itu gagal, tapi bukan berarti aku mau dijodoh-jodohin lagi. Aku kapok coy! Udah cukup Neji Kampret aja laki-laki terakhir yang dijodohin keluarga sama aku, aku nggak mau ada yang lain lagi. Haaaah, seandainya aku bisa ngungkapin itu sama Tante Mikoto.
Udah, jangan mandang aku make tatapan aneh kek gitu. Iya aku emang dijodohin lagi, tapi bukan Papa sama Mama yang jadi mak comblangnya, melainkan Tante Mikoto mertua dari Mbak Shizune. Beliau pengen banget aku jadi istri Mas Sasuke, buat ngegantiin Mbak Shizune yang meninggal sekitar sepuluh bulan yang lalu saat melahirkan Izuna Uchiha, anak pertama mereka. Menurut Tante Mikoto, dari semua cewek yang ngedeketin Mas Sasuke setelah dia resmi menyandang status duda ditinggal mati (Uhuk!) cuma aku yang memenuhi kritera sebagai calon mama tirinya Izuna.
Si Tante Mikoto kepedean banget yak? Siapa juga yang ngedeketin anaknya? Iya sih Mas Sasuke emang ganteng, mapan, dan matang, tapi aku nggak punya rasa apa-apa sama dia. Biar bagaimanapun dia masih Kakak iparku, suaminya Mbak Shizune, dan aku sama sekali nggak punya niat buat ngambil atau nyobain 'bekas'nya Kakak kandungku sendiri, walau kakakku itu sudah jadi Almarhumah. Lagian aku pengennya dapat perjaka, bukannya Duda. Ahay.
"Seharusnya kamu pertimbangkan lamarannya Tante Mikoto untukmu," nasihat Mama yang malam ini, nongkrong bareng sama aku dan Izuna di ruang keluarga, depan tivi, sambil duduk nonton Dangdut Academy, beralaskan karpet. Sementara si Mama lagi asik leha-leha di sofa.
Sebenernya aku kagak hoby nonton acara beginian, cuma si Izuna kecil hobi banget dengerin lagu dangdut sambil joget-joget/lonjak-lonjak ala anak seusianya. Dan kalau chanel acara dangdutnya dipindah ke acara lain, nih bocah setres bakal langsung ngamuk sambil nangis kenceng, ngebangunin tetangga-tetangga yang lagi tidur nyenyak. Entah hobi dangdut dan juga teriakan maut itu turunan dari bapaknya atau ibunya, aku nggak tahu.
"Nggak ah, Ma." Aku mengernyit mendengar perkataan Mama, sambil terus memperhatikan Izuna yang terlonjak-lonjak bertepuk tangan (mungkin itu joget ala baby Izuna?) di depanku, "Sakura nggak mau dijodohin lagi. Terakhir kali Sakura nerima perjodohan, hasilnya benar-benar nggak bagus."
Mama meringis mendengar jawabanku yang mengacu pada Neji dan keluarganya.
"Tapi ini Sasuke, Saku. Kamu udah lama kenal Mas Sasuke dan keluarganya kan? Mereka baik, dan Mama yakin mereka juga nggak akan terlibat masalah dan membatalkan pernikahan seperti yang dilakukan keluarga Neji." Ya iyalah nggak bakal terlibat masalah seperti keluarga Neji, wong Mas Sasuke anak tunggal.
Aku mendesah, "Tapi Ma, Mas Sasuke itu suami almarhumah Mbak Shizune. Dia udah kayak kakak buat aku, aku nggak mungkin … hhh, aku nggak punya perasaan sayang lebih dari seorang adik ke kakaknya sama Mas Sasuke. Lagian kenapa harus aku sih Ma? Kalau Mas Sasuke mau nikah lagi, dia bisa nyari calon istri diluar." Pastinya nggak bakal ada yang nolak Dosen Duren Sawit ganteng kayak dia.
Kayaknya si Mama udah nggak merhatiin lagi acara dangdutan di tivi. Beliau lagi fokus sama topik pembahasan kami. Sementara Izuna … well, sepertinya sekarang dia lagi sibuk nyanyiin lagu 'JUDI!' dalam bahasa bayi dadadididudunya.
"Sakura, keluarganya Sasuke sangat sayang pada Izuna. Izuna adalah cucu pertama keluarga mereka, dan mereka nggak mau Izuna dapat Ibu tiri yang hanya sayang pada bapaknya saja dan menyianyiakan Izuna, mereka nggak mau dapat menantu yang nggak jelas asal-usulnya dan akan ngejahatin Izuna."
Masuk akal sih. Aku juga nggak mau keponakanku dapat mama tiri nenek sihir jahat.
"Saku …."
"Hmmm?"
"Kamu sayang kan sama Sasuke?"
Pertanyaan macam apa itu, Ma?
"Sayang," jawabku dengan sebelah alis terangkat tinggi, "tapi Cuma rasa sayang sebagai adek-kakak doang Ma, nggak lebih."
"Kalau sama Izuna?"
Aku tahu kemana arahnya pertanyaan ini. Aku menunduk memandang Izuna yang menguap dan merangkak ke arahku, seperti biasa, minta digendong ampe dia tidur. Mata hitam besarnya menatapku sambil berkaca-kaca, pipi bulat merahnya tampak menggemaskan, bibir bawahnya berkerut ke dalam. Kalau aku nggak bangun buat ngegendong nih bocah, taruhan lima detik lagi dia bakal tereak kalau aku nggak ngegendong dia.
Mendesah pasrah, aku berdiri dan mengangkat Izuna ke dalam gendonganku.
"Tentu saja Sakura sayang sama Izuna, Ma. Walau Sakura ngurus Izuna cuma sabtu-minggu saja, tapi Izuna udah kayak anak Sakura sendiri."
"Nah, itu dia!" wajah Mama berubah sumringah mendengar jawabanku.
"Itu dia apaan?"
"Sakura, alasan Tante Mikoto melamar kamu untuk Nak Sasuke adalah karena kamu tulus menyayangi Izuna. Selama ini kamu merawatnya, dan tahu apa yang dia butuhkan. Kamu sudah terbiasa dengan semua polah dan tangis Izuna sejak dia baru berumur beberapa hari. Ayolah Nak, pertimbangkan lamaran Tante Mikoto. Beliau memilihmu, karena beliau tahu kamu sayang Izuna seperti kamu sayang anakmu sendiri."
"Aku memang udah nganggap Izuna seperti anakku sendiri, tapi aku nggak nganggap bapaknya kayak suamiku sendiri tuh Ma."
"Oh. Itu bisa diatur."
Tubuhku membeku mendengar suara berat yang menjawab perkataanku dengan nada agak sinis, berasal dari arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Aku berbalik dan menemukan Mas Sasuke berdiri di sana. Memakai kemeja biru pucat lengan panjang dan celana denim hitam, rambutnya tampak acak-acakan, satu tangannya membawa tas kerja, dan satunya lagi memegang sebuah plastik hitam.
Aku nyengir canggung saat tatapan mata kami bertemu. Nih orang kok nggak pulang kerja ke rumahnya sendiri. Kemudian aku menyadari bahwa aku sedang menggendong anaknya. Bodohnya aku, Mas Sasuke tentu datang untuk menengok atau membawa pulang Izuna. Tapi ini kan baru hari sabtu?
Mama tergelak melihat ekspresi ngeri-canggung-bercampur maluku. Izuna yang tadinya mengantuk melonjak-lonjak senang melihat Papanya, sambil berkata ; "Tata! Tatha!" dengan penuh semangat.
"Hai jagoan!" kata Mas Sasuke riang sembari menghampiriku untuk menyapa anak semata wayangnya.
"Nak Sasuke, baru pulang kerja ya Nak?" Mama bangkit dari sofa.
"Iya Ma," jawab Mas Sasuke, "Maaf kalau Sasuke terkesan masuk rumah tanpa permisi. Tadi Sasuke udah ngetuk pintu dan ngucap salam, tapi nggak ada yang jawab," beritahunya, "Sasuke bawain martabak telor kesukaan Mama." Dia mengangkat plastik bawaannya dan memberikan pada Mama.
"Wah terimakasih ya, Nak."
"Oh ya, Ma. Malam ini boleh nggak Sasuke nginap di sini, nggak ada Izuna di rumah jadi sepi."
Mama tersenyum maklum, "Tentu saja boleh Nak. Kamu kan keluarga juga di sini. Kamu bisa tidur di kamar …," Mama terdiam sejenak, tampak enggan meneruskan, "tempat kamu sama Shizune sering tidur kalau lagi nginap di sini." Nada suara Mama terdengar pahit.
Aku menunduk menatap lantai. Kami semua masih sedih dengan kepergian Mbak Shizune. Dia orang yang ceria, sejak kecil dia selalu menjadi penyemarak suasana di rumah ini. Kehilangan dia adalah pukulan hebat bagi kami semua, terutama bagi laki-laki di depanku yang sangat mencintainya.
"Iya Ma," sahut Mas Sasuke setelah terdiam beberapa saat. Dia kemudian melirik Izuna—yang berubah jadi penuh semangat—dalam gendonganku, "lalu Izuna tidurnya di mana?" tanyanya penasaran.
Ah ya! Mas Sasuke emang nggak tahu kalau selama ini, setiap kali Izuna nginap, dia selalu tidur di kamarku.
"Izuna tidur sama Sakura, di kamarnya," sahur Mama.
"Apa?"
"Mama ke dapur dulu ya buat nyiapin makanan. Nak Sasuke pasti belum makan."
Mama meninggalkan kami berdua—kalau Baby Izuna bisa dihitung, jadinya tiga—di ruang keluarga. Mas Sasuke menatapku dengan dahi berkerut dan membuatku risih. Beruntung Izuna menyelamatkanku dengan cara meminta gendong pada papanya, hingga membuat perhatian Mas Sasuke teralihkan dariku. Ffiuh!
"Surabaya?"
Mas Sasuke mengangguk menanggapi keterkejutan kami. Dia baru saja menyampaikan bahwa dia ingin pergi ke Surabaya, ke tempat Ayah kandungnya—orang tua Mas Sasuke bercerai sejak dia masih kecil, selama ini Mas Sasuke tinggal dan dibesarkan oleh Tante Mikoto dan Om Fugaku, Ayah tirinya. Dia ingin membawa Izuna bersamanya, karena selain merindukan anaknya yang tak pernah dilihat sejak masih bayi, Ayah Mas Sasuke juga ingin melihat cucunya.
"Iya Pa. Ayah Sasuke menderita penyakit gagal jantung, dan menurut Eyang kakung belakangan ini kesehatan Ayah makin menurun. Keluarga Sasuke yang di Surabaya berpendapat bahwa kesempatan hidup Ayah tinggal sedikit, jadi …." Suaranya menghilang. Mas Sasuke terlihat sedih.
Mama, Papa, dan aku memaklumi. Selama ini Mas Sasuke selalu ingin tahu dan bertemu dengan Ayah kandungnya, dan dia baru saja mengetahui tentang Ayah kandungnya, setelah istrinya meninggal. Dan di saat dia tahu tentang Ayah kandungnya, beliau malah divonis mati, jadi wajar jika Mas Sasuke sedih.
Papa menarik napas panjang, dia kemudian menatap Mama selama beberapa saat lalu bertanya, "Kapan kalian berangkat?"
"Mungkin lusa. Masih belum tahu mau berangkat pake mobil atau pesawat." Sesekali Mas Sasuke melirikku—yang tengah asik menyuapi Izuna dengan bubur bayi rasa pisangnya.
"Tapi Sas …," kening Mama berkerut khawatir, "Umur Izuna kan kurang dari satu tahun. Dia masih terlalu kecil dan agak rewel. Sejujurnya Mama khawatir dengan kalian berdua saja yang melakukan perjalanan jarak jauh."
Mas Sasuke tersenyum, "Sasuke udah mikirin itu Ma, Sasuke mau ngajak seseorang buat bantu ngurus Izuna di perjalanan dan di Surabaya nanti."
"Tante Mikoto?" tanyaku berusaha untuk tidak terkikik geli menanggapi kelakuan Izuna yang menggemaskan, yang tampak jengkel dan seperti ingin meninjuku saat aku terlambat menyuapi buburnya.
"Bukan. Aku … mau ngajak kamu, Sak."
WHAT? Eits, untung aku nggak nyodok mulut Baby Izuna, karena kaget dengar permintaan Bapaknya. Apa tadi dia bilang? Ngajak aku ke Surabaya? Nggak salah dengar tuh?
"M-maksud Mas?" gagapku bodoh.
"Aku ngajak kamu ke Surabaya buat ngebantu aku ngerawat Izuna di sana," jelas Mas Sasuke.
Nggak, nggak, nggak! "Nggak mungkin Mas, aku kan kerja."
"Kamu bisa minta ijin cuti," potong Mama semangat. Aku tahu apa yang ada di otaknya.
"Tapi ... apa ini nggak akan jadi masalah?" aku menatap ketiga orang di depanku dengan ekspresi khawatir, "Maksud Sakura, apa ini nggak bakal jadi perbincangan orang-orang desa? Sakura sama Mas Sasuke kan bukan muhrim, harus pergi berdua ke Surabaya. Itu bisa jadi bahan pergunjingan orang-orang kampung, Mas," kataku malu.
Mas Sasuke mendengus. "Kamu lebih takut jadi bahan pergunjingan orang, daripada Izuna kenapa-napa di tengah jalan?"
"Yah, Sakura juga nggak mau Izuna kenapa-napa, cuma …."
"Udahlah Sak, pergi saja sama Sasuke. Papa sama Mama percaya kalau Sasuke bisa jagain kamu, dan dia nggak akan macam-macam sama kamu." Mas Sasuke mengernyit ke arahku mendengar nada bicara Mama, yang terkesan mengharapkan terjadinya sesuatu yang macam-macam.
Si Mama malu-maluin deh.
"Gimana Sak?"
Terdiam sejenak untuk berpikir, aku kemudian mengangguk—menyetujui. Papa dan Mama tersenyum senang, sesenang Izuna yang kembali mendapatkan suapan bubur pisang dariku.
"Nak Sasuke sudah punya bayangan, mau ngambil jalur transportasi darat atau udara, untuk berangkat ke Surabaya?"
"Mungkin darat."
Mukaku langsung pucat.
"Izuna masih terlalu kecil buat naik pesawat. Kalau naik mobil, dia bisa sedikit lebih santai."
Kalau kayak gitu akunya yang nggak santai Mas. Hueeee! Aku mabok darat!
