.

.

.

.

.

DOR!

Satu peluru mengenai batang pohon tepat di sampingnya menjadi sebuah peringatan bahwa ia harus berlari lebih cepat lagi. Suara dedaunan kering yang terinjak terasa begitu keras di telingannya. Nafasnya terengah dan kakinya yang mulai mati rasa ia paksakan untuk tetap berlari.

Karena ia tak boleh mati.

Ia harus hidup.

Harus!

Hutan begitu gelap gulita hanya sedikit cahaya bulan yang begitu samar menembus dedaunan lebat. Sekali lagi ia mendengar suara tembakan menandakan maut tepat di belakannya. Ia tak berani menengok kebelakang. Melawan bukanlah pilihan yang bagus sekarang, mereka menang jumlah dan masing-masing membawa senjata. Sedangkan dia sendirian, tanpa senjata yang berguna.

Ia mengumpat.

Bisa-bisanya ia terpancing masuk keperangkap mereka.

Daratan yang mulai menurun tak membuatnya mengurangi kecepatan larinya, ia tak peduli akan kemana kakinya membawanya yang terpenting sekarang ia harus menjauh dari orang-orang yang berniat membunuhnya.

Srak.

Dia terkejut, namun reflek tubuhnya yang mengerem langkahnnya yang hampir membuatnya terjatuh tepat dari lereng dengan kemiringan yang sama sekali tak dapat dipijak. Sedikit saja terlambat bisa dipastikan ia akan terjun bebas di udara. Dia terdiam dengan nafas terengah dalam posisi setengah terduduk, masih terkejut karena hampir membunuh dirinya sendiri hingga suara tembakan menyadarkannya.

Dengan panik ia bangkit dan bersembunyi di balik batang pohon. Jalan buntu. Dan tak ada cukup waktu untuk berbalik arah karena ia yakin para algojo-algojo itu sudah mengepungnya.

Bagaimana sekarang?

Ia akan mati.

Tapi ia tak boleh mati.

Tidak sekarang.

Matanya terpejam kuat saat rasa putus asa mulai mencengkramnya. Otaknnya mulai membayangkan bagaimana peluru-peluru panas itu akan menembus tubuhnya nanti.

Tidak-tidak, jangan dibayangkan!

Kelopak matanya terbuka dan iris cokelatnya langsung menemukan bulan purnama yang terlihat jelas di atas langit malam. Tepat di bawah sinar bulan itu terdapat kerlipan kuning yang menandakan adanya kehidupan, jauh disana. Ia terdiam melihatnya, tepat saat sebuah pemikiran masuk keotaknnya.

Dengan cepat ia meraba kantung celananya, mengeluarkan ponselnya.

Tak ada satupun sinyal yang tertangkap sejak ia memasuki area ini siang tadi, membuatnya harus berlari dan tak bisa meminta bantuan sejak tadi.

Tapi masih ada harapan.

Satu-satunya harapan.

Ia membuka ponselnya, lalu mulai berbicara. Merekam apa yang diperlukan. Mencoba sesingkat mungkin namun seefektif mungkin.

Ia terdiam memandangi ponselnya saat selesai.

Ia mengeluarkan simcard di dalamnya lalu melempar ponselnya dari sini, ia tak tahu apakah benda ini akan pecah berserakan atau membentur ranting dan tetap untuh seperti yang di harapkannya.

Ia tak tahu.

Ia bahkan tak tahu apakah akan ada seseorang yang akan memungutnya, dan mau melakukan permintaannya.

Ia tidak tahu, tapi ia berharap.

Mungkin ia akan mati di sini, tapi setidaknnya meski hampir tidak mungkin ia mencoba membuat harapan. Untuk entah seseorang disana.

Suara tarikan pelatuk pistol membuatnya membeku. Ia menengok dan mendapati pistol itu mengarah tepat dikepalanya.

Dapat ia lihat seriangaian itu tercetak begitu keji di wajah orang itu. Seakan membunuhnya adalah sebuah kesenangan yang tiada tara. Jantunya mulai berpacu lebih cepat, ia takut tentu saja karena ini mungkin akan menjadi akhir hidupnya.

"Jadi, kurasa ini adalah akhir perjalanan."

Saat pelatuk peluru itu akan ditarik ia dengan cepat memengang tangan pembunuh itu, mencegahnya menembak. Keduanya bergulat untuk mempertahankan posisinya, saat ia melihat pembunuh lainnya akan mengarahkan pistol padanya ia lengah dan terdorong menjauh. Satu hal yang diluar dugaan semua orang adalah bahwa pijakannya menghilang. Dan tubuhnya terperosok jatuh dari tebing tanpa ada siapapun yang dapat mencegah.

Para pembunuh itu terdiam meliahatnya.

"Kita harus memeriksanya."

"Para poslisi mulai mendekat!" Satu lagi datang dengan nafas terengah. Sepertinya mereka terlalu membuat keributan dengan suara peluru mereka hingga para polisi hutan itu curiga. Mereka harus segera pergi dari sini tanpa menghilangkan jejak.

"Bagaimana jika dia masih hidup."

"Dia pasti terluka, bukankah ini justru semakin memudahkan kita."

Satu seringaian terbentuk di bibirnya.

.

.

.

.

Strange

.

.

.

Pair: Haehyuk

Rate: T

Warning: Yaoi/THREE SHOOT

Summary: Dia adalah orang asing. Tak peduli rasa iba karena dia kini terbaring tak berdaya, tak peduli rasa simpati karena masalah yang menghimpitnya, tak peduli rasa penasaran akan pesan terakhirnya. Ia tetaplah orang asing bagi Hyukjae.

.

.

.

"Akh!"

Hyukjae hanya bisa menatap nanar sepatunya yang ternoda oleh lumpur yang tak sengaja ia pijak, kenapa ia memakai sepatu putih di tengah hutan begini. Hyukjae membodohi dirinya sendiri. Dengan langkah pelan ia hanya bisa mengerutu sambil sesekali menguap. Semalam ia tak bisa tidur nyenyak karena suara peluru para pemburu liar itu dan tembok kayu tanpa peredam tempatnya menginap sama sekali tak menolongnya.

Langkahnya terhenti sebelum namja muda itu mendongak melihat hamparan pohon dengan lereng-lereng yang begitu terjal. Dahinya mengernyit, apa yang bisa diharapkan dari tempat ini?

"Hah..."

Entah itu sudah helaan nafas keberapa. Ia tak suka berada di sini, tapi ini satu-satunya yang tersisa untuknya sekarang meski akan segera berpindah tangan ke orang lain seperti nasib rumah dan perusahaan orang tuanya. Hyukjae kembali menunduk saat mengingat semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Bagaimana cepatnya perubahan hidup yang ia alami.

Hyukjae sekarang adalah yatim piatu sejak beberapa minggu yang lalu. Orang tuannya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat dalam perjalanan bisnis. Mereka yang sedang merintis sebuah perusahaan baru mendapatkan sebuah proyek besar sehingga mengharuskan mereka meminjam uang begitu banyak ke bank, namun semuanya hanya tinggal rencana dan justru menjadi bumerang bagi Hyukjae yang harus membayar semua hutang-hutang itu.

Hyukjae tak punya apa-apa lagi sekarang, ia tak punya tempat tinggal dan tabungannya semakin menipis. Mungkin ia harus mencari pekerjaan setelah ini, menabung yang banyak sebelum kembali meneruskan kuliahnya yang terpaksa terhenti. Itupun kali masih sempat.

Iris hitamnya menulusuri pepohonan di kanan kirinya. Ini merupakan tanah milik keluarga ayahnya. Kakeknya yang mewariskannya pada sang ayah. Setidaknya dengan tanah ini akan bisa membuat Hyukjae hanya tinggal membayar beberapa juta won saja untuk menutup semua hutang. Sisanya akan ia cicil seumur hidupnya mungkin.

Tempat ini cukup indah sebenarnya, ibunya bahkan berencana membangun beberapa vila di sini dimasa depan dan meminta Hyukjae yang mengurusnya kelak. Namun sekali lagi itu hanya tinggal rencana.

Trak!

Langkah Hyukjae terhenti saat ia merasa telah menendang sesuatu. Ia menunduk lalu memungut penda persegi di bawahnya. Dahinya mengernyit saat melihat benda apa itu.

Sebuah ponsel.

Dengan layar yang retak meski terlihat masih baru.

Kepala Hyukjae menengok ke kiri - ke kanan. Mungkinkah ada orang lain di sini? Hyukjae mendengus kesal. Jangan bilang tanah miliknya disalah gunakan oleh orang lain. Jangan bilang tanah ini diklaim orang lain, itu dugaan Hyukjae. Meski sebentar lagi akan berpindah tangan tapi untuk saat ini tanah ini masih sah miliknya, tertulis dalam surat. Dan mengotak-atik tanah orang tanpa ijin adalah tindakan kriminal.

Jika tadi ia melangkah dengan malas sekarang Hyukjae melangkah dengan begitu emosi, lihat saja jika ia menemukan pemilik ponsel ini ia akan membentaknya habis-habisan, berkelahi bila perlu. Namja itu masuk semakin dalam kehutan mendekati daratan lereng yang menjulang tinggi.

Srak!

Hyukjae menengok ke samping, ia terdiam sejenak sebelum dengan langkah pelan mendekati sumber suara itu. Tinggal beberapa langkah saat tiba-tiba saja seekor tupai melompat melewatinya membuatnya terkaget setengah mati.

"Aish!" Umpatnya keras.

Ia sangat menyesal datang ditempat ini. Ia membenci tempai ini.

Hyukjae sudah akan berbalik meninggalkan tempat itu saat iris hitamnya menangkap sesuatu yang begitu kontras dengan hijaunya dedaunan di sana. Ia perlahan mendekat lalu menyibak semak-semak yang menutupnya.

Matanya terbelalak dan tanganya reflek menutup mulutnya yang akan berteriak saat melihat apa yang ia temukan.

.

.

.

Suara umpatan dan makian itu terdengar menggema di ruangan mewah rumah itu. Lelaki setengah abad itu mencengkram erat gelas berisi wisky di tangannya saat mendengar perkataan seseorang ditelefon itu. Saat kemarahannya sudah tak terbendung lagi ia melempar gelasnya, membuatnya menghantap tembok dan pecah berserakan.

"Aku tak peduli. Temukan dia, pastikan dia mati dengan mata kepalamu sendiri!" Seperti belum cukup, ia kini melempar ponselnya.

Nafasnya terengah karena emosinya yang naik sampai ubun-ubun. Orang-orang bodoh itu hanya membunuh satu orang saja tak bisa, tak becus.

Ketukan pintu terdengar sebelum seorang wanita cantik masuk menunduk sopan padanya.

"Rapat untuk proyek Jeju sudah ditetapkan Direktur."

Kemarahannya mereda saat mendengarnya.

"Benarkah? Jadi presentasi Presdir kita sudah ditetapkan?"

"Ye."

Tiba-tiba saja tawanya menggema diseluruh ruangan.

"Apa yang akan kita rapatkan disana?" Ia masih tertawa sebelum perlahan mereda digantikan dengan raut wajah penuh ambisi.

"Apa yang akan dirapatkan, jika Presdir terhormat kita bahkan tak akan pernah datang."

Tawa kecilnya mengalun.

"Siapkan setelan terbaikku, aku harus berpenampilan terbaik untuk melihat pertunjukan konyol itu."

Tawanya membahana setelah itu.

.

.

.

Hyukjae membeku. Shock. Kaget. Bingung. Tak percaya.

"Koma?"

"Ne, benturan di kepalanya membuat gagar otak yang serius untuknya. Operasinya memang berhasil tapi sepertinya sistem sarafnya tak bekerja sekarang."

Tubuh Hyukjae melemas dan pasrah bersandar pada kursi. Ia tak terlalu mendengarkan perkataan dokter setelahnya.

Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Ia tidak tahu tindakannya akan merujung seperti ini. Hyukjae sangat ingin membenturkan kepalanya ke tembok. Dia menyesal melakukan hal ini sekarang.

Tapi tidak mungkin juga ia membiarkan orang itu mati di tanah miliknya kan?

"Kakak anda sudah kami pindahkan ke kamar inapnya, anda bisa melihatnya di sana."

"N-ne." Hanya itu jawaban yang dapat Hyukjae berikan sebelum berjalan keluar ruangan Dokter. Ia berjalan pelan. Namun langkahnya perlahan terhenti sebelum duduk di salah satu kursi lorong rumah sakit sambil merutuki kebodohannya.

Tadi pagi ia menemukan hal yang tak terduga. Ia menemukan seorang dengan kepala penuh darah tergeletak tak sadarkan diri di tanah miliknya. Hyukjae juga sangat panik saat itu, ia mengira menemukan seonggok mayat. Pikirannya sudah pergi kemana-manan sebelum ia melihat bahwa seonggok mayat itu ternyata masih bernafas meski begitu pelan. Dengan segenap keberaniannya ia memeriksanya dan benar denyut nadi orang itu masih ada.

Akhirnya dengan kebaikan hatinya yang luar biasa ia membawa orang itu kerumah sakit dengan bantuan beberapa warga setempat. Ia mengakui orang itu sebagai kakaknya dan tak melapor pada polisi karena tak ingin terjadi rumor yang tidak-tidak dengan tanah miliknya. Pihak bank tak akan mau menerima tanah itu jika menemukan apa yang telah terjadi. Seorang hampir mati di tanah milikmu, siapa yang akan mau membelinya menurutmu?

Tapi Hyukjae mulai menyesalinya saat ternyata orang itu terluka lebih parah dari dugaannya. Operasi, bisa kau bayangkan bagaimana ekpresi Hyukjae saat diberi tahu akan hal itu oleh dokter? Membuatnya mau tak mau setuju mengingat ia mengaku sebagai adiknya. Nyawa orang yang dipertaruhkan saat itu, dan Hyukjae tak mungkin mengatakan tidak.

Dan sekarang malah koma? Yang benar saja.

Hyukjae tidak tahu bagaimana membayar biaya operasi orang itu dan sekarang harus rawat inap dengan waktu yang tidak ditentukan. Untuk biaya hidupnya saja ia masih belum tahu apalagi untuk orang lain, astaga.

Dengan frustasi Hyukjae mengusap wajahnya kasar.

"Aku tidak sanggup, tidak sanggup!" Serunya seraya berdiri tak dipedulikannya tatapan aneh orang-orang disekitarnya. Ia dengan langkah pasti menuju ruang rawat kakak palsunya itu sesuai intruksi suster yang menanganinya tadi. Ia sudah memutuskan akan memutus jalinan persaudaraan palsu buatannya itu. Dengan kasar ia membuka pintu kamar rawat inap itu, namun ia langsung terdiam.

Semua emosinya melebur seketika saat melihat sosok yang terbaring di ranjang itu. perlahan ia masuk ke dalam kamar melihat orang asing itu secara dekat. Wajah orang itu begitu pucat dengan peralatan medis yang mengelilinginya, ia terlihat sangat kecil dan lemah diatas ranjang rumah sakit yang begitu besar. Matanya terpejam rapat dengan kepala terperban dan tubuh penuh luka.

Rasa iba itu menengelamkan keegoisan Hyukjae. Ia tak mungkin tega meninggalkan orang ini begitu saja.

Hyukjae menghela nafas, ia memang tak bisa menjadi orang jahat.

Baiklah, ia akan membantu sedikit lagi.

Hyukjae duduk di kursi tepi ranjang orang asing itu lalu mengeluarkan barang-barang orang ini. Hanya sebuah dompet, dan posel yang belum ia pastikan bahwa itu milik orang ini. Ia mebuka dompet itu dan tak menemuka uang sama sekali di dalamnya. Hanya beberapa kartu kredit dan ATM. Ia melihat kartu identitas orang ini.

"Lee Donghae, 29 tahun. Kau jauh lebih tua dariku. Pekerjaan pengusaha?" Gumannya melirik orang bernama Donghae yang terbaring di depannya.

"Kau Tinggal di Seoul? Itu jauh."

Hyukjae beralih ke ponsel dengan layar retak itu. Mencoba-coba menyalakanya. Dan layar itu menyala mengejutkannya. Dengan tak sabar ia menunggu ponsel itu ready, menampilkan wallpapper orang bernama Donghae itu sedang memeluk seorang wanita yang jauh lebih tua darinya. Ibunya mungkin, Donghae terlihat lebih muda dengan mengenakan kaos biru. Keduanya tersenyum lebar dengan bahagia. Hyukjae terdiam melihatnya, ia jadi merindukan ibunya, tapi Hyukjae lekas mengesampingkan pikiran itu sekarang. Ini bukan saatnya untuk itu.

Setelah memastikan posel itu memang milik orang ini, Hyukjae mulai mengutak atiknya. Simcard ponsel ini sudah tak terpasang. Ia akan mencari kotak nomer orang ini namun sebuah file suara menarik perhatiannya.

TOLONG.

Itulah nama file suara itu. Yang membuatnya menarik perhatian adalah karena file itu ada di halaman depan. Begitu mencolok, seakan memang sengaja dibuat menjadi pusat perhatian siapapun yang membuka ponsel ini.

Iris hitam Hyukjae melirik kearah Donghae sekali lagi, sebelum dengan ragu membuka file suara tersebuat.

"Tolong! Tolong siapapun di sana tolong aku. Aku tahu ini aneh tapi aku mohon pada siapapun di sana. Pergilah ke Starcity, Gangnam apartemen lantai 11. Ambil amplop cokelat di dalam brangkas di meja nakas kamar utama lalu berikan pada pengacara Cho. Semua kata sandi dan paswort ada di catatan. Jangan percaya siapapun dan jangan beritahu siapapun. Aku tahu ini tak masuk akal dan aneh tapi kumohon tolong aku. Kumohon siapapun disana. Ini satu-satunya harapanku yang tersisa, tolong..."

Rekaman terputus.

Hyukjae mematung di tempatnya. Ia tak percaya apa yang ia dengar. Ia melihat orang asing yang bernafas dengan pelan di depannya.

Apa-apaan orang ini?!

Ia menemukannya hampir mati di tanah miliknya dan sekarang memberinya pesan seperti ini padanya. Hyukjae tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Ini GILA!"

.

.

.

"HAH!"

Hyukjae langsung menutup mulutnya. Ia begitu terkejut saat melihat deretan nol pada ATM di depannya.

"Orang ini sangat kaya." Guman Hyukjae dan mulai mentransfer biaya rumah sakit kakak palsunya.

Hyukjae sudah memikirkan segalanya selama dua hari kebelakang. Ia tentu bertanya-tanya apa yang dilakukan orang asing itu hingga bisa terkapar di tanah miliknya.

Apa yang sebenarnya terjadi pada orang itu?

Kenapa dia bisa terluka separah itu?

Ia sempat bingung harus bagaimana, ia ingin menghubungi keluarga Donghae tapi tak ada nama yang nenandakan keluarga orang itu. Bahkan ayah dan ibu pun tak ada. Ia memeriksa panggilan terakhir dan pesan tapi itu kosong semua. Jadi ia harus menghubungi siapa?

Belum lagi masalah pesan yang ditinggalkan orang ini.

Ini membingungkan.

Setelah bergelut rasa penasaran selama dua hari akhirnya Hyukjae membuka catatan di ponsel orang bernama Donghae itu. Dia hanya ingin memastikan sebenarnya. Dan seperti yang dikatakannya terdapat sandi dan beberapa password di dalamnya. Ada beberapa catatan yang Hyujae tak mengerti tapi satu yang mengejutkan Hyukjae, orang ini menulis nomor ATMnya juga.

Hyukjae tidak tahu Donghae itu bodoh atau memang cenderung tak bisa menghafal hal-hal seperti ini. Tapi menulisnya di catatan ponsel bukanlah hal yang bijak.

Apa orang ini tak takut ATMnya di bobol? Beruntung Hyukjae yang menemukannya.

Hyukjae tiba-tiba terdiam. Sebuah pemikiran aneh masuk ke otaknya.

Ada bayak uang di hadapannya sekarang. Bukankah tak masalah jika mengambil bebera juta won saja untuk menutup hutangnya?

Tak apakan?

Hyukjae sudah membantunya. Dan beberapa juta won tak akan terlihat dari jumlah uang di dalam ATM itu.

Secara otomatis tangan Hyukjae kembali mentransfer uang kali ini ke rekeningnya. Saat proses terjadi tiba-tiba saja Hyukjae tersadar.

Apa yang dia lakukan! Ia baru saja mencuri astaga!

Hyukjae berjongkok lalu mengacak rambutnya frustasi.

Tapi ia membutuhkan uang!

Tapi itu tetap mencuri!

Batinnya bertarung antara hitam dan putih membuatnya muak. Hyukjae langsung berdiri mengambil kartu ATM lalu pergi dari sana. Ia dengan cepat menuju rumah sakit lalu berlutut di hadapan kakak palsunya.

"Hyung, boleh kupanggil Hyung kan?" Hyukjae mulai bicara sendiri.

"Hyung, aku membuka isi ATMmu. Aku minta maaf. Aku harus melakukannya karena biaya rumah sakitmu sangat mahal dan kau bilang aku tak boleh memberitahu siapapun. Aku tahu aku lancang, tapi aku juga membutuhkan uang jadi aku pinjam beberapa juta saja, tak apakan? Hyung?" Hyukjae memegang tangan Donghae seraya menatapnya memohon. Ia berbicara seakan Donghae bisa mendengar dan menjawabnya.

"Aku janji akan kukembalikan saat aku punya uang nanti, beserta bunganya jika perlu. Aku janji. Aku juga akan merawatmu sampai kau sadar. Kau hanya perlu meminjamiku beberap won lagi untukku hidup, bagaimana?"

Kalau ada orang yang melihat Hyukjae sekarang pasti menganggap Hyukjae sudah gila. Tindakannya ini hanya sebagai pengalih rasa bersalahnya. Ia tahu ia melakukan hal salah dengan mengambil uang dari orang yang sedang koma maka dari itu ia melakukan penawaran ini untuk mengurangi rasa bersalahnya. Ia orang baik pada dasarnya, tapi kebutuhan ekonomi membuatnya terpaksa melakukan ini.

Hyukjae mengigit bibir bawahnya, rasa bersalah itu belum hilang. Ia menunduk dan melihat ponsel retak itu di tangan kirinya. Ia mengernyit saat sebuah pemikiran melandanya.

Haruskah?

Tapi ia tak tahu apa yang ia hadapi nantinya. Bahkan ia tak tahu Donghae adalah orang baik atau orang jahat.

Tapi Hyukjae bersalah pada orang ini.

"Aku akan melakukannya, Hyung. Akan kulakukan apa yang kau katakan. Tapi..."

Hyukjae mencengkram ponsel di tangannya.

"Tapi kau harus memaafkanku."

.

.

.

"Donghae menghilang?" Kyuhyun memastikan perkataan orang didepannya.

"Aku belum yakin, tapi ini sudah hampir lima hari dia tak memberi kabar apapun. Ponselnya tak bisa dihubungi dan dia tak berada di manapun."

Kyuhyun mencengkram tangannya, pengacara muda itu tahu yang dikhawatirkan orang di depannya.

"Besok adalah rapat untuk proyek Jeju dan jika dia tak datang maka ia akan terancam turun dari jabatannya saat rapat pemengang saham."

"Bukan itu yang kutakutkan , Kyu!" Sungmin menatap kekasihnya.

"Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya aku takut dia dib-"

"Tidak, Hyung! Donghae Hyung tidak akan mati semudah itu!"

Keduanya terdiam. Sekuat apapun mereka mencoba berfikir positif tapi kemungkinan terburuklah yang terus muncul.

"Aku akan menyuruh orang mencarinya. Jangan biarkan orang tua itu tahu akan hal ini. Aku yang akan mengurusnya."

Sungmin mengangguk, mereka berciuman sejenak sebelum berpisah.

Satu hal yang pasti, mereka mempunyai kekhawatiran yang sama.

.

.

.

Hyukjae mendongak melihat gedung yang menjulang tinggi di depannya.

Sebuah gedung apartement mewah, harusnya Hyukjae tak perlu heran saat mengingat isi ATM Donghae.

Ia disini sekarang. Di Seoul, di apartemen bernama Starcity. Butuh seharian penuh agar Hyukjae menemukan tempat ini. Donghae tak menyebutkan rincian alamatnya, jadi ia harus mencarinya lewat dunia maya.

Dengan langkah pasti Hyukjae masuk ke dalam gedung itu, bersikap senormal mungkin saat melewati security. Begitu ia berhasil masuk ke dalam lif ia menghela nafas lega. Hyukjae segera menekan tombil 11. Saat pintu lif terbuka Hyukjae berjalan keluar dengan ragu, ia bingung harus kemana sekarang. Namun saat melihat pintu tak jauh darinya ia segera berlari kecil. Ia memasukakan sandi kunci pintu apartemen yang ia hafak sebelumnya membuat pintu langsung terbuka tanpa perlawanan.

Hyukjae hanya dapat berdecak kagum saat melihat isi apartement orang ini. Astaga, Donghae bukan kaya lagi tapi super duper kaya raya. Lihat saja apartement ini begitu besar dengan interior modern. Seluruh perabotannya terlihat mahal. Jendela kaca super besar yang langsung menghadap pada keindahan kota di atas ketinggian. Membuat Hyukjae menganga.

"Yah Lee Hyukjae bukan waktunya untuk kagum sekarang." Katanya bicara sendiri.

Hyukjae mulai berkeliling mencari kamar utama tempat itu. Tak sulit untuk menemukannya mengingat kamar utama tempat ini sangat besar ukurannya lengkap dengan meja kerja yang terdapat komputer dua layar sedang di dalamnya. Dengan tergesa Hyukjae membuka meja nakas samping tempat tidur dan langsung disambut dengan sebuah brangkas besi di dalamnya.

Hyukjae membuka catatan di ponsel Donghae lalu mulai berlaga seperti pencuri yang ia lihat di film-film action faforitnya.

Clek.

Brangkas terbuka, ini tak sesulit yang Hyukjae bayangkan. Seperti yang dikatakan Donghae, terdapat sebuah amplop cokelat di dalamnya. Cukup berat karena terisi penuh oleh kertas-kertas tebal yang entah apa itu. Hyukjae tak berani membukanya.

Hyukjae segera menutup brangkas saat amplop cokelat sudah ditangannya, namun saat ia akan meninggalkan kamar itu ia dikejutkan oleh suara email di komputer Donghae. Satu layarnya menyala di tengah kamar yang gelap itu.

Hyukjae perlahan mendekat melihat layar komputer. Sepertinya komputer ini disistem untuk tetap hidup 24 jam. Hyukjae melihat ada satu email untuk Donghae. Tanpa ragu Hyukjae membukanya.

.

Presdir, besok rapat proyek Jeju pukul sembilan tepat.

.

Hyukjae tahu Donghae kaya tapi ia tak menyangka orang ini adalah seoarang Presdir sebuah perusahaan. Iris hitam itu melihat siapa pengirimnya.

"Secretaris Han?"

Ah, ini sekretarisnya. Besok Donghae harus menghadiri rapat? Tapi orang itu sedang koma sekarang. Hyukjae kembali terkejut saat satu email lagi muncul tiba-tiba. Ia reflek membukanya.

.

Hyung, Kau di mana sebenarnya? Cepat hubungi kami.

.

Kali ini nama pengirimya dari Kyuhyun. Siapa Kyuhyun?

Tangan pucat itu mengarahkan mouse dengan cepat menutup email itu lalu mulai melihat email-email sebelumnya. Kali ini dari Sungmin.

.

Donghae-yah, kau dimana? Kau tahu rapat Proyek Jeju akan sangat menentukan untuk rapat pemengang saham. Orang Tua itu bisa menggesermu. Cepat hubungi kami.

.

"Mwo? Sepenting itukah?"

Hyukjae tentu mengerti tentang hal-hal perusahaan seperti itu. Ia kuliah di jurusan bisnis management jadi hal ini tak asing baginya.

Jika dugaan Hyukjae benar, Donghae harus mempresentasikan proyeknya sebagai Presdir besok dan jika besok ia tak datang maka posisinya akan terancam di rapat pemengang saham berikutnya. Tapi masalahnya Donghae sedang koma sekarang.

Jemari Hyukjae sudah akan membalas email Sungmin, namun tiba-tiba ia teringat pesan Donghae.

"Jangan percaya siapapun dan jangan beritahu siapapun."

Hyukjae menutup email Sungmin. Ia tak harus ikut campur, itulah yang dikirkannya. Tugasnya hanya mengambil amplom cokelat ini lalu memberikannya pada pengacara Cho. Namun matanya menangkap sebuah folder di destop komputer itu, saat ia membuka dan mempelajari isinya Hyukjae mulai peran batin.

Pikirannya kembali mengingat keadaan Donghae yang terbaring di ranjang rumah sakit. Begitu lemah tak berdaya seakan sosok itu terlihat begitu memohon padanya tanpa kata.

Hyukjae menghela nafas dan kembali membuka email yang petama kali ia baca, jemarinya dengan lincah merangkai kaliamat disana sebelum mengirimnya.

"Aku tak tahu ini salah atau benar, tapi kurasa aku harus tinggal disini sehari lebih lama."

.

.

.

Pintu itu terbuka memperlihatkan ruang rapat Lee's Groub yang megah. Semua orang berdiri saat lelaki paruh baya itu berjalan ke dalam ruangan termasuk Sungmin. Ia menunduk sopan saat lelaki paruh baya itu menatapnya. Meski dalam batin ia ingin sekali memakinya.

Saat sosok berwibawa itu duduk semua orang mengikutinya.

"Aku harap Presdir Muda kita tak akan mengecewakan kita semua, Sungmin-shi."

Sungmin tersenyum profesional saat mendengarnya.

"Tentu, Presdir Lee tak pernah mengecewakan. Directur Seo."

Meski begitu Sungmin begitu cemas. Jangankan mempresentasikan proyeknya sampai sekarang mereka tak tahu dimana Donghae berada. Ia terus meremas tangannya sendiri dibawah meja saat melihat senyuman Direktur Seo di depannya. Senyuman itu begitu menakutkan, membuat Sungmin

Menyadari ada yang tak benar disini.

Ia takut Donghae tak akan pernah datang.

"Bukankah harusnya rapat sudah harus dimulai? Dimana presdir muda kita?" Sungmin mencengkram jemarinya saat orang di depannya memancing keributan di ruang rapat.

Dapat ia dengar seluruh pimpinan devisi mulai berbisik-bisik. Membicarakan Presdir mereka yang terlambat.

Sungmin tak bisa menjawab, ia menutup matanya rapat berdoa agar Donghae segera datang.

Kumohon Tuhan.

"Sepertinya Presdir Muda kita bermain-main deng-"

BLAK.

Semua orang terdiam saat tiba-tiba saja pintu utama terbuka paksa. Memperlihatkan sesosok namja muda dengan setelan rapi yang masih terengah-engah. Namja itu tersenyum pada semua orang disana dan menunduk hormat.

"Annyeonghaseyo, aku datang sebagai perwakilan Presdir Lee Donghae untuk proyek Irene Building Hotel di Jeju. Lee Hyukjae inmida."

.

.

.

TBC

Alurnya kecepetan gak? Janggalkah? Jelekkah?

Jujur sangat sulit untuk membuat situasi yang mendukung alur ff ini. Banyak bgt yang harus aku siasati supaya terlihat lebih realistis. Tapi kalo memang masih janggal ya maklumi ya hehehe

Chapter 2 aku post minggu depan kalo ada yang minta dilanjut, ini masih dalam proses pengetikan soalnya.

Maaf untuk typo dan kesalah menulis lainnya, author hanya manusia biasa yang punya keterbatasan dan tak pernah lepas dari kesalahan HAHAHA. Akhir kata...

See u next chapter kawan :D