Ogenki desu ka minna ^^
Setelah hiatus hampir 2 tahun, akhirnya Kyou balik ke dunia fanfic. Thanks buat semua yg udh dkng Kyou buat bkin fic lg.
This is my 5th fic, and my first fic in this fandom. Mohon reviewnya buat para senpai ^^
Fic ini berlokasi di episode terakhir Nodame, tepatnya pas selesai recital kedua Nodame di Saint Malo, n mereka berdua balik ke Paris, tepatnya ke apartemennya Chiaki
Met Baca!
"Saigo ni..."
Disclaimer : Tomoko Ninomiya
Pairing : Chiaki x Nodame
Dingin. Hanya kata itu yang pas untuk menyatakan suasana di salah satu ruangan di apartemen ini. Mungkin karena hujan deras yang turun sejak sejam yang lalu.
Tapi bagi Chiaki, rasa dingin itu tidak hanya terasa oleh raganya, tapi juga jiwanya.
Pemuda itu duduk di atas sofa, memegang secangkir teh hijau yang masih panas. Ia tak sendiri, tapi bersama seorang wanita yang tak lain adalah kekasihnya sendiri, Nodame.
Chiaki menyeruput tehnya sedikit dan menghela nafas. Dia melihat ke arah luar jendela karena tak berani melihat gadis yang duduk di sampingnya, kini tengah menangis.
Rasa sedih, kesal, marah, dan merasa bersalah bercampur jadi satu, saat dia melihat ke arah gadis itu. Kantung mata coklat milik gadis itu telah berukuran lebih besar dari sebelumnya.
Tak ingin berlama-lama dalam suasana itu, Chiaki mengambil tindakan. Pelan-pelan dia mencoba mengajak gadis itu bicara.
"Nodame..."
Yang disapa mengelap wajah dengan tisu terakhirnya. Ditatapnya pemuda itu tanpa ekspresi
"Mandilah. Aku akan memasak sesuatu. Kau lapar kan?" lanjut Chiaki sambil mengenakan celemek.
Nodame tetap tidak bergeming.
"Hei! Kau masih hidup?" sahut Chiaki mulai kesal.
"Nodame tidak lapar!" jawabnya singkat dan tak jelas.
"Baka! Kau terlalu kurus. Lihat!" Chiaki memegang tangan Nodame dan menunjukkannya kepada sang pemilik.
"Hah!"
"Kau juga bau! Cepat mandi!" Chiaki menyeret Nodame ke kamar mandi seperti biasa. Dan seperti biasa, gadis itu hanya bisa pasrah dan menuruti kehendak konduktor Roux Marlett Orkestra itu.
20 menit berlalu. Masakan telah terhidang di meja makan. Chiaki duduk di depannya, sambil menunggu seseorang, yang sampai sekarang masih berada di kamar mandi.
"Nodame!" sahut Chiaki.
Tidak ada jawaban.
"Nodame!" sahutnya lagi "Jangan bilang kalau kau tertidur di dalam sana!"
Suara jangkrik di luar menjawab sahutan Chiaki dengan merdunya.
"Cukup!" batinnya kesal. Cukup sudah semua tingkah aneh dan dingin gadis itu. Cukup sudah gadis itu memperlakukannnya layaknya seorang babysitter.
Chiaki melangkah ke kamar mandi, berniat untuk menggedor pintu kamar mandi. Ya, setidaknya agar gadis itu menyadari ada seseorang yang mengharapkan kehadirannya.
"Noda..."
"Bruk!"
Chiaki jatuh terlentang akibat ditabrak pintu kamar mandi yang baru saja ingin diberinya pelajaran. Sosok gadis yang sejak tadi ditunggu akhirnya keluar. Ia terpana melihat keadaan Chiaki.
"Senpai, kenapa tidur di sana?" tanya Nodame.
"Kau mendorong pintu tiba-tiba. Baka!" batinnya kesal.
"Cepat ke meja makan kalau sudah selesai!" perintahnya meninggalkan Nodame yang terbengong-bengong.
"Itadakimasu!"
Salam pembuka sebelum makan itu terucap dari mulut Nodame, dilanjutkan dengan suapan daging sapi yang terjepit di ujung sumpitnya.
"Oishii!" serunya riang "Sudah lama Nodame tidak makan seenak ini!"
Chiaki hanya menanggapinya dengan senyum, sambil menikmati makan malamnya.
"Nodame hanya ingin makan masakan senpai, sampai kapanpun!"
Aktivitas Chiaki terhenti sejenak. "Sampai kapanpun? Artinya 'selamanya' kan!" batinnya. Pemuda itu teringat akan sesuatu.
"Ya. Mungkin itu maksudnya!"
Hujan di luar telah berhenti. Dan suhu udara mulai naik. Tapi, suasana dingin tetap terasa di ruangan itu. Ada apa?
Gadis berambut coklat itu ternyata kembali menangis setelah selesai makan.
Sayangnya, pemuda itu tidak mau ambil pusing kali ini. Ia menyibukkan diri dengan membereskan meja makan.
"Kalau butuh tissu, ambil sendiri di kamarku!" sahut Chiaki di depan bak cuci piring.
Apa-apaan tanggapan itu?
"Baka senpai!"
Chiaki teperengah kaget mendengarnya. Aura dingin kian menusuk dirinya kali ini. Gadis itu ternyata telah berdiri di belakangnya dengan berjubahkan selimut putih seperti biasa.
"Nodame!"
"Kenapa senpai memperlakukan Nodame seperti ini?"
"Ma..maksudmu?"
"Senpai, Milch, Elise, semuanya... Kenapa kalian memperlakukan Nodame seperti anak kecil hah?"
"Noda-"
"Kalian hanya peduli dengan kemampuan Nodame yang bisa kalian manfaatkan. Memaksa Nodame harus begini, begitu. Apa Nodame pantas diperlakukan begini senpai? Tidak mendapatkan kepedulian sedikitpun dari siapapun!"
"Aku tahu, Nodame! Tapi asal kau tahu, semua orang tidak seperti itu!" batin Chiaki. Ia tak mampu mengatakan itu secara langsung.
"Senpai..." panggil Nodame "Apa senpai mencintai Nodame?"
Untuk kedua kalinya, pertanyaan yang sama dilontarkan Nodame sejak malam itu. Namun entah kenapa, Chiaki tak pernah menjawabnya. Bukan karena ia tak ingin menjawab. Hanya saja, tak mudah baginya mengatakan sesuatu yang berasal dari hati terdalamnya. Mungkin juga belum saatnya.
"Kalau senpai tidak mencintai Nodame katakan saja!"
Chiaki mengeringkan tangannya, kemudian melepas jubah yang membalut tubuh gadis itu.
Refleks gadis itu langsung berdiri hendak merebut kembali 'jubah'nya.
"Kembalikan. Itu-"
Mata gadis itu tiba-tiba melebar karena sesuatu tiba-tiba membalut tubuhnya dengan hangat.
"Baka!" ucap pemuda itu sambil memeluk Nodame.
"Senpai..."
"Aku membiarkanmu menangis, membiarkanmu bertingkah seenaknya selama ini. Lalu, Strezmann dan Elise mati-matian untuk membuat konser perdana untukmu. Dan semua orang mencarimu saat kau menghilang. Apa kau masih berfikir mereka jahat padamu hah?"
"Gomen nee, senpai. Nodame hanya tidak tahu harus bilang apa. Nodame bingung atas semua yang Nodame jalani!"
"Apa yang membuatmu bingung?"
"Tidak ada arah, dan tidak ada kepastian. Karena itu..."
Chiaki merasakan bahunya diremas.
"... Nodame butuh jawaban sekarang!"
"Dia tersiksa oleh rasa galaunya sendiri!" fikir Chiaki. Ingin rasanya ia 'menyelamatkan' kekasihnya itu dari semua hal yang menyiksa. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Menjawab pertanyaan yang bisa menghilangkan kebingungannya saja ia belum sanggup.
"Belum saatnya!" ujar Chiaki. "Tapi, tolong jangan pergi lagi seperti kemarin. Karena jika sekali lagi kau melakukannya, aku takkan mencarimu lagi!"
Angin malam berhembus ke dalam ruangan itu. Sementara mereka berdua tetap dalam posisi itu.
Gadis itu tetap tak bergeming dalam pelukkannya.
"Nodame!" panggil Chiaki.
"Senpai... Baumu enak..."
"Apa? Jangan-jangan..."
Chiaki menyibakkan rambut bob coklat yang menutupi matanya gadis itu untuk memastikan dugaannya.
"Dia tertidur..."
Chiaki membawa gadis itu ke kamar, membaringkannya di atas tempat tidur nyaman, dan menyelimutinya dengan selimut tebal.
Diamatinya wajah Nodame yang damai dalam tidurnya. Seolah tak ada beban tergambar di sana. Tapi, putra dari Seiko Miyoshi itu tahu, hati kecilnya gundah. Menantikan satu jawaban dari dua pertanyaan yang ia ajukan pada Chiaki beberapa waktu lalu.
Pemuda itu membaringkan diri di atas sofa.
"Senpai, menikahlah denganku!"
"Senpai, apa kau mencintai Nodame?
Pertanyaan itu kembali terngiang di telinganya. Hanya ada satu kata yang harus dikatakan Chiaki sebagai jawaban, "Ya"
"Tapi bagaimana aku mengatakannya?"
Di satu sisi ia bahagia karena Nodame mau kembali padanya. Di sisi lain ia bingung mengucapkan kata itu.
Ia memejamkan matanya. Tiba-tiba bayangan seseorang berkelebat dalam benaknya. Seseorang yang bisa membatunya menyelesaikan masalah ini.
Sinar matahari pagi masuk melalui ventilasi kamar, membuat seorang gadis yang masih terbaring di tempat tidur itu terbangun.
"Ohayo, Chiaki-senpai!" serunya riang sambil melompat bangun dari tempat tidurnya.
Kicauan burung-burung di pagi hari menjawab seruannya dengan merdu.
"Senpai..." sahutnya lagi.
Nodame berjalan menuju meja yang tak jauh dari tempatnyaberdiri untuk mengambil handphonenya. Namun niatnya urung setelah melihat sebuah benda yang lebih menarik dari handphonenya, yang juga berada di atas meja.
Secarik kertas berisi pesan singkat. Nodame memanyunkan bibirnya.
"Gomen nee aku tidak membangunkanmu. Sarapanmu sudah kusimpan di lemari pendingin. Dan nanti malam jangan lupa menonton konserku. Aku akan mengirim seseorang untuk menjemputmu.
Shinichi.
"Gyabo, hanya itu? Senpai punya mobil, tapi kenapa menyuruh orang lain untuk menjemput?" jerit Nodame.
Tapi siapa yang akan menjemputnya?
Sementara itu, seorang wanita setengah baya sedang membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja.
"Nyonya, Tuan muda datang!"
Seruan itu membuatnya menghentikan aktivitasnya. Nyonya besar itu berjalan ke arah pintu. Matanya menangkap sosok pemuda keluar dari dalam mobil.
"Shinichi..."
"Kaa-san!"
"Seharusnya telepon dulu kalau mau datang!" ujarnya melipat kedua tangannya.
"Gomen nasai. Ada urusan mendadak. Aku butuh bantuanmu.
"Masuklah kalau begitu!"
Chiaki mengikutinya melangkah ke dalam rumah megah itu.
To be continued...
Review plssss ^^
