Kuroko no Basuke/黒子のバスケ © Fujimaki Tadatoshi
Characters: Aomine Daiki, Kise Ryouta
Warning: Mild Boys Love
Rate: T
Shuffle
Fourteen.
Saat itu, Aomine Daiki, empat belas tahun, masih tidak mengerti kenapa bulu mata Kise yang panjang—lentik menyentuh wajah ketika ia memejamkan mata—terlihat lebih menakjubkan daripada foto wanita setengah telanjang yang berpose nakal dalam majalah khusus pria di tangannya.
Mereka berdua kadang menaiki kereta yang sama sepulang latihan. Rush hour sudah lama berlalu. Para komuter meninggalkan gerbong yang suram bertaburan sampah untuk beberapa pegawai kantoran pemabuk, sekelompok anak muda hedonis dan sepasang atlet basket yang kelelahan.
Aomine biasanya tertidur lebih dahulu, dengan majalah semi vulgar yang menutupi wajahnya dan mulut yang sedikit terbuka. Lalu di tengah-tengah cerita serunya (tidak pernah lepas dari basket jika bersama Aomine) Kise akan menyadari berkurangnya respon dari lawan bicaranya. Beberapa detik kemudian, gerutuan Kise mengalun tanpa pendengar, berkeluh mengenai Aomine-cchi yang begitu tega meninggalkannya tidur.
Terlepas dari reluktansi yang ditunjukkan, Small Forward Kiseki no Sedai itu tidak pernah gagal membangunkan Aomine sebelum kereta benar-benar berhenti di stasiun tempat partner-nya turun.
(Aomine bertanya-tanya apakah Kise tidak pernah memikirkan metode membangunkan yang lebih elusif namun efektif daripada tendangan di kaki atau tamparan di pipi.)
Tidak sering, tetapi ada juga saatnya ketika Aomine bersedia melupakan kepala blonde yang terantuk-antuk menyakiti bahunya, tatapan seram wanita genit yang duduk di hadapannya dan nyanyian pemabuk tua di gerbong sebelah untuk ditukar dengan ekspresi bangun tidur Kise yang tidak bisa dinilai dengan apapun.
Rambut pirangnya terjerat kasus berantakan akut dan Aomine tidak mampu untuk tidak mengulas senyum terhadap, "Terima kasih, Aomine-cchi." yang digumamkan Kise dengan grogi ketika Aomine membantu Kise menemukan jejak kakinya di atas platform.
(Kemudian satu ucapan lagi ketika Aomine melepasnya tepat di depan rumah.)
Aomine tidak pernah menyebutkan kepada Kise—yang tampak tidak menyadari—bahwa ia sengaja melewatkan stasiunnya sendiri malam itu.
.
.
.
Pulse Thief.
"Aomine-cchi! Aomine-cchiii!"
Kali ini Kise sudah memilih waktu yang tidak tepat untuk mengusik sesi tidur siang Aomine.
Karena, cuaca saat itu sangat sempurna.
Sedikit berawan, namun bebas dari ancaman hujan. Sebagian besar panas matahari terserap oleh tebalnya mega dan angin sejuk mengalir dengan lembut. Aomine tidak akan meninggalkan kesempatan langka ini begitu saja. Jadi, ia hanya merespon dengan mengerutkan kening, berusaha sekuat tenaga untuk kembali ke alam mimpinya yang nyaman.
Usaha yang kemudian ia sadari sebagai perbuatan sia-sia, karena teriakan "Aomine-cchi!" terus menyerangnya tanpa henti. Ace Scorer Teikou itu menghela nafas pasrah sebelum menarik tubuhnya ke posisi duduk. Ia memalingkan wajah ke arah tangga untuk menyambut air muka berseri-seri Kise dengan wajah masamnya.
"Aah... sudah kuduga, Aomine-cchi ada di sini. Akashi-cchi ingin bertemu dengan kita semua," Kise mengabarkan, "katanya... ada yang ingin dibicarakan untuk sparing nanti sore."
Aomine menghela nafas sekali lagi, kembali merebahkan diri, "Tidak bisakah aku meminjam catatanmu saja?" Kedua telapak tangannya bertaut di belakang kepala, bertindak sebagai bantal.
"Aomine-cchi! Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan barusan!" sebuah jari telunjuk terangkat ke wajahnya, "Apa kau lupa bahwa—"
Kalimatnya mendadak terhenti. Kise terdiam.
"Bahwa?" Aomine bertanya ketika Kise belum juga meneruskan.
"—bahwa perintah Akashi-cchi adalah absolut." Kise lalu berkata dengan suara rendah yang dibuat-buat, menirukan mimik dan cara bicara Akashi.
Aomine tergelak melihat tiruan menyedihkan dari kapten mereka itu. Kise ikut tertawa bersamanya.
Aomine kembali mengalihkan perhatiannya pada langit biru di atas mereka ketika tawanya akhirnya reda, "Sebentar lagi aku menyusul. Katakan itu pada Akashi. Kau pergilah duluan, Kise."
Kise tidak bergerak, hanya mengikuti pandangan Aomine dan tersenyum.
"Aku mengerti kenapa Aomine-cchi sangat menyukainya."
"Hmm? Menyukai apa?"
"Tempat tinggi dimana kau bisa melihat langit biru yang begitu luas dan burung-burung yang terbang bebas."
"Jangan lupa matahari."
"Ya, dan juga matahari."
Kise belum juga pergi. Aomine mulai berpikir bahwa Kise menyukai semua menu latihan tambahan yang Akashi berikan sebagai hukuman bagi orang-orang yang terlambat datang ke setiap pertemuan mereka. Aomine berniat untuk memperingatkan Kise ketika rekannya kembali bersuara, "Nee, Aomine-cchi..."
"Katakan apa yang ingin kau katakan, Kise, dan cepatlah pergi atau Akashi akan menggandakan porsi latihanmu, lagi, karena kau telat."
"Kau tahu? Kalau aku tidak bisa menjadi seorang pemain basket profesional, aku ingin menjadi seorang pilot."
Kedua alis Aomine terangkat mendengar pengakuan tiba-tiba Kise.
"Aku akan menjadi salah satu pilot terbaik yang dimiliki Jepang... dengan begitu, aku bisa membawa Aomine-cchi terbang ke tempat manapun yang kau mau."
Sampai saat ini, Aomine belum bisa menentukan, apa yang membuat jantungnya memutuskan untuk bermain dengan tempo Allegro di dadanya. Cahaya keemasan sinar matahari yang berangsur keluar dari persembunyiannya, atau wajah Kise yang begitu serius saat mengucapkan kalimat itu.
.
.
.
Faux Romantics.
"Aku akan berhenti mengagumi Aomine-cchi."
Mungkin itu adalah kalimat terburuk yang pernah Aomine Daiki dengar keluar dari mulut seorang Kise Ryouta.
Lebih buruk daripada, "Aomine-cchi... lihat memar di wajahku ini... padahal besok ada pemotretan." Dan hanya beberapa tingkat di bawah, "Lihat Aomine-cchi! Yuka-chan yang kau bilang imut dan berdada besar itu mengirimiku ucapan selamat bertanding!"
Karena tidak seharusnya Kise berwajah seperti itu ketika ia berbicara.
Tidak seharusnya Kise menuturkan deklarasi penuh resolusi disertai ekspresi yang membohongi setiap sudut wajahnya. Karena, tidak seharusnya jarak terbentang begitu jauh dan sunyi di antara mereka.
Ini bukan Kise.
Kise dalam ingatan Aomine adalah wajah ceria dengan senyum brilian yang selalu berseru, "Nice shot, Aomine-cchi!" Setiap kali Aomine memasukkan Dunk, Alley-oop, atau Formless Shot andalannya. Kemudian tangan Kise akan mendarat di rambut pendek Aomine, dengan jari-jarinya yang panjang dan tidak pernah kasar walaupun terus didera goresan bola basket dan tetesan keringat.
"Tubuh adalah aset utama seorang model. Kupikir aku telah merawat milikku dengan baik. Tidakkah kau pikir begitu, Aomine-cchi?"
(Kise tahu Aomine akan selalu mendukung pernyataan penuh percaya diri itu kapan saja.)
Karena sesungguhnya, Aomine merindukan semuanya.
Ekspresi penuh vitalitas Kise yang tidak pernah luntur bahkan setelah Aomine mengalahkannya berulang kali dalam one-on-one. Decit sepatu mereka, Nike Air Jordan VI hitam beradu kontras dengan New Balance 891 putih, berdansa di gymnasium yang kosong.
Tidak lupa dentum repetitif bola basket dari ritme dribble milik Kise.
Aomine tidak bisa—tidak ingin—melepaskan image sempurna itu dari kepalanya. Sama seperti bagian dalam dirinya yang tidak ingin Kise berhenti mengaguminya.
Namun, jauh di dalam hatinya, Aomine selalu tahu bahwa hari ini akan tiba. Mungkin, tanpa sadar Aomine juga mengharapkannya. Sejak ia menyadari seberapa besar potensi Kise. Bakat menirunya bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih. Sesuatu yang juga disadari oleh Kise.
"Kalau terus mengagumi, aku tidak akan bisa melampaui."
Suatu hari, Kise akan menyingkirkan penghalang yang mengikatnya kemudian terbang bebas ke udara.
Aomine tidak bisa meraih tangannya lagi.
.
.
.
Breathe In/Out.
Winter Cup kedua di masa SMU mereka adalah kali pertama Kise mencium Aomine.
Saat itu Aomine berpikir kenapa hawa di ruang ganti yang kini ditinggalkan dengan pencahayaan seadanya mampu membuatnya berkeringat walaupun di luar sedang turun salju. Aroma testosterone, bercampur dengan wangi samar dari deodorant milik Kise, melekat di udara.
Ingatan Aomine akan hasil pertandingan Touou kali ini pun tidak lebih baik dari sebuah mimpi singkat di siang bolong.
Mungkin dia kalah. Kalah di semifinal dari Kaijō. Kalah dari Kise.
Aomine harus berhenti membiarkan Kise mengalahkannya.
(Seperti saat ini.)
Aomine mendorong tubuh Kise ke deretan locker di belakangnya dan Aomine bisa merasakan Kise menggerutu ketika suara metal yang saling beradu bergema dalam ruangan.
Permainan kasar bukanlah favorit Kise. Sayangnya, bagi Kise, Aomine menyukainya.
Tidak sulit menyeret tubuh Kise untuk berada dalam posisi apapun yang Aomine inginkan, karena walaupun mereka berdua sama-sama berstatus sebagai olahragawan terlatih, belum saatnya Aomine yang bermain sejak masa Sekolah Dasar kalah oleh Kise yang membagi waktu basketnya dengan modelling.
"A-Aomine-cchi..." Kise mendorongnya menjauh untuk mendapatkan oksigen tambahan. Aomine menangkap pergelangan tangan partner-nya. Sementara sebelah tangannya yang bebas memainkan tindikan di telinga kiri Kise.
Nafas mereka menderu. Kening saling beradu.
"Aomine-cchi?" Kise mengulangi dan Aomine berdecak kesal.
"Panggilan itu terdengar konyol dalam situasi seperti ini," Aomine berkata sebelum menarik wajah Kise mendekati dirinya, "Tidakkah kau pikir begitu... Ryouta?"
Kise tersenyum mendengar pertanyaan di akhir. Bibirnya mulai menutup kembali jarak di antara mereka, "Jadi... tempatmu atau tempatku... Daiki?"
Aomine menyeringai sebagai jawaban.
Aksinya kemudian mengalahkan makna semua kata.
Fin.
A/N: He-Hello! Ini adalah fic pertama saya di fandom Kurobas. Walaupun sebenernya ini cuma kumpulan cerita pendek random yang terlintas waktu saya baca manga-nya... hehehe. Mudah-mudahan bisa cukup menghibur para fans AoKise diluar sana. Kritik, saran atau komentarnya selalu saya tunggu.
Terima kasih!
Cheers,
Sei
