"Wah, kembar identik, ya?"
"Benar-benar mirip Minato-sensei."
"Siapa namanya?"
Sesosok wanita berambut merah tersenyum lebar. "Naruto dan," lengannya menyentuh pipi bayi laki-laki yang tertidur pulas di samping kembarannya yang tampak gelisah. "Menma."
Season of Love : Menma's Story
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Genre : Romance, Hurt-Comfort, little bit Family
Pairing : MenmAmi
Rated : T(eens)
Warning : semoga tidak typo, AU, OOC
Don't like? Just review ^v^
"NA-RU-TOOOOO!"
Menma menoleh pada sosok serupa dengannya yang tengah mengkeret di depan Kushina yang berkacak pinggang. Naruto tampak penuh dengan lumpur dan ditangannya terdapat bola yang sama kotornya. Naruto menundukkan wajahnya cemas dan kakinya bergerak-gerak dengan gelisah.
"Kalau mau main, ganti baju dulu. Kau tahu berapa sulitnya mencuci seragam ini, kan?" omel Kushina sambil membuka kancing seragam TK Perguruan Shoumei.
Naruto menatap Kushina dengan wajah merengut. "Kalau begitu, aku mau masuk sekolah yang tidak memakai seragam."
Kushina tampak terkejut. "Naruuu~ Shoumei itu-"
"Aku tidak mau belajar di sekolah Grandpa!" rengek Naruto. "Aku mau sekolah di tempat yang sama dengan Nawaki, Chouji, dan Yahiko!"
Kushina tampak kesusahan. Naruto sekarang merengek-rengek dan menggulingkan tubuhnya di lantai.
"Naru. Menma saja tidak masalah sekolah di tempat Grandpa. Shoumei itu keren, lho-"
"TIDAK MAUU! Disana tidak ada teman-temanku!"
"Lhoo.. Disana, kan ada Kiba-"
"Kiba sudah pindah."
Kushina terkejut. "... eh. Ada Karin."
Naruto memasang wajah serius. "Karin jahat."
"HOI!" Karin berteriak dari kamarnya. Tidak terima dengan komentar adik bungsunya.
"Ada Menma, kan?"
"Tiap hari aku bertemu Menma di rumah."
Kushina cemberut. Naruto menatap ibunya dengan tajam. "Baiklah. Akan kutanyakan pada Dad apa kau bisa masuk ke SD biasa tahun depan."
"Hontou ni?" Wajah Naruto tampak sangat bahagia. "Janji?"
"Aku tidak janji. Tapi, akan kuusahakan."
"ASYIIIIIKKK!" Naruto melompat-lompat senang. Ia lalu beranjak pada Menma yang sedari tadi hanya terdiam di meja. "Kita akan masuk sekolah biasa!"
"Eh? Menma juga?" sahut Kushina terkejut. Ini diluar bayangannya. Ia menatap Menma penuh harap. Ia tidak akan bisa meyakinkan ayah mertuanya untuk memindahkan dua putranya ke sekolah biasa.
Menma menatap Kushina. "Tidak."
Kushina mau tidak mau merasa lega.
Menma balik menoleh pada kembarannya yang tampak kecewa. "Aku sudah punya banyak teman disana."
.
~SIMPLY ABSURDITY~
.
Sesosok anak kecil berumur 6 tahun berjalan tegap dengan buku yang berada di sebelah tangannya. Rambut pirangnya tertata rapi dengan mata biru yang mempesona. Seragam elit yang berlambangkan bordiran logo Shoumei.
"Namikaze-san."
Anak itu menoleh dan menyadari sosok anak perempuan berambut coklat dan dikuncir dua. Mata coklatnya menatap sang Namikaze dengan tatapan antusias.
"Kau..." Anak perempuan itu semakin terlihat senang mengetahui bocah pirang itu mengeluarkan suara. "... siapa?"
Senyumnya lenyap.
"Mou~ Namikaze-san! Aku Ran. Teman sekelasmu." Wajahnya merengut menandakan dirinya yang merajuk. "Menma, ne? Aku ingin tahu apa Naruto-"
"Kalau kau ingin bertanya tentang Naruto. Dia tidak melanjutkan SD di sini. Aku permisi dulu,"
Menma berjalan meninggalkan teman sekelasnya yang hanya bisa melongo. Sudah nyaris tiga bulan berlalu sejak ia melanjutkan ke sekolah yang didirikan dan dijalankan oleh kakeknya ini. Namun, seluruh siswi yang mengaku temannya itu, hanya menanyakan perihal adik kembarnya yang tidak ikut bersekolah di sini.
Manik birunya menangkap sosok siswi berambut merah sekelam darah. Siswi itu menoleh saat menyadari Menma yang tengah menatapnya. Iris ruby yang tertutup kacamata itu berubah lembut.
"Hei. Mau ke ruang guru, Menma?" tanya siswi itu.
"Hn." Menma mengangguk. "Karin,"
"Apa?"
Menma merasakan kata-kata yang ia ingin lontarkan tersangkut di tenggorokannya. Karin menatap adiknya itu bingung.
"Tidak jadi. Aku lupa."
Karin mengernyit heran dan membiarkan Menma berjalan memasuki ruang guru. Ia lantas memutuskan untuk kembali ke kelasnya. Dan tidak mempedulikan hal yang batal disampaikan Menma padanya.
Menma pun menekan perasaannya agar kata-kata yang terdengar seperti rengekan di benaknya menghilang dan tidak pernah muncul kembali ke permukaan. Ia melangkah menuju meja guru yang menjadi wali kelasnya selama setahun penuh.
"Anko-sensei."
Sesosok wanita berambut pendek menengadahkan wajahnya untuk menatap mata biru yang tengah mengarah padanya.
"Ho. Ada apa, Namikaze?"
"Aku ingin menyerahkan laporan piket hari ini."
"Ah, itu. Hari ini jadwal piketmu, ya." Anko mengambil buku tersebut dan meletakkannya di mejanya. "Kau bisa pulang sekarang."
"Terima kasih, sensei."
Menma membalikkan tubuhnya berniat meninggalkan ruangan.
"Wah, kelasmu tahun ini sepertinya aman, Anko," celetuk salah seorang guru. "Mendapatkan Namikaze di dalam kelas."
Anko mendesah. "Dia terlalu tenang, malah. Aku jadi bosan."
Menma terhenti sejenak. Sebelum akhirnya kembali berjalan menjauhi ruang guru. Sejauh yang ia bisa.
.
~SIMPLY ABSURDITY~
.
"Ah, dia mewarisi margamu, Minato?"
"Berarti, dia satu-satunya Namikaze yang diantara anak-anakmu?"
"Dia terlihat mirip sekali denganmu. Tenang dan pintar."
"Naruto lebih mirip Kushina, ya?"
"Bersemangat dan menyenangkan. Rasanya aku tidak akan bosan jika ada Naruto di rumahku."
"Benar. Ekspresi Naruto seakan tidak ada habisnya."
"Naruto juga sebenarnya sangat pintar. Dia tidak bisa ditebak. Jadi, aku bisa tertawa setiap hari."
"Naruto itu..."
"Ah, Naruto..."
"Naru-chan!"
"Naru..."
"Na-"
KRIIIIIIIIIINNG
KRIIIIIIIIIIIIIINNNNG
KRIII-
Menma menekan tombol jam alarm yang berada di dekat tempat tidurnya. Ia melihat sekelilingnya dan melihat Naruto yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ia menatap Naruto dengan perasaan yang berkecamuk.
"Ngghh…" Naruto tampak gelisah di dalam mimpinya. Anak itu menggertakkan giginya sebelum berbalik menghadap Menma. "… Menma… Ayo main."
Menma terkesiap. Bibirnya bergetar menahan tangis. Ia lantas kembali berbaring dan memeluk adik yang berparas persis dengannya itu.
"Menma?" Naruto terbangun karena merasa sedikit sesak. "… kenapa?"
"… aku masih mengantuk," ujarnya dengan suara bergetar.
Naruto yang masih setengah tidur membalas pelukan Menma dan kembali menutup matanya. "Ayo tidur lagi. Nanti mom juga datang."
Menma tersenyum hangat dan kembali menutup matanya. Tidak perlu menunggu lama untuk kembali mendengar dengkuran halus berkumandang di ruangan itu. Dua wajah yang bagaikan cermin tengah menampilkan ekspresi damai.
Sepuluh menit setelahnya, Kushina beranjak masuk untuk membangunkan kedua putranya itu. Ia membuka pintu dengan perlahan dan menemukan pemandangan indah di tempat tidur putranya itu. Ia lantas keluar dengan langkah kecil. Dan kembali dengan kamera ditangannya.
KLIK
"Foto perkembangan Naruto-Menma, umur 9 tahun."
Kushina tersenyum lebar dan tidak menyadari bahwa kedua putranya telah terbangun dan sedang mengucek-ngucek mata. Ia kembali mengangkat kameranya dan berniat mengambil gambar selanjutnya. Namun, Menma telah turun dari kasur sedang Naruto malah menarik selimut ke atas kepalanya.
"Heeei."
Kushina akhirnya menggoyang-goyangkan tubuh Naruto untuk membangunkannya. Dan menyeret anak itu ke kamar mandi setelah Menma keluar dengan ekspresi sudah terlihat lebih segar. Setelah itu, ia mengajak kedua putranya turun untuk menyantap sarapan yang telah ia hidangkan.
"Mom! Aku akan ikut piknik!" seru Naruto di tengah sarapan hari itu.
"Piknik? Kemana?"
"Kata Iruka-sensei, kita akan bermain ke bukit Konoha. Dan mempelajari tumbuhan disana!"
"Bukit Konoha? Itu jauh, kan?"
Naruto merengut. "Kan perginya bersama-sama."
Minato terkekeh. "Kapan pikniknya?"
"Hari sabtu ini, Dad. Mom akan siapkan bekal, kan?"
"Iya, iya," ujar Kushina menenangkan Naruto yang sudah mulai mengoceh panjang.
Menma kemudian berangkat menuju sekolahnya bersama Minato dan Karin. Sementara Naruto berangkat sendiri karena lokasi sekolahnya dekat dari rumah. Menma hanya diam sepanjang perjalanan. Mendengar interaksi ayahnya dengan Karin yang membicarakan beberapa buku yang telah dibaca Karin.
"Menma," panggil Minato. Menma menoleh. "Bersenang-senanglah di sekolah."
Menma mengangguk dan membalas lambaian tangan ayahnya. Ia berjalan memasuki sekolahnya dengan ekspresi keras.
"Aku adalah Namikaze Menma. Bukan Uzumaki Naruto."
.
~SIMPLY ABSURDITY~
.
"...but someday when he opened his eyes and felt different feeling than he has ever been, he was suddenly aware of it, his true feeling."
"Good, Namikaze. Next, Tanaka, continue the the next paragraph."
"... That boy looked up at the sky..."
Menma mengalihkan pandangannya menuju keluar jendela. Ia menatap lapangan perguruan Shoumei yang telah ia duduki selama 8 tahun. Jika dihitung dengan 2 tahun masa taman kanak-kanak.
Ia merasa sangat bosan bersekolah dimana semua siswanya adalah anak-anak keturunan keluarga berada yang hanya belajar dan terus belajar. Walau kedua orangtuanya merasa sangat senang, ia bersekolah dan mencetak prestasi di Shoumei. Berbeda dengan Naruto yang mulai semakin berandal dengan nyaris tiap hari bertengkar di sekolah.
"Habis, dia mengejek rambutku! Katanya aku gaijin-orang asing jadi tidak boleh ikut bermain!"
Menma mengingat dengan jelas ucapan Naruto yang ditujukan untuk membela diri tersebut. Kushina tampak marah namun sangat sedih. Ia meminta Naruto pindah kembali ke Shoumei. Namun, Naruto malah membalas.
"Kalau aku pindah. Berarti aku kalah!"
Minato hanya bisa tertawa melihat Kushina yang terdiam mendengar tekad Naruto yang sudah bulat. Menma tidak habis pikir. Darimana datangnya sikap keras kepala yang dimiliki Naruto- ah. Dari ibunya.
"Ne, ne. Kamu lihat peristiwa di dekat sungai kemarin?"
Menma menoleh dan melihat dua orang siswi di kelasnya tampak sedang mengobrol di sela pelajaran. Ia menghela napas dan berusaha mengacuhkan kedua orang itu.
"Iya. Itu Naruto, kan?"
DEG
Menma tersentak kaget.
"Dia keren sekali. Berkelahi dan akhirnya membuat para berandal itu tunduk."
"Ng. Ng." Siswi itu mengangguk semangat. "Sayang dia tidak di Shoumei lagi. Mungkin sekolah akan seru jika ada Naruto."
"SIR!"
Menma mengacungkan tangannya secara tiba-tiba. Kedua siswi itu terlonjak dan kembali menghadap ke arah guru mereka yang tengah menerangkan. Sesekali mereka menoleh penuh harap pada Menma.
"D-Dia dengar, ya?"
"Ssssst, diamlah."
Seorang pria paruh baya yang bertubuh kecil dan memakai kacamata bundar menoleh pada Menma. "Do you have a problem, Namikaze?"
"May I go to the lavatory, sir?"
"Oh, sure. Have your time."
Menma kemudian berjalan dari bangkunya. Ia melewati meja kedua siswi tersebut dan sengaja menyenggol tempat pensil disana sampai jatuh.
BRAK
"Oh, I'm sorry." Menma membantu siswi itu membereskan tempat pensilnya. "It's my bad. I was too FOCUS in my way and didn't see YOU."
Siswi itu tersentak dan bergidik ngeri melihat senyum Menma yang terlihat seperti seringaian. Ia bahkan sampai terduduk karena merasakan lututnya melemas. Menma meletakkan tempat pensil beserta isinya ke pangkuan gadis itu sebelum berjalan meninggalkan kelas.
"Hey, back to your seat, missy," perintah sang guru pada gadis itu. Sedangkan gadis itu berusaha menggerakkan tubuhnya yang masih gemetar karena takut.
Pelajaran kembali dilanjutkan. Saat Menma kembali ke kelas, gadis itu tidak berani menoleh sedikit pun pada pemuda Namikaze itu. Ia merasakan keringat dingin mengalir di keningnya tiap kali sang guru memanggil nama Menma di setiap pelajaran.
Pelajaran telah berakhir.
"Hoi."
Menma menoleh pada suara yang memanggilnya itu. Dia baru saja ingin beranjak pulang setelah menyerahkan laporan kelas pada wali kelasnya. Namun, sekarang terdapat empat orang yang tengah menghadangnya.
Dalam waktu singkat, Menma sudah dikerumuni empat orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Menma memperhatikan satu persatu orang tersebut. Mereka memakai seragam SMP Shoumei. Tiga diantaranya berambut hitam dan seorang berambut coklat. Menma memperhatikan emblem yang tertera di kerah mereka. Dua berwarna merah dengan dengan tiga garis, dan dua yang lain bergaris empat.
"Hmm.. Dari 1-C dan 1-D. Mereka tidak sekelas denganku," batin Menma. Keempat orang tersebut mengitari Menma dan membuat tatapan tajam yang mengarah langsung ke Menma.
"Ada perlu apa?" tanya Menma dingin.
"Hmmph." Salah seorang dari keempat orang tersebut terkekeh. Menma menaikkan satu alisnya heran. "Kau tidak tahu siapa kami?"
Menma memiringkan kepalanya mencoba mengingat identitas orang-orang yang ada dihadapannya sekarang.
"Hn." Menma menggeleng. "Apa kalian harus diingat?"
Orang yang satu-satunya berambut coklat menggeram kesal. "Kau! Jangan dikira kami takut hanya karena kau cucu pemilik sekolah!"
Menma menghela napas. "Memangnya siapa yang menyuruh kalian takut?"
"Kaaauu-"
Salah seorang temannya mengulurkan tangan menghentikannya agar tidak bersikap gegabah.
"Kau sepertinya percaya diri sekali. Kau tidak tahu kenapa kami menemuimu?"
Menma kembali menaikkan satu alisnya. "Aku tidak merasa pernah berurusan dengan kalian?"
Orang yang daritadi berbicara dengannya kini terkekeh. Hanya butuh waktu sekejap untuknya menyadari bahwa orang yang memang lebih tinggi dari yang lain ini adalah pemimpin mereka. Menma memperhatikan tingkah orang itu yang tampak seperti baru saja mendengar hal yang lucu.
"Kau lupa? Kamu pernah mentertawakan kami di awal tahun?"
Menma kembali berpikir. "Entahlah. Terlalu banyak orang bodoh yang membuatku tertawa setiap tahun."
"Kau!"
Salah seorang dari mereka melayangkan tinju pada Menma. Namun, Menma lebih dulu mengelak dan menyeringai.
"Wah, aku baru tahu kalau ada siswa Shoumei yang lebih mengandalkan fisik."
"...cih. KAAAAUU!"
Satu persatu dari mereka mulai melayangkan pukulan demi pukulan kepada Menma. Namun, tidak semua dapat bersarang di tubuh bocah Namikaze itu. Tampaknya, latihan aikido dan karate yang diikutinya tanpa sepengetahuan ayahnya, membuahkan hasil.
BUAG
Satu pukulan mengenai wajah Menma. Bocah berambut coklat itu menyeringai bangga. Sayang, senyumnya harus hilang saat melihat delikan tajam yang dilihatkan Menma padanya.
Menma membalas bocah itu dengan kekuatan yang lebih besar. Terdengar suara rintihan darinya. Teman-temannya berusaha membantu bocah itu dengan mengepalkan tangan dan memukul Menma. Tetapi, gerakan mereka terhenti merasakan aura kelam yang dikeluarkan Menma.
Menma kembali mendekati bocah yang berhasil melukai wajahnya itu. Dia tampak sedikit ketakutan melihat ekspresi dingin Menma yang sangat berbeda dengan udara yang terasa mencekam. Dia menyeret tubuhnya untuk menjauhi Menma, tapi kerahnya sudah berada di cengkraman bocah pirang itu.
"Kau ku izinkan pergi. Tapi, jika kau berani melukai wajahku sekali lagi. Kau," Menma berhenti sejenak untuk melihat bocah itu menelan ludah karena gugup. "... akan menyesal."
Menma melepaskan tangannya pada kerah bocah itu. Dan membuang ludah sebelum meninggalkan empat orang yang berusaha melawannya itu. Ia berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam gedung.
Di dalam toilet, dia menghidupkan keran dan menampung air dengan tangannya. Ia membasuh wajahnya dan menatap bayangan wajahnya di cermin. Rambut pirang yang sedikit lebih panjang di bagian leher, mata biru yang bisa menghipnotis orang-orang disekitarnya, dan warna kulit yang sedikit lebih putih dari kembarannya.
"Kau benar-benar persis dengan ayahmu. Tampan, jenius dan tenang. Berbeda dengan Naruto yang penuh kejutan dan menyenangkan."
Menma mengepalkan tangannya dan meringis kesal. Ia mengingat pernyataan itu sangat sering dilontarkan oleh orang dewasa di sekitarnya. Entah kenapa, ia merasa sangat kesal. Semua orang selalu menganggap Naruto lebih menyenangkan darinya.
"… kenapa?"
Ia tak beranjak dari posisinya. Air keran terus mengalir di dalam wastafel. Karet penahan lubang wastafel bergerak perlahan dan terseret air hingga melakukan tugasnya, menghalangi aliran air. Pemuda yang menginjak masa remajanya itu masih belum bergerak dan menyadari bahwa air di dalam wastafel sudah tergenang dan siap meluap.
BRUUUK
Menma tersentak mendengar suara keras seperti ada benda yang terjatuh. Ia lantas tersadar akan situasi di hadapannya sekarang. Ia mematikan air dan mencabut karet penahan. Kemudian, ia keluar toilet untuk melihat apa yang terjadi di luar.
Ia mengedarkan pandangan matanya ke koridor yang sepi itu. Dan, di dekat ruang UKS, ia menemukan seorang gadis bersurai biru gelap-nyaris hitam-tengah menyeret kardus berukuran sedang. Gadis itu mengenakan seragam Shoumei sekaligus apron berwarna pink.
Menma mengernyit heran. "Kau… sedang apa?"
"Kyaaaaaa!"
Gadis itu malah memekik kencang dan membuat Menma terlonjak karena terkejut. Gadis itu lantas jatuh terduduk sembari memegangi dadanya yang naik turun saking kagetnya.
"… ah, Namikaze. Kau membuatku kaget. Kupikir sudah tidak ada orang di sekolah," ujarnya lega saat menyadari bahwa yang ada di depannya bukanlah makhluk tidak berkaki yang berniat menyerangnya. Tapi, kini alis Menma bertaut karena bingung.
"Kau mengenalku?"
Gadis itu menoleh heran. "… hah? Memangnya siapa yang tidak mengenalmu di sekolah?"
Menma mau tidak mau merasa sedikit tersanjung. Jika gadis itu tidak melanjutkan.
"Kau kan mendapat peringkat pertama di survey tentang siswa yang tidak punya teman."
Muncul kerutan di kening Menma. "Hoi."
"Fuaaaah." Gadis itu meregangkan tubuhnya dan kemudian memijat-mijat leher dan pinggangnya. "Oh iya. Kau 'kan bukan penghuni asrama. Sedang apa di sekolah jam segini?"
"Kau sendiri? Ini 'kan lingkungan sekolah, bukan asrama. Kenapa kau menyeret kardus yang berisikan bahan makanan?"
Gadis itu menoleh pada kardus yang menarik perhatian pemuda di hadapannya ini.
"Ah. Aku tidak suka makanan asrama, jadi, aku berniat memasak sendiri di ruang PKK," ujar gadis itu sembari tersenyum lebar dan berpose manis dengan wortel dan tomat di pipinya.
Menma menaikkan sebelah alisnya. "Kau tahu kalau aku adalah anggota kedisiplinan dan cucu dari pemilik sekolah, kan?"
Gadis itu terdiam sejenak. "Ng!" Gadis itu mengangguk seakan tidak ada masalah mengenai kalimat yang dilontarkan Menma. "Lalu?"
"Kau tidak takut aku bisa mencatat ini sebagai pelanggaran? Memasuki dapur sekolah tanpa izin dan pengawasan dari guru yang berwenang."
Gadis itu memasang mode berpikir. Menma menunggu reaksi gadis itu. Dia menunggu gadis itu memohon padanya agar tidak dilaporkan. Tapi,
"Tidak."
Menma kehilangan kata-katanya. "K-Kenapa?"
Gadis itu memeluk lengannya. "Kamu tidak akan melaporkanku. Karena, kamu akan jatuh cinta pada masakan spesial buatan Ami!"
Lalu, gadis itu-Ami mengangkat kardus itu dan meletakkannya di pelukan Menma. Ia juga menyeret Menma menuju ruang PKK sambil bersenandung.
.
~SIMPLY ABSURDITY~
.
"Enak?"
Ami menunggu reaksi Menma akan masakan buatannya. Menma mengunyah nasi kare buatan gadis itu dengan perlahan. Setelah ia menelannya, ia menoleh pada gadis berambut bob asimetris itu.
"Tidak sama dengan buatan ibuku."
Ami merengut. "Tentu saja! Memangnya aku Ibumu? Tapi, enak 'kan?"
Menma mengangkat bahunya santai. "Setidaknya lambungku bisa menerimanya. Tidak seperti sup tomat kemarin."
"Hei. Kalau kamu memang tidak suka tomat, jangan lampiaskan pada makananku. Itu enak, kok."
Menma mengacuhkan Ami dan kembali melahap nasi kare yang masih hangat itu. Ami tersenyum lebar melihat Menma yang berkonsentrasi memakan masakannya itu. Ia lantas mengambil piring dan nasi bagiannya.
"UHUK!"
"UHUK!"
"UHUK!"
Ami terbatuk berulang kali. Gadis itu meletakkan piring miliknya dan memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Menma ikut meletakkan piringnya yang sudah kosong dan mendekati Ami dengan heran.
"Hei hei hei. Kau kenapa?"
Ami meringis. "Entahlah. Mungkin radang tenggorokan atau semacamnya."
"Sudah kau periksa ke dokter?"
Ami menggeleng. "Aku sudah minum obat. Rasa sakitnya juga tidak separah kemarin."
"Yakin?"
Ami melirik Menma yang tengah menatap langsung ke mata hitamnya yang kelam. "Kau khawatir?"
"Sayang kalau aku kehilangan makanan gratis."
Ami tertawa renyah. Menma mengambil piringnya dan mengisinya dengan porsi kedua nasi kare. Ami pun mengikuti langkah Menma untuk menghabiskan masakan yang merupakan makan malamnya hari ini.
Setelah itu, Menma beranjak pulang. Ia memakai kembali coat yang merupakan bagian luar seragam Shoumei. Dan berjalan keluar sekolah setelah mengantar Ami kembali ke asrama.
Hari belum gelap, namun matahari sudah mulai condong ke barat. Menma berjalan menuju halte bus yang akan mengarah menuju rumahnya. Saat sudah semakin dekat dengan tempat yang ia tuju, ia mendengar suara-suara aneh dari gang buntu di dekat tempatnya berdiri.
Menma menoleh sebentar dan menemukan salah satu dari empat orang yang memukulinya kemarin, sekarang tengah dikeroyok. Dia mengernyit heran melihat bocah berambut hitam yang melindungi tubuhnya dari pukulan yang bertubi-tubi. Baru saja ia berniat meninggalkan tempat itu, ada orang yang memanggilnya.
"Hoi, kau mau pergi begitu saja?"
Menma menoleh dan melihat pria yang jelas lebih tua darinya itu menatapnya seakan merendahkan. Menma melirik ke arah tempat itu, bocah berambut hitam sedikit panjang itu mengarahkan matanya yang sayu pada dirinya. Wajahnya penuh lebam dan tubuhnya ditahan di lantai oleh dua orang pemuda bertubuh besar.
"... kau punya urusan denganku?" tanya Menma dingin. Pria yang memakai gakuran dengan emblem tiga garis di kerahnya itu terbelalak tidak percaya.
"Ahahahahaha..." Dia tertawa kencang. Dan diikuti oleh dua temannya. Dia memegangi perutnya merasa tawanya membuat otot perutnya sedikit tertarik.
"Ada yang lucu?"
"Kau yang lucu, gaijin-kun." Pria yang diperkirakan Menma lebih tua dua tahun darinya itu menatap dirinya tajam. "Kau tidak mau menolong temanmu ini?"
"Senpai...dia tidak ada hubungannya dengan masalah kita-AARGH!" Menma melihat orang berambut hitam itu semakin ditekan ke lantai.
"Siapa yang mengizinkanmu bicara, Nagato?" Pria yang dipanggil senpai oleh Nagato berbicara dengan nada memerintah. "Aku sedang berbicara dengan temanmu."
Menma memiringkan kepalanya. "Masalahnya, aku bukan temannya."
Pria itu kembali tertawa terbahak-bahak. "Kalian dengar? Dia bilang, dia bukan temannya." Kedua pria yang menahan gerakan Nagato ikut tertawa.
Menma mengangkat bahunya tidak peduli. Dia lantas melangkahkan kakinya berniat meninggalkan kejadian yang bukan urusannya itu. Namun, ia kembali di hentikan pria itu.
Menma mendelik ke arah pria yang sekarang mencengkram bahunya kasar. "Lepaskan tanganmu."
Pria itu kembali tergelak. "Woaah. Dia memerintahku." Kedua temannya kembali tertawa seakan hal yang dilakukan Menma sangat lucu. "Hei. Kau-"
PLAK
Menma menepis tangan pria itu. Cukup keras untuk membuat punggung tangan pria itu memerah. Pria itu terkejut. Tawa yang tadi terlihat telah hilang sepenuhnya. Dia kini menajamkan tatapan matanya pada Menma yang tampak kesal.
"...ck- KAU!"
Pria itu tampak semakin marah melihat Menma yang malah memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan memiringkan kepalanya seakan merendahkan. Pria itu menggertakkan giginya dan meraung keras sebelum melayangkan tinjunya pada Menma.
BUAAGG
Tinjunya bersarang di dinding di belakang Menma. Dia mendelik ke arah Menma yang sekarang menguap tidak tertarik. Ia kembali meraung dan menyerang Menma bertubi-tubi. Keadaan Menma yang sedang fit berkat asupan energi yang didapatnya tadi, membuat tak satu pun pukulan pria itu yang menyentuh tubuhnya.
Karena merasa khawatir, seorang temannya bergabung dan menyerang Menma bersamaan. Menma hanya menghela napas sembari kembali menghindari pukulan-pukulan yang tidak terarah dengan baik itu.
"HYAAAARRGH!" raungnya sambil berusaha menyerang Menma yang tengah menghindari pukulan temannya.
SYUUUT
Tinjunya mengenai seragam Menma.
"...cih." Dia mendecih kesal karena tidak kunjung mengenai Menma. Baru saja ia ingin kembali menyerang, ia melihat gerakan Menma berhenti. Menma memperhatikan bagian seragamnya yang tampak kotor karena terkena tinjunya.
Temannya melihat ini sebagai peluang. Dia menggeram dan mengarahkan kepalan tangannya pada wajah Menma. Betapa terkejutnya temannya saat Menma menahan tangannya dan memutarnya.
"Aaarrgghhh!" Temannya meraung kesakitan. Menma tidak kunjung melepaskan pelintiran tangannya walau yang dilawan sudah jatuh berlutut dan mengeluarkan airmata pedih.
"HOI!" Pria yang menjadi pemimpin berandal itu menyerang Menma dan mendapati tatapan mata Menma sama mengerikannya dengan saat melawan Nagato dan yang lain. Tangannya berhenti di udara dan tubuhnya mundur teratur.
Menma melepaskan tangannya pada lawannya yang kini hanya terkapar sambil meraung kesakitan. Ia beralih pada pria yang bertanggungjawab atas kotornya seragamnya sekarang. Pria yang ditatap merasakan nyalinya menciut. Ia memberi kode pada temannya yang masih menahan Nagato untuk kabur membawa temannya yang tengah terkapar.
Menma mengulurkan tangannya menuju kerah lawannya. Pria itu menelan ludah.
"SEKARANG!"
Pria itu berlari keluar gang bersama dua temannya. Meninggalkan Menma dan Nagato. Pemuda berambut hitam yang daritadi tidak mampu melawan atau berkomentar kini menatap Menma heran.
Nagato tahu. Menma berkelahi bukan untuk menolongnya. Tapi, dia merasa berhutang budi pada orang yang sempat diserangnya itu. Dia menatap Menma takut. Ia masih merasakan beratnya udara saat Menma mengamuk. Walau Menma kini hanya sedang membersihkan seragamnya.
"...cih. Kotorannya tidak mau hilang," gerutu Menma kesal. Nagato terbelalak.
"Ah. Kalau kau ingin menghilangkannya, beri sedikit air. Nanti selama perjalanan pulang, bajumu akan kering sendirinya."
Menma menoleh pada Nagato yang memberinya saran. Nagato memandangi Menma yang hanya diam. Menma kemudian berjalan pergi.
"Ah! Namikaze!"
Menma menoleh. "Ada perlu apa?"
"Namaku Nagato... maaf soal kemarin, dan terima kasih!"
Menma mengernyit. "Memangnya aku melakukan apa?"
Nagato tersenyum lemah. "Tidak apa. Aku hanya ingin berterima kasih."
Menma mengangkat bahunya tidak mengerti. "Terserah saja."
Menma kemudian berjalan kembali menuju halte bus-nya dan mendapati kendaraan besar itu sudah terlihat dari ujung jalan. Ia berlari kecil sembari berdo'a agar tidak tertinggal. Karena ia harus menunggu lebih dari setengah jam untuk mendapat bus selanjutnya.
.
~SIMPLY ABSURDITY~
.
Sejak ia secara tidak langsung menyelamatkan Nagato, keempat orang yang dulu sempat menindasnya kini beralih seakan menganggapnya sebagai pemimpin baru mereka. Keempat orang itu mengikuti dan melayani Menma bak seorang raja.
Hal ini sudah pasti mengundang berbagai reaksi di Shoumei. Para guru mulai memintanya untuk mengendalikan anak-anak itu agar nilainya membaik. Para siswa memandangnya bingung. Dan kakaknya Karin, hanya bertanya apakah Menma melakukan sesuatu yang aneh.
Hal ini juga mempengaruhi sikap Ami. Gadis itu mau tidak mau ikut memikirkan perihal kedekatan Menma pada empat orang yang punya reputasi sedikit buruk di kalangan siswa. Terutama karena sifat mereka yang berisik dan seenaknya. Makanya, hari itu, gadis itu tidak bisa memusatkan perhatiannya pada masakannya.
"Hoi, airnya mendidih, tuh."
"Eh? Eeeh!" Ami mengecilkan api kompor dan meniup panci yang mulai mengeluarkan uap tebal.
Menma menghampiri Ami dan menatap gadis itu bingung. "Ada apa, sih? Kau tadi tidak memperhatikan gorengan sampai nyaris menggosongkan katsu. Kau ingin memunuhku lewat masakan?"
DUAK
Ami menjitak Menma. "Enak saja! Aku tidak akan menggunakan masakan untuk membunuhmu. Kasihan makananku."
Menma mengaduh kesakitan. "Memangnya kau kenapa?"
Ami merengut kesal. Ia mendorong Menma agar tetap diam pada posisinya tadi. Ia kemudian melanjutkan masakannya dan menepis segala pikirannya agar tidak mempengaruhi rasa makanannya. Akhirnya, hidangan sore itu selesai dan ia menyajikannya di dua mangkuk berbeda. Untuk Menma dan untuknya.
"Makan dulu," ujar Ami. "Nanti ada yang ingin kubicarakan."
Menma mengunyah hidangan katsu-don yang dibuat Ami. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Tentang kamu."
Menma tersentak dan makanannya nyaris tersangkut di kerongkongannya. Ia meminum air dan menatap Ami heran. "Ada apa denganku?"
"Kau...dekat dengan Nagato dan yang lain?"
"Hah? Tidak, kenapa?"
"Kau tidak mendengar rumor yang tersebar di Shoumei? Katanya kau menjadi pemimpin mereka."
Menma menggerutu sambil kembali melahap katsu-don yang terasa nikmat di perutnya. "Tentu saja tidak. Mereka hanya mengikutiku. Aku tidak mengenal mereka."
Ami menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu." Gadis itu akhirnya memakan masakannya dengan santai.
Menma kehilangan napsu makannya seketika. Ia menangkap ekspresi lega yang ditampilkan Ami. Dia harus memastikan apa yang ditangkapnya tidak salah.
"Kau...khawatir?"
"Ng?" Ami menoleh dan melihat Menma yang menunggu jawabannya dengan tidak sabar. "Tentu saja aku khawatir. Kita sudah berteman, kan?"
Menma tidak mampu menyembunyikan secercah kebahagiaan yang menyeruak dari dalam hatinya. Ia tersenyum lebar dan merasakan makanan yang dimakannya menjadi lebih spesial dari biasanya.
Menma pulang tanpa menghilangkan senyum lebar di wajahnya. Ia tidak peduli orang yang mengenalnya kini melihatnya dengan aneh. Ia terlalu bahagia untuk memikirkan perkataan orang lain. Tapi,
BRUAAK
Salah seorang teman Nagato terjatuh dihadapannya. Ia mengernyit heran dan melihat ke arah asal orang itu sebelum terjatuh di depannya. Ia melihat Nagato dan dua temannya tengah berkelahi hebat dengan tiga orang yang bersitegang dengan mereka kemarin.
Menma menghela napas panjang. Dia kemudian melangkah pergi sebelum kembali terlibat dengan situasi yang tidak perlu. Toh, dia juga tidak ingin merusak kebahagiaan yang tengah ia rasakan. Tapi, orang-orang itu berniat sebaliknya. Bahunya kembali dicengkram oleh pemimpin dari lawan Nagato.
"Kau Rubah Kuning, kan?" ucap pria itu santai. "Berani sekali kau pergi setelah urusan kita di sungai kemarin belum selesai."
"...hah?" Menma tampak bingung. "Kau salah orang."
Pria itu kembali tertawa. "Mana mungkin aku salah. Aku belum selesai menghajarmu saat teman-temanmu membawamu pergi. Kau kenal dimana dengan si gendut itu?"
"Si Gendut?" batin Menma heran. "Kau-" Menma mendadak menyadari sesuatu. Teman Naruto yang bernama Chouji bertubuh sedikit gempal jika ia tidak salah. Tiba-tiba Menma merasa sangat marah.
"Kau bilang, kau menghajarku?"
Pria itu mengangguk senang. "Kau tidak sekuat kemarin. Kalau saja teman-temanmu tidak datang, mungkin sekarang kau berada di rumah sakit-UGH!"
Menma menonjok pria itu tepat di ulu hatinya. Ia kemudian memakai lututnya untuk menyerang di tempat yang sama. Lalu dilanjutkan dengan dua pukulan telak yang membuat pria itu terjatuh kesakitan.
"Ketua!" Salah seorang temannya menghampiri pria itu dengan khawatir. Dia mendelik ke arah Menma yang masih berdiri tanpa ekspresi. "Kau-"
"Kau juga menghajar'ku' kemarin?"
Pria itu mengerutkan keningnya heran. "...eh-"
BUAAAG
Menma menyerang pria itu bertubi-tubi. Dan beralih pada pria yang tertinggal setelah lawannya itu tidak lagi bergerak. Setelah semua terkapar, Menma melangkah menuju Nagato yang tidak sempat bereaksi atas tindakan Menma yang tidak ia perkirakan.
"Nggh." Menma mencengkram kerah Nagato dengan satu tangan. Nagato tidak mampu berkata-kata melihat Menma yang jauh lebih mengerikan dari dua kali ia melihatnya mengamuk.
"Kau," desak Menma. "Kalau kau melihat mereka atau siapapun sedang bersitegang dengan orang yang mirip denganku. Kau harus memanggilku."
Nagato mengangguk walaupun tidak begitu mengerti dengan ultimatum yang diberikan Menma padanya. Menma melepaskan Nagato dan pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Nagato dan teman-temannya hanya mengantarkan kepergian Menma dengan bingung.
Hari demi hari berlalu. Nagato menepati janjinya pada Menma. Setiap kali Naruto bersitegang dengan berandal, dan pulang dengan wajah lebam, keesokan harinya, berandal itu terlihat mendapat luka yang lebih parah dari Naruto. Bahkan, beberapa dari mereka berubah menjadi sangat takut pada Naruto dan menganggap Naruto adalah pemimpin di tempat itu.
Para berandal memberi hormat pada Naruto tanpa mengetahui bahwa orang yang menghajar mereka bukanlah Naruto. Namun, sikap Naruto yang santai membuat mereka berpikir bahwa Naruto memiliki kepribadian ganda dan bisa mengamuk sewaktu-waktu.
Selain itu, tindakan Menma yang berusaha memberi pelajaran pada para berandal itu berdampak pula pada dirinya. Dia menjadi sering terlihat berkumpul dengan Nagato dan yang lain. Ditambah, sikap ketakutan yang diperlihatkan ketiga teman Nagato membuatnya terlihat seperti sedang menghukum. Hal ini juga membuat hubungan Menma dengan Ami menjadi merenggang.
Ami menjadi jarang berbicara dengan Menma. Sedangkan Menma harus sering membatalkan acara memasak bersama karena Nagato yang beberapa kali memberikan informasi kepadanya. Ami kembali memasak sendirian di ruang PKK.
Dan, puncak permasalahannya pun mencuat ke permukaan.
Menma yang baru saja akan memasuki ruang guru, harus berpas-pasan dengan Ami yang telah selesai dipanggil oleh bagian kesiswaan. Menma menitipkan laporannya pada orang yang piket bersamanya dan berlari mengejar Ami.
"Hei. Kau dipanggil Ibiki-sensei? Kenapa?" tanya Menma saat sudah berjalan di samping Ami.
"Kemarin Ibiki-sensei melihatku memasak di ruang PKK," jawab Ami dengan nada malas. "-uhuk."
"Kau tertangkap? Lalu bagaimana?"
"Aku diberi surat peringatan. Tapi, katanya kalau meminta pada Kepala Asrama, aku diizinkan memasak di dapur Asrama-uhuk."
"Kamu sakit?"
"Hanya sedikit flu-UHUK! UHUK!" Ami terbatuk semakin kencang.
Menma memegang lengan Ami dan menyentuh kening Ami dengan punggung tangannya. "Kau tidak hanya flu, kau juga demam- AMI!"
Ami jatuh pingsan di pelukan Menma. Pemuda pirang itu menggendong Ami dipunggungnya dan berlari menuju ruang kesehatan. Setelah suster penjaga memeriksa keadaan Ami, ia memutuskan untuk menghubungi orangtua Ami dan memanggil ambulans ke sekolah.
Semua berlangsung cepat. Bahkan, terlalu cepat untuk diproses benak Menma. Saat ia tersadar, mobil ambulans telah membawa Ami menuju Rumah Sakit Konoha yang tidak begitu jauh dari sekolahnya. Dan, kabar dari Ami tidak terdengar selama beberapa hari. Sampai...
"Ah, kata Misumi-sensei, penyakit yang diderita Ami lumayan parah, jadi Ami dibawa ke Jerman yang memiliki pengobatan yang cocok untuknya."
Penjelasan dari teman sekelas Ami sukses menghempaskan Menma jauh lebih dalam dari sekedar palung laut. Perasaan dibutuhkan yang ia rasakan setiap bersama Ami seakan lenyap begitu saja. Tak tersisa dan tidak akan pernah muncul kembali.
"Apa yang kau lihat, Bocah?" hardikan seorang berandal yang tengah mabuk memperparah keadaan Menma saat itu.
"UUAAAARRRGGGHHH!" Menma meraung keras dan tidak merasa lega.
.
~to be continued~
.
Aiiiiiiiiiiiyyyaaaaaaaaaaahhhhh!
Minna-san! Ogenki desu ka!
Masih inget sama SoL side story yang sempat kujanjikan? Eto~ emang sangat lama dari waktu yang kujanjikan. Habis berulang kali melalui pergantian alur dan cerita. Ini pun, masih belum yakin sudah bagus atau tidak. Hehehe…
Maaf ya. ^⌣^
Habis ini jangan lupa review yaaaa
