pulang

shouto/izuku


"Izuku, buka pintunya. Kau mendengarku!"

Midoriya Izuku berusaha menutup kedua telinganya rapat-rapat. Sepasang bola matanya dengan gelisah melirik ke arah jarum jam yang kini menunjukkan angka sepuluh malam. Sesaat sebelum suara ketukan keras di pintu depan, Izuku tengah memandang langit malam kota kelahirannya yang begitu cerah dan bersih—tanpa bintang dan gumpalan awan. Izuku nyaris gila dengan suara ketukan bertubi-tubi tiada akhir, namun pemuda berambut hijau tersebut tak sudi memutar gagang pintu demi pria di luar sana.

Izuku tak ingin menemuinya.

Izuku sudah lama melupakannya.

Seharusnya pria itu tak datang padanya. Seharusnya Todoroki Shouto juga melupakan dirinya.

Izuku memutuskan bersandar pada pintu bercat cokelat muda dengan ukiran sederhana. Di balik pintu ini, ada sosok pria yang masih setia menunggu. Ketukan yang tadinya datang beruntun dengan suara keras mulai terdengar pelan—nadanya seperti ketukan jam. Berima dan teratur. Izuku sungguh tak menyukai jenis suara seperti ini.

"Aku tahu kau mendengarku, Izuku. Aku tahu kau ada di balik pintu ini. Cepat buka dan biarkan aku masuk."

Suara yang begitu dalam dan familiar seolah-olah menembus batas dua dunia, menelusup ke dalam gendang telinga Izuku yang sedikit bergetar. Dulu sekali, suara itu mampu membuatnya mabuk kepayang. Bahkan hanya dengan mendengar suara baritone yang begitu dalam milik Todoroki Shouto, Izuku mampu dibuat melambung menembus awan.

"Apa kau tak merindukanku, Izuku? Apa kau tak tahu betapa aku sangat tersiksa? Aku ingin melihatmu."

Izuku menahan diri supaya air mata yang menggenang di kedua sudut matanya tidak tumpah. Pemuda itu memang tidak pernah membiarkan Shouto masuk—seharusnya Shouto sadar betapa itu semua sangat berat bagi Izuku. Bukan hanya Shouto yang ingin melihat Izuku, pun sebaliknya. Tapi Izuku sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa mereka berdua tak akan saling memandang wajah masing-masing setelah Shouto pergi meninggalkannya.

"Di luar dingin sekali."

Izuku bisa mendengar suara lirih Shouto dari balik pintu. Pemuda itu meraba tekstur permukaan kayu yang terasa kasar di telapak tangan. Dulu, tanpa banyak bicara, Izuku akan lari keluar dengan membawa selembar syal untuk dililitkan pada leher kokoh kekasihnya. Sebuah syal rajutan tangan, hadiah Natal spesial dari Izuku untuk Shouto.

"Ingat tidak waktu musim dingin beberapa waktu lalu? Izuku jatuh saat bermain ski, menabrak salah satu pohon dengan luka lecet di kaki. Aku terpaksa menggendongmu sampai pondok. Kau mengingatnya, Izuku?"

Izuku memejamkan kedua matanya erat. Sekali pun ia menutup telinga, suara Shouto seperti menggema dalam kepalanya.

"Aku ingin bertemu Izuku. Sudah lama sekali."

Rasa sesak memenuhi rongga dada Izuku. Begitu menyakitkan—ada nada putus asa dalam kalimat barusan.

"Kita tidak bisa bertemu lagi, Shouto-kun. Seharusnya kau mengetahuinya."

"Aku tak akan pergi sebelum benar-benar bertemu denganmu."

Sunyi sesaat. Izuku hanya mendengar deru angin yang meraung sepanjang jalan. Musim dingin tahun ini memang lebih berat dari tahun sebelumnya.

"Kau tidak bisa—"

Napas Izuku tercekat. Tubuhnya mendadak mati gerak. Ia seperti menjadi satu dengan pintu yang ia gunakan untuk bersandar.

Di bawah sinar lampu yang remang-remang dan jendela kamar yang sedikit terbuka dengan korden berkibar, Shouto berdiri di sudut ruangan.

Jeritan Izuku teredam suara angin saat sosok itu tepat berada di depannya, dengan sisi wajah hancur terbakar.

.

.

.

Boku no Hero Academia (c) Kouhei Horikoshi

AN : Cerita gaje diketik kilat menjelang bobo. Serem rasanya bayangin Shouto jadi hantu.