Disclaimer : Masashi Kishimoto
A Naruto Fanfiction
Me and Mr. Bastard
Rated : M
Genre : Romance and General with a bit of Humor
Warning : Young Adult
.
[Aku Haruno Sakura—putri konglomerat yang berprofesi sebagai agen rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu jati diriku. Tidak sebelum pria bastard itu mengacaukan segalanya/Menari di atas lantai dansa dengan musik berdentum dan aroma alkohol adalah hobiku. Wanita sebagai pemanisnya dan bersetubuh adalah hidupku. Aku, Uchiha Sasuke, laki-laki brengsek yang menutupi segala kebrengsekan itu dengan wajah tampan. Aku seorang idola remaja. Pemuda dengan bakat akting luar biasa.]
.
oOo
.
Sakura PoV
"God! You look so awesome pretty, Lady."
Tepat saat kakiku yang dibalut wedges hitam pekat menginjak karpet berwarna merah marun, pria-pria berjas yang duduk di salah satu meja restoran bersiul dan melontarkan berbagai macam kalimat menjijikan. Well, sesuatu yang sangat aku benci. Memutar mata dan memasang ekspresi jengah adalah suatu hal yang ingin kulakukan dari dulu.
Mengapa kukatakan begitu? Karena jika kau tahu keadaanku saat ini, maka kau akan mengerti. Jadi, perhatikan saja hal yang kulakukan saat ini dan kau akan paham.
Ekspresi wajahku yang mulanya monoton berubah menjadi sedikit antusias saat menatap pria-pria itu. Aku menyunggingkan seulas senyum tipis dengan dua kali kedipan mata sebelum melenggang anggun melewati meja-meja pengunjung, menyita perhatian pria-pria yang menatap lekukan tubuhku tanpa berkedip. Seluruh pengunjung yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki memerhatikan pahaku yang tidak tertutupi kain dress ketat berwarna hitam yang kini membalut tubuhku dengan sempurna. Oh Tuhan, tanganku sangat gatal ingin melempar kepala mereka dengan sepatu dan membuatnya benjol. Namun alih-alih melakukannya, aku malah tersenyum manis hingga pipiku terasa begitu kebas.
"Good afternoon, Sir? Have a nice day?" Aku bertanya seraya tetap mempertahankan senyum yang melengkung indah di bibirku. Salah satu pria yang mengenakan jas silver bangkit dari duduknya, lalu menarik kursi kosong di sebelahnya dan mengerling, mempersilahkan aku untuk duduk di sana.
"Thanks," ucapku tanpa intonasi sebelum duduk di kursi itu dan memandang lurus ke depan.
"Kau Sayuri Ishida, 'kan?" Pemimpin mereka—pria yang satu-satunya memakai tuxedo putih, atau kau bisa menjulukinya Tikus Licik—mengusap dagunya seraya menatapku lekat.
"Hm." Aku mengangguk kecil.
"Jadi, kau utusan dari Hatake-san yang katanya akan melaksanakan transaksi denganku." Pria itu tersenyum miring, tidak segan-segan untuk memperlihatkan ketertarikannya padaku. "Woah, aku tidak tahu jika asisten Hatake secantik ini."
Ya, kau tidak tahu. Mana mungkin asisten seorang mafia memiliki wajah cantik? Oh, jangan gila, Tuan Hidung Besar, asisten seorang mafia itu memiliki rupa yang tidak jauh dari kata sangar, banyak luka parut di wajah atau hal mengerikan lain. Apa kau tahu betapa menjijikannya wajah asisten Hatake Kakashi? Dia. amat. Sangat. Buruk. Rupa.
Jika saja aku tidak terlatih untuk berakting, sudah dapat dipastikan kalimat itu yang akan kuucapkan sambil menggebrak meja.
"Well, dia berniat menjadikanku pasangannya," aku menjawab santai, namun sangat menusuk. Pria itu kontan tersedak ludahnya sendiri dan menunjukkan wajah salah tingkah. Dasar bedebah payah. Dia takut pada sesama mafia yang mungkin punya kekuasaan lebih besar dibanding dirinya.
"Mana barang yang katanya akan kau tukar dengan barang yang Hatake-san titipkan padaku?" sambarku tanpa basa-basi.
Anak buahnya yang tadi menarik kursi untukku segera mengangkat sebuah koper kecil, lalu meletakkannya di atas meja. Setelah memastikan keadaaan para pelanggan di restoran itu sibuk dengan dunianya masing-masing, baru ia membuka kopernya dan mengeluarkan berbungkus-bungkus bubuk putih yang kuyakini sebagai narkoba.
"Ini barang yang Hatake-san minta, sekarang serahkan lima buah senjata api yang kuminta sebagai balasan."
Aku tidak langsung menuruti perkataannya, melainkan memeriksa bungkusan-bungkusan itu terlebih dahulu. Permainan ini benar-benar menyenangkan. Mereka tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa sekarang. Selamat datang di jebakan tikus, Kawan-Kawan. Sebentar lagi kalian akan mendekam di dalam sel tahanan dan aku akan mendapatkan medali baru dari kepolisian.
Dewi dalam batinku terbahak keras saat menyadari bahwa aku sudah selangkah menuju kemenangan.
"Aku akan memberikan senjata itu padamu, tapi sebelumnya…" kata-kataku mengambang dalam kepekatan suasana, "aku akan memberikan hadiah khusus untukmu, Sayang." Aku tersenyum sensual yang kontan membuatnya meneguk ludah dan menatapku penuh gairah.
"Sure, Lady. Maukah kau bermalam denganku?" Ia bertanya sembari menatap seduktif ke arah belahan dadaku yang sedikit terlihat.
"Tentu," aku menjawab tanpa menghilangkan senyum yang sedari tadi tersungging di bibirku. Sebuah senyum kemenangan. "Tetapi di dalam sel penjara."
Aku berdiri dan mengacungkan pistol yang sudah sejak tadi kusembunyikan di dalam tas tangan biru donker yang kugenggam. Aku mengarahkannya ke udara, lalu menarik pelatuknya sekali. Para pengunjung yang semuala makan tanpa gangguan seketika menjerit dan berhamburan keluar dari sana saat mendengar suara letusan peluru yang kutembakkan ke udara hampa. Setelah memastikan ruangan itu benar-benar sepi, barulah aku maju dan menghajar satu persatu anak buah di sana dengan gerakan taekwondo bercampur karate.
Satu, dua, tiga, empat, lima, dan ah … enam. Mereka semua terbanting dan terjembab ke lantai setelah menerima tendangan maha dahsyat dari wedges yang kukenakan. Beberapa dari mereka mengerang karena tangan terkilir. Sisanya pingsan karena saat kudorong tak sengaja terbentur meja dan kursi. Aku mendekat pada anak buah Si Tikus Licik yang masih sadar dan menginjak kepala mereka hingga tak sadarkan diri.
Aku seorang diri, namun aku menang. Semua ini karena senjata mereka semua sudah kuamankan sebelumnya dengan diam-diam. Jadi aku tidak merasa terancam sama sekali karena mereka tak sanggup melukaiku dengan benda-benda tajam apa pun.
Si bos terlihat menggeram, berdiri dengan tangan terkepal kuat dan rahang mengeras. Aku mengacungkan pistol ke arahnya. Namun, ia sama sekali tak bergeming, malah menatapku semakin tajam. Tatapannya seolah tombak runcing yang dilesatkan padaku, membuatku sedikit was-was dan bergerak mundur perlahan.
"Kau sudah kalah, Tuan Hidung Besar!"
Ia tertawa sumbang dan memelotot. "Oh ya?"
Pria itu semakin maju, mengikis jarak antara tubuh kami hingga mau tak mau aku turut bergerak mundur untuk menghindarinya.
"Kau salah memilih lawan, Nona." Ia memiringkan wajah, menambah kesan seram dan menakutkan. Melihatnya sepercaya diri itu, aku ragu kemampuan beladiriku tidak sebanding dengannya. Jangan-jangan ia pemegang sabuk hitam taekwondo? Oh tidak, mana mungkin.
Aku melirik cemas ke arah pintu keluar. Ke mana perginya teman-temanku dan polisi?! Kenapa mereka tidak muncul-muncul di saat seperti ini?! Sial, ini semua memang salahku yang menganggap bisa mengatasinya sendirian dan baru menghubungi mereka sesaat sebelum memulai misi ini. Kupikir misi ini sangat mudah, tapi rupanya aku salah.
Pria itu semakin mendekat, langkahnya dipercepat dengan kedua tanga yang membentang lebar seperti hendak menangkapku. Aku tercekat dan mulai kalut saat merasakan hawa dingin dinding yang menyentuh kulit punggungku. Dalam hitungan detik, pria itu sudah memerangkapku dalam kungkungan tangannya dan menyeringai sadis.
Ia memiringkan wajah dan mendekatkannya perlahan ke arah wajahku, sesuatu yang langsung membuat alarm bahaya dalam otakku berdengung keras. Dia akan menciumku! Shit, aku tidak sudi ciumanku dicuri oleh pria dengan hidung besar dengan aroma rokok pekat yang menguar dari bibirnya.
Dor!
Aku menembak pahanya, berhasil membuat tubuh pria itu menjauh. Ia merintih kesakitan dan terduduk di atas karpet merah marun yang melapisi lantai marmer restoran mahal ini.
"Dasar Jalang Gila." Ia menatapku beringas sambil memegangi bagian pahanya yang tertembus oleh peluru dari pistol. Darah segar mengucur deras dari sana saat ia melepaskan genggaman tangan dari lukanya yang sedikit menganga.
"Rasakan!" Aku berteriak dan tertawa puas. Namun, tawa itu berlangsung tak kurang dari sedetik karena selanjutnya hilang tak bersisa dan terganti oleh suara tawanya yang menggelegar.
Aku tercekat untuk ke sekian kalinya, menelan ludah dengan susah payah saat melihat pria itu berdiri seakan tembakan yang kulesatkan tadi tak berarti apa pun bagi tubuhnya.
"Itu sama sekali tidak sakit." Ia tertawa seperti seorang psikopat gila.
Aku kembali mengacungkan pistol, bergerak mundur saat pria itu berjalan pelan seolah ingin menciptakan intimidasi. Sedetik kemudian, langkahnya berubah menjadi secepat kilat dan ia mendorong tubuhku hingga jatuh tersungkur ke lantai. Sial sekali karena pistolku turut terlempar jauh saat tubuhku terhempas ke bawah.
Pria itu tertawa semakin keras seperti orang kerasukan. Ia menelusupkan jari jemarinya pada helaian rambutku, kemudian menghentakkan tangannya hingga rambutku tersisa di sela-sela jarinya. Aku meraung dan berusaha memberi perlawanan, namun tangannya seolah mengunci segala pergerakanku. Pria itu menindih tubuhku, memosisikan wajahnya tepat di hadapan wajahku.
"Sekarang, senjata makan tuan, eh?" Ia tersenyum miring. Sebelah tangannya yang bebas mengerayangi tubuhku dan meremasnya di beberapa bagian.
Brengsek. Sialan. Bastard. Argh, he is so fuckiiing damn!
Aku menendang sembarang. Namun dengan brengseknya, tendanganku sama sekali tak mengenai tubuhnya—tepatnya tidak berefek apa pun baginya. Tubuh pria itu seakan terbuat dari baja. Ia kebal terhadap senjata apa pun. Bahkan peluru?! Oh, apa-apaan dia itu.
Dress ketat yang mulanya membalut tubuhku ia robek dalam sekali hentakan, membuat tank top hitam dan bra berwarna senada yang kukenakan terpampang nyata di depan wajahnya.
"Menyerah dan layani aku."
Gerakanku refleks terhenti. Aku memandangnya dengan sorot menantang, tidak merasa terancam sama sekali dengan tatapannya yang dipenuhi aura kegelapan. Untuk apa aku menyerah dan melayaninya? Aku menyeringai. Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Dan sepertinya memang begitu. Si hidung besar yang memiliki nafsu tak kalah besar. Benar-benar perpaduan yang menggelikan.
"In your dream!" balasku seraya meludah pelan. Giliran tawaku yang menyeruak dan mendominasi suasana. "Aku tidak takut pada ancaman busukmu." Karena sebentar lagi teman-temanku akan sampai.
Ia menyeringai dan mengedikkan bahu, tidak terganggu sama sekali dengan ludahku yang masih membekas di hidungnya. "Terserahlah. Lagipula, kau hanya punya dua pilihan, 'kan? Melayani dengan senang hati atau … diperkosa."
Mataku melebar sedetik setelah kalimat itu terlontar dari mulut busuknya. Oke, kuakui tubuhku sedikit bergetar mendengar pernyataannya yang begitu gamblang. Siapa yang tidak takut saat tahu dirinya akan diperkosa? Di tengah restoran dan tanpa seorang pun yang hendak menolong?
"Kau akan mati di tangan rekan-rekanku!" Aku berteriak ke arahnya, berusaha berpikir positif bahwa teman-temanku akan datang sebentar lagi. Dan seolah bisa membaca kekhawatiran di otakku, pria itu terlihat mendengus disertai putaran bola mata bosan yang berkali-kali ia tunjukkan sebelum ini.
Ia tertawa sumbang dan berujar dengan nada mencemooh, "Mereka hanya menganggap pesanmu itu sebagai lelucon, Sayang. Mereka tidak akan datang."
Deg!
Pernyataan itu seolah menohok jantungku. Jangan-jangan Ino memang menganggapku hanya bercanda dan tidak memberitahukan yang lainnya bahwa aku butuh bantuan karena sedang menjalankan misi seorang diri. Oh tidak, jangan bilang bahwa hal itu benar. Hati kecilku menolak kenyataan itu, tapi otakku menjerit membenarkan.
Tubuhku langsung lemas, aku tak sanggup melawan lagi. Tenagaku seakan terkuras habis karena perlawanan sia-sia yang kulakukan tadi. Pria itu tampak puas akan reaksiku dan melanjutkan kegiatan awalnya yang sempat tertunda. Aku hanya mampu berdecih dan menggeliat tak tentu arah karena kedua lenganku digenggamnya erat, sedangkan kakiku tertindih oleh kakinya yang besar.
Ah, rasanya sangat ngilu dan menyakitkan.
Aku memalingkan wajah saat bibirnya hendak melahap bibirku. Ekspresi beringas tetap kupertahankan. Aku yakin tidak akan kalah darinya, walaupun aku sudah tidak memiliki kekuatan apa pun.
Tak berhasil mendapatkan bibirku, rupanya ia tak menyerah dan beralih menuju leher jenjangku. Pria itu mengisap kulit leherku, membuatku langsung menjerit dan melayangkan tatapan mematikan padanya.
"Orang tuamu sepertinya tidak mendidikmu dengan benar!" jeritku lantang.
Gerakannya langsung terhenti. Entah datangnya dari mana, sebuah ide untuk meloloskan diri darinya tiba-tiba terlintas di kepalaku.
"Ibumu hanya seorang pelacur yang melayani banyak pria dan Ayahmu adalah pria brengsek yang kebetulan senang dengan kemolekan tubuh Ibumu. Ibumu penggoda dan ayahmu seorang bajingan." Aku berdecak, lalu menambahkan, "Pantas saja anaknya jadi sepertimu. Benar kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kau sama saja dengan Ayahmu, seseorang yang dikuasai oleh nafsu!"
"Kau?!"
"Apa?!"
Plak
Pipiku memanas dan bibirku terasa amat perih.
Pria itu menamparku?! Dia benar-benar cari mati!
Ia berdiri dan melesatkan tatapan mematikan ke arahku yang langsung melompat bangun dan beringsut menjauhinya. Aku memeluk tubuhku sendiri, memegangi sebagian wajahku yang terasa pias akibat tamparannya. Lidahku mengecap rasa asin dari sudut bibirku yang mengeluarkan darah. Aroma karat dan logam seketika memenuhi hidungku.
"Kau?! Dasar gadis jalang!" Ia memandangku murka. Menarik salah satu kursi kayu yang ada di dekatnya dan melemparnya ke arahku.
Semuanya terjadi begitu cepat bagai kilatan cahaya blitz. Kursi itu melayang ke arahku dalam waktu tak kurang dari lima detik. Aku memejamkan mata, pasrah terhadap hal buruk yang akan menimpaku nantinya.
Namun alih-alih merasakan tubuhku dihantam kursi dan tergeletak dengan genangan darah, yang kudapati justru sesuatu yang mendorongku hingga tubuhku kembali terlempar ke lantai dengan cara tidak manusiawi. Aku merasakan tubuhku menghangat dan wajahku tenggelam dalam sesuatu yang lembut dan harum.
Apa ini? Rekan-rekanku sudah sampai?
Yah, sepertinya begitu. Mendengar suara tembakan dan sirine mobil polisi membuat perasaanku lega.
"Kau baik-baik saja?" Baritone itu menyapa lembut, membuatku refleks melayangkan satu pukulan telak ke depan dengan tenaga penuh.
"Oh, shit!" Pemuda itu mengerang dan memegangi dadanya. Matanya langsung mendelik saat melihatku menjauh dan menatapnya seolah tidak merasa bersalah.
"Ups." Aku membekap mulut dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. Aku kenal betul pria ini, pria menyebalkan yang dua kali kutemui dan membuatku hampir tewas karena memendam kekesalan. "Maaf, Tuan Bastard. Itu refleks, sungguh." Aku memasang wajah sok polos dan langsung mendapat respons berupa dengusan darinya.
Ia bangkit dan menepuk-nepuk pakaiannya, lalu menyipitkan mata saat melihat tubuhku yang setengah telanjang.
"Sialan." Ia memaki dan memiringkan wajah, terlihat sekali berusaha menutupi senyum yang akan merekah di wajahnya. "Ikut aku, Nona Manis."
Dan akan kubahas tentangnya setelah urusan ini berakhir.
- oOo -
Aku langsung kabur begitu pria itu—Sasuke—menyeretku masuk ke dalam mobilnya. Aku menendang tulang keringnya dan berlari menuju mobil Ino, kemudian berteriak menyuruhnya segera tancap gas dari tempat terkutuk tadi. Si Hidung Besar sudah tertangkap. Dan aku malah mendapat kesialan lain setelah bertemu dengan Sasuke yang notabene merupakan pria mesum yang hobi berganti wanita semudah berganti pakaian.
Aku tidak ingin mengambil risiko pulang dengan mobilnya dan berakhir di ranjang pada esok hari.
Hell, itu terdengar mengerikan.
Sasuke bukan tipikal laki-laki perfeksionis dengan segudang talenta mumpuni sehingga banyak gadis yang mengidolakannya. Ia juga bukan CEO muda dengan kekayaan sebagai harga diri seperti dalam cerita romantis picisan yang sangat merusak moral bangsa. Ia juga bukan badboy yang hobi merokok diam-diam saat sekolah menengah dan tobat setelah dipertemukan dengan sosok gadis baik-baik sekaligus menjadi cintanya. Cuih, itu sungguh hanya sebuah cinta monyet dan aku berani bertaruh remaja kelebihan hormon itu akan putus hubungan di tengah jalan. Tidak, tidak, jangan berpikir dia adalah laki-laki brengsek yang dijodohkan dengan gadis baik-baik, lalu merubah kebiasaannya setelah perlahan-lahan mulai jatuh cinta.
Ia hanya Sasuke. Ia adalah dirinya sendiri dan tak akan merubah kepribadian hanya demi menghindar dari lirikan sinis masyarakat publik. Tetapi bukannya kerap dilirik dengan benci, ia justru dilirik gadis-gadis remaja dengan mata berbinar seolah mereka menemukan sebuah mutiara langka di tengah samudera Hindia. Hidupnya tidak membosankan seperti kebanyakan tokoh pria dalam drama murahan. Dia unik. Oke, kuakui dia memang menarik saat pertama kali melihat garis wajahnya. Namun, ekspektasiku langsung terpecah belah saat melihat kelakuannya yang jauh dari kata normal.
Kutekankan sekali lagi, dia itu tidak waras. Kelakuannya jauh dari kata wajar. Hobinya adalah mempermainkan wanita. Bibirnya seperti kelopak mawar yang indah dan mengandung banyak serbuk sari sehingga banyak serangga yang hinggap di atasnya. Itu bukan pujian, menurutku. Itu adalah sebuah aib. Dan yang membuatku semakin ingin muntah selain sikap-sikap kurang ajar yang ia miliki adalah tingkat kenarsisannya yang melebihi ketinggian puncak gunung himalaya. Sasuke percaya, walaupun kelakuannya cukup—ehm lupakan—namun ia masih memiliki satu kelebihan; tampan.
Aku langsung kejang-kejang dan syok berat begitu mendengarnya.
Oke, mungkin itu juga berlebihan. Tetapi satu hal yang pasti, aku sudah lama mengibarkan bendera perang terhadapnya. Walaupun kami baru dua kali bertemu, entah mengapa aku sangat membencinya. Saat matanya menatap ke arahku, aku merasa seperti ada yang meletup dan berkobar di dalam dadaku. Bukan perasaan berdebar yang berkaitan dengan cinta. Bukan juga rasa cemburu dan berhubungan dengan obsesi berlebihan terhadapnya. Hanya saja, rasanya seperti ... ehm, sulit untuk dijabarkan. Yang jelas, aku merasa tertantang setiap kali melihat matanya yang menampilkan sorot mencemooh. Terutama setelah dia mengataiku mengenaskan karena tidak memiliki pasangan di usia yang cukup matang sekarang ini.
Ucapannya sangat melukai harga diriku. Belum pernah ada seorang pun yang berani menusuk telak dan tepat mengoyak habis harga diriku sebelum ini. Dan dia melakukannya hanya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh detik.
Lihat saja, malam ini Ayah akan mengajak salah seorang koleganya makan malam. And hell yeah, kau tahu, aku sudah mengendus aroma perjodohan di sana.
Kupastikan, aku akan melepas gelar lajangku dan memamerkan anak kolega bisnis Ayah ke depan publik.
- oOo-
"Dia sangat tampan, juga menyenangkan. Tipikal lelaki masa depan. Selain memegang saham dan memiliki perusahaan game sendiri, dia juga seorang model dan memiliki banyak penggemar. Kau akan cocok dengannya, Sayang."
Aku hanya tersenyum saat Ayah mendeskripsikan tentang putra kolega bisnisnya. Aku berangan-angan bahwa dia seorang laki-laki tampan dengan wajah datar. Dia adalah pangeran es dan aku akan mencairkan kebekuan hatinya. Uh oh, membayangkan aku dapat menaklukan hatinya seperti dalam film-film terdengar begitu romantis dan geez … how cute!
Lantunan irama musik klasik megiringi suasana meja makan di kediaman keluargaku. Aku merenung sambil berandai-andai dapat berdansa dengannya dan berciuman tepat di bawah terpaan sinar bulan. Lalu dia akan melamarku dan aku mulai membuka rahasia, menceritakan bahwa aku adalah seorang agen rahasia. Dia terlihat terkejut, namun sesaat. Kemudian dia akan tersenyum, mengecup tanganku lembut dan berkata bahwa hal itu tidak masalah. Ia akan membantu menyembunyikan identitasku dari anggota keluarga lainnya.
Oh, itu adalah sesuatu yang selama ini kuimpi-impikan.
"Tuan Uchiha beserta putranya sudah datang." Seorang pelayan tiba-tiba masuk dan membawakan berita yang sudah kuananti sejak tadi.
Yeah, akhirnya. Selamat tinggal Haruno Sakura dan selamat datang Uchiha Sakura. Aku langsung menyelipkan helaian rambut yang jatuh di keningku ke belakang telinga. Menegakkan badan dan memasang ekspresi angkuh. Suara langkah kaki terdengar mendekat, membuat jantungku terasa akan meledak saking senangnya.
"Selamat malam, Haruno-san."
Oh God, suaranya begitu maskulin dan menenangkan. Aku mendongak, berharap agar iris mataku bersirobok dengan matanya. Kemudian, dia akan merasakan sengatan-sengatan cinta dan takluk pada pesonaku.
"Selamat malam, Nyonya Haruno."
Aku langsung menoleh dan tersenyum manis.
Namun, bukannya tersengat oleh cinta, tubuhku terasa seperti tersengat listrik ribuan volt dan hangus terbakar menjadi debu yang langsung tersepuh angin malam. Eskpektasi tentang pangeran es tampan yang terbangun dalam kepalaku mendadak pecah seperti gelas kaca yang dihempaskan ke lantai begitu mendapati seraut wajah tampan milik Sasuke.
"Halo, Nona Haruno, kau terlihat sangat cantik. Jauh lebih cantik dari yang Ayahku deskripsikan." Ia tersenyum manis madu.
Jadi dia Uchiha?! Maksudku, Uchiha Sasuke?!
Ya Lord, takdir macam apa yang telah Engkau buat? Kenapa ini terasa jauh lebih mengerikan daripada berenang dengan sekoloni ikan hiu yang siap memangsamu hidup-hidup?
Tidak, tidak, dan Tidak! Aku menganga frustasi dan tak berhenti menyumpah serapah dalam hati. Nasib sial menimpaku bertubi-tubi hari ini. Dan bisa kaubayangkan, rasanya sungguh tidak enak.
Semesta terkadang memang memiliki caranya tersendiri untuk menentukan jalan hidup seseorang.
TBC
.
.
.
Well, well, seperti yang kalian tahu rate cerita ini adalah M or Mature. Ini bukan cerita bermodal adegan sex or something like that yhaaa :D di atas jelas tertulis Young Adult atau dewasa muda. Mungkin adegan seerti itu ada (maybe), tetapi deskripsinya tidak terperinci. TheeHee :v Fic ini hanya pembahasannya saja yang menjurus ke arah dewasa. Yang lainnya pikir sendiri dah, aku lelah #dihajarmassa
Ada sih, tapi part-part yang masih jauh dan tidak akan bisa kau bayangkan. #SachikaLoliPerusakMoralBangsa
Wkwkwk...
Hmm... Sasuke terlihat freak, dan di luar ekspektasi. Tapi, gapapa lah, yang penting ganteng.
So, would you give a review? :3 Thank you
