Disclaimer : Masashi Kishimoto
Rate : T
Genre : Tragedy, Angst
Pairing : Naruto & Hinata
Warning : OOC, Lebay, Hancur, Typo(s), Gak jelas, Bahasa ngawur, Kesalahan disana-sini, Gak bagus tingkat dewa, Tak terkatakan segala kekurangannya :"), Jangan dibaca kalau buat emosi :D
Dedicated for NaruHina Tragedy Day #5 #NHTD5Bitter
Liekichi-Chan
Proudly Presents
*~Setitik Cahaya~*
Perbedaan yang ada kadang membuat orang lain memandang sebelah mata
Ketika ketidakpercayaan menjadi puncak tertinggi lambaian hati
Maka sekuat apapun lantunan nada berikutnya diperdengarkan, akan tetap terdengar getir
Sunyi
Tanpa harapan
*~Setitik Cahaya~*
"Hinata-chan, ayo bangun pemalas! Lihatlah, mataharinya sudah setinggi itu." lelaki itu mengguncang tubuh mungil yang masih tertutup sempurna oleh selimut tebal. Keadaan kamar kecil berwarna putih bersih tersebut masih terlihat agak remang, karena memang sang pemilik tidak ingin jika cahaya itu mamenuhi ruangannya secara penuh. Pun, Naruto sengaja tidak membuka kamar jendela berukuran petak sederhana disampingnya, karena ia tahu Hinata akan marah jika ia melakukannya. Hingga ia putuskan untuk membiarkan keadaan kamar yang remang tersebut tetap demikian.
Senyum yang mengembang dibibirnya perlahan memudar. Tatapan biru laut lelaki tersebut menggelap seketika. Rasanya, selalu saja akan seperti ini jika ia melihat gadis kurus dihadapannya yang kini masih terlelap dalam mimpi indahnya.
Perlahan, tangan kokohnya mulai ia gunakan untuk menyibakkan selimut tebal yang melindungi tubuh sang gadis dengan sangat pelan. Sedikit tertahan, namun akhirnya ia berhasil melakukannya dan ya, seseorang yang berada dalam persembunyiannya terusik karena ulah tersebut. Gadis cantik itu menggeliat seperti seekor kucing.
Naruto tersenyum simpul melihatnya.
"Hey, ayo bangun. Mataharinya sudah sangat tinggi. Kau itu perempuan, tidak boleh begini. Hahahah... " lelaki itu masih mencoba untuk bercanda. Tangan kekarnya kini mengelus kepala penuh surai gelap dihadapannya dengan sayang. Dan lagi-lagi, gadis itu hanya bisa mengerang tertahan antara merasa kesal dan merasa bahagia dengan perlakuan hangat seseorang yang kini ada didalam kamar pribadi yang sudah ia tempati lebih dari tujuh tahun tersebut.
Hinata masih enggan untuk membuka matanya, tapi lelaki itu masih sabar menunggu. Walau demikian, ia tahu bahwa Hinata sebenarnya sudah kembali dari alam mimpinya.
"Hinata-chan, sesekali kau harus ikut keluar denganku. Disana, pemandangannya benar-benar sangat indah. " lelaki itu menarik kursi kecil tepat didepan tempat tidur mini sang gadis, lalu mulai duduk diatasnya. Masih setia menunggu hingga gadis itu mau membuka matanya.
Sosok yang masih berbaring itu hanya diam, tidak menjawab sepatah katapun.
"Nanti kalau kau mau, aku bisa membawamu berkeliling kemanapun kau suka. Ada sebuah danau yang airnya sangat jernih, lalu disekelilingnya ditumbuhi oleh bunga-bunga yang sangat cantik. Kau pasti akan suka jika melihatnya."
Tubuh dihadapannya mulai menunjukkan respon, namun belum ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Naruto bahkan belum yakin bahwa gadis itu bisa melakukannya.
Mata sendu Hinata mulai membuka lebar. Ada sedikit genangan disana, entah itu karena air mata atau karena efek baru saja bangun tidur, pun dirinya tidak tahu.
Kembali, lelaki itu tersenyum melihat tubuh kecil dihadapannya. Kantung mata terlihat sangat jelas dibawah permata sang pemilik. Gadis itu mulai mencoba untuk duduk diatas tempat tidurnya. Agak kesusahan, namun kemudian sosok tegap dengan rambut blonde itu kembali membantunya.
Hinata masih diam. Namun tatapannya tertuju sempurna pada biru laut yang kini sudah berada tepat dihadapannya.
"Kau belum makan kan? Selalu saja telat makan pagi. Itu tidak baik untuk kesehatanmu." Lelaki itu mulai cerewet, lalu dengan lihai mengambil sarapan yang terletak disebuah meja kecil disamping tempat tidur Hinata.
"Ini sudah pukul sepuluh, Hinata-chan. Dan kau sudah terlambat makan pagi selama berjam-jam. Aku tidak mau pencernaanmu bermasalah nanti."
Ia mulai menyendokkan makanan dengan telaten, lalu mengarahkan makanan itu kehadapan gadis dihadapannya. Lagi, Naruto mendapat penolakan dan itu terlihat dari bahasa tubuh sang gadis yang hanya diam membeku menatap intens kearahnya. Seperti menuntut sebuah penjelasan.
"Ayo buka mulutmu."
"..."
"Hey, ayolah jangan membuatku kesal. Ini masih pagi." Sedikit bercanda mungkin bisa mencairkan suasana. Tapi sepertinya tidak untuk hari ini. Karena tatapan yang gadis itu berikan kepadanya benar-benr penuh intimidasi.
Ia menyerah, lalu kembali meletakkan sendok penuh makanan tersebut diatas piring semula.
"Maaf karena aku tidak bisa datang tadi malam." mulainya dengan tatapan sendu membalas tatapan yang diberikan oleh gadis itu padanya.
"Aku punya pekerjaan tambahan dikantor dan benar-benar harus kuselesaikan hari itu juga. Kalau tidak, perusahaan bisa kacau. Aku sudah terlalu banyak meninggalkan pekerjaan akhir-akhir ini. Dan kalau boleh jujur, aku tidak ingin merugikan siapapun. Jadi, kemarin malam, ketika aku rasa aku harus melakukannya, aku lakukan sampai tuntas." tandasnya mantap.
Tatapan rembulan dihadapannya mulai mengendur, lalu ia mulai menunduk dalam.
"Hahaha sebagai gantinya kan aku datang pagi hari ini. Lagipula tadi malam ada Neji yang mengawasimu." sebelah matanya mengerling nakal, mencoba mengoda gadis yang kini mulai menunduk dalam tersebut.
"Hinata-chan, aku tegaskan sekali lagi bahwa ini bukan karena kesalahanmu. Ini hidupku, jadi aku berhak memutuskan dan menentukan pilihan." seperti bisa membaca pikiran gadis itu, Naruto membabat habis keraguan yang muncul dalam hati seorang Hyuuga dihadapannya. Ada kehangatan menjalari relung hatinya. Terlampau hangat malah, sampai-sampai gadis itu tidak sadar bahwa ia kini tersenyum dengan sangat bahagia kearah lelaki dihadapannya.
"Nah, kalau tersenyum begitu kan terlihat sangat cantik. Sekarang ayo buka mulutmu, Hinata-chan. Ada banyak gizi yang ingin masuk kedalam tubuhmu sekarang. Ayolaaah ~ Aaa..."
Naruto memperlakukan Hinata dengan penuh kebahagiaan. Gadis Hyuuga tersebut menurut, ia membuka mulutnya lalu mulai mengunyah makanan dengan sangat antusias. Senyuman dibibir mungilnya mengembang dan raut wajahnya berseri tanpa henti.
Lagi, lelaki itu berhasil menjadi titik cahaya terang dalam dunia gelapnya. Lagi, lelaki itu mampu mengembalikan senyumannya. Dan lagi, kamar yang minim akan cahaya itu selalu menjadi saksi bisu perjuangan gadis rapuh bernama Hyuuga Hinata.
*~Setitik Cahaya~*
"Kau kenapa?"
Lelaki dengan rambut panjang berwarna coklat itu kini mulai memijat kepalanya tanpa ampun. Dia benar-benar tidak tahu dengan apa yang harus dirinya lakukan sekarang ini.
Sai – lelaki pucat dengan gaya bicara dinginnya masih memperhatikan rekan kerjanya dengan seksama. Beberapa kali ia memberikan tatapan tajam mengintimidasi untuk sosok Hyuuga dihadapannya.
"Apa tentang gadis itu lagi?" tebaknya skak mat. Lelaki dengan permata rembulan yang sama dengan milik Hinata itu hanya bisa membawa kepalanya diatas meja kerjanya. Kalau boleh jujur ia sangat lelah.
"Kau itu, kalau menurutku sudah saatnya untuk tidak terlalu memberikan seluruh perhatianmu padanya. Aku mengerti niatmu itu baik, hanya saja cobalah berfikir kedepan. Kau juga punya kehidupan sendiri. Mau sampai kapan kau akan seperti ini terus? Usia kita sudah tidak muda lagi. Sudah saatnya kau memikirkan juga untuk masa depanmu. Apa yang kau khawatirkan? Hinata? Hey, ayolah. Dia sudah besar."
"Bukan itu, aku hanya takut jika seseorang yang akan menjadi takdirku nanti tidak bisa menerima kehadiran Hinata dalam keluarga kami. Aku tidak mungkin meninggalkan Hinata. Hanya tinggal dia satu-satunya keluarga yang aku miliki di dunia ini. Terlebih, dia adalah adikku. Walau keadaannya seperti itu, kurasa aku akan menjadi manusia paling kejam kalau meninggalkannya dalam kesendirian."
"Bukankah ada Naruto? Lagi pula kalian hanya sepupu. Aku rasa dengan meletakkannya di pusat rehabilitas tidak akan masalah. Selama dia ada disana, kau bisa bekerja dan membangun keluargamu sendiri. Kau bisa bekerja, lalu mengunjunginya jika ada waktu luang." Sai mulai kesal karena Neji selalu saja mengabaikan kehidupan pribadinya.
"Kalau aku bisa, sudah kulakukan sejak dulu. Hinata tidak bisa ditinggal berlarut-larut. Jika traumanya kambuh, dia bisa kehilangan kendali. Karena itu harus ada orang terdekat yang memantaunya. Selama ini, aku dan Naruto lah yang selalu mengawasinya. Kami bergantian melakukannya. Ketika malam datang, maka Naruto yang akan menemaninya dan menunggu sampai dia terlelap. Lalu ketika pagi hari datang, akulah yang akan ada disana menggantikan posisi Naruto. Dan hey, sepertinya kau lupa kalau Naruto juga punya kehidpuan pribadi. Terlebih, dia sangat sibuk mengurusi perusahaan besar yang ia bangun dengan jerih payahnya. Awalnya, aku saja merasa ragu kenapa dia mau meluangkan waktunya untuk Hinata. Aku pikir dia hanya ingin mengolok Hinata, tapi ternyata aku salah. Dia itu lebih tulus dari yang aku pikirkan." seringainya mengembang jelas, namun mendung dimatanya tak bisa ia sembunyikan. Ia benci dengan perasaan ini.
"Apa trauma Hinata masih belum sembuh juga? Maaf kalau aku terdengar sangat ingin tahu, tapi aku rasa ini sudah terlalu lama. Berapa tahun?"
"Tujuh tahun. Ya, Sudah tujuh tahun lebih Hinata ada dipusat rehabilitasi dan traumanya belum bisa menghilang sempurna. Sekarang usianya sudah 22 tahun. Seharusnya diusianya yang sekarang dia bisa mulai menata hidupnya, mulai memikirkan masa depan dan mencari pendampingnya nanti. Tapi kau tahu kan Sai, dengan keadaannya yang sekarang, dia tidak akan sanggup melakukannya."
Pandangan Neji tampak menerawang jauh. Harapannya benar-benar besar agar Hinata bisa hidup normal.
"Apa semakin bertambah parah? Tidak ada kemajuan?" tanya Sai sedikit prihatin.
"Ada, Sai. Ada sedikit kemajuan. Tapi kau tahu, ketika satu kemajuan terjadi maka ada kemunduran lain yang juga terjadi. Dan aku tidak tahu harus bagaimana dengan semua ini." Mata miliknya memanas, ada cairan menggenang disana. Beberapa kali ia menarik nafas untuk mengontrol dirinya.
"Maksudmu?"
"Apa kau sudah tahu apa yang menyebabkan Hinata trauma berat hingga detik ini?"
"Aku ti-tidak yakin. Aku hanya pernah dengar kalau Hinata trauma karena kecelakaan tujuh tahun lalu. Hanya itu saja."
Neji menyeringai perih. Ingatannya kembali pada masa menyakitkan kala itu. Dan seiring dengan dentingan waktu yang bergulir, kembali ia harus mengingat dan membuka kembali kenangan pahit masa lalu yang menyebabkan sepupunya menjadi seperti sekarang ini.
"Pamanku, Hiashi Hyuuga dan keluarganya saat itu berencana untuk mengunjungi kami di Tokyo. Perlu waktu tiga jam untuk sampai di kediaman keluargaku jika menggunakan jalur darat. Mereka pergi menggunakan mobil. Beberapa menit sebelum kejadian mengerikan itu, ayahku bilang hanya sekitar satu jam lagi saja sampai mereka mencapai kediaman kami. Aku sangat senang waktu itu karena akhirnya kami bisa berkumpul lagi setelah berpisah cukup lama. Waktu itu usiaku 18 tahun. Karena itu aku bisa mengingat semuanya dengan sangat jelas." Neji menarik nafas dalam. Rasanya begitu berat menceritakan kejadian pilu tersebut.
"Hinata, saat itu dia berusia 15 tahun. Kami menunggu kedatangan mereka, dan ibuku sudah menyiapkan banyak makanan, minuman, kamar, dan segalanya. Awalnya semua baik-baik saja, sampai tidak tahu bagaimana akhirnya ayahku mendapat telepon dari rumah sakit. Aku tidak mengerti apa yang terjadi saat itu, tapi ayah menyuruh agar kami segera bergegas kerumah sakit. Ternyata, ketika kami sampai, semuanya..."
Neji menghentikan ceritanya. Airmatanya menggenang dengan jelas. Lelaki itu mencoba terlihat kuat lalu mengusap airmata miliknya dengan agak kasar.
"Aku tidak tahu keajaiban macam apa yang terjadi dengan Hinata. Dia satu-satunya orang yang tidak mengalami luka sekecil apapun pada kecelakaan itu. Tapi sebagai gantinya dia harus melihat kejadian paling mengerikan yang pernah ada. Dia harus melihat orang tuanya melindunginya dari segala macam yang bisa membuatya mati seketika. Ibunya memeluk mereka berdua dan membiarkan dirinya terjepit mobil yang sudah tidak berbentuk lagi. Hinata selamat tapi tidak dengan Hanabi."
Sai menunduk dalam. Dia tidak tahu bagaimana jadinya jika dirinyalah yang harus berada diposisi Hinata.
Suasana hening, namun detik berikutnya Neji kembali melanjutkan ceritanya.
"Saat kami datang kerumah sakit, Hinata hanya diam dan meringkuk disudut ruangan sambil melihat tubuh keluarganya yang sudah penuh dengan darah. Tubuhnya pun penuh dengan darah waktu itu. Dia hanya diam dan sama sekali tidak menangis. Berkedip saja tidak. Tapi tatapannya sama sekali tidak bisa lepas dari tubuh-tubuh tak bernyawa dihadapannya-"
"Dia benar-benar terguncang hebat. Tidak mau melakukan apapun dan hanya mengurung diri selama berminggu-minggu dikamar. Singkat cerita, ia tinggal dengan keluargaku. Awalnya kami pikir dia baik-baik saja, tapi ternyata kami salah. Tanpa kami tahu ternyata selama minggu-minggu yang berlalu itu dia sama sekali tidak pernah membuka jendela kamarnya, tidak menghidupkan lampu, tidak mau keluar kamar dan selalu meringkuk disudut kamar. Hinata hanya menghabiskan waktunya dalam keadaan kamar yang remang bahkan gelap."
"A-apa? Kau serius? Lalu bagaimana dengan makanannya? Maksudku, dia juga butuh makan. Bagaimana mungkin dia bisa begitu?"
"Ibuku sudah membujuknya sekuat tenaga, tapi dia benar-benar tidak mau keluar. Sampai akhirnya aku membuat keputusan untuk meletakkan makanan didepan kamar miliknya. Terkadang, ia akan membuka kamar lalu menyentuh makanannya tapi terkadang ia tidak menyentuh makanannya sama sekali."
Sai masih diam terpaku. Ternyata trauma yang dihadapi oleh Hinata benar-benar sangat parah.
"Kami sangat terkejut ketika Hinata tiba-tiba saja berteriak ketakutan. Ia menjerit sejadi-jadinya dan selama beberapa minggu, itu adalah suara pertama yang ia keluarkan. Hinata menjerit ketakutan dan jujur kami sangat kebingungan waktu itu. Aku yang kebingungan akhirnya memutuskan untuk mendobrak pintu dan disana kami menemukan keadaan Hinata yang benar benar menyedihkan. Tubuhnya kurus, matanya bengkak, dan rambutnya sangat kusut. Akhirnya ayahku menggendongnya keluar kamar secara paksa. Bukannya menjadi normal, ia malah semakin bertambah parah serta meronta minta dilepaskan. Aku dan ayah menjadi korban cakarannya, tapi itu tidak masalah. Sementara ibuku sudah menangis tak karuan. Waktu itu Hinata sama sekali tidak membuka matanya. Dia memeluk ayahku erat dan sangat ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat dan dia keringat dingin. Akhirnya kami membawanya kerumah sakit. Dokter menyarankan agar ia dikirim ke pusat rehabilitas karena positif mengalami trauma berat."
"Lalu? Bagaimana setelah itu?"
"Ternyata dia sangat takut dengan terang. Karena itu dia selalu mengurung diri dalam gelap. Mungkin karena dia menyaksikan semua kejadian waktu itu dengan sangat nyata." Neji kembali memijat dahinya. Rasa sakitnya sekarang benar-benar berkali lipat.
"Lalu Naruto, bagaimana dia bisa mengenal Hinata?" Sai mulai penasaran dengan semua yang terjadi tentang keluarga Hyuuga tersebut.
"Naruto itu temanku sejak kecil. Bisa dibilang dia itu juga sahabatku. Tempo hari dia melihatku sering pergi keluar rumah. Entah bagaimana jadinya, karena penasaran dia mengikuti keluargaku saat akan mengunjungi Hinata. Dan aku pun tidak tahu bagaimana sampai akhirnya tanpa sepengetahuanku dia menjadi mengenal Hinata. Mungkin ada satu titik lengah dimana aku tidak bisa ada untuk Hinata, dan Naruto menggantikan posisiku untuk menjaganya." senyumnya sedikit terukir ketika mengingat akan hal itu.
"Apa sampai sekarang pun Hinata masih sering berteriak ketakutan?"
"Tidak."
"Ah, apa itu artinya Hinata sudah mulai bisa mengendalikan emosinya?"
"Tidak, bukan begitu Sai. Satu kemunduran terjadi diiringi dengan satu kemajuan. Hinata tidak bisa berteriak lagi."
"Maksudmu?"
"Dia seperti menjadi bisu dan sulit berbicara."
*~Setitik Cahaya~*
Hinata masih terdiam didalam kamar kecil tempat ia dirawat. Beberapa menit yang lalu Naruto baru saja pergi dan itu artinya dia benar-benar sendiri sekarang. Neji, pun ia belum kembali sejak tadi. Gadis itu meringkuk diatas tempat tidur sambil memeluk lutut kecilnya. Diam adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Terasa sangat sunyi. Kalau boleh Jujur, dirinya sangat merasa kesepian kalau sudah seperti ini. Toh tapi dia tak boleh memaksakan kehendaknya agar orang-orang itu selalu ada disekitarnya.
Kamarnya masih remang. Ini sudah menjelang sore hari. Wajah kecilnya ia arahkan untuk menatap lampu yang bertengger diatas langit-langit kamar tersebut. Satu keinginan kecil mencuat dalam hatinya. Ia ingin menghidupkan lampu tersebut, tapi takut kalau dirinya akan terkejut nanti.
Selama ini, Naruto adalah orang yang mengajarinya untuk membiasakan diri dengan sekitar serta selalu mendesaknya agar menjadi berani. Sementara Neji lebih kepada memberikannya dorongan kepercayaan dan kesembuhan secara mental. Dan kemajuan pesat yang terjadi sekarang ini adalah ketika ia mampu membiasakan diri dengan biasan cahaya lampu untuk matanya. Namun untuk cahaya matahari dan terang alami yang tercipta diluar sana, gadis itu masih belum mampu menghadapi itu semua. Bisa membiasakan diri dengan cahaya lampu saja itu sudah benar-benar kemuajuan hebat yang baru beberapa bulan ini saja bisa ia lakukan. Namun Hinata masih merasa ragu dengan kemajuannya itu, karena sejauh yang ia rasakan, rasa sakitnya akan datang ketika begitu banyak cahaya yang memenuhi ruangannya.
Tangan lentiknya mulai ia bawa untuk menyentuh rahang miliknya. Rasanya begitu sakit dan kaku. Dia benar-benar kesulitan berbicara sekarang. Rasanya sungguh tidak nyaman ketika akan berkomunikasi yang bisa ia lakukan hanyalah dengan memberikan isyarat atau menulis beberapa hal tersebut diatas kertas.
*~Setitik Cahaya~*
"Naruto, kau dimana?" nada bicaranya menunjukkan bahwa lelaki itu sedang merasa sangat frustasi saat ini. Beberapa kali ia menarik nafas dalam sekedar untuk mengontrol dirinya.
Lelaki diujung telepon sana hanya mengerutkan dahinya dengan parah. Detik berikutnya ada ketakutan terselip dalam benaknya. Neji tak pernah menjadi sepanik ini jika dalam keadaan normal. Sesuatu pasti telah terjadi dan ia benar-benar sangat khawatir sekarang.
"Naruto?"
"Ah ya, aku sedang berada diluar. Ada apa?" Naruto semakin bingung dengan keadaan dan tindakan yang harus dirinya lakukan sekarang.
"Hinata! D-dia, sepertinya trauma dan ketakutannya kambuh lagi. Sejak tadi dokter dan perawat sudah mencoba menenangkannya. Suntikan telah dilakukan tapi dia masih belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Dia, aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi dengannya. Tapi kumohon datanglah Naruto. Cuma kau yang bisa menenangkannya. Aku tidak sanggup melihatnya meronta seperti itu. Terlebih dia tak bisa mengeluarkan suaranya. Kau tahu itu akan terasa sangat menyakitkan."
Naruto masih tetap diam. Ia harus memilih diantara dua pilihan. Haruskah berbalik arah untuk menenangkan Hinata dengan segera dan meninggalkan seseorang yang harus ia temui atas perintah ibunya, atau mungkin lebih memprioritaskan hal yang menjadi amanah dari sang Ibu.
Naruto berkutat agak lama dengan pikirannya. Dia sampai tidak fokus menyetir. Tapi lelaki itu tahu bagaimana menyedihkannya Hinata kalau traumanya sedang kambuh. Karena itu dia lebih memilih untuk menjatuhkan hatinya pada pilihan pertama. Secepat kilat tangan kekarnya memutar balik arah dan mobil melaju dengan sangat cepat.
Jujur, hatinya menjerit ketakutan karena Hinata saat ini. Takut-takut kalau keadaan terburuk terjadi. Mungkin ia tak akan mampu memaafkan dirinya sendiri jika apa yang telah ia bayangkan saat ini menjadi kenyataan.
"Naruto, tolonglah. Aku mohon padamu. Dokter sudah dua kali mencoba menenangkannya melalui suntikan obat. Aku takut itu bisa menjadi dampak lebih buruk untuknya. Dia masih belum mau bangkit dari posisi awalnya. Mereka kesulitan, karena tiap kali lampu dihidupkan Hinata kembali meronta."
"Bodoh! Suruh mereka berhenti melakukannya. Sudah berapa kali ku katakan padamu! Selagi dia masih bisa tenang tanpa bantuan obat-obatan sialan itu, lebih baik menggunakan cara itu! Sudah ku katakan berulang-ulang tapi kenapa kau tidak mau dengar dan hentikan mereka?"
"Aku tidak bisa melakukannya. Hinata sering seperti ini. Tapi menurutku ini adalah yang paling mengerikan. Biasanya dia akan tenang jika sudah disuntik dengan obat penenang walau hanya sekali. Tapi kali ini, demi apapun aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Tolonglah Naruto, aku rasa dia sangat membutuhkanmu." suara Neji terdengar semakin parau dan frustasi.
"Bagaimana mungkin dia meronta sampai seperti itu? Apa yang terjadi dengan Hinata? Aku yakin dia sudah bisa membiasakan diri dengan cahaya lampu! Lalu apa yang terjadi dengannya sekarang? Kenapa kau tidak becus mengawasinya!" Naruto juga mulai kalut. Tapi apa yang dikatakan Naruto memang ada benarnya. Beberapa hari ini pengawasan Neji akan Hinata benar-benar mengendur secara drastis.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku benar-benar tidak tahu. Dan aku pun, rasanya ingin menyerah dengan semua ini."
"NEJI, APA YANG KAU KATAKAN! BERANINYA KAU BICARA SEPERTI ITU! KUBUNUH KAU!"
Lelaki Hyuuga itu merasa bahwa ini adalah titik puncak kelelahannya. Akal sehatnya seperti sudah menemui kebuntuan.
"Neji, kau dengar aku?"
"Hei Neji!"
"Ne..."
Naruto masih mengamuk dari sana. Neji lebih memilih untuk menyandarkan bahunya tepat didepan kamar Hinata. Seluruh tubuhnya benar-benar sudah sangat lemas. Bahkan untuk berdiri saja ia sudah tak kuat.
Sambungan telepon masih belum terputus, namun lelaki itu sudah tak lagi mendengarkan ucapan sahabatnya. Sedikit bersandar mungkin bisa menenangkan fikirannya. Neji merasa sangat kacau hingga hal berikutnya yang terjadi adalah airmata miliknya kembali menganak sungai.
"Paman Hiashi, tolong beritahu aku apa yang harus kulakukan? Aku ingin menyudahi semua ini. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Hinata."
"Maaf, aku benar-benar minta maaf."
*~Setitik Cahaya~*
Lelaki dengan surai blonde itu masih berlari dengan sangat cepat. Dadanya naik turun dan terlihat semakin jelas kala ketakutan semakin merajai hatinya. Disatu sisi ia mengutuk pusat rehabilitas tempat Hinata dirawat karena berukuran sangat luas.
Lagi, ia memacu langkah lebarnya. Peluh miliknya tampak terlihat sangat jelas. Ada begitu banyak masalah yang dihadapinya hari ini. Dan setelah ini pun, dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Ibunya dan menjelaskan semuanya. Dirinya benar-benar sudah membatalkan acara yang telah dirancang dengan sempurna dan susah payah oleh sang Ibu. Entah bagaimana akhirnya nanti pun Naruto tidak akan peduli. Yang terpenting baginya saat ini Hinata bisa kembali pada kondisi normal.
Nafasnya memburu – sedikit mengambil nafas dalam, ia lantas menerjang begitu cepat ruangan kecil milik Hinata. Mata biru lautnya sempat menatap tajam kearah Neji yang sudah tertunduk lemas didepan kamar tersebut seperti manusia tak bernyawa. Setelah ini dia akan buat perhitungan dengan Neji, itu pikirnya.
Naruto berdiri dengan mantap diambang pintu. Keadaan kamar Hinata masih sama seperti biasa – remang. Beberapa perawat mencoba untuk menenangkannya, tapi gagal. Bahkan Kurenai sensei pun sampai benar-benar kewalahan kali ini. Hinata tidak mengeluarkan sepatah katapun, tapi dia terus meronta, menangis, ingin berteriak tapi tidak bisa. Terlebih rambut panjang nya yang biasa terlihat sangat indah itu kini kusut tak berbentuk lagi.
Yang ia lakukan hanyalah meringkuk disudut kamar. Keadaannya benar-benar sangat menyedihkan. Naruto sampai harus membuang pandangannya kearah lain untuk beberapa detik sekedar untuk menguatkan mentalnya. Rasa sakit kembali menyerang dadanya.
Kamar kecil itu terlihat seperti tempat barang pecah belah. Semuanya berantakan tidak pada tempatnya. Kurenai sensei sedikit memberikan senyum lemah ketika melihat kedatangan Naruto. Dokter cantik itu menghembuskan nafas lelah, lalu mulai menggelengkan kepalanya. Hinata benar-benar tidak bisa diajak kompromi.
Seperti mengerti akan isyarat yang ditunjukkan oleh lelaki itu, Kurenai sensei lantas menganggukan kepalanya dan kemudian menyuruh agar semua perawat keluar dari ruangan Hinata. Semuanya mengerti dan meninggalkan ruangan kecil itu tanpa suara.
Naruto menutup pintu ruangan dengan perlahan. Masih membiarkan keadaan remang tercipta disana.
Untuk sesaat ia kembali menarik nafas dalam lalu mulai melangkah kearah Hinata.
Hinata tampak semakin memeluk lututnya erat ketika mendengar langkah kaki yang kini mengarah kearahnya. Gadis itu gemetaran hebat.
Tubuh jangkung milik Naruto mulai ia sejajarkan dengan Hinata yang masih ketakutan parah. Lelaki itu seperti sudah hapal dengan hal yang harus ia lakukan. Sejujurnya, menenangkan Hinata yang seperti ini pun sudah menjadi kebiasaannya sejak beberapa tahun terakhir. Tapi menurutnya ini keadaan terparah dari kondisi gadis itu.
Naruto masih diam ditempatnya dan memperhatikan Hinata yang kian hari semakin bertambah kurus.
"Hinata-chan..."
Satu nama meluncur mulus dari bibir milik lelaki tampan itu. Panggilan yang terdengar sangat hangat. Biasanya Hinata akan berhenti bergetar jika namanya sudah dipanggil seperti itu. Tapi tidak untuk kali ini. Bukannya berhenti bergetar, malah dirinya semakin menangis menjadi-jadi.
"Hinata-chan, ini aku. Ada apa denganmu? Kenapa sampai seperti ini?" Naruto kembali mendekatkan jaraknya dengan Hinata. Lagi-lagi respon yang diberikan gadis itu berbeda. Hinata malah semakin meringkuk ketakutan diujung dinding yang dingin itu. Ada rasa sakit di hati Naruto ketika mendapatkan penolakan kecil dari sang Hyuuga.
Dia tidak boleh menyerah. Dia harus kembali menenangkan gadis itu.
Jarak mereka benar-benar sangat dekat. Hinata masih enggan menunjukkan wajahnya, tapi Naruto bersumpah bahwa hatinya seperti ditusuk oleh ribuan jarum berkarat ketika mendengar isakan tertahan gadis itu. Andai Hinata bisa berbicara, mungkin rasa sakitnya bisa sedikit berkurang. Tapi ini, dia tidak bisa melakukannya.
Lelaki itu mengarahkan tangannya lalu mulai membelai lembut surai panjang sang gadis dengan penuh kehati-hatian. Kali ini, Hinata hanya diam mendapatkan perlakuan demikian. Dengan penuh sayang Naruto membelai kepala Hinata kemudian lantas mencoba untuk membenarkan rambut kusut yang sudah tak berbentuk lagi.
"Apa kepalamu masih terasa sakit?" Naruto kembali bertanya. Lagi-lagi Hinata tak merespon. Lelaki itu tahu bahwa ketika sudah dalam keadaan seperti ini yang menjadi pusat kesakitan bagi Hinata adalah kepalanya. Karena itu Hinata sering sekali tak bisa menahan rasa sakitnya.
Gadis itu diam. Namun dinamika tangisannya sudah mulai berkurang.
"Hinata, ayo angkat wajahmu dan beritahu aku dimana rasa sakitnya. Apa kau merasa sakit dibagian tubuh lainnya?" Lelaki itu memohon dengan sangat. Pandangannya sudah mulai mengabur. Hinata, gadis itu benar-benar terlihat sangat terluka.
"Hinata-chan... kau dengar aku kan?"
"..."
Tubuh Hinata mulai melemas. Rasa lelah dan efek obat penenang yang sudah diberikan mungkin baru berdampak sekarang baginya.
Naruto kembali mendekatinya dengan perlahan. Lengan kekarnya kini ia gunakan untuk menangkup secara penuh kepala kecil milik gadis itu lalu mulai membawa tubuh ringkih tersebut dalam pelukannya. Hinata diam tanpa ada sedikitpun perlawanan.
Hinata berada dalam pelukannya dengan sempurna. Biasanya juga akan berakhir seperti ini.
Gadis itu melemah dan rasa lelah benar-benar menguasai seluruh tubuhnya. Naruto menepuk kepala Hinata dengan perlahan. Membelainya penuh dengan kasih sayang, agar Hinata merasa tenang dengan semua itu.
Setelah dirasa Hinata benar-benar tenang, barulah dirinya mengangkat tubuh kurus itu dan lantas meletakkannya diatas tempat tidurnya. Hinata mencengkram kuat bagian depan kemeja milik Naruto dan menyembunyikan wajahnya jauh disana. Gadis itu menangis tanpa suara. Ini benar-benar dilaur dugaannya. Biasanya Hinata akan tertidur lelah kalau sudah mengamuk seperti tadi. Tapi kali ini, gadis itu malah lebih banyak menangis dan menangis.
Meletakkan tubuh Hinata diatas kasur, Naruto kemudian menarik kursi untuk ia duduki. Hinata masih tetap diam dan tatapannya kosong seperti tak bernyawa.
Melihat lurus kearah langit-langit adalah hal yang paling utama ia lakukan saat ini. Walau demikian, airmatanya tidak bisa berhenti sejak tadi.
"Hinata, kau kenapa? Kenapa bisa sampai seperti ini?"
Tak ada jawaban. Tak ada respon. Gadis itu benar-benar terlihat sepeti mayat hidup.
"Aku tahu siapa kau, Hinata-chan. Apa ada yang mengusikmu sampai-sampai kau menjadi seperti sekarang, hah?"
"..."
"Hinata-chan, jangan menatap kosong seperti itu. Kau membuatku ketakutan." Naruto mencoba untuk mengalihkan pandangan Hinata tapi usahanya percuma.
"..."
"Hinata, tolong respon pertanyaanku. Setidaknya berikan aku isyarat agar aku mengerti."
Gadis itu seperti menjadi tuli. Air matanya berjatuhan tanpa kendali. Hingga pada dentingan waktu berikutnya ia menutup matanya rapat dan meninggalkan berjuta pertanyaan dibenak lelaki yang sangat setia berada disampingnya tersebut. Gadis itu lelah. Terlebih, rasa sakitnya tidak mampu ia tahan.
Mungkin terlelap dapat membuatnya menjadi lebih baik untuk sementara waktu.
.
.
.
TBC
Minnaaaaa :"D gomen saya datang seperti hantu yang hilang-hilang timbul tenggelam (?)
Sebenarnya sejak awal gak ada persiapan sama sekali untuk ikutan event ini. Tapi berhubung ini perayaan NHTD tahun kelima, dan saya sangat suka dengan angka lima, akhirnya berusaha tunggang langgang, ngayal sana sini untuk bisa dapatkan ide, mendaki gunung lewati lembah sehingga terciptalah fic abal ini. Heheh as simple as that :") I love 5!
Gomen kalau idenya pasaran. Gomen juga kalau ketidakjelasan melayang-layang. Jujur untuk menentukan judul pun saya merasa sangat kesulitan. Hikssss :"""
Saya sadar banyak kesalah disana sini. Ini fanfic pun buatnya ngebut banget. Takut gak terkejar, tapi pingin ikutan, alhasil galau 3 hari 3 malam (lebay ih!)
Awalnya mau buat fic ini dalam satu chapter doang. Eh ternyata setelah melalui pertimbangan panjang, diputuskan kalau ini fic bener-bener gak bisa dibuat dalam satu chapter karena bakalan banyak yang terlewat T.T
Oke, akhir kata saya akan berusaha publish kelanjutannya sebelum/diakhir waktu yang telah ditentukan. Semoga saya sanggup menghadapi semua ini (lebay lagi kan)
Kritik dan saran sangat dibutuhkan. Saya memang sangat membutuhkan bimbingan. Terima Kasih banyak sebelumnya :") hehehe
RnR yaaaak hihihi
-Lichan-
