BLIND DATE?

by RyeoTa Hasu

(Original Story by AliaZalea)

Cast :

Lee Sung Min (27-28 y.o)

Cho Kyu Hyun (35 y.o)

Lee Hyuk Jae aka Eunhyuk (25 y.o) as Sungmin's younger brother

Park Jung Soo aka Leeteuk (26 y.o) Sungmin's Blind Date Agent

Kim Jung Mo (32 y.o) as Sungmin ex. Boyfriend

Cast lain menyusul

Disclaimer :

This original story is fromBlind Date Novel by AliaZalea

Hasu hanya me-remake-nya dengan Kyumin sebagaimain Castdengan beberapa perubahan dan penyesuaian

Kyumin dan Cast lainnya milik Tuhan YME, Orang tua dan Agensi

Hasu hanya meminjam namanya untuk kepentingan cerita

Rate :

T

Warning :

Boy's Love / YAOI, OOC, MPREG, hurt/comfort, Typo menjamur

.

.

DON'T LIKE? DON'T READ!

MAKE IT SIMPLE

HAPPY READING ^.^

.

.

PROLOG

o.o.o.o.o.o.o.

.

.

(Sungmin POV)

.

Hal pertama yang aku sadari adalah... aku sedang dalam keadaan di antara alam sadar dan tidak sadar.

Aku dapat mendengar bunyi bip... bip... bip... yang konstan dan terus-menerus, seperti bunyi air menetes dari keran yang tidak ditutup rapat.

Bunyi itulah yang membangunkanku.

Aku mencoba untuk mengatakan sesuatu dan meminta seseorang agar menutup keran itu, tetapi lidahku terasa berat dan kelu. Aku mencoba membuka mataku, usaha yang juga tidak membuahkan hasil.

Kutenangkan diriku dan berusaha membuka mataku sekali lagi. Kali ini aku berhasil membukanya sedikit, tetapi aku harus segera menutupnya kembali karena ada sinar terang yang tiba-tiba membutakan penglihatanku.

Ketika mataku tertutup lagi, aku baru sadar bahwa ada sesuatu yang menempel pada hidungku dan membuatku sulit bernapas.

Sekali lagi kubuka mataku, tetapi kini lebih perlahan.

Awalnya semuanya terlihat buram, namun akhirnya aku dapat menangkap warna dinding di hadapanku.

Putih keabu-abuan.

Bunyi bip... bip... bip... yang tadi ku dengar menjadi semakin keras.

Bunyi itu ternyata berasal dari sebuah mesin di sebelah kiriku. Garis hijau pada layarnya melonjak-lonjak setiap detik, menunjukkan aku masih hidup.

Di mana ini? Jelas ini bukan di apartemenku.

Aku sadar, aku terbaring di atas tempat tidur yang biasanya ada di rumah sakit.

Rumah sakit? Aku di rumah sakit?!

Otakku berteriak, tetapi aku tidak mendengar ada suara yang keluar dari mulutku.

Mengapa aku bisa ada di sini?

Aku mendengar suara air dituang ke gelas. Tiba-tiba aku jadi merasa sangat haus.

Aku mencoba menelan ludah dan membasahi kerongkonganku, tetapi mulutku terasa bagai ada pasirnya sehingga aku harus bersusah payah untuk menghasilkan air liur. Ketika mulutku sudah terasa sedikit basah, kugerakkan lidahku untuk membasahi bibirku.

Samar-samar aku bisa mendengar suara orang yang berbicara, tetapi aku tidak bisa mendengar dengan jelas siapa yang berbicara dan apa yang dibicarakan.

Kualihkan perhatianku untuk mengenali sekelilingku.

Ada jendela besar di sebelah kananku, dan rangkaian mawar merah muda, bunga favoritku, di atas satu-satunya meja yang bisa aku lihat.

Aku tidak bisa memastikan waktu yang tepat pada saat ini.

Sinar matahari yang masuk dari sela-sela tirai vertikal berwarna putih menunjukkan antara waktu siang atau sore, yang jelas bukan malam.

Perlahan kuangkat tangan kiriku dan terasa ada jarum menusuk pergelangan tanganku. Jarum infus.

Ada selang yang menghubungkan pergelangan tanganku itu dengan sebuah kantong cairan infus yang digantung pada tiang besi di samping tempat tidurku.

Ketika aku sedang menggerakkan tangan kananku untuk mencabut jarum itu dari pergelangan tangan kiriku, tiba-tiba aku mendengar suara orang berbisik, "He's awake."

Kualihkan tatapanku dari lenganku ke arah seorang wanita berambut pirang, yang dari pakaiannya menunjukkan identitasnya sebagai seorang perawat.

Tiba-tiba kulihat wajah Hyukkie, adikku, yang terlihat cemas. Kemudian dia tersenyum lebar karena melihatku sudah sadar dan buru-buru berjalan menghampiriku.

Perawat itu kemudian berdiri di sebelah kiriku dan menggenggam pergelangan tanganku.

"How are you feeling?" tanyanya kepadaku, masih dengan suara berbisik.

Aku sebetulnya ingin berteriak kepadanya agar mencabut jarum infus yang terasa menusuk-nusuk lenganku, tetapi yang keluar dari mulutku justru, "Wah... teh."

Kata yang ingin aku ucapkan adalah water, tetapi lidahku tidak bisa bekerja sama.

Untungnya perawat itu langsung memahami apa yang aku inginkan. Dia segera menyodorkan satu gelas plastik air putih dengan sedotan di dalamnya.

Aku berusaha mengangkat kepalaku sedikit agar bisa minum melalui sedotan yang bisa dibengkokkan. Eunhyukkie yang melihat apa yang sedang coba kulakukan membantuku dengan menopang kepala dan bahuku. Perawat itu tetap memegang gelas di hadapanku. Pelan-pelan cairan dingin mulai membasahi kerongkonganku. Aku baru berhenti minum ketika gelas itu sudah kosong.

"Do you want more?" bisik perawat itu, setelah menyingkirkan gelas kosong dari hadapanku.

Aku menggeleng kaku dan menyandarkan kepalaku kembali ke bantal.

" I will telling to Doctor Smith that you are awake." Perawat itu lalu menghilang dari pandanganku setelah mengangguk kepada Eunhyuk.

Eunhyuk kemudian duduk di atas tempat tidur di sebelah kananku. Dia tersenyum sendu. Sejujurnya aku ingin bertanya, 'Aku ada di mana?'

Ketika aku mencoba berkata-kata, yang keluar dari mulutku hanya, "Gu...," dan aku kemudian terbatuk-batuk.

Eunhyuk buru-buru menuangkan air ke gelas plastik yang tadi, dan memintaku minum lagi hingga habis. Wajahnya terlihat khawatir.

"Jangan memaksakan diri Minnie hyung. Lebih baik Hyung kembali beristirahat. Kita bisa bicarakan nanti," katanya dengan suara agak bergetar dan menyingkirkan gelas kosong itu dari hadapanku.

Aku perhatikan Eunhyuk yang terlihat cukup tenang, tetapi aku tahu sebetulnya dia panik.

Aku bisa melihat kepanikan itu di matanya.

Aku mencoba tersenyum agar bisa menenangkannya.

Kusentuh benda yang menempel pada hidungku, yang ternyata adalah selang pernafasan. Jadi ini yang membantuku agar bisa bernafas dengan mudah.

Eunhyuk menggenggam tanganku dan menjauhkannya dari selang itu.

"Kita tunggu Uisanim datang. Jika beliau mengatakan Hyung sudah membaik, kita bisa melepasnya," jelasnya.

Setelah yakin aku tidak akan menarik selang tiu dari hidungku, Eunhyuk melepaskan genggamannya dari tanganku. Dia kemudian mengelilingi tempat tidur dan menyingkap tirai kain putih di sebelah kiriku.

Ketika aku menoleh, kulihat kami tidak sendirian.

Ada seseorang yang sedang tidur di atas sofa. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi yang jelas sofa itu tidak bisa menampung tubuhnya yang tinggi besar sehingga kedua kakinya menjulur keluar dari salah satu sisi sofa.

Melihatku memusatkan perhatian kepada orang yang tertidur di sofa itu, Eunhyuk berbisik, "Dia tidak ingin pulang, padahal sudah aku katakan aku bisa menjaga Minnie Hyung sampai dia kembali lagi kesini."

Eunhyuk tersenyum ketika mengatakannya. Suaranya terdengar lebih pasti, dan dari balik matanya aku bisa melihat ada kehangatan di situ.

Siapa orang itu?

Aku menarik napas panjang ketika tiba-tiba beberapa hal mulai melintas kembali dalam memoriku.

.

(Flashback)

.

Aku sedang mengendarai mobilku dengan kecepatan tinggi dari kantorku menuju Raleigh. Hal ini tentu saja sangat berbahaya mengingat kondisi jalan yang licin akibat hujan rintik-rintik yang jatuh selepas salju tadi malam. Aku tahu, ada kemungkinan aku akan terlambat dan dia sudah pergi.

Aku tidak akan bisa memaafkan diriku kalau itu terjadi.

Kupaksa Mobilku menembus angka 145 km per jam. Mesin mobil yang berusia hampir sepuluh tahun itu langsung protes atas perlakuan kejamku, tetapi untuk pertama kalinya aku tidak peduli.

Kulihat masih ada beberapa bongkahan es yang tersisa di pinggir jalan.

Musim dingin tahun ini benar-benar parah di North Carolina. Salju yang turun bahkan mencapai enam puluh senti. Belum lagi hujan es yang turun berkali-kali selama beberapa minggu belakangan ini membuat angin terasa menggigit jika bertiup dan mengenai bagian tubuh yang tidak tertutup baju dingin.

Kuikuti tanda lalu lintas, yang menyatakan Airport Raleigh-Durham masih 1,6 km lagi. Aku segera mengambil jalur kanan, keluar dari jalan interstate itu dengan tidak mempedulikan bunyi klakson mobil yang jalurnya aku potong dengan paksa. Roda mobil agak tergelincir sedikit ketika kubanting setir, tetapi aku tidak mengurangi kecepatan pada saat melewati tikungan.

Andai saja aku tidak lupa membawa ponselku!

Karena terlalu terburu-buru, benda itu tertinggal di kantor. Tapi seandainya pun aku membawa ponselku, rasanya tidak akan bisa membantuku.

Apa yang akan aku katakan?

I'm sorry for being so stupid, for thinking that you would leave me?

Atau,

I love you, please tell me that you love me too?

Kata-kata itu tidak bisa menggambarkan perasaanku yang sebenarnya.

Aku tidak bisa bernapas jika dia tidak ada.

Jika aku mencoba melihat masa depanku tanpanya, semuanya terlihat suram. Diriku tanpanya bagaikan satelit, yang planetnya telah hancur karena bencana alam besar, meninggalkanku melayang-layang tanpa arah.

Mengapa aku terlalu bersikeras bahwa dia tidak mencintaiku hanya karena terpengaruh kata-kata orang yang telah membuat hatiku remuk? Dia tidak akan meninggalkanku seperti yang aku takutkan selama ini.

Seharusnya aku mempercayainya!

Bunyi klakson membangunkanku dari lamunan, ternyata aku sudah memasuki area airport. Aku harus mengangkat kakiku dari pedal gas karena batas kecepatan di area ini hanya 48 km per jam. Aku tidak punya waktu jika harus ditilang hari ini.

Setelah memarkir mobil, aku langsung berlari menuju bangunan terminal. Aku harus sedikit menunduk dan memeluk tubuhku ketika berlari karena angin kencang sedang bertiup, dan aku hanya mengenakan celana bahan dan sweater turleneck warna pink, yang terbuat dari cashmere.

Aku tidak sempat mengenakan jaket, topi ataupun sarung tangan.

Aku baru bisa bernapas lagi setelah tubuhku terasa hangat di dalam bangunan terminal.

Aku mengamati lokasi keberangkatan mencari counter check-in penerbangan Delta Airlines.

Kusempatkan melirik ke layar informasi keberangkatan pesawat. Pada layar terlihat status pesawat yang aku cari adalah LAST CALL. Panik karena tahu aku sudah terlambat, aku berlari menuju counter check-in Delta terdekat dan berbicara dengan ground crew-nya. Aku memotong beberapa orang yang sedang antre.

"Can you... contact your passenger... who is on the flight to JFK?" tanyaku terputus-putus di antara napasku yang masih terengah-engah.

Entah karena melihat wajahku yang panik atau karena tatapanku yang seperti orang gila, seorang penumpang yang sudah siap check-in mundur satu langkah dan memberikan aku ruang untuk berbicara lebih dekat dengan ground crew bernama Kate, yang menerima berondonganku dengan wajah pasrah.

"Thank you, Sir," ucapku, berterima kasih kepada seorang pria dewasa yang rela mundur dan memberikan aku ruang untuk melangkah lebih dekat dengan meja check-in.

Melihat bahwa penumpang yang sedang dilayaninya tidak marah walaupun antreannya aku potong, Kate pun segera menolongku.

Dia menanyakan nomor penerbangan dan nama penumpang yang aku cari. Aku menjawabnya tanpa berpikir lagi. Kudengar Kate berbicara dengan seseorang menggunakan walkie-talkie.

Dalam kepanikanku, aku hanya bisa menangkap kata-kata 'departure' dan 'gate' yang diulang-ulang.

Kate kemudian menatapku dan menggeleng. "I'm sorry, Madam, but the gate's closed. The plane is heading for the runway as we speak."

Daerah di sekujur tubuhku membeku.

Melihat wajahku memucat, Kate langsung berkata, "Mungkin Anda bisa menghubungi orang yang Anda cari setelah pesawatnya mendarat di JFK dalam beberapa jam."

Aku menggeleng. "Tidak, tidak bisa. Dia sudah dalam perjalanan menuju Charles de Gaulle," gumamku. Tanpa sadar menggunakan bahasa Korea yang membuat Kate menatapku bingung.

Tanpa kata kutinggalkan counter itu dengan orang-orang yang menatapku bingung dan penasaran.

Jika saja penerbangannya hanya akan berhenti di JFK?!

Akan tetapi, aku tahu dia akan menyambung perjalanannya dengan Air France menuju Paris, lalu Nice.

Asistennya memang mengatakan dia akan kembali dua bulan lagi, tetapi aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus berbicara dengannya sekarang.

Aku dapat merasakan hatiku yang sudah retak selama beberapa bulan belakangan ini kini hancur berkeping-keping. Mataku mulai terasa agak kabur, dan air mata mulai membasahi pipiku. Aku mencoba mengusapnya dengan lengan sweater, tetapi air mata itu tidak mau berhenti.

"Why is that lady crying, Mommy?" Kudengar seorang anak kecil, yang sedang menatapku, bertanya kepada ibunya.

"Jessica, tidak sopan menatap orang seperti itu. Look away," komentar ibunya, kemudian memalingkan wajah anak itu dengan paksa agar tidak lagi menatapku.

Beberapa orang yang berpapasan denganku menatapku dengan bingung atau khawatir. Ada pula yang menatapku dengan penuh rasa kasihan. Aku bisa membaca pikiran mereka melalui tatapan itu.

'Oh look at that, she must be crying because she just say goodbye to her boyfriend.' pikir seorang ibu. Seakan-akan dia siap memelukku dan menepuk-nepuk punggungku sambil berkata, 'Sudah... sudah... jangan menangis. Dia akan kembali kok, sweetheart,' untuk menenangkanku.

'Sayang, dia terlalu cantik untuk menangis seorang diri. Mungkin sebaiknya aku membantu menenangkannya,' pikir seorang pria Amerika yang sebenarnya cukup tampan dan wajib didekati jika saja aku tidak sedang merasa sedih saat ini.

'! #$%^&*()?/,' pikir dua orang mahasiswa, yang aku yakin berasal dari Perancis. Karena aku tidak mengerti bahasa Perancis, maka aku juga tidak akan bisa memahami apa yang sedang mereka pikirkan.

Kupercepat langkah untuk menghindari mereka semua. Aku baru memperlambat langkah setelah berada di luar bangunan terminal, dan perlahan-lahan berjalan menuju pelataran parkir.

Aku merasa terlalu limbung untuk merasakan dinginnya angin yang sedang bertiup kencang di sekelilingku.

Ketika aku sedang menyeberangi jalan, tiba-tiba kudengar seseorang meneriakkan namaku.

Suara itu?!

Suara yang aku kenal di mana pun aku berada dan seberapa jauh pun.

Semula aku mengacuhkan suara itu karena aku pikir itu hanya imajinasiku saja.

Kuangkat kedua tanganku untuk menutupi telinga.

Kemudian kudengar suara yang sama meneriakkan namaku dengan volume lebih keras dan berkali-kali.

Suara itu berasal dari belakangku.

Perlahan-lahan aku menoleh dan harus memutar seluruh tubuhku agar bisa menatapnya.

Aku langsung tersedak ketika melihatnya sedang berdiri di trotoar. Wajah tampannya dengan hidung, kening, mata, dan garis-garis rahang yang sempurna terlihat bingung dan tidak pasti. Perlahan-lahan kemudian wajahnya mulai dihiasi senyuman hangat.

Senyum itu semakin melebar sehingga aku bisa melihat gigi-giginya yang putih dan tertata rapi.

Ya Tuhan, aku benar-benar mencintai pria ini!

Aku mencoba mengontrol tangisku, akan tetapi bukannya berhenti, air mata malah semakin membanjiri wajahku. Kali ini air mataku adalah air mata kebahagiaan.

Aku mencoba tertawa di antara tangisku.

Detak jantungku sudah tidak keruan. Aku harus meletakkan tanganku di dada untuk mencegah agar jantungku tidak loncat keluar dari tempatnya.

Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung melangkahkan kaki dan berlari menuju ke pelukannya.

Tiba-tiba kudengar dia berteriak, "Sungminnie, watch out!" sambil menolehkan kepalanya ke arah kananku, dan dengan menggunakan kedua tangannya mencoba menarik perhatianku. Wajahnya terlihat panik.

Awalnya aku hanya menatapnya bingung, tetapi ketika kutolehkan kepalaku ke arah yang ditunjuknya semua oksigen yang ada di sekitarku tiba-tiba menghilang dan aku tidak bisa bernapas.

Aku langsung panik.

Aku melihat sebuah mobil yang melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi.

Semuanya bagaikan bergerak lambat.

Pandanganku beralih dari mobil itu ke wajah orang yang aku cintai, yang sedang menatapku dengan mata terbelalak karena panik.

Aku tidak bisa mati hari ini, apalagi karena ditabrak mobil.

Tidak peduli mobil itu sebuah mobil mewah sekalipun. Baru tiga puluh detik yang lalu aku bisa menemukan kebahagiaanku lagi.

Kuperintahkan kakiku agar berlari secepat mungkin menghindari mobil itu, tetapi tubuhku menolak mendengarkan perintah dari otakku. Aku hanya bisa berdiri kaku dan menutup mata, menunggu hingga sedan hitam itu menghantamku.

Ya Tuhan, jangan sekarang!

Tolong... jangan sekarang! pintaku dalam hati.

Jika aku diberi kesempatan untuk tetap hidup, aku akan bertobat. Aku akan meluangkan waktu untuk membantu orang lain, meskipun aku sedang sibuk sekalipun.

Ketika aku menyadari bahwa aku sedang bernegosiasi dengan Tuhan, aku pun berhenti berlari.

Akhirnya, aku hanya menggumam.

"Berikanlah aku satu kesempatan lagi, Tuhan! Aku berjanji akan lebih berterima kasih atas segala sesuatu yang sudah aku terima dalam hidupku."

Kemudian kudengar bunyi rem mobil yang sedang bersusah payah untuk berhenti.

Ciiiiiittttttttttt...

BRAK...!

Lalu, semuanya gelap.

.

.

TBC

.

.

Just Prolog.

Next Project untuk mendampingi Too Far Series.

Fyi, di FFn sebenarnya udah ada yg me-remake novel dari AliaZalea ini dengan cast Yunjae bumonim, tapi entah kenapa discontinue T.T

Jadi, tangan Hasu gatel mo nge-remake novel ini dengan cast kesayangan yaitu KYUMIN...

Di search di mbah sih belom ada yg nge-remake dengan cast ini (kayaknya)

Jadi, ini bukan plagiat ya, tapi remake.

Cuma... kalo ada yg ga suka merasa Hasu ga pantes nge remake ini, ya... ga jadi (?)

So,

Wanna next chap?

.

.

Lestarikan ff Kyumin ^.^

Gomawo

RyeoTa Hasu