Author's Note:
Satu kalimat: Jangan bunuh saya. *ditembak*
Maaf!! Megu bikin yang ini dulu! Mau membunuh mood swing, takut bikin WtTRW-nya langsung trus malah ancur… TT^TT Mending Megu bikin spin off-nya dulu… dulu Niero-nee sempat merequest ini (maunya banyak hints KakaNaru-nya, tapi ternyata Megu gak berhasil bikin begitu! DX) trus calon beta-reader saya juga bilang… antara yang Naruto 9 tahun sampai 18 tahun itu bagusnya dibikin juga… Megu mau bikin, tapi pucin mau diletakkan dimana… T-T Jadi bikinnya terpisah deh… benarkah yang seperti ini disebut spin off? Euh, sutralah…


Disclaimer:
I do not own Naruto.


Malam ini merupakan salah satu dari malam-malam indah di musim semi. Sebuah malam dimana udara sama sekali tak hangat, tapi juga tidak cukup dingin untuk membuat orang-orang menggigil. Di sebuah rumah bergaya Jepang semi modern yang berdiri tegak, orang-orang belum juga mengakhiri aktivitas mereka, padahal waktu sudah menunjukkan jam 11.34. Wajar, ini justru jam paling sibuk untuk orang-orang malam seperti mereka. Di halaman rumah tersebut, tepat di atas bangku taman yang panjang, seorang pria muda dan seorang bocah duduk berdampingan. Keduanya memiliki ciri fisik yang sangat serupa. Berambut pirang, berkulit kecokelatan, dan bermata biru langit. Selain ukuran tubuh dan umur mereka, hanya bekas luka sayatan di wajah sang bocah yang membuat mereka berbeda—tiga luka sayat horisontal yang berbentuk bagaikan kumis rubah, tiga di pipi kiri, dan tiga di pipi kanan, bekas luka yang didapatkannya dari penculikannya belum lama ini.

Jarang, sangat jarang, pria muda berambut pirang ini—sang ayah—bisa menemani putranya. Hari ini, malam ini, kebetulan ia mendapatkan waktu senggang dan bisa meluangkan waktu dengan sang buah hati. Setelah makan malam bersama, dengan sengaja mereka duduk di sana, di halaman kediaman mereka, memandang pada bulan bulat penuh yang terus menyiramkan sinarnya ke bumi.

Sang ayah lalu memanggil, "Naruto."

"Humm?" balas anak berumur sembilan tahun itu penuh selidik, memandang penuh tanya pada sang ayah.

Sebaliknya, pria berambut pirang itu tak memandang pada sang anak. Mata birunya terus memandang ke atas sana, berkilau tertimpa cahaya rembulan. Ia tampak tersenyum, meski bukan ke arah putranya. Tapi tak butuh pandangan, keberadaan telapak tangan kekar yang terus menggenggam telapak tangan kecilnya mampu mengusir keresahan di jiwa sang bocah.

Sang ayah lalu berkata, "Apa kau bisa berjanji pada ayah?"


The White and Black World

1
-The Kitsune: Arashi-



"Kemana lagi dia pergi?!" seru seorang pria kesal sambil menepuk jidatnya sendiri. Rambutnya berwarna cokelat dan terikat rapi. Jas hitam melapisi kemeja merahnya. Wajahnya bertorehkan bekas luka horisontal yang melintang dari kiri ke kanan. Dan biasanya wajah pria bernama Umino Iruka ini biasanya selalu dihiasi sebuah senyum hangat—kecuali di saat-saat seperti ini, di saat murid semata wayangnya menghilang entah kemana.

Pria muda di sebelahnya, Hatake Kakashi, membalas dengan santai, "Kalau aku tahu dimana ia berada, saat ini ia sudah duduk terikat di kursi itu dan mendengarkan penjelasanku tentang kalkul—"

"Justru yang seperti itu yang membuatnya lari, Kakashi-sensei!" potong Iruka kesal. Entah sudah berapa kali siasat ramennya untuk sang murid gagal karena pengajar sadis yang satu ini. Namun nampaknya protes yang keluar dari bibirnya tak begitu dianggap oleh pria berambut perak dengan masker hitam yang hampir menutupi seluruh wajah itu.

"Tenang saja Iruka. Kalau lapar, cepat atau lambat dia akan keluar juga dari persembunyiannya," balas sang Hatake santai sambil merapikan ujung lengan kemeja merahnya yang mengintip dari ujung lengan jas hitam yang ia pakai. "Lagipula…" Kakashi menatap ke wajah Iruka, lalu tersenyum dari balik maskernya dan berkata, "dibandingkan mencari dan mengurusi dia, aku lebih suka mendengarmu memanggilku dengan sebutan Kakashi-sensei. Ah, seharusnya aku juga lebih sering memanggilmu Iruka-sensei, ne?"

Dengan itu, sikut Iruka 'mencium' pinggang Kakashi dengan keras.

"Ini serius, Kakashi!" seru Iruka, "Bagaimana kalau dia diculik lagi?"

"Tidak," balas pria muda yang mengenakan masker hitam itu, masih sambil memegangi bagian tubuhnya yang menjadi korban Iruka, "Naruto baru diculik enam bulan yang lalu. Tentu kau masih ingat apa yang Namikaze-sama lakukan pada para penculiknya 'kan? Itu sudah cukup memberi pelajaran bagi orang-orang dunia hitam untuk tidak menyentuh putra pemimpin Kyuubi."

Iruka tak menjawab, ia tampak berpikir sejenak.

Kata-kata Kakashi memang benar. Memangnya ketua organisasi mana yang mau markasnya dihancur-leburkan, anak buahnya diantarkan ke kantor polisi dengan setumpuk barang bukti dan harta kekayaannya, lengkap dengan dirinya sendiri yang harus masuk ke rumah sakit karena sekarat? Bukannya berhasil menundukkan Kyuubi, hanya kehancuran saja yang akan mereka dapatkan. Lagipula, pengawasan di kediaman Namikaze ini sudah diperketat sejak saat itu, penculikan sang Namikaze Naruto yang berlangsung selama 19 jam… peristiwa yang baru terjadi beberapa bulan lalu, juga kejadian yang menimbulkan bekas luka permanen di wajah Naruto.

Jadi, kini bisa dipastikan sang Namikaze kecil masih berada di dalam rumah ini. Pertanyaannya… dimana dia sekarang?


Seorang bocah berambut pirang menutup jendela kamar ayahnya, hampir tanpa suara. Setelahnya, anak lelaki yang mengenakan kaos oranye dan celana hitam pendek ini menghembuskan napas lega, diikuti dengan sebuah senyum lebar di wajahnya. Harus ia akui, ia memang kesulitan untuk bisa menghindar dari pengawasan para anak buah ayahnya. Ia bahkan harus memanjat pohon dan atap untuk bisa sampai ke ruangan ini. Tapi ia sudah hapal persis kelakuan mereka—dengan kesetiaan mereka yang teramat sangat tinggi itu, hampir tidak mungkin mereka berani masuk dan mencari dirinya di dalam kamar sang pemimpin Kyuubi dan Rasengan Corporation, kamar dari Namikaze Minato ini. Ia lalu membuka sepatu sneakers putih di kakinya. Senyumnya berubah jadi cengiran lebar. Jaaadiii, apa yang akan kulakukan sekarang sampai jam pelajaran teori habis?

Pandangan mata biru langitnya lalu tertumpuk pada lemari besar sang ayah…


"NARUTO!!!" seru Iruka hanya semenit setelah ia membuka pintu atasannya, mendapati sang bocah sedang memasang jam tangan hitam di lengan kanannya.

"…ups," balas bocah berambut pirang itu dengan alis kanan yang terangkat, ia lupa mengunci pintu kamar itu! Gerakannya terhenti. Kini kemeja berwarna peach dan dasi hitam di leher telah menggantikan tugas kaos oranyenya. Sepatu sneaker putihnya sendiri sudah berganti dengan sepatu kulit formal berwarna hitam yang kelewat besar untuk kaki mungilnya. Yang belum berganti hanyalah celana pendek selutut dan kaos kaki putihnya. Sekedar tambahan lagi, semua benda tadi terpasang dalam posisi acak-acakan di tubuh berkulit kecokelatan itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?! Satu jam lagi pelajaran teorimu dengan Kakashi-sensei akan habis, Naruto!" ujar pria berambut cokelat itu kesal. Untung saja ia ingat ada satu ruangan di rumah ini yang belum mereka sentuh, ruangan yang baru saja didatanginya ini sendiri.

"Aku tidak mau belajar kalkulus…" balas Naruto sambil merenggut dan membuang muka, "Logaritma saja belum bisa kumengerti!!"

"Cepat atau lambat kau akan mengerti, asalkan kau mau berusaha mempelajarinya. Lagipula… " kata Iruka dengan nada lembut, hanya untuk kalimat barusan. Berbeda 180 derajat dengan kalimat berikut ini, "apa yang kau lakukan dengan barang-barang Namikaze-sama, hah?!"

"Hm? Bukannya Iruka-sensei yang menyuruhku meniru ayah? Lagipula, biar kecil begini aku 'kan 'Namikaze-sama' juga!" balasnya kesal sambil melipat tangan di depan dada dan mendengus, masih dengan posisi menantang itu.

"Bukan dari segi pakaiannya, Naruto," balas Iruka, membuang napas panjang sejenak, "Kau memang tuan kami, tapi kami baru akan memanggilmu Namikaze-sama kalau kau memang sudah pantas dipanggil begitu, atau di saat kau mewarisi jabatan—"

"Dia ada di sana?" suara seorang pria memotong kalimat Iruka dari arah luar kamar.

"Y-ya! Dia di sini, Kakas—" kalimat Iruka terpotong lagi, kali ini karena matanya menangkap pemandangan seorang bocah pirang berkemeja longgar yang sedang memanjat keluar jendela. "Na-Naruto! Mau kemana kau?! Jangan lar—"

"POKOKNYA AKU TIDAK MAU BELAJAR KALKULUS!!" seru bocah itu sambil melompat dari jendela ke dahan pohon tempatnya memanjat tadi. Lalu, secepat gerakan ninja, ia turun dari pohon dan menghilang.


Malam telah tiba. Sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di kediaman Namikaze. Di dekat pintu masuk, seorang pria muda melonggarkan dasinya sambil terus menatap pada orang-orang yang menjadi tangan kanannya—sekaligus pula orang-orang yang menjadi guru privat bagi putra semata wayangnya.

"Kenapa wajah kalian begitu?" tanyanya, heran mendapati wajah pucat berkeringat dingin Iruka, belum lagi ditambah Kakashi yang belum juga mau mempertemukan pandangan mereka.

"Ma-maafkan saya Namikaze-sama," ucap pria dengan rambut yang terikat itu sambil menunduk lemas. Sang Namikaze hanya mengangkat sebelah alis sebagai pertanda tanya. Irukapun melanjutkan, "Naruto hilang sejak sore tadi. Kami sudah berusaha mencarinya di dalam rumah ini—juga di lingkungan sekitar sini. Orang-orang di luar mengaku tidak melihat anak dengan ciri-ciri seperti Naruto, jadi besar kemungkinan dia masih berada di sini. Tapi kami belum juga menemukannya."

Sejenak, Minato terdiam. Hanya sejenak. Ia lalu bertanya, "Sudah kalian cari di atap?"

"Sudah," balas Iruka.

"…gudang dan basement? Bagaimana dengan kamarku?"

"Sudah. Kami sudah mencoba mencarinya di semua ruangan rumah ini."

Minato terdiam lagi, berpikir. Mencoba menebak dimana kira-kira bocah nakal itu bersembunyi. Ini memang bukan pertama kalinya ia bermain tikus dan kucing dengan kedua gurunya, tapi… bersembunyi hingga selarut ini? Bahkan tidak juga keluar setelah jam makan malam? Ini sudah keterlaluan. Sang Namikaze lalu mulai melangkah sambil menggulung lengan kemeja hijau emeraldnya. Ia berkata, "Mungkin bukan di ruangan… di tempat yang menyerupai itu, tapi bukan ruangan."

Kakashi dan Iruka hanya saling menatap, melihat kepergian sang Namikaze ke bagian dalam rumah. Tidak sampai semenit setelahnya, merekapun melangkahkan kaki mengejar sang pemimpin Kyuubi. Mereka lalu mendapati pria itu baru saja keluar dari ruang makan, lengkap dengan seorang bocah pirang yang ia gendong di punggungnya—Naruto yang tengah tertidur di sana. Semua pakaian dan barang Minato—arloji, kemeja, dan dasi hitam, minus sepatunya—masih melekat di tubuh sang anak.

"D-di mana anda menemukannya, Namikaze-sama?" Iruka memberanikan diri untuk bertanya.

Minato tersenyum kalem, "Di bawah meja makan."

Pria berambut cokelat itu tak bisa menahan kejut. Bisa-bisanya Naruto—

"Tolong ambilkan bukunya," ucap Minato sambil berjalan, berniat menyusuri tangga menuju kamar Naruto. Saat kaki kanannya menapak di atas anak tangga pertama, ia berkata pada dua anak anggota Kyuubi yang berada di belakangnya, "Ada buku tulis dan tabel logaritma di bawah meja itu."

Sejenak, Iruka dan Kakashi kembali saling berpandangan. Dan setelahnya, sebuah senyum terukir di wajah berbekas luka horisontal ini.


Pria muda berambut pirang itu menutup gagang telponnya tanpa kata-kata. Sejenak, ia memandang ke wajah khawatir para anggota elit Kyuubi yang baru saja datang ke ruangan kerjanya ini. Ia lalu menggerakkan kakinya, mendorong kursinya berputar sejenak, membelakangi bawahan-bawahannya.

"Komandan Uchiha…," lirihnya, membuang napas panjang, "…sampai kapan ia akan mengejarku?"

Sejenak, sang Namikaze terdiam lagi. Tetapi diam ini bukan tanpa arti. Di detik ini juga sebuah senyum terukir di wajahnya. Minatopun bangkit dari duduknya dan berdiri. Ditatapnya sang Umino dan berkata, "Siapkan semuanya. Lima menit lagi kita berangkat menuju Shiyou untuk melepaskan Asuma dan yang lain. Para polisi tidak mungkin langsung membawa orang-orang sebanyak itu ke kantor polisi. Mereka juga tidak mungkin meninggalkan barang-barang kita di pelabuhan, karena itu satu-satunya bukti yang mereka punya."

"Baik, Namikaze-sama," balas Iruka, bergegas berjalan keluar dari ruangan sang Arashi—code name Minato—diikuti dengan anggota Kyuubi lain.

"Kakashi," panggil Minato, menghentikan langkah tangan kanannya itu. Semua orang telah keluar dari ruangannya, kecuali pria muda berambut perak ini.

Sang Namikaze lalu membuka lacinya, mengeluarkan pistol kesayangannya dari dalam sana. Jika ia harus membunuh, ia harus membunuh sang rival dengan senjata terbaiknya. Dan jika ia memang harus mati… hanya sang rivallah yang akan ia biarkannya melakukan itu.

Kemudian, ia memandang pada Kakashi dan melanjutkan, "Kau tinggal di sini."

Kakashi membuka mulutnya, berniat memprotes. Mengapa di saat segenting ini ia malah harus tinggal? Tetapi tatapan yang dilemparkan dari mata biru sang Namikaze ke mata kanan Kakashi yang tak tertutup masker sudah cukup untuk menghentikan kalimatnya, ditambah dua kata berikut yang menjelaskan semuanya…

"Jaga Naruto."


"Tidurlah, Naruto," ucap Kakashi untuk yang kesekian kalinya.

"Aku belum mengantuk," balas bocah itu. Ia telah berbaring di atas ranjangnya, selimutnya yang berwarna hitam bergaris oranye juga sudah menutupi tubuhnya. Piyama berwarna biru sudah melapisi tubuhnya. Tetapi mata birunya tidak kunjung ia tutup. "Kakashi-sensei, boleh aku menonton TV dulu?"

Kakashi membalas pendek, "Tidak."

"Huuh, pelit! Iruka-sensei saja masih mau mengizinkanku menonton biarpun hanya lima menit! Kenapa juga harus sensei yang mengantarku tidur, sih?" protes Naruto sambil mengubah posisinya yang tadinya terlentang untuk membelakangi anggota Kyuubi yang terkenal dengan nama Copy Cat Nin itu. Yang diprotes hanya diam. Ini sungguh bukan saat yang tepat bagi anak itu untuk menonton televisi. Membiarkannya menonton TV dan mendapatkan berita bahwa sebagian dari organisasi ayahnya telah dilumpuhkan polisi? Tidak. Itu sama sekali pilihan yang bodoh.

Sejenak, hening menguasai mereka. Tapi hanya dengan memandang punggung bocah itu, sang Hatake tahu persis ia belum juga terlelap detik ini.

"…ayah, …pergi lagi ya?" tanya Naruto lirih, "Iruka-sensei juga…?"

Kakashi tak menjawab, tapi kebisuan itu sudah mengisyaratkan jawaban atas semua pertanyaan Naruto. Bocah bermata biru inipun membuang napas. Ia lalu berucap, "Aku tidak mengantuk… karena rasanya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi…"

Kali ini sang pria bermasker berniat menjawab, "Nar—"

"Hatake-san!" seru seseorang, memotong kalimatnya. Ia menoleh dan mendapati pria bernama Koutetsu, salah satu anggota Kyuubi yang baru, berada di pintu kamar Naruto.

Iapun bangkit berdiri, meninggalkan ranjang Naruto. Naruto sendiri ikut menoleh, melihat kedua pria yang mengenakan kemeja merah berlapis jas hitam itu membicarakan sesuatu—sesuatu yang tak bisa ia dengar dari posisinya sekarang. Sejenak, mata biru ini mendapati perubahan ekspresi di wajah sang Hatake. Tapi ia juga tidak sempat melihat jelas wajah pria itu, ditambah lagi dengan wajah yang hampir seluruhnya tertutup oleh masker itu. Entah apa yang mereka bicarakan saat ini…

Pembicaraan Kakashi dan Koutetsu selesai, dan pria itu perlahan melangkah kembali masuk ke dalam kamar bernuansa oranye itu. Sesuatu menggerakkan Naruto, ia bangkit dan duduk di atas ranjangnya, menatap penuh tanya pada satu-satunya anggota Kyuubi yang tersisa di kamarnya ini.

Segera setelah berdiri di dekat Naruto, Kakashi membungkuk—memberi hormat kepadanya.

"K-Kakashi-sensei?" balas Naruto panik melihat apa yang Kakashi lakukan, "Kenapa begit—"

"Maafkan saya, Namikaze-sama," ucap datar Kakashi memotong kalimat Naruto, mencoba sebisa mungkin menelan getar pahit di dalam setiap kata dan suaranya.

"Namikaze-sama? Untuk apa sensei memanggilku—" Naruto lalu menghentikan kalimatnya sendiri. Kalimat Iruka saat mereka berada di kamar sang ayah seminggu yang lalu terngiang di kepalanya. Mereka akan memanggilnya dengan sebutan 'Namikaze-sama' jika ia memang sudah pantas menerima panggilan itu… atau jika ia menerima jabatan ayahnya.

"Ada kabar bahwa—"

Dan ia akan menerima jabatan ayahnya hanya kalau…

"—ayah anda telah tewas tertembak di Pelabuhan Shiyou."


Mata birunya memandang jauh. Memang mengarah tepat kepada makam di hadapannya, tetapi pandangan itu kosong. Entah memandang kemana. Semua kenangannya dengan orang-orang yang ia cintai terus berputar dalam kepalanya. Sang ayah… juga Iruka… keduanya, keluarganya. Mereka sudah pergi. Ia tak mampu percaya. Meski ia melihat semuanya, menyaksikan semuanya… tubuh-tubuh kaku tak bergerak, peti-peti mati yang tertutup… lubang tanah yang tidak lama lagi akan segera ditimbun. Sedikitpun ia tak mampu percaya bahwa ini nyata. Rasanya ini seperti mimpi. Hanya mimpi buruknya. Mimpi terburuknya. Bukan, bukan nyata.

Jangan berteriak…
Itu hanya akan menghabiskan suaramu.

Bibir bocah itu terkatup erat. Sebisa mungkin ia menahan lidahnya, mengatupkan rahang dan giginya. Tak ada suara yang keluar dari sana, ia tak ingin ada suara yang keluar dari sana. Semua yang mereka katakan padanya tak ia balas dengan kata, bahkan tanpa anggukan. Namun, sepanjang perjalanannya, langkah demi langkah yang diambilnya menuju tempat peristirahatan terakhir sang ayah, didengarnya langit bergemuruh. Seakan ingin menggantikan pekikannya, teriakannya.

Jangan berlutut…
Kau akan kesulitan berdiri.

Anak lelaki berambut pirang itu berdiri tegak, setegak yang ia bisa. Padahal, sesungguhnya kakinya lemas. Bahkan hampir tak bisa digerakkan. Ia sendiri terus bertanya-tanya, kekuatan macam apa yang membuatnya berhasil melangkah sejauh ini, terus berdiri di sini, menyaksikan pemakaman ayahnya. Sementara itu angin berhembus kencang, sangat kencang, seakan ingin menabraknya agar terjatuh. Agar berlutut. Tidak terus memaksa untuk berdiri dengan kaki-kaki kecil lemah tak berguna.

Jangan menangis…
Seorang pemimpin tidak boleh menangis.

Ingin rasanya, sungguh ingin rasanya ia melepas kantung air matanya saat ini. Sekarang ini, ia tak butuh organ itu. Ia tak butuh air mata. Dan ia baru tahu, mengontrol air mata jauh lebih sulit daripada mengontrol organ manapun di tubuhnya. Beruntung, hingga detik ini belum ada satupun tetes air yang berhasil keluar dari kedua mata birunya. Hanya sampai beberapa detik ini.

Setetes, dua tetes… air membasahi wajahnya…. Naruto mendongak ke atas, lalu… ribuan tetes air hujan jatuh membasahi wajahnya. Membasahi bumi, membasahi tanah yang menjadi tempat tidur terakhir sang ayah. Keluarga terakhirnya.

Langit seakan mengejeknya keadaannya sekarang. Seakan tertawa, tertawa atas dirinya yang terus berusaha menahan sedih… menahan teriakannya, menahan tubuhnya untuk tetap berdiri tegak, juga menahan… menahan tangisannya. Langit mengejeknya. Langit sedang mengejeknya. Ya, langit pasti menangis untuk mengejeknya. Curang. Curang. Sungguh curang. Mereka bisa menangis dengan begitu mudahnya, tapi ia tidak… ia tak bisa. Karena kini ia seorang pemimpin… ya, pemimpin. Seperti kata-kata ayahnya… janji yang ayahnya minta kepadanya... kalimat janji yang akhirnya ia biarkan bergema di otaknya...

-
"Berjanjilah padaku Naruto..."

"Hm?"

"Jangan pernah… jangan biarkan Kyuubi mati.
Jagalah ia agar tetap hidup liar, tak bisa dilumpuhkan oleh perangkap dan panah seperti apapun.
Dan… jadilah… berjanjilah, kau akan menjadi pemimpin yang lebih baik dari ayah."
-

Matanya panas, dan ia menangis…

Lututnya melemas, dan ia terjatuh…

Mulutnya tak lagi terkatup, dan ia berteriak…

"AYAAAAAAH!!!"

-
"Ya! Aku berjanji!"
-


To Be Continued…


-

-

-

Segala kesalahan harap dimaklumi… kepala Megu udah mulai pusing, jadi gak sempat proofread dua kali… T___T
Ne, tolong review untuk membangkitkan semangat menulis WtTRW Megu! *ditendang*

Entahlah… entah ini perasaan Megu sendiri, atau memang faktanya begitu… jangan-jangan kemampuan menulis Megu jadi hilang…? DX

My God… maaf, sungguh, beribu maaf untuk para reader. Please, please review… kasih tahu semua kekurangan Megu dimana, supaya Megu bisa memperbaikinya lagi.

-
Review, if you don't mind…