Ada pepatah yang mengatakan 'jika kau ingin memnjadi kaya, hitunglah berapa banyak sesuatu yang kau miliki yang tidak dapat di beli dengan uang, maka kau akan menjadi kaya." Kebanyakan orang akan mempercayai pepatah itu, tapi tidak dengan Kai.
Kai tumbuh besar di sekeliling keluarga yang semuanya berkecimpung di dunia bisnis dan politik. Ayahnya seorang politikus ternama dan ibunya seorang pengusaha berlian, mereka menikah karena di jodohkan. Kai seorang anak tunggal yang tumbuh besar tanpa mendapatkan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya, ia hidup di kelilingi oleh para maid yang mengurusinya. Orang tuanya hanya memberikannya uang yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya, jarang sekali orang tuanya mengajak Kai pergi untuk jalan-jalan.
Ketika Kai berumur 21 tahun, kedua orang tuanya tiba-tiba mendatanginya di Korea. Kai saat itu sedang melanjutkan studinya di Yonsei University, terpaksa menghentikan kuliahnya untuk sementara karena ia harus menggantikan posisi sang ibu sebagai pemimpin perusahaan. Ibunya sekarang sedang terbaring lemah di rumah sakit, tidak dapat bergerak untuk memimpin usaha berlian yang omzetnya sudah miliaran itu, karena kanker serviks yang menyerangnya.
Lalu Kai menginjak usia 22 tahun, usaha berlian yang ia kelola sudah jauh melampaui kesuksesan sang ibu dulu. Ia berhasil melipat gandakan keuntungan perusahaan dan membawa nama brand sang ibu menuju kancah internasional. Kai terkenal sebagai salah satu pebisnis termuda yang berhasil menyabet banyak pernghargaan, dan keuntungan perusahaan yang mencapai triliunan dolar Amerika hanya dalam kurun waktu setahun.
Dan ketika ia memasuki usia 23 tahun, ayahnya dengan mendadak datang mengunjunginya suatu sore di apartemen miliknya di kawasan Gangnam. Tidak lama lagi, pria itu akan melakukan pemilu dan kampanye bersama anggota partai lainnya, dan ia akan membutuhkan imej bagus untuk pencitraan nama baiknya. Maka dari itu, ia menghampiri sang putra dan meminta Kai untuk melakukan suatu hal yang tidak pernah Kai duga.
"Menikahlah dengan putra dari Mayor Oh," kata sang ayah. "itu akan membantuku dalam mengambil hati rakyat."
Kai hanya memasang ekspresi keras.
"Aku tidak menerima penolakan Kim Kai. Kau putraku, dan kau berkewajiban untuk menuruti seluruh perintahku." Dengan begitu, Tuan Kim bergegas melangkahkan kakinya keluar dari apartemen sang putra.
Seminggu kemudian, di susunlah rencana pertemuan antara keluarga Kim dan keluarga Oh di sebuah restoran ternama di Korea. Kai berusaha tidak peduli dan memilih untuk menyibukkan dirinya dengan seluruh urusan bisnis berliannya. Ia menghindari sang ayah dengan cara bepergian ke berbagai negara dengan alasan ingin mengeksplorasi wilayah penambangan berlian baru. Namun Tuan Kim sepertinya sudah mengetahui rencana Kai, entah bagaimana caranya, ia berhasil membuat Kai menghadiri acara pertemuan itu.
"Mayor Oh." Tuan Kim bangkit dari duduknya untuk menyambut keluarga Oh yang baru saja datang.
Kai berdiri di samping ayahnya dalam diam.
"Tuan Kim." Mayor Oh tersenyum, lalu mereka berdua saling berjabat tangan.
"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Kim. Saya sering mendengar hal-hal baik mengenai Anda." Seorang wanita tinggi muncul dari balik Mayor Oh dan bersalaman dengan Tuan Kim, itu pasti Nyonya Oh, pikir Kai.
Tuan Kim menjabat tangan Nyonya Oh, "senang bertemu dengan Anda juga, nyonya. Saya dengar peluncuran brand terbaru Anda sangat sukses kemarin malam, selamat."
Nyonya Oh tertawa dengan anggun, "Baik sekali Anda, terima kasih." Mata wanita itu akhirnya menangkap sosok Kai yang berdiri di balik bayang-bayang sang ayah, mata Nyonya Oh berbinar-binar. "Apakah ini Kai?"
Kai terbatuk kecil sebelum maju beberapa langkah untuk menyapa Tuan dan Nyonya Oh, "Suatu kehormatan untuk bertemu dengan Anda."
"Tampan sekali, cocok untuk Sehun." Pekik Nyonya Oh sambil menepukkan kedua tangannya sekali, lalu berbalik untuk memanggil seseorang. "Sehun? Ayo kesini, sapa calon suamimu."
Seorang lelaki seumuran Kai melangkah maju dengan pandangan tertunduk. Rambut pirangnya tertata rapih di atas kepalanya, setelan berwarna hitam yang ia kenakan nampak sedikit memberi warna pada kulit pucatnya itu, ia tinggi—tapi tidak setinggi Kai. Kai mengkerutkan dahinya ketika melihat lelaki yang di panggil Sehun itu, Sehun terlihat seperti orang yang pemalu, dan sebuah pemikiran melintas di kepala Kai, ini adalah lelaki yang akan menikah denganku.
"Namaku Sehun," yang mengejutkan, suaranya terdengar halus, "Oh Sehun."
Kai mengangkat dagunya, ia bisa melihat Sehun yang meliriknya lewat bulu mata lelaki itu, "Kim Kai."
"Bukankah mereka sangat serasi?" suara Nyonya Oh mengalihkan perhatian mereka, "aku tidak sabar menentukan tanggal pernikahan kalian!"
Mendengar perkataan Nyonya Oh yang mengagetkan itu, Sehun hanya tersenyum canggung sementara Kai hanya berekspresi datar.
.
Pernikahan mereka di langsungkan seminggu sebelum ayah Kai mengikuti pemilihan. Pesta pernikahan yang di rancang langsung oleh Nyonya Oh memiliki konsep yang elegan, tamu undangan yang di undang pun tidak banyak, hanya sanak keluarga dan beberapa kenalan. Bahkan ibu Kai datang dengan menggunakan kursi roda, dan tangan yang masih di lilit infus, namun Nyonya Kim berhasil tersenyum kepada Kai ketika sang putra meliriknya dari altar.
Tuan Kim dengan mudahnya mengarang cerita mengenai pertemuan pertama Kai dan Sehun, ia berkata kepada para awak media bahwa Kai dan Sehun sudah berkencan selama 3 tahun, mereka bertemu pertama kali di kampus dan saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Tentu saja awak media mempercayai perkataan Tuan Kim. Kai menyaksikan sang ayah dengan pandangan muak ketika Tuan Kim sibuk mengadakan konferensi pres mengenai pernikahan Kai dan Sehun beberapa hari yang lalu.
Acara pernikahan mereka berjalan dengan lancar, Kai memakukan tatapannya kepada Sehun yang berjalan didampingi oleh Mayor Oh menghampiri Kai di altar. Ketika Mayor Oh menyerahkan tangan Sehun ke genggaman tangan Kai, Kai bisa merasakan hangatnya tangan Sehun di tangannya sendiri, ia berusaha menepis rasa nyaman dan betapa pas tangan Sehun berada di genggamannya. Kai malah memfokuskan dirinya kepada sang pendeta di hadapan mereka sekarang. Dan ketika sudah waktunya untuk mengucapkan janji suci sehidup semati, kata-kata 'aku bersedia' mengalir dengan lancar dari mulut Sehun, sementara Kai terdiam selama beberapa detik sebelum bibirnya bergerak tanpa sadar.
'aku bersedia.'
.
"Kalian sangat serasi!" pekik Nyonya Oh ketika Kai dan Sehun turun dari altar. Sehun tersenyum lalu memeluk sang ibu, sementara Kai hanya berdiri dalam diam di belakang bayang-bayang.
Nyonya Oh menangkup wajah sang putra dengan tangannya, "Ya Tuhan, putra kecilku sudah menjadi tanggung jawab lelaki lain sekarang."
Tubuh Kai menjadi kaku ketika mendengar kata 'tanggung jawab'.
"Kai," Kai menoleh kebelakang dan mendapati sang ibu mendekat ke arahnya menggunakan kursi roda, ia menunduk untuk memeluk sang ibu, "aku tak percaya kau sudah menikah."
Nyonya Oh berjalan ke sisi Nyonya Kim, "setuju," lalu mereka berdua saling melempar senyuman.
Kai dan Sehun harus menghadapi para tamu yang berasal dari berbagai kalangan, entah itu teman politikus ayah mereka atau relasi bisnis ibu mereka. Kai mengerang dalam hati setiap kali ia harus memasang senyum bahagia palsu di hadapan para tamu, ia lelah harus bertingkah seakan-akan ia dan Sehun adalah dua sejoli yang saling mencintai, yang bahagia di hari pernikahan mereka. Kai sesekali melirik Sehun dan menemukan lelaki itu tersenyum secara alami, tidak seperti Kai yang harus ekstra sabar memasang senyum palsu. Kai menatap Sehun dengan tajam selama beberapa saat, sampai akhirnya Sehun memalingkan wajahnya dan pandangan mata mereka bertabrakan.
Kai mengedip beberapa kali sebelum memutus kontak mata mereka, berusaha meyakinkan dirinya bahwa Sehun tidak merona ketika di pandangi olehnya.
"Aku tidak menyangka kau mendahuluiku dalam menikah," sebuah suara berat membuat senyuman Sehun mengembang berkali-kali lipat lebih cerah di banding sebelumnya.
"Chanyeol hyung!"
Kai menatap lelaki yang baru saja membuat Sehun tersenyum cerah, lelaki itu tinggi—bahkan lebih tinggi dibanding Kai—senyumannya lebar, hampir mirip seringaian, yang membuat Kai semakin aware adalah ketika Sehun menghampiri lelaki itu dan memeluknya dengan erat. Kai tahu harusnya ia tidak merasa panas ketika ia melihat Sehun memeluk lelaki lain, tapi ketika ia melihat tatapan tidak suka Chanyeol yang di tujukan kepadanya, ia tidak punya pilihan lain selain merasa tersulut.
Sehun, tidak menyadari ketegangan di antara kedua lelaki itu, menarik Chanyeol agar bisa berdekatan dengan Kai. Chanyeol menatap Kai dengan pandangan menantang, sementara Kai hanya menatap Chanyeol datar. "Hyung, ini Kai, suamiku. Kai, ini Chanyeol hyung, sahabatku, ia datang jauh-jauh dari China hanya untuk mendatangi pernikahan kita."
Kedua lelaki itu berjabat tangan dengan kaku, "Kim Kai." Suara Kai sedingin es.
Mata Chanyeol menelusuri wajah Kai, "Park Chanyeol. Senang bertemu dengan suami adik kesayanganku ini." Chanyeol berkata dengan penuh penekanan terutama di kata 'kesayanganku', sengaja ingin menyulut Kai lebih lanjut.
Ujung bibir Kai mengkerut membentuk senyuman miring, "senang akhirnya bisa bertemu dengan sahabat terbaik istriku." Dahi Chanyeol mengkerut kesal ketika Kai menekankan kata istri.
Sehun terlihat sangat senang berada di sisi Chanyeol, lelaki itu tidak melepaskan pelukannya di lengan Chanyeol, membuat Kai gatal ingin menarik Sehun ke sisinya, dan itu ia lakukan ketika Chanyeol menyeringai ke arahnya.
"Sehun," nada suara Kai memperingatkan, "kau istriku sekarang, bukankah lebih baik kau tetap berada di sisiku, hm?"
Sehun mengedipkan matanya beberapa kali, sebelum ia kembali melingkarkan lengannya di lengan Kai, "a-ah, maaf, aku hanya belum terbiasa—"
Raut wajah Chanyeol menggelap, seakan-akan pemuda itu siap membunuh Kai kapanpun ia siap, namun Kai hanya tersenyum santai sambil mengeratkan pelukan tangan Sehun di lengannya. "Maka kau harus terbiasa."
.
"Kai," suara sang ayah membuat Kai menoleh dari pemadangan balkon kamarnya.
Tuan Kim melangkah maju untuk mensejajarkan dirinya dengan sang putra, "bagaimana perasaanmu setelah menikah?"
Kai menghirup nafas sedalam-dalamnya sebelum menjawab, "baik, sepertinya." Ia mengalihkan pandangannya kembali ke pemandangan di depannya, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh kata-kata apapun yang akan mengalir keluar dari mulut sang ayah nanti.
"Aku tahu kau tidak menginginkan pernikahan ini," Tuan Kim menarik bahu sang putra agar Kai sekarang berhadapan dengan wajahnya, "tapi aku butuh kau untuk melakukan suatu hal lagi."
Kai menatap tepat di mata sang ayah, kegelisahan mulai menjalar di dalam tubuhnya. "Apa?" ia menggigit bibir bawahnya, menunggu dengan gugup.
"Aku membutuhkan cucu."
Dunia seakan-akan berhenti berputar di sekeliling Kai, "a-apa?"
Tuan Kim mengucapkan setiap kata dengan perlahan, cara itu semakin membuat Kai merasa pusing, "seorang cucu, Kim Kai. Seorang penerus keluarga Kim."
Dan Kai merasa masa depannya hancur saat itu juga.
.
"Dengar, Sehun." Kai berjalan mundar-mandir dengan gelisah di hadapan Sehun yang terduduk di kasur kamar hotel yang disediakan oleh orang tua mereka untuk melaksanakan malam pertama mereka. "Tidak ada di antara kita berdua yang menginginkan pernikahan ini, demi Tuhan aku masih terlalu muda untuk menjadi seorang suami, tapi aku harus melakukan ini karena kehendak ayahku."
"Aku tahu," suara Sehun terdengar pelan, "aku juga mengerti mengapa kau melakukannya—"
"Sehun," Kai berhenti tepat di hadapan Sehun yang sekarang sedikit terlonjak ke belakang karena kaget, "ayahku tidak hanya memintaku untuk menikahimu, tapi juga untuk memberikannya cucu."
Hening melanda kamar yang ditempati oleh Sehun dan Kai. Kai masih berdiri dengan gelisah sementara Sehun kelihatan lebih pucat di banding biasanya.
Kai menghela nafas, lalu berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia membiarkan lengan kanannya terangkat dan menutupi mata dan dahinya, deru nafasnya kasar, ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menghadapi Sehun lagi setelah ini.
"Ini ide yang bodoh, aku tahu. Lupakan saja, aku akan berbicara dengan ayahku nanti—"
"Tidak." Baru kali ini Kai mendengar suara Sehun setegas itu, "aku akan melakukannya, Kai. A-aku…" Sehun menjilat bibirnya dengan gugup, "aku bersedia mengandung anakmu."
Kai terlonjak bangun dari sofa dan melotot ke arah Sehun yang sedang tertunduk dalam di atas kasur, ia tidak menyangka bahwa Sehun akan berkata seperti itu, sangat tidak mungkin. "K-kau serius?"
Sehun mengangkat wajahnya dengan perlahan lalu menatap Kai dengan gugup, "Y-ya."
"Kenapa…" Suara Kai menghilang di akhir kata.
"Karena ayahku juga mengatakan hal yang sama?" jawab Sehun ragu.
Kai bangkit dari sofa dan mulai melangkahkan kakinya menuju kasur, tempat dimana Sehun berada. Ia lalu berlutut di hadapan lelaki pirang itu, tangannya terangkat untuk mengelus pipi Sehun dengan lembut. Sehun menggigil di bawah sentuhan tangan Kai.
"Harus kau ketahui, aku melakukan semua ini tanpa dasar cinta. I don't give a damn about love. Jadi, jangan harap aku akan bermain lembut."
.
"Jadi? Bagaimana malam pertamamu?"
Dahi Kai mengkerut ketika mendengar pertanyaan yang di ajukan oleh Soojung kepadanya. "Aku kira kau tidak mau membahas ini."
Wanita yang sedang duduk di pangkuan Kai itu mengibaskan rambutnya ke belakang sebelum melingkarkan kedua lengannya mengelilingi leher Kai, "but I'm curious, Kim. Aku ingin tahu bagaimana caranya dua orang lelaki bercinta."
Kai membawa sebuah botol alkohol mendekati mulutnya, dan meminum isinya. "believe me, kau tidak mau tahu." Ia lalu melempar botol alkohol itu kesembarang arah sebelum menghela nafas kasar. "Aku juga tidak akan mau melakukannya jika saja pria tua itu tidak mengancam akan membiarkan ibuku terlantar begitu saja di rumah sakit."
"What a good son." Soojung berkata dengan nada mencibir.
Kai menatap Soojung dengan alis yang terangkat, "So? That's all? Kau mengajakku bertemu di sini hanya untuk menanyakan itu?"
"Hmm…" jari-jari Soojung bergerilya di pundak Kai, "kau terlihat stress sekarang, mau melakukan sesuatu yang menyenangkan?" ia tersenyum penuh makna ke arah lelaki tan itu.
Kai berdiri sambil mengangkat Soojung di dalam gendongannya, "my pleasure."
.
Sudah seminggu berlalu semenjak pernikahan Kai dan Sehun di selenggarakan, sekarang Kai sedang berdiri di hadapan cermin, dengan setelan hitam yang melekat di tubuhnya. Ia memperhatikan betapa mengerikan kondisinya saat ini, ia tidak bisa tidur beberapa malam belakangan ini, atau lebih tepatnya belum terbiasa tidur satu ranjang dengan orang lain. Ia tahu bahwa Sehun berusaha tidur sejauh mungkin dari Kai—lelaki pirang itu menempatkan dirinya sendiri di ujung kasur dan tidak bergerak hingga pagi menjelang.
Kai menghela nafas kasar, hari ini adalah hari dimana hasil pemilihan sang ayah akan di umumkan. Tuan Kim sudah berpesan kepadanya untuk hadir dan membawa Sehun ke acara itu. Mayor Oh dan istrinya pun akan datang. Maka dari itu, ia dan Sehun sudah bersiap-siap untuk mendatangi acara penting bagi sang ayah.
"Sudah siap?"
Sehun melangkah masuk ke kamar mereka menggunakan setelan putih yang membuatnya semakin bersinar. Dalam hati, Kai mengomentari bahwa Sehun terlihat lebih berwarna jika ia memakai setelan hitam, namun ia tidak menyuarakan pendapatnya itu.
Namun, ekspresi wajah pemuda pirang itu mengatakan bahwa ia memiliki sesuatu yang harus di sampaikan.
"Ada apa?" tanya Kai langsung.
Sehun berjalan dengan perlahan ke arah Kai, sementara lelaki yang lebih tua itu memperhatikannya dengan tatapan bingung. Kai melirik ke arah kedua tangan Sehun yang tersembunyi di balik tubuh lelaki itu, dan ketika Sehun mengulurkan sebuah kertas dari balik tubuhnya kepada Kai, ia dengan segera merebut kertas itu dari tangan Sehun dan membacanya.
"I'm pregnant."
.
"…ini adalah hari yang sangat menggembirakan bagiku, di samping karena aku terpilih untuk menjadi wali kota Seoul yang baru, putraku ini juga memberikan kabar gembira tersendiri untuk kami sekeluarga. Istri dari putraku, Kim Sehun, yang baru di nikahkan oleh putraku seminggu yang lalu kini sedang hamil anak pertama mereka…"
Kai menggeram pelan ketika melihat sang ayah yang sedang berdiri di atas podium, berkoar-koar untuk berpidato akan kemenangannya. Ia juga dapat melihat Sehun yang berada di pelukan sang ibu, dan Tuan Oh yang menepuk-nepuk punggung lelaki itu dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Mereka pasti sangat senang dengan kehadiran seorang calon cucu, Kai membatin.
"Wow man, kau sangat hebat di ranjang, pasti." Chen, teman satu universitas Kai dulu datang dan merangkul Kai dengan erat. "Hanya dalam waktu seminggu langsung bisa menghamili istrimu." Pemuda itu lalu bersiul, bermaksud untuk menggoda Kai.
"Hentikan," gerutu Kai. "Ini aku lakukan demi ibuku."
"Aw, come on, man! Harus ku akui bahkan aku iri denganmu yang sudah menikah, aku sudah lama menanti-nanti kapan aku akan menjadi seorang ayah, kau tahu?"
Kai seakan-akan baru saja terhempas dari surga ke neraka, selama ini tidak pernah terlintas sedikitpun pemikiran akan dirinya menjadi seorang ayah. Kai bahkan tidak pernah memikirkan dirinya akan menikahi seseorang dan membangun sebuah keluarga. Pemikiran itu terasa mengerikan bagi Kai yang bahkan meskipun sudah menikah tetapi masih belum siap melepas masa lajangnya.
Menjadi seorang ayah, eh? Kai terkekeh masam dalam hati. Sepertinya anak itu kurang beruntung untuk lahir sebagai anakku.
.
Selama kehamilan Sehun, sepertinya lelaki itu tidak pernah bertingkah aneh atau meminta hal yang tidak tidak. Atau setidaknya, belum.
Ada beberapa hal yang berubah dalam diri Sehun semenjak ia hamil, seperti misalnya ia tidur lebih dekat dengan Kai atau kulkas yang sekarang terisi penuh oleh minuman yang bernama bubble tea. Sehun juga berubah menjadi hiperaktif dan tidak mau duduk diam, jadi yang ia lakukan adalah mengecek seluruh ruangan rumah mereka dan jika ia menemukan bagian yang kotor, Sehun akan segera siap siaga untuk membersihkannya. Membuat Kai, yang saat itu pulang cepat dari kantornya, terkejut karena keadaan rumah mereka sangat rapih.
Nyonya Oh seringkali datang mengunjungi mereka, sekaligus membawa Sehun pergi mengunjungi dokter kandungan. Kai tidak pernah ikut, ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, diam-diam Kai penasaran bagaimana wujud calon anaknya itu di monitor usg.
"Kau terlihat biasa saja, Kim. Padahal kau akan menjadi ayah sebentar lagi." Ujar Soojung ketika mereka memutuskan untuk bertemu lagi.
"Hmm…" Kai bergumam sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Soojung, "aku tidak begitu suka mengenai gagasan bahwa aku sebentar lagi akan menjadi seorang ayah."
"Benarkah?" Soojung bertanya, yang di balas dengan anggukan oleh Kai. "Apa karena anak itu berasal dari rahim Sehun? Bagaimana jika aku yang hamil anakmu? Kau akan bersemangat?"
Kai menggerakkan bibirnya di atas bahu Soojung yang terekspos, matanya terpejam, berusaha untuk menikmati sensasi menggelitik yang muncul di perutnya, "mungkin."
Soojung tersenyum kecil.
.
"Kita harus pindah ke China," ujar Kai tiba-tiba, sedangkan Sehun menatapnya dengan terkejut. "Aku baru saja membangun cabang baru di China, dan karena cabang yang akan ku bangun adalah salah satu cabang terbesar yang ada di China, kita harus pindah ke sana."
Sehun melonjak kecil di atas sofa, "kapan kita akan pindah ke China?"
Kai membaca email dari bawahannya yang berisi jadwal pembukaan cabang baru perusahaannya di China, "minggu depan, kau punya waktu beberapa hari untuk bersiap-siap." Kai lalu menoleh untuk menatap Sehun, ia teringat akan sesuatu. "Kau… bisa bahasa China, kan?"
Sehun terkekeh kecil, lalu mengambil segelas bubble tea dari atas meja. "Aku menghabiskan masa kecilku di China, jadi tentu saja bisa."
"Bagus." Kai mengangguk lalu ia berjalan untuk memasuki kamar mandi, bermaksud untuk membersihkan dirinya setelah melewati hari yang melelahkan.
Namun, perkataan Sehun selanjutnya membuat Kai menghentikan langkahnya secara mendadak.
"Ah,iya! Kalau kita pindah ke China, itu artinya aku bisa bertemu dengan Chanyeol hyung lebih sering!"
.
Kehidupan baru mereka di China ternyata lebih mudah dari pada yang Kai bayangkan.
Guangzhou. Ternyata Sehun dulu tumbuh besar di kota ini, sehingga mereka tidak kesusahan untuk mencari alamat rumah baru mereka. Sehun punya ingatan yang menakjubkan.
Rumah baru mereka berukuran lebih besar di banding rumah lama mereka di Seoul. Rumah kali ini memiliki kolam renang di halaman belakang, dan taman yang luas. Sehun memekik girang ketika ia menemukan bahwa halaman rumah mereka cukup luas untuk bisa digunakan sebagai lapangan futsal kecil. Suatu kebiasaan baru lagi semenjak ia hamil, Sehun jadi menyukai sepak bola dan sering menonton pertandingan sepak bola hingga larut malam.
"Kai? Bisakah kita membangun lapangan futsal kecil di halaman rumah?" wajah Sehun bersinar ketika ia menanyakannya kepada Kai, sementara Kai hanya membalasnya dengan anggukan kecil.
Di hari ke-3, Sehun sudah bermain futsal dengan riang di halaman rumah mereka. Di dampingi beberapa maid yang kerap mengingatkan Sehun akan kandungannya jika lelaki itu sudah berlari cukup kencang. Kai lebih sering menghabiskan waktunya untuk berenang, itu membantunya untuk melepas stress akan pekerjaan kantor. Dan tentu saja, membuat jarak antara dirinya dan Sehun semakin melebar.
Hari ke-5, ketika Kai ingin berenang, ia menemukan sebuah ayunan terpasang rapih di dekat kolam renang. Ternyata Sehun sengaja memasang ayunan itu sebagai tempat ia bersantai jika ia kelelahan sehabis bermain futsal. Kai berusaha mengabaikan eksistensi Sehun dan ayunan itu dan tetap berenang seperti biasanya.
Harus Kai akui, kemampuan bahasa mandarinnya sangat payah. Sehun banyak membantunya ketika mereka pindah. Ia yang berkenalan dengan para tetangga mereka, berusaha bersikap ramah sementara Kai hanya berdiam diri di sebelahnya. Sehun jugalah yang membantu Kai menerjemahkan pesan-pesan yang berasal dari relasi bisnisnya yang berasal dari China. Setidaknya semua berjalan lancar dan damai, sampai akhirnya, pada hari ke-10, Chanyeol datang mengunjungi rumah baru mereka.
"Rumah yang indah, Tuan Kim." Ujar Chanyeol kala mereka bertemu.
"Terima kasih." Balas Kai singkat. Tidak mau berbicara dengan Chanyeol lebih lama lagi.
Semakin lama, Kai semakin sibuk dengan urusan kantornya. Ia bahkan jarang pulang ke rumah, dan semakin mengabaikan Sehun yang usia kehamilannya juga semakin bertambah tua. Yang ada di pikiran Kai hanyalah kerja, kerja, dan kerja. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ia sudah jarang bercukur, tidak menyadari sudah berapa malam ia tidak pulang ke rumah, juga tidak menyadari bahwa selama ia absen dari sisi Sehun, Chanyeol-lah yang selalu menemani lelaki pirang itu kemanapun ia pergi.
Sampai suatu malam, Kai berkesempatan untuk pulang ke rumahnya dan mendapati Sehun sedang duduk menonton TV di ruang keluarga, tertawa sambil meminum segelas bubble tea di tangannya.
"Aku tidak ingat kau punya baju itu," ujar Kai dengan tatapan menyelidik.
Sehun menunduk untuk menatap baju yang ia kenakan, "Oh? Ini? Chanyeol hyung yang membelikannya untukku, ia berkata—"
"Sehun," suara Kai terdengar tegas, membuat Sehun sedikit terlonjak dari duduknya. "Selama ini kau menghabiskan waktumu bersama lelaki lain?"
Lelaki pirang itu nampak gelagapan sebelum menjawab, "Chanyeol hyung sahabat baikku—"
"Aku tidak peduli jika ia sahabat baikmu atau bukan, tapi kau telah bepergian bersama lelaki lain tanpa seizinku, suamimu. Bukankah itu hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang istri?"
Sehun terdiam sambil tertunduk dalam, Kai mendelik sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk memasuki kamar mereka. "Tumbuhkanlah sedikit rasa hormat di dalam dirimu selama menjadi istriku."
.
"Jadi? Kai melarangmu untuk menemuiku lagi?"
Sehun mengangguk lesu, ia sedikit takut untuk bertatap mata dengan Chanyeol, takut jika ia ternyata telah menyakiti perasaan lelaki yang sudah ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri. Sehun masih sangat ingin menghabiskan waktunya bersama Chanyeol di banding harus berdiam diri di rumah sendiri, namun Kai itu suaminya, ia harus menaati perkataan Kai. Bagaimanapun juga.
Kim Kai sialan. Chanyeol menggeram dalam hati. Ia sudah sangat senang ketika mendengar kabar bahwa Sehun akan pindah ke China, yang berarti ia bisa menghabiskan waktunya berduaan bersama Sehun. Namun, ketika Sehun mengatakan kepadanya bahwa Kai melarang Sehun untuk menemuinya lagi, sekujur tubuh Chanyeol dipenuhi oleh amarah.
"Tapi, Sehun, kau kesepian di rumah itu. Apa kau tidak bisa membujuk Kai?" tanya Chanyeol penuh harap, ia tidak akan melepaskan Sehun semudah itu.
Sehun menggigit bibir bawahnya pelan, andai saja ia berani untuk menyuarakan keinginannya kepada Kai, ia pasti sudah melakukannya dari dulu sekali. Namun ia terlalu takut untuk sekedar menghampiri suaminya itu, Kai selalu memiliki aura yang mengintimidasi di sekitarnya.
"Sehun," Chanyeol menggenggam tangan Sehun dengan erat, "kau sedang hamil, sedang membutuhkan perhatian ekstra. Kai tidak ada di sisimu, lalu siapa yang akan menjagamu, hm? Siapa yang akan memenuhi nafsu makanmu yang berlebih ini?"
"Hyung tidak usah khawatir, ada para maid yang berjaga di rumah itu—"
"Tapi, Hun—" Chanyeol berusaha untuk bertahan.
"Hyung." Suara Sehun yang penuh dengan keyakinan membuat Chanyeol bungkam. "Aku sudah besar sekarang, sudah menikah, aku bukan lagi anak kecil yang harus kau jaga kemanapun aku pergi, sekarang aku sudah memiliki Kai di sisiku sebagai suami. Dialah yang akan menggantikanmu menjagaku sekarang, kau tidak perlu khawatir lagi."
Kata demi kata yang keluar dari mulut Sehun berhasil menusuk Chanyeol tepat di ulu hatinya. Di remasnya perlahan kedua tangan Sehun yang berada di dalam genggamannya, seakan-akan ia menyalurkan kekuatannya kepada lelaki yang di cintainya dengan segenap jiwa dan raganya. Sehun tersenyum ke arahnya, dengan senyum yang pernah membuat Chanyeol jatuh cinta kepadanya bertahun-tahun yang lalu. Dan Chanyeol tidak punya pilihan lain selain membalas senyuman itu dengan senyuman yang menyimpan berjuta-juta makna, yang tidak akan pernah Sehun ketahui.
.
Ketika masa kehamilan Sehun memasuki bulan ke-7, Kai pulang ke rumah dengan di sambut oleh Sehun yang sedang tersenyum sumringah ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Kai bingung.
Sehun menjulurkan sebuah benda hitam tipis yang terlihat seperti foto, Kai merasa déjà vu, ia ingat saat ketika Sehun menyodorkannya kertas yang berisi keterangan kehamilan lelaki itu berbulan-bulan yang lalu. Namun sekarang yang bisa ia lihat di foto itu adalah, sebuah gumpalan kecil berwarna putih yang terlihat seperti gambaran seorang bayi.
Kai menahan nafasnya.
"Seorang putra." Suara Sehun sarat akan kebahagiaan. "Kau akan memiliki seorang anak laki-laki. Seorang penerus."
Seorang penerus. Kai membatin. Ini kah yang di inginkan ayahnya? Setelah anak itu lahir, lalu apa? Haruskah Kai melihatnya tumbuh lalu melatihnya agar bisa menjadi seperti dirinya? Seseorang yang bahkan tidak pernah mengetahui bagaimana pertumbuhan sang anak di dalam kandungan istrinya hampir 7 bulan lamanya?
Kai jadi bertanya-tanya bagaimana perasaan ayahnya dulu ketika berada di posisi yang sama dengannya seperti sekarang. Apakah ayahnya kaget? Sedih? Senang? Bahagia? (Kai meragukan dua opsi terakhir, karena ia bahkan tidak pernah melihat ayahnya tertawa). Apakah ayahnya dulu bersuka cita ketika menyambut kehamilan ibunya? Ketika ibunya hamil dirinya, apakah ayahnya selalu berada di sisi ibunya? Atau selali sibuk dengan pekerjaannya? Atau bahkan ketika sang ibu melahirkan, apakah ayahnya menemani sang ibu?
Dalam diam, Kai menyerahkan foto itu kembali ke tangan Sehun, yang langsung di terima oleh Sehun dengan raut wajah kecewa.
"Jaga kandunganmu baik-baik." Dengan itu, Kai melangkahkan kakinya menjauhi Sehun yang tertunduk di ruang tamu.
.
"Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Kim. Aku tidak percaya bahwa kau ternyata sangat kompeten dalam menjalankan usahamu. Kau bahkan sudah melampaui semua pencapaian ibumu dulu."
Kai tersenyum bangga mendengar pujian yang di berikan oleh Wu Liuhua, seorang partner bisnis yang paling penting baginya di China ini. Liuhua, atau yang akrab di sapa Henry, adalah seorang pebisnis muda yang kehebatannya sudah tidak di ragukan lagi. Mereka berdua hanya berjarak beberapa tahun, yang menyebabkan keduanya cepat akrab. Ia baru saja melahirkan putra pertamanya dengan seorang penyanyi terkenal, Zhoumi, beberapa bulan yang lalu.
"Sampaikan salamku kepada Zhoumi-ge." Ujar Kai, lalu ia dan Henry saling berjabat tangan. "Dan siapa nama putramu tadi?"
"Yifan." Ujar Henry dengan bangga.
Kai mengangguk, "sampaikan juga salamku untuk Yifan." Tiba-tiba mereka berdua di kagetkan dengan pintu ruang rapat yang terbuka dengan cukup keras oleh sekretaris Kai, Fei.
"Fei? Ada apa? Sudah ku bilang, aku sedang bertemu dengan tamu—"
"Tuan," suara Fei terdengar penuh dengan kecemasan, membuat Henry sedikit was-was dan tubuh Kai menegang. "Aku baru saja menerima telfon dari Tuan Park, ia berkata bahwa istri Anda sekarang sedang di larikan ke rumah sakit, istri Anda akan segera melahirkan."
.
Kai terduduk di depan ruang melahirkan dengan lesu, di depannya ada Henry yang sedang berbicara dengan beberapa perawat. Mereka berdua berhasil sampai di rumah sakit menggunakan mobil Henry, karena Kai terlalu lamban dalam bertindak. Henry segera menyetir mobilnya dalam kecepatan tinggi, namun Kai terlalu shock untuk menyadarinya. Yang ia tahu, tiba-tiba ia sudah berada di dalam rumah sakit, dengan Chanyeol yang menyambut mereka.
"Selamat, Kim." Suara berat Chanyeol berhasil menyadarkan Kai dari kagetnya. "Putramu lahir dengan sehat, Sehun juga sedang beristirahat setelah melakukan proses lahiran, didampingi olehku." Tangan Kai mengepal mendengar kata-kata terakhir Chanyeol.
"Dimana dia sekarang?"
"Ruang 405." Jawab Chanyeol dengan enggan, lalu lelaki caplang itu melangkah menjauhi Kai di koridor rumah sakit.
Ketika Kai membuka pintu kamar rawat inap Sehun, ia terkejut ketika melihat kedua orang tua Sehun sudah berada di dalamnya.
"Kai…" Nyonya Oh adalah orang pertama yang menyadari keberadaannya di ruangan itu.
Mata Kai mendarat kepada sosok Sehun yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit, kedua bola mata yang selalu menatap Kai dengan pandangan berharap itu sekarang tertutup rapat. Dadanya naik turun dengan perlahan, menandakan bahwa ia masih bernafas dengan tenang. Kai terkejut ketika ia baru melepaskan nafas yang sedari ia tahan ketika Nyonya Oh memeluknya dengan erat.
"Oh…Kai…" Nyonya Oh mengelus-ngelus punggung Kai dengan penuh kasih sayang, "terima kasih…"
Kai membalas pelukan sang ibu mertua itu dengan agak canggung, matanya tidak pernah lepas dari sosok Sehun yang masih terbaring di atas kasur. Kemudian, giliran Tuan Oh yang menghampirinya, ayah Sehun itu hanya menepuk-nepuk bahunya dengan bangga lalu berkata, "ayahmu akan sampai sebentar lagi."
Perkataan Tuan Oh menyadarkan Kai, "ibuku…" ia terlihat kalang kabut. "a-apakah ia tahu?"
Nyonya Oh mengangguk sambil mengelap air mata yang mengaliri sisi wajahnya, "namun ibumu tidak bisa ikut ke sini, dokter tidak mengizinkannya."
Kai tersenyum kecil.
.
Ketika semua orang sudah berkumpul di ruang inap Sehun (termasuk Henry dan Chanyeol), Nyonya Oh segera memanggil seorang suster untuk membawakan bayi yang baru lahir beberapa jam yang lalu itu ke dalam ruangan. Sehun sadar tak lama kemudian, yang langsung mendapat pelukan kasih sayang dari Nyonya Oh. Dan ketika pintu kamar inap itu terbuka, seorang perawat masuk sambil menggendong seorang bayi yang sedang tertidur nyenyak di dalam buaiannya.
Kai yang sedang duduk di sebelah kasur Sehun bahkan tidak berkedip sekalipun ketika sang perawat memindahkan bayi itu ke tangan Sehun. Seakan-akan mengetahui bahwa ia sedang berada di gendongan sang ibu, bayi itu menggeliat kecil lalu membuka matanya pelan.
"Luhan," gumam Sehun sambil tersenyum menatap sang bayi. "Mulai sekarang, namamu adalah Luhan."
"Luhan?" Kai membeo.
Sehun mengangguk, "Kim Luhan."
Bayi Luhan tersenyum kecil menanggapi perkataan Sehun, ia lalu menguap kecil dan menutup matanya kembali, melanjutkan tidurnya. Nyonya Oh berjalan menghampiri Sehun dan mengelus kepada kecil Luhan yang berada di dalam gendongannya.
"Luhan itu bayi yang sangat pintar," ia berkata dengan bangga. "Ia hanya menangis sekali, dan tidak protes ketika harus di beri asi orang lain."
"Tentu saja, bu. Luhan itu putraku." Ujar Sehun.
"Kai." Suara Tuan Kim membuat Kai akhirnya mengalihkan pandangannya dari Luhan. "Bisa bicara denganmu sebentar?"
Kai mengangguk lalu mengikuti langkah sang ayah keluar dari kamar inap Sehun.
"Kerja bagus, nak." Ucap Tuan Kim ketika mereka sudah berada di luar. "Aku akan kembali ke Korea dan menyebarluaskan berita bagus ini."
"Setelah ini apa?" tanya Kai datar, "aku sudah menuruti semua perintahmu, menikahi Sehun, memberikanmu cucu sebagai penerus, lalu apa?"
Tuan Kim mengedikkan bahunya tidak peduli, "selanjutnya terserah kau, kau bisa saja menceraikan Sehun kalau mau, tapi kau harus menjaga agar anak kalian tetap berada di bawah hak asuh kau. Anak itu akan menjadi aset yang berharga bagi keluarga kita nanti." Tuan Kim berujar dingin.
Kai hanya terdiam, tidak tahu harus menanggapi perkataan ayahnya dengan apa.
.
Benar kata Nyonya Oh, Luhan adalah bayi yang sangat pintar. Luhan tidak pernah menangis di tengah malam, ia tidak pernah membuat kedua orang tuanya terbangun di tengah malam hanya karena tangisannya. Ia selalu bangun jam 7 pagi, tepat setelah Kai berangkat kerja sehingga ia tidak mengganggu sang ayah yang sedang bersiap-siap berangkat ke kantor. Nyonya Oh sempat tinggal beberapa bulan di China untuk mendampingi Sehun merawat bayi Luhan. Kai terpaksa harus pulang cepat ke rumah, tidak ingin membuat sang mertua curiga.
Luhan tumbuh dengan cepat, kini usianya sudah 8 bulan. Dan Kai baru pertama kali menggendong sang putra ketika Sehun memaksanya untuk melakukan hal itu. Ketika Kai menggendong Luhan untuk pertama kalinya selama 8 bulan, ia terkejut betapa ringannya tubuh Luhan di dalam gendongannya. Kai juga baru menyadari bahwa semua yang ada di diri Luhan mengingatkan dirinya akan Sehun dan dirinya sendiri, kulit anak itu putih seputih kulit Sehun, hidung dan telinganya juga, sisanya adalah warisan dari Kai. Mata hampir bulat dan bibir penuh itu, Kai merasa ngeri ketika ia menyadari betapa mirip dirinya dengan anak yang berada di gendongannya ini.
Sayang, itu adalah pertama dan terakhir kalinya Kai menggendong sang putra di lengannya.
Ketika Luhan akan mengadakan pesta ulang tahun pertamanya di Korea, Kai tidak bisa ikut dengan alasan akan ada pertemuan dengan pemimpin perusahaan cabang Singapore di China. Alasan yang dapat di terima oleh Sehun karena pada saat itu memang sedang ada masalah dengan cabang perusahaan mereka yang berada di Singapore. Namun, ketika Kai kembali seminggu kemudian, bukannya membawa hadiah untuk ulang tahun sang putra, Kai malah membawa sebuah berita yang membuat Sehun resah.
"Aku harus tinggal beberapa bulan di Singapore, keadaan di sana sangat kacau, aku tidak bisa mengatasinya dari kejauhan seperti ini."
Sehun, sambil menggendong Luhan yang sedang tertidur, bertanya kepada Kai dengan ragu. "Apakah kami boleh ikut?"
"Tidak." Sudah pasti. "Kau dan Luhan tetap di sini. Luhan masih terlalu kecil untuk bepergian jauh."
Sehun hanya menghela nafas kecil mendengar perkataan sang suami.
Beberapa bulan yang Kai katakan ternyata berubah menjadi 3 tahun lamanya. Ketika Kai kembali menginjakkan kakinya di Korea, ia mendapati bahwa sang putra bahkan sudah lancar berbicara baik bahasa Korea maupun bahasa Mandarin.
"Papa!" ujar Luhan dengan mata yang berbinar ketika ia mendapati Kai berdiri di ambang pintu rumah mereka, Kai sedikit terkejut ketika Luhan mengenali dirinya yang 3 tahun belakangan ini menghilang.
Luhan kecil memeluk kaki sang ayah dengan erat, menyalurkan semua kerinduan yang selama ini ia pendam. Kai menepuk-nepuk kepala sang putra dengan canggung.
"K-kai…" Kai menoleh dan mendapati Sehun sedang berdiri dengan wajah terkejut.
"Sehun," tatapan mata Kai menusuk Sehun tepat di jantung lelaki itu, "I'm home."
.
"Hmm… kau tidak berubah, Kim. Waktu tidak mengubah penampilanmu." Ucap Soojung sambil membelai sisi wajah Kai.
Kai mengangkat alisnya, "benarkah?"
Soojung mencondongkan tubuhnya ke arah Kai hingga lelaki itu bisa merasakan hangat tubuhnya, "mungkin sedikit lebih tampan dari sebelumnya." Kai tertawa mendengarnya.
"Terakhir kali aku mendengar kabar tentangmu," Kai membalikkan posisi duduknya hingga sekarang ia berhadapan dengan Soojung, "kau hamil, benarkah itu?"
Guratan kesal muncul di wajah wanita itu, "aku aborsi. Aku tidak mau mengandung anak seseorang yang bahkan tidak aku cintai."
Kai terdiam mendengarnya, Soojung lalu melanjutkan, "bagaimana dengan istrimu? Ia sudah melahirkan, bukan?"
"Seorang putra," tanpa sadar sudut bibir Kai terangkat ketika ia teringat betapa menggemaskannya tingkah laku Luhan di rumah. "Kim Luhan."
"Luhan, eh?" Soojung menyandarkan kepalanya di pundak Kai, "nama yang bagus." Ia bergumam.
"Sehun yang mengusulkannya."
Soojung menatap Kai dengan alis terangkat, "lalu? Sekarang apa? Kau masih bertahan dengan lelaki itu?"
Kai mengangkat bahunya malas, "setidaknya hanya sampai Luhan tumbuh cukup besar untuk menjadi penerus keluargaku." Ia meneguk segelas wine sampai habis, lalu menuangkan cairan anggur dari botol ke gelasnya lagi hingga penuh.
Soojung mencibir lalu menyalakan rokok yang berada di bibirnya, ia menghembuskan asap rokok itu ke arah Kai, membuat lelaki itu mengernyit kesal. "Masih butuh beberapa tahun lagi agar anak itu cukup umur, Kim. Aku tidak akan tahan menunggu selama itu."
Dengan tidak sabar, Kai menarik batang rokok itu dari bibir Soojung lalu melumat bibir wanita itu dengan cepat dan kasar sebelum ia menghisap rokok itu dengan mulutnya sendiri, "patient, babe. Kau akan mendapatkanku sebentar lagi."
.
Sehun sangat bersyukur untuk memiliki Luhan sebagai anaknya. Luhan bisa di bilang anak yang terlalu jenius dibanding dengan anak-anak lain yang seumurannya. Ia tidak pernah bertanya kepada Sehun, mengapa 'papa' tidak pernah memeluk atau menggendongnya seperti papa papa yang lain. Ia juga tidak pernah bertanya kepada perginya Kai selama 3 tahun belakangan ini (Luhan cukup jenius untuk mengetahui seluruh kejadian yang ia alami selama ia masih kecil). Yang anak itu lakukan hanya bermain dengan segudang mainan yang dibelikan Uncle Chanyeol kepadanya setiap lelaki caplang itu datang berkunjung, dan buku-buku cerita bergambar yang di berikan oleh Grandma dan Grandpa kepadanya. Sehun tidak bisa meminta lebih untuk hal ini.
Kai masih jarang pulang ke rumah mereka, menyisakan Sehun sendiri tidur di kasu mereka. Sehun sudah terbiasa akan hal ini, bukannya ia mengharapkan agar Kai pulang lalu memeluknya atau apa, Sehun hanya tidak mau terjebak di dalam harapannya sendiri.
Sementara Chanyeol, lelaki itu memutuskan untuk kembali ke Korea semenjak ulang tahun Luhan yang pertama. Ia mengisi kekosongan Kai di sisi Luhan selama lelaki itu tinggal di Singapore. Chanyeol yang mengajak Luhan pergi untuk membeli mainan pertamanya, ia menyaksikan bagaimana Luhan pertama kali melangkahkan kaki kecilnya di lantai tanpa bantuan dari Sehun ataupun dirinya, ia juga pula yang menjadi saksi ketika Luhan berbicara untuk pertama kalinya.
"Papa." Begitu kata Luhan sambil menepuk-nepuk pipi Chanyeol pelan.
Andai saja aku memang papa-mu. Chanyeol tersenyum pedih.
Jadi, secara teknis, Chanyeol-lah yang selalu berada di sisi Luhan, menyaksikan pertumbuhan anak itu, pekerjaan yang harusnya di lakukan oleh Kai. Namun lelaki itu bahkan tidak pernah menunjukkan batang hidungnya selama 3 tahun.
Semenjak kepulangan Kai dari Singapore, Chanyeol dengan berat hati menyadari perubahan di mata Sehun. Mata yang selama 3 tahun ini selalu memancarkan kesenduan, sakit, bahkan kerinduan ketika menatap Luhan, kini semua pancaran itu telah digantikan oleh pancaran kebahagiaan. Senyum Sehun kini berkali-kali lebih cerah di banding sebelumnya, dan itu semua dikarenakan oleh seorang pria (berengsek, menurut Chanyeol) yang bernama Kai.
Dan ketika Chanyeol menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ketika Sehun menyambut kepulangan Kai dengan pelukan erat, Chanyeol hanya bisa memejamkan matanya sambil menahan sakit di dadanya. Ia menghela nafas berat sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menjauhi Kai dan Sehun yang masih berpelukan erat di depan pintu rumah mereka. Sambil menatap langit yang sudah mulai berwarna kelabu, derai tawa pahit keluar dari mulutnya.
That should be me.
.
"Baba!" Luhan melangkahkan kaki kecilnya dengan terburu-buru memasuki dapur rumahnya, menuju ke arah Sehun yang sedang menyiapkan makan malam. "Lihat apa yang Ibu Guru berikan kepadaku!"
Sehun berjongkok untuk mengambil secarik kertas yang di bawa oleh Luhan, di situ terlihat gambar 3 orang lelaki dengan tulisan "Baba, Lulu, Papa" di bawahnya. Sehun menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk tidak menumpahkan air matanya di hadapan sang putra. Luhan, masih dengan semangat yang menggebu-gebu, menunjuk gambar 5 buah bintang yang berada di pojokan kertas tersebut.
"5 bintang! Nilai sempurna!"
Sehun memeluk Luhan dengan bangga, "anak baba pintar sekali!" ia melepas pelukan mereka lalu menyerahkan kembali kertas itu ke tangan Luhan, "nah, sekarang kembali ke kamarmu, bersiap-siap untuk makan malam karena papa akan pulang sebentar lagi."
"Siap!" Luhan memberikan Sehun hormat sebelum berlari menuju kamarnya. Sehun tertawa kecil melihat tingkah laku putranya yang menggemaskan itu sebelum berbalik untuk menyelesaikan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda tadi.
Namun, selama memasak ia tidak bisa konsentrasi sedikitpun, ingatannya melayang kembali ke gambar yang di tunjukkan oleh Luhan tadi. Sehun terkejut ketika mengetahui fakta bahwa Luhan tidak pernah melupakan Kai sebagai papanya, padahal Kai hampir tidak pernah berada di sisi anak itu. Selalu Chanyeol yang menemani anak itu, bahkan ketika pertama kali berbicara, Luhan malah menunjuk Chanyeol dan memanggilnya dengan sebutan 'papa'. Sehun memejamkan matanya kala mengingat insiden itu.
"Kai…" Sehun menghela nafas berat, "Luhan membutuhkanmu…"
.
8 tahun berlalu dengan cepat bagi Sehun maupun Kai.
Kini, Luhan sudah berubah menjadi seorang anak lelaki yang tampan seperti Kai dan cantik seperti Sehun di saat yang bersamaan. Hobinya bermain futsal (Kai kembali teringat masa-masa Sehun ketika hamil Luhan, betapa ia menyukai sepak bola waktu itu) dan ia bahkan di tunjuk sebagai kapten tim futsal di sekolahnya. Semua orang menyukainya, Luhan berhasil menyabet semua penghargaan sekolah dengan prestasinya, namun semua itu tetap saja tidak berhasil membuat Kai 'melirik' sang putra.
Sehun masih berteman dekat dengan Chanyeol, yang terkadang membuat Kai kesal. Namun, itu tidak menghentikan Chanyeol agar tetap mendapatkan perhatian Sehun. Tanpa Sehun sadari, ada perang dingin yang terjadi di antara kedua lelaki itu.
Lalu, ketika Luhan berumur 16 tahun, ia dengan malu-malu berkata kepada orang tuanya bahwa ia sedang menyukai seseorang di sekolahnya.
"Namanya, Minseok." Luhan berkata dengan wajah memerah. "Dia wakil kapten tim futsalku."
Sehun menyambut kabar itu dengan suka cita sementara Kai hanya memasang ekspresi acuh tak acuh.
Tak lama kemudian, Luhan berpacaran dengan Minseok.
Minseok sebenarnya pernah Luhan ajak untuk bertemu dengan kedua orang tuanya, namun saat itu hanya ada Sehun di rumah, Kai sedang melakukann perjalanan bisnis ke Prancis dan akan pulang minggu depan. Sehun dengan ramah menyambut Minseok, membuat lelaki itu merasa seperti sedang berada di rumahnya sendiri. Mereka makan malam bersama, sambil membicarakan hal-hal lucu seperti kekonyolan masa kecil Luhan, tertawa bersama hingga lupa waktu.
"Kapan-kapan datang lagi ya," ujar Sehun ketika Minseok pamit undur diri, "kau harus bertemu dengan ayah Luhan yang satu lagi."
"Tentu saja," ujar Minseok dengan sumringah.
2 tahun kemudian, Luhan akhirnya merayakan ulang tahunnya yang ke-18, itu artinya ia sudah legal.
Ia masih berpacaran dengan Minseok sampai sekarang, hubungan mereka bahkan semakin romantis seiring berjalannya waktu. Terkadang membuat Sehun sedikit iri dengan hubungan sang putra dengan kekasihnya. Namun, kali ini Luhan ingin merayakan ulang tahunnya di rumah, hanya bersama sang baba—atau mungkin juga dengan sang papa. Tapi, Kai tidak terlihat di manapun.
"Putra kecilku sudah besar sekarang," ujar Sehun sambil mengelus kepala Luhan ketika anak itu selesai meniup lilin di kue ulang tahunnya. "Rasanya baru kemarin aku masih menggendong-gendongmu dengan kain."
"Baba…" Luhan memutar matanya bosan ketika melihat sang baba yang mulai mendramatisir keadaan. Mereka berdua memutuskan untuk memakan kue itu bersama sambil bercanca-canda dan tertawa, tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang sedang menatap mereka dengan pandangan yang tidak dapat di artikan.
"Luhan." Suara Kai tiba-tiba menyapa indera pendengaran Sehun dan Luhan, "selamat ulang tahun, nak."
Luhan tersenyum sangat lebar, ia tidak menyangka sang papa akan mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. "Terima kasih, papa."
Kai mengangguk singkat, lalu melemparkan sebuah map ke meja makan. Ia lalu mengisyaratkan Luhan agar anak itu segera membuka map itu. Luhan, dengan semangat membuka map itu, mengira bahwa sang papa akan memberikan hadiah ulang tahun untuknya. Namun, senyumannya luntur dalam sekejap ketika ia membaca tulisan yang tertera di atas kertas itu.
"A-apa ini, papa?"
"Proposal pernikahan," Kai berkata dengan tajam, "Luhan, aku ingin kau putus dengan kekasihmu dan menikahi putra pewaris Wu Corp., Wu Yifan. Itu hadiah ulang tahun dariku."
.
"Baba?"
"Ya?"
"Apakah papa membenciku?"
Sehun memeluk Luhan dengan erat, "tidak, sayang. Papamu hanya—" Sehun terdiam untuk menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan Kai. "yah, dia memang seperti itu. Tapi percayalah, ia melakukan semua ini karena ia menyayangimu." Sehun berusaha keras untuk menyembunyikan keraguan di dalam suaranya.
Luhan mendongak untuk menatap Sehun dengan kedua matanya yang merah dan sembap sehabis menangis, "apakah baba dan papa menikah juga karena perjodohan seperti ini?"
Sehun mengangguk pelan.
"Apakah kalian saling mencintai?"
Pertanyaan Luhan berhasil membuat Sehun bungkam seribu bahasa.
.
Pernikahan Luhan dan Yifan berlangsung sangat mewah, hasil rancangan dari Henry itu sendiri. Mereka melaksanakan acara pernikahan itu di China, tepatnya di Guangzhou. Banyak tamu undangan yang menghadiri acara pernikahan itu, mulai dari para pejabat hingga para artis, semua datang dan menyalami kedua keluarga yang sekarang sudah bersatu itu.
Senyuman yang terpampang di wajah Luhan mengingatkan Sehun akan dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu, ketika ia dipaksa untuk menikahi Kai. Namun kali ini Sehun juga harus berpura-pura bahagia lagi, berpura-pura bahagia karena pernikahan sang putra yang sedang berlangsung, meskipun ia tahu, Luhan sangat hancur di dalam.
"Kalau kau lelah, kau bisa kembali ke kamar duluan." Ucap Kai pelan.
"Aku tidak mengapa." Balas Sehun pelan, meskipun kepalanya terasa berputar. "A-aku rasa, aku akan mencari tempat duduk saja."
Acara selesai tepat pukul 12 malam. Luhan akan tinggal di China mengikuti Yifan yang selama ini memang tinggal di Guangzhou. Sementara Kai dan Sehun akan kembali ke Korea. Setelah mengucapkan perpisahan dengan penuh air mata, Sehun akhirnya menyusul Kai untuk masuk ke dalam pesawat.
Suasana di dalam pesawat terasa sangat canggung meskipun mereka sudah menikah selama 18 tahun, Kai sibuk membaca majalah sementara Sehun bergerak-gerak gelisah di kursinya.
"Sebenarnya ada apa denganmu?" tanpa sadar Kai menaikkan volume suaranya kepada Sehun.
Sehun masih terlihat gelisah, namun tidak menjawab ucapan Kai. "Jawab!"
"A-aku—setelah ini, apa Kai?" Sehun menunduk, "a-aku tahu kau hanya akan bertahan denganku sampai Luhan sudah cukup umur untuk menjadi pewaris, dan sekarang Luhan bahkan sudah menikah dengan putra keluarga Wu. J-jadi, kau akan b-bercerai denganku?"
Kai memijat pelipisnya mendengar penuturan Sehun, jadi selama ini Sehun sudah tahu, batinnya. Ia memutuskan untuk mengabaikan Sehun dan malah menutup kedua iris matanya itu, mencoba untuk tidur dan menyingkirkan Sehun dari kepalanya.
.
Chanyeol dengan langkah ringan memasuki pekarangan rumah Sehun sambil bersenandung. Suasana hatinya kali ini sedang cerah, jadi ia memutuskan untuk mengunjungi Sehun, mengingat anak itu pasti akan kebosanan setengah mati karena tidak ada lagi Luhan yang biasa menemaninya. Ia menyeringai ketika tidak menemukan mobil Kai di garasi, itu artinya ia bebas berlama-lama dengan Sehun-nya.
Ia melangkahkan kakinya turun dari mobil sambil membawa 2 bungkus bubble tea kesukaan Sehun. Cuaca hari ini sangat cerah, seakan-akan mendukung moodnya yang juga sedang baik. Namun, ia terkejut ketika menemukan bahwa pintu depan rumah Sehun tidak terkunci, padahal biasanya lelaki itu paling cerewet jika menemukan pintu rumahnya tidak terkunci.
"Sehun?" Chanyeol berusaha untuk mengintip terlebih dahulu sebelum memasuki rumah itu.
Ia menelusuri rumah itu dengan perasaan was-was, rumah itu semakin terasa sepi semenjak Luhan tinggal di China bersama sang suami. Tidak ada satupun maid yang terlihat di rumah itu, membuat Chanyeol semakin khawatir akan keberadaan Sehun. Ia memutuskan untuk mengecek dapur, kamar mandi, halaman belakang, dan kamar Luhan, namun hasilnya nihil, ia tidak menemukan apapun di dalam sama. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri kamar Sehun dan Kai yang pintunya sedikit terbuka.
Mata Chanyeol menjadi cerah ketika ia menemukan Sehun sedang berbaring di kasurnya, nampaknya lelaki itu sedang tertidur. Jadi, Chanyeol memutuskan untuk membangunkan lelaki itu dengan spontan, bermaksud untuk membuat Sehun kaget. Ia berjalan mengendap-ngendap menuju kasur dan ketika sudah dekat dengan tubuh Sehun, Chanyeol dengan cepat menggoyang-goyangkan tubuh Sehun.
Namun Sehun tidak bergeming.
Chanyeol mencoba untuk membangunkan Sehun sekali lagi, sekarang sambil memanggil-manggil lelaki itu dengan namanya, namun Sehun tetap tidak bergerak dalam tidurnya.
Chanyeol mulau curiga kalau Sehun tidak sedang tidur.
Ingatan Chanyeol lalu kembali ke masa ketika ia dan Sehun sedang duduk di bangku SMA, Sehun pernah beberapa kali kolaps di sekolah, membuat seisi kelas pecah. Setelah di periksa, ternyata Sehun mengalami radang otak atau yang lebih dikenal dengan nama Ensefalitis. Beruntung beberapa tahun belakangan, sepertinya penyakit itu sudah benar-benar menghilang dari tubuh Sehun. Namun itu tidak melepas kemungkinan bahwa Sehun tidak akan terserang penyakit itu lagi.
Dengan kalut, Chanyeol segera menggendong Sehun dan membawanya menuju rumah sakit terdekat. Yang ada di pikirannya saat ini hanya keselamatan Sehun, ia tidak peduli sudah berapa banyak benda yang ia tabrak ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, karena Chanyeol menyetir seperti orang kesetanan. Dan ketika sampai di rumah sakit, ia berteriak kepada semua perawat untuk segera menangani Sehun. Jantung Chanyeol hampir berhenti ketika ia melihat betapa pucatnya diri Sehun, ia akhirnya jatuh berlutut di depan pintu UGD, dan tidak pernah pemikiran untuk menghubungi Kai terlintas di kepalanya.
.
"Apakah Anda kerabat dari Kim Sehun?" tanya seorang dokter yang keluar dari ruang periksa Sehun.
Chanyeol segera berdiri tegak, "y-ya, saya kakaknya." Jawab Chanyeol ragu.
"Kondisi Tuan Kim sangat kritis saat ini, ia akan sadar mungkin besok, tapi daya tahan tubuhnya terlalu lemah. Bisa Anda ceritakan kepada saya apa saja yang telah di lalui oleh pasien selama beberapa bulan terakhir?"
"Uh…" Chanyeol tergagap, bingung harus menjawab apa karena ia tidak selalu berada di sisi Sehun selama beberapa bulan ini karena lelaki pirang itu harus mengurusi pernikahan Luhan.
"Kalau begitu, bisa saya bertemu dengan suami pasien?" tanya sang dokter itu ketika menyadari kebingungan Chanyeol.
Kai. Chanyeol mendesah dalam hati. "Aku akan menelpon suaminya."
.
"Kim Kai…"
"Hm…"
"Datanglah ke rumah sakit Seoul, Sehun membutuhkanmu."
"…"
"Apa yang terjadi?"
"Kau harus datang, Kim sialan. Cepat seret badanmu ke sini atau kau akan kehilangan Sehun selamanya."
.
Kai kini sedang terduduk di samping kasur rawat inap Sehun, sementara lelaki yang sedang ia pangdangi malah memalingkan wajahnya untuk menatap pemandangan di luar jendela.
"Kau punya penyakit itu…" suara Kai pecah, "kenapa tidak bilang padaku?"
Sehun menolehkan kepalanya kepada Kai lalu tersenyum lemah, "jika aku bilang kepadamu, apakah kau akan peduli?"
Kai terdiam.
"Tentu saja tidak." Sehun lalu kembali memfokuskan pandangannya ke luar jendela.
Keheningan melanda ruang kamar inap Sehun, lalu Sehun yang tidak tahan akan keheningan itupun akhirnya membuka suara. "Mereka bilang waktu hidupku tidak akan lama lagi, mungkin sebulan, jika aku beruntung." Kai hanya terdiam sambil mendengarkan Sehun berbicara, "aku mungkin akan terdengar sedikit lancang jika mengatakannya, tapi, Kai? Bisakah kau menemaniku di rumah sakit ini? Setidaknya luangkanlah waktumu sedikit untukku, meskipun itu hanya satu menit."
Kai menatap tubuh Sehun yang semakin kurus dibandingkan pertama kali mereka bertemu, "baiklah."
Setidaknya Kai tidak menyesali perkataannya.
.
Hari ke-1.
"Apakah Luhan sudah tahu kalau aku masuk rumah sakit?" tanya Sehun sambil memakan sarapannya.
Kai terbatuk kecil sebelum membetulkan posisi duduknya, "belum, aku tidak mau merusak acara bulan madunya bersama Yifan di Canada."
Sehun mengangguk kecil, rona di pipinya sudah kembali dan ia kelihatan jauh lebih baik dibanding kemarin. Membuat Kai sedikit lega mengetahuinya.
.
Hari ke-2.
"Aku baru tahu kau dulu juga pernah menuntut ilmu di Yonsei." Ujar Kai pelan sambil menyodorkan sebuah apel kepada Sehun.
Sehun tertawa, "mungkin kau tidak mengenalku, tapi aku mengenalmu dulu."
"Benarkah?"
"Kau cukup populer di kalangan para wanita dulu, mereka selalu berbicara segala hal mengenaimu. Menyebalkan." Sehun tersenyum kecil. "Tapi, hey, pada akhirnya aku yang beruntung dapat menikah denganmu dibanding para wanita itu."
.
Hari ke-3.
Kondisi Sehun memburuk di hari ke-3, ia harus mengalami muntah darah yang sangat banyak hingga membuat Kai kalap. Akhirnya lelaki tan itu dengan tergesa-gesa berlarian di sepanjang lorong rumah sakit sambil berteriak-teriak meminta pertolongan para suster. Butuh waktu lebih dari 1 jam untuk memulihkan Sehun, tapi akhirnya lelaki pirang itu berhasil tertidur setelah dokter menyuntikan obat bius kepadanya.
Kai dengan lega membaringkan tubuhnya di atas sofa yang terletak di pojok ruangan, matanya bergerilya lalu terpaku pada wajah Sehun yang tertidur dengan damai di atas kasur. Jarang bertemu Sehun membuat Kai baru menyadari sekarang betapa menawannya wajah Sehun. Rahang yang tegas, alis yang terukir sempurna di atas matanya, kulit seputih salju, Kai tidak begitu menikmati sentuhan tangannya di kulit Sehun ketika mereka melakukan seks belasan tahun yang lalu. Namun sekarang ia gatal ingin membelai Sehun ke dalam pelukannya.
Kai tersenyum kecil sebelum akhirnya menyusul Sehun ke alam mimpi.
.
Hari ke-4.
Pagi ini, Sehun tidak terbangun dari tidurnya. Dokter mengatakan bahwa Sehun pingsan lagi, dan ada kemungkinan untuk bangun keesokan harinya. Kai hanya mengangguk dengan lesu ketika mendengarkan penjelasan sang dokter. Ia juga sudah tidak memiliki gairah untuk sekedar berangkat kerja ke kantor, yang ia inginkan saat ini hanya duduk dan memandangi wajah damai Sehun yang sedang tertidur.
Terkadang Kai membiarkan tangannya bergerak sendiri untuk membelai sisi wajah Sehun, ia bergetar ketika merasakan lembut kulit Sehun bersentuhan dengan kulit tangannya. Harus Kai akui, bahwa kulit Sehun bahkan lebih lembut dibandingkan dengan kulit Soojung.
Kai terkesiap ketika menyadari bahwa ia belum menghubungi wanita itu selama beberapa hari ini, namun ketika ia kembali menatap wajah Sehun, dengan segera Kai mengurungkan niatnya untuk menghubungi Soojung dan lebih memilih untuk memandangi wajah sang istri.
.
Hari ke-5.
"Kondisi Tuan Sehun setelah terbangun dari pingsannya semakin memburuk, aliran oksigen sulit mengalir ke otaknya, sepertinya tersumbat, namun pasien menolak untuk melakukan terapi. Saya berharap, Anda sebagai suami dapat meyakinkan pasien untuk mengambil sesi terapi, demi kesembuhan dirinya sendiri."
"Sehun…" Kai menyentuh bahu Sehun yang sedang tidur membelakanginya, "cobalah terapi itu—"
"Tidak, Kai." Suara Sehun terdengar serak, "aku tidak mau."
"Ini demi kesembuhanmu—"
"Peduli apa kau?!" kini Sehun berbalik dan melotot ke arah Kai, "pada akhirnya aku akan mati, terapi itu hanya memperlambat kematianku." Ia berbisik di akhir kalimat.
.
Hari ke-6.
"Kai?" Kai mendongak dari hpnya dan menemukan Sehun yang sedang menatapnya dengan gugup.
"Ada apa? Bagian mana yang sakit?" tanya Kai refleks.
Sehun terbatuk kecil sebelum menjawab, "uh… sebenarnya aku ingin memintamu untuk melakukan suatu hal."
Kai menarik kursi agar ia bisa duduk lebih dekat dengan Sehun, "apa?"
"Bisakah kau t-tidur denganku di atas ranjang malam ini? A-aku merasa kedinginan. Tapi ji-jika kau tidak mau, tidak apa-apa, a-aku—"
Tanpa sepotong kata apapun Jongin merangkak naik ke atas kasur Sehun lalu menempatkan tubuh ringkih Sehun di dalam pelukannya sebelum menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. Ia bisa mendengar Sehun terkesiap kaget karena di perlakukan seperti ini secara mendadak, namun ia tidak memedulikannya. Kai mengelus-elus kepala Sehun hingga lelaki pirang itu pelan-pelan memejamkan matanya.
"Tidurlah, Hun." Bisik Kai.
Malam itu, untuk pertama kalinya Sehun tertidur di dalam pelukan suaminya.
.
Hari ke-7.
"Maafkan kami Tuan Kim, namun sudah tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan Tuan Sehun. Pasien menolak untuk melakukan terapi dan meminum semua obat yang kami berikan. Sudah tidak ada harapan lagi bagi Tuan Sehun."
Kai menggenggam tangan Sehun erat, sementara Sehun sedang bersusah payah untuk menjaga dirinya agar tetap sadar. Deru nafas Sehun terdengar berat, seakan-akan lelaki itu selesai melakukan marathon berkilo-kilo meter jaraknya. Kai mengelus-elus tangan Sehun dengan ibu jarinya, berusaha untuk menenangkan sang istri, meskipun ia merasa jantungnya telah di renggut secara paksa dari tubuhnya ketika melihat Sehun tersiksa seperti ini.
"L-Luhan, s-sudah tahu?" tanya Sehun, Kai menggeleng pelan.
"Bagus, setidaknya aku tidak perlu menjadi beban untuk putra kesayanganku itu." Sehun menghela nafas panjang, lalu nafasnya tersengal-sengal lagi.
"Sehun, jangan paksakan dirimu." Bisik Kai.
"Tidak, Kai." Sehun mengerjabkan matanya berulang kali, berusaha untuk mengatur nafasnya. "Aku harus memberitahumu sesuatu," Sehun mendaratkan pandangannya tepat di mata Kai yang bersinar penuh dengan kekhawatiran, "aku mencintaimu."
Nafas Kai tercekat, dunianya seakan-akan runtuh di sekelilingnya seiring dengan deru nafas Sehun yang pendek-pendek.
"A-aku sudah mulai mencintaimu di detik ketika aku melihatmu memasuki gerbang Yonsei untuk pertama kalinya, bahkan sebelum kau menyadari keberadaanku aku sudah mencintaimu." Sehun berhasil menampilkan senyuman sebelum ia terbatuk keras dan Kai bangkit untuk menolongnya.
"Tidak, jangan tolong aku. Dengarkan aku sekarang." Sorot mata Sehun berubah menjadi tegas, Kai tidak memiliki pilihan lain selain duduk. "K-kau tidak tahu betapa senangnya aku ketika orang tua kita menyuruh kita untuk menikah," mata Sehun menerawang, "k-kau tidak tahu betapa bahagianya aku ketika a-aku menjadi istrimu, alasan mengapa aku setuju untuk mengandung anakmu, Kai, itu simple, karena aku mencintaimu."
Kai mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Sehun dengan seksama, tubuhnya terasa nyeri di berbagai sisi, seakan-akan setiap kata yang keluar dari mulut Sehun berubah menjadi anak panah yang menyerangnya dari berbagai arah.
"T-tapi di sisi lain, a-aku juga membencimu, Kim Kai. Aku membencimu karena kau menelantarkan aku yang sedang hamil anakmu, aku membencimu yang bahkan tidak pernah melirik putramu barang sedetikpun, aku membencimu karena tidak pernah membiarkan Chanyeol hyung berada di sisiku padahal saat itu aku sedang sangat membutuhkanmu. Aku membencimu untuk segala hal, tapi yang paling utama aku membencimu karena kau semakin membuatku mencintaimu setiap harinya, bahkan hingga saat ini."
Sehun mengerang kecil sebelum melanjutkan, "terkadang aku berpikir mengapa aku tidak dengan mudahnya jatuh cinta kepada Chanyeol yang selama ini selalu berada di sisiku? Mengapa aku harus jatuh cinta kepadamu? God, I hate you so much, Kim Kai. Jika memang ada dunia lain setelah ini, aku berharap aku tidak akan jatuh cinta denganmu lagi."
Jantung Kai berhenti berdetak selama beberapa saat ketika mendengar kalimat terakhir Sehun. "Apa kau menyesalinya?"
Alis Sehun terangkat, bertanya.
Kai berusaha menjaga agar suaranya tetap stabil, "mencintaiku. Apa kau menyesalinya?"
Di luar dugaan, Sehun malah memejamkan matanya lalu tersenyum. "Kai, mencintaimu adalah kesalahan terbaik yang pernah aku lakukan selama hidupku ini." Ia kemudian membuka kembali kelopak matanya, sambil menatap Kai, Sehun berkata. "Jaga Luhan untukku, cintaku. Aku mencintaimu."
Lalu Sehun menutup kedua matanya yang selalu memancarkan sinar kebahagiaan itu, selamanya, dengan senyuman yang terus terpasang di bibirnya.
.
Pemakaman Sehun di lakukan secara tertutup dan hanya di hadiri oleh sanak keluarga tertentu saja.
Luhan menangis meraung-raung ketika peti Sehun di turunkan ke dalam tanah, ia berakhir di pelukan Yifan yang menatap tanah dengan pandangan sendu. Chanyeol juga hadir di sana, mata lelaki itu bengkak sehabis menangis, namun sepertinya Chanyeol dan Luhan tidak begitu peduli dengan kehadiran Kai di sana.
Kai menjadi orang terakhir yang meninggalkan pemakaman Sehun, ia tidak peduli jika bajunya basah karena air hujan, atau para bawahannya memanggil-manggil namanya dari kejauhan. Yang Kai lakukan hanyalah menatap langit dengan sendu lalu menghela nafas, "bahkan langit saja ikut bersedih atas kepergianmu, sayang. Berbahagialah di sana."
Kai lalu melangkahkan kakinya menjauhi pemakaman, meninggalkan jejak kaki di tanah yang pasti akan segera terhapus oleh hujan.
.
Seminggu setelah pemakaman Sehun, keadaan Kai menjadi lebih buruk di bandingkan sebelumnya. Ia memutuskan hubungannya dengan Soojung secara sepihak, tidak mengikuti rapat perusahaan dengan benar, dan bahkan sering tidak hadir untuk bekerja. Kai terlalu sibuk memandangi foto Sehun yang terpampang besar di kamar mereka, terlalu malas untuk bergerak, seakan-akan foto Sehun itu sudah mengikatnya agar ia tidak bisa lari kemana-mana.
Hingga pada suatu siang, Fei, sekretarisnya menelpon Kai dengan terburu-buru, membuat Kai mengerang dalam tidurnya dan mengangkat telpon itu dengan sedikit kasar.
"Presidir! Gawat! Ada yang membocorkan file-file penting perusahaan ke internet dan awak media! Sekarag nilai saham kita menurun dan perusahaan kita berada di ambang kehancuran."
Kai menjatuhkan telponya ke kasur pada saat itu juga.
.
Ketika Kai sampai di ruang kerjanya, ia mendapati bahwa ada seseorang yang sudah meretas komputer pribadinya. Menggeram kesal, Kai berusaha untuk mendapatkan kembali komputernya. Namun tidak berhasil, yang ia dapatkan hanyalah semua data-data penting perusahaanya hilang, lenyap tak berbekas.
Kai mendongak dari komputernya ketika mendengar pintu ruangannya terbuka, betapa terkejutnya ia ketika mendapati Yifan sedang berdiri di sana, sambil tersenyum lebar.
"Bagaimana kabarmu, ayah mertua?" tanya Yifan.
Kai mengeratkan pegangannya pada meja kerjanya, "apa yang sedang kau lakukan di sini, Wu?"
"Aku?" Yifan menunjuk dirinya sendiri, "tentu saja datang untuk mengunjungi ayah mertuaku dan perusahaannya yang sudah berada di ambang batas kehancuran." Yifan menyeringai.
"Kau tahu, sir? Setelah pemakaman baba, Luhan selalu mengurung dirinya di kamar kami. Menolak untuk keluar, menolak untuk makan, menolak untuk melakukan semua hal." Yifan mulai berjalan mendekati Kai, "ketika aku berhasil membujuknya untuk keluar, ia malah melimpahkan semua keluh kesahnya kepadaku. Betapa ia membenci papanya karena tidak pernah ada di sisinya dari dulu, ia membenci kau yang tidak pernah peduli dengan babanya, ibunya tercinta."
Perasaan bersalah membuncah di dada Kai, "lalu?"
"Lalu," Yifan tersenyum. "Ia bertanya kepadaku apakah aku mencintainya, lalu ku jawab tentu saja, dan Luhan berkata, 'kalau kau mencintaiku, kau akan melakukan apapun untukku kan? Termasuk jika aku memintamu untuk membunuh papaku?'"
Tubuh Kai menegang, seluruh badannya terasa kaku ketika Yifan mengeluarkan sebuah pistol dari balik jas yang ia kenakan dan mengarahkannya kepada Kai.
"Aku mencintai istriku dengan tulus, kau tahu? Tidak seperti kau yang bahkan tidak pernah mencintai istrimu padahal ia selalu mencintaimu. Kau hanya terpaku pada seorang wanita yang bernama Jung Soojung tanpa mengetahui ada sesuatu yang gelap di balik wanita itu."
Tidak mungkin…
"Ya." Yifan seakan-akan bisa membaca pikiran Kai, "Soojung yang membantu kami untuk membobol database perusahaanmu, itu mudah karena selama ini sebenarnya ia juga sudah lelah denganmu. Dan, oh ya, Chanyeol juga memberikan sedikit bantuan." Yifan tersenyum licik. "Any last words before you die, old man?"
Kai menghirup nafas dengan pelan, ingin menikmati rasanya hidup sebelum mati di tangan menantunya sendiri. Kai dengan perlahan mengangkat dagunya dan berkata, "jaga putraku untukku, Yifan."
Yifan tersenyum miring sebelum menarik pelatuk, "my pleasure."
Kai menutup matanya, kegelapan siap menariknya lebih dalam.
.
Jika kau diberikan kesempatan untuk memperbaiki semuanya sekali lagi, apakah kau akan mengambilnya?
Tentu saja.
.
"ugh…" Kai terbangun dengan kepala yang berputar hebat. Cahaya terang menyilaukan matanya hingga ia sedikit kesulitan untuk melihat. Ia mengangkat sebelah lengannya untuk menghalau cahaya yang menyakitkan itu, namun sebelum ia sepenuhnya sadar akan apa yang sedang terjadi, sebuah suara familiar mengagetkannya.
"Astaga! Kau sudah sadar!"
Kai menoleh ke samping dan jantungnya seakan-akan meloncat keluar dari tubuhnya ketika ia melihat sesosok Sehun yang sedang menatapnya dengan khawatir. Ia mengedipkan matanya beberapa kali sebelum berbisik, "S-Sehun?"
"K-kau tahu siapa aku?" tanya Sehun cemas.
Kai mengedarkan pandangannya ke sekeliling, "a-apa yang terjadi?"
"M-maafkan aku, seharusnya aku menangkap bola yang di lempar oleh Luhan bukannya menghindar, sehingga membentur kepalamu—"
"T-tunggu, siapa katamu tadi? Luhan?" Kai memegangi kepalanya yang masih terasa sakit, "d-dia ada di sini?"
Sehun terlihat ragu, "tentu saja, dia kan kapten tim futsak sekolah kita."
Mata Kai melebar hingga membentuk bulat sempurna, "HAH? SEKOLAH KITA?" sejak kapan putranya berada di sekolah yang sama dengan dirinya?
Kai merasa bersalah ketika ia melihat Sehun terkejut karena di bentak olehnya, "a-ah, k-kau tidak m-mungkin amnesia kan, Jongin?"
"Jongin?" Kai membeo, "siapa Jongin?"
Sehun menatap Kai dengan pandangan horor, sebelum ia berteriak. "KYAAAA JONGIN AMNESIA."
.
"Jadi, Jongin, katakan kepadaku apakah kau mengenalku?"
Kai menatap Chen di hadapannya dengan pandangan aneh, "Kau Chen, siapa lagi?"
Mata Chen melotot sempurna, "kau benar-benar amnesia!"
"Kalau kau bukan Chen, lalu kau siapa?" tanya Kai kesal.
"Aku Jongdae, bodoh." Chen—Jongdae itu mendengus kesal, "apa-apaan dengan nama Chen? Nama yang buruk."
Kai terdiam, ia baru tersadar dari 'pingsan' akibat insiden bola yang menimpuk wajahnya di lapangan tadi. Menurut para saksi mata, kejadian itu bermula ketika Luhan (Kai masih sulit membayangkan putranya berada di sekolah yang sama dengannya) melemparkan bola futsal ke arah Sehun yang malah menghindar sehingga bola itu dengan manisnya mendarat di atas wajah Kai.
Atau Jongin.
Entahlah, Kai tidak begtu peduli, yang ia pedulikan saat ini hanyalah sesosok lelaki bernama Sehun yang sedang bercanda dengan hebohnya dengan seorang lelaki caplang familiar yang tidak lain adalah Park Chanyeol.
Chanyeol itu dimanapun dunianya akan selalu menjadi saingan Kai.
"Oh my God, Jongin ! You're awake!" suara cempreng seorang perempuan membuat Kai terlonjak dan menoleh, itu Soojung.
"Soojung?! Kau juga?"
Soojung mengkerutkan dahinya dengan aneh, "siapa Soojung, dumbass! Aku Krystal!"
Kai tergagap untuk beberapa kali sebelum ia menoleh untuk mengambil minuman yang tadi di berikan oleh Ch—Jongdae kepadanya, dan hanya untuk menemukan Yifan sedang berdiri di hadapannya.
"Yifan?!"
Yifan menatap Kai dengan bingung, "seriously dude? Kau mulai memanggil orang-orang dengan nama-nama aneh setelah bangun dari pingsanmu? Aku Kris, bukan Yifan by the way."
Sooj—Krystal menggebrak meja di hadapan Kai hingga semua orang yang berada di kantin menoleh ke arah mereka, "kau bahkan lupa namamu sendiri Jongin, who the hell are Soojung, Yifan, and Chen huh?"
"Jongiiin," Kai melotot ketika mendengar suara putranya menyapa indera pendengarannya, lalu ia dapat merasakan sesuatu yang berat menubruknya dari samping, "maafkan aku, harusnya aku tidak melempar bola itu kepada Sehun—"
"Wait—Luhan?! Mengapa rambutmu menjadi coklat seperti ini? Kemana rambut pirangmu?"
Luhan, putranya itu (Kai masih berpikiran seperti itu) menatapnya dengan pandangan horor, "SEHUNNIE BENAR, JONGIN AMNESIA KYAAA."
.
"Maafkan aku…"
Kai menghela nafas untuk kesekian kalinya. "Kau sudah ku maafkan, Sehun."
"Tapi tetap saja—" Sehun bungkam ketika dipelototi oleh Kai.
Mereka berdua sekarang sedang duduk-duduk di atap sekolah mereka, Kai, meskipun ia masih dalam kondisi kebingungan akan lingkungan barunya, sudah berhasil mengendalikan dirinya agar tidak menjadi gila dengan semua kejadian yang menimpanya secara bersamaan seperti ini. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa di dunia ini Luhan bukanlah anaknya, Yifan bukanlah musuhnya (meskipun aneh rasanya melihat orang yang pernah membunuhmu sekarang menjadi sahabat terbaikmu), Chen masih tetap menjadi temannya hanya saja di dunia ini levelnya berubah menjadi sahabat, Krystal di dunia ini adalah kekasihnya, tidak mengejutkan.
Tinggal tersisa Chanyeol dan Sehun.
"Kau memiliki hubungan apa dengan Chanyeol?" Kai bertanya tiba-tiba.
Sehun melirik Kai dari ekor matanya, "dia kekasihku."
Sudah ku duga. Kai tersenyum miris di dalam hati.
Jika memang ada dunia lain setelah ini, aku berharap aku tidak akan jatuh cinta denganmu lagi.
Kai tersenyum simpul sambil memperhatikan Sehun dari samping, angin membuat helaian rambut Sehun menutupi sebagian wajah lelaki itu. Penampilan Sehun masih sama seperti dulu, bahkan pirang rambutnya tidak berubah sedikitpun. Intinya, Sehun masih tetap menawan di mata Kai.
Kali ini aku yang akan membuatmu jatuh cinta kepadaku lagi, sayang.
…..
Astaga, seharusnya saya belajar buat uas besok ;-;
Tapi malah bikin beginian ;_;
