The Days When It Comes - Chapter 1

Berjalan menyusuri heningnya danau ini memang sudah jadi kebiasaanku. Semilir angin sore bersatu dengan embusan nafasku. Kuputuskan untuk tidak pulang malam ini. Lagi pula jika aku pulang juga percuma. Tidak ada sambutan hangat keluarga, rumah pohon itu bagaikan gudang kosong saja. Seandainya Poppscab, kucing hitam yang satu itu tidak pergi, keadaan ini pasti akan jauh lebih baik. Yah, tapi apa boleh buat, Scab kecil itu pasti ingin mencari ibunya yang tiga hari lalu hilang. Tidak sepertiku, yang walau seberapa pun kerasnya aku mencari, itu tidak lebih dari pengorbanan yang percuma.

Aku sendiri tidak tahu siapa diriku, tidak tahu dari mana aku, dan apalagi orang tuaku. Aku begitu berbeda dari teman-temanku, kupikir sedikit lebih tinggi tidak akan jadi masalah, meski pada kenyataannya hal ini membuatku semakin dikucilkan. Aku merasa semua ini bertambah tidak berguna, dan sekarang— sekali lagi—keputusharapan menyerang benakku. Aku tahu bahwa seharusnya aku bersyukur, karena pertapa tua itu masih mau mengasuhku hingga umurku menginjak tahun ketiga, dan olehnya juga aku masih bisa hidup hingga sekarang. Tapi di sisi lain, aku menyesal masih hidup. Karena setelah tahun ketiga itu, aku sendirian, hanya ditemani dua ekor kucing yang tiba-tiba mendatangiku. Namun sekarang aku baru sadar kalau selama ini, mereka melindungiku. Ketika aku hampir terkena ledakan bubuk mesiu dari percobaan sihir Errion—teman di kelas ramuan sihir, Ibu Poppscab mendorongku, dan entah mengapa dorongan itu memindahkanku hingga seratus meter. Juga pada saat aku digigit Shania—Si Dwarf Ular—aku langsung sembuh begitu Poppscab mencakar luka itu. Lalu jika mereka meninggalkanku, aku akan benar-benar sendirian.

Ini sudah terlalu jauh, lamunanku telah menyebabkan perjalanan panjang nan aneh ini. Aku duduk di pinggiran danau Moonbeam. Bulan tampak begitu besar malam ini. Aku bisa mendengar nyanyian peri-peri hutan dengan jelas, ritmenya seakan membentuk gelombang tersendiri dalam danau. Itu pasti akan membangunkan para vila, dan mereka pasti ikut menyanyi.

Senandungan para nimfa—vila dan peri hutan—membuatku gila. Aku sempat berpikir jika aku akan melupakan segala hal ketika mendengar mereka, seperti dwarf-dwarf lain yang sudah pernah bertemu mereka.

Seseorang menutup telingaku. Keheningan yang baru saja hilang, kini muncul kembali, dan orang itu juga menutup mulutku dengan sesuatu yang kuat namun elastis. Makhluk itu mendorongku pergi, dan aku hanya sanggup menurutinya. Anehnya, dia sama sekali bukan dwarf, dia bahkan lebih tinggi dari aku, dan itu juga bisa jadi salah satu bukti kuat kalau aku memang bukan dwarf.

"Siapa kau? Makhluk apa kau?" teriakku sontak setelah dia membuka penutup mulutku. Ia berbalik dan ternyata dia seorang laki-laki, memakai sebuah topeng hitam dan hanya memperlihatkan bagian matanya di antara topeng itu dan poni kecoklatannya.

Dia tak menjawab, malah balik menatapku tajam, dan dia berjalan ke sini! Semakin dekat dan terus mendekat. Aku pun mundur selangkah demi selangkah untuk menjauhinya. Sorot matanya seakan bermaksud menusukku, seperti sebuah pedang yang sudah ditempa oleh pandai besi terbaik, dan telah diasah berpuluh-puluh tahun lamanya. Keringat dingin mengucur deras di pipiku, suasana ini benar-benar membuatku takut , lalu aku pun menelan ludah.

Aku mati gaya, terkepung, karena sebuah pohon raksasa yang tiba-tiba berada tepat di belakangku, menghirup nafas panjang, hanya pasrah. Pemuda itu berhenti, namun kemudian ia melaju lebih kencang daripada serigala dan sekarang dia berdiri satu meter dariku, membuat kami berpandangan. Matanya bertemu mataku, sangat tidak masuk akal karena sebuah energi konyol yang timbul.

Aku merasa sangat ngeri, jadi aku menutup mataku. Bisa kurasakan nafasnya yang mendekat, dan kini juga dapat kudengar detak jantungku yang terlalu keras. Lelaki itu meraih telapak tanganku, dia menuliskan sesuatu di sana dan samar-samar aku malah mendengar tulisan itu, bukan membacanya.

"Poppscab aman," kata-kata itu menggema di telingaku, "Dia akan segera kembali, aku janji." Gemanya begitu dahsyat. Dan saat kubuka mata, dia sudah tidak ada.

Apa yang terjadi? Tempat ini adalah sebuah padang rumput. Bahkan di tengah gelapnya malam, aku masih bisa melihat bunga-bunga aneka warna yang semerbak di sana-sini. Tapi akhirnya aku mengenali tempat ini, ladang Floweregg, beberapa ratus meter dari rumah pohonku. Berjalan sendirian waktu malam hari tidaklah semenegangkan peristiwa tadi.

Menaiki tangga tali menuju rumah pohonku yang mungil. Home sweet home. Tibalah aku di sini, namun ini sudah larut, dan aku langsung menuju tempat tidur, lalu pergi ke alam mimpi.

Pagi yang cerah untuk sebuah musim semi, pagi dengan matahari yang disiplin. Aku ragu kalau tadi malam adalah kejadian nyata, karena bisa saja itu mimpi, dan aku tak dapat membedakan keduanya.

Masih ingin kupejamkan mata ini, hari kemarin sungguh-sungguh melelahkan. Mataku kubuka serempak mendengar sesuatu. Tiba-tiba saja ada kegaduhan yang membangunkanku. Aku pun bangkit dan mendengarkan dengan saksama. Jangan-jangan ada penyusup. Kemudian ketika kubuka pintu kamarku...

" AAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaa aaaaaaaa!"