Love Shuffle
Disc: standard applied (menggunakan plot dari drama Jepang 'Love Shuffle' dengan pengubahan di sana-sini)
.
.
Hari itu langit mendung dan di beberapa bagian kota hujan mulai turun, memaksa sebagian besar orang menunda kegiatan luar ruangan mereka atau menggunakan payung untuk melindungi mereka dari air hujan. Mendung yang menyelimuti langit kota hari itu membuat suasana terasa suram dan sendu. Hari itu, seluruh kota seperti kehilangan semangat mereka.
Gadis berambut hitam pendek itu menginjak pedal gasnya dengan kesal. Mobil mungil berwarna merahnya melaju kencang di jalanan yang lebih sepi dari biasanya.
Ia sedikit berterima kasih karena hari itu hujan turun sehingga jalanan menjadi lebih sepi. Ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang lebih dari sekarang.
Rukia ingin menyembunyikan dirinya di dalam lemari dan tidak keluar lagi saat ia melihat beberapa pejalan kaki yang melintas sambil membawa payung di tepian jalan yang dilaluinya menunjuk ke arah mobilnya sambil berbisik-bisik. Gadis bertubuh mungil itu mengumpat dalam hati. Ia tahu benar alasan kenapa orang-orang melihat ke arahnya.
Si bodoh itu akan membayarnya, pikir gadis cantik itu dengan kesal.
Tiba-tiba, seolah-olah dapat membaca pikirannya, telepon genggam yang diletakkannya di dashboard mobil berdering. Tidak ada nomor yang tertera di layar tapi ia tahu siapa orang yang menelponnya itu. Ia selalu saja menelpon menggunakan nomor pribadi seolah-olah menelpon dengan nomor yang tidak tampak adalah hal paling keren sedunia.
Awalnya ia tidak memperdulikan panggilan masuk itu tapi selama lima menit teleponnya tidak juga berhenti berdering. Akhirnya dengan kesal Rukia menghentikan mobilnya di tepian jalanan yang sepi. Tepat saat teleponnya berhenti berdering. Tapi ia tahu lebih baik dari itu, orang itu akan menelponnya lagi. Jadi ia pun meraih teleponnya dan keluar dari mobilnya. Hujan gerimis perlahan membasahinya tapi ia tidak peduli, tubuhnya terlindungi mantel tebal berwarna coklat tua.
Ia berjalan ke bagian belakang mobilnya dan mengumpat kesal melihat puluhan kaleng minuman kosong berbagai macam merek yang diikatkan ke bamper belakang mobilnya. Ia bisa membayangkan betapa berisik bunyi yang ditimbulkannya saat ia mengendarai mobilnya dan menyeret kaleng-kaleng itu. Wajar kalau orang-orang menoleh ke arahnya dan memberikannya tatapan aneh.
Ia mencoba menarik lepas kaleng-kaleng itu namun gagal. Siapa pun yang mengikatkan kaleng-kaleng itu tampaknya cukup ahli. Setelah beberapa menit mencoba, ia pun menyerah dan menendang kaleng-kaleng itu dengan kesal. Pada saat yang sama, teleponnya kembali berdering, panggilan masuk dari tanpa nomor.
"Halo," Rukia tidak berusaha untuk terdengar ramah sama sekali, "Aku tahu, kamulah yang sudah mengikatkan kaleng-kaleng ini ke mobilku! Sebenarnya apa maumu?"
Ia tidak mau mendengarkan apapun yang disampaikan padanya dan segera melanjutkan kata-katanya dengan nada marah.
"Kau tahu, menguntit seseorang itu melanggar hukum!"
Lalu ia mematikan teleponnya dengan kasar.
Tidak perlu bersikap ramah pada seorang penguntit.
.
.
Sepasang kekasih, nyaris suami istri, duduk berhadapan di dalam sebuah kafe yang nyaman, terlindung dari hujan. Wajah yang perempuan tampak murung sedangkan yang laki-laki terlihat pucat dan panik. Di atas meja diantara keduanya ada sebuah kotak kecil berwarna biru elegan, tidak ada satu pun di antara keduanya yang berani menyentuhnya.
"Orihime..."
Pemuda itu nyaris panik ketika air mata mulai menetes di pipi gadis berambut coklat kemerahan panjang itu. Ia tidak percaya kalau ia telah membuat gadis itu menangis hanya dengan memanggil namanya. Ia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya sampai-sampai membuat gadis yang dicintainya itu menangis. Hari ini ia terus bersikap aneh di hadapannya.
"Maaf," gumam Orihime, itu ketiga kalinya ia mengucapkan kata itu semenjak keduanya duduk di dalam kafe itu.
Pemuda berambut merah panjang itu membelalakan matanya. Orihime tampak serius kali ini dan ia tidak bisa memercayainya. Sesuatu pasti telah terjadi, tidak mungkin kalau tiba-tiba saja ia bertindak seperti ini tanpa alasan yang jelas.
Ia menelan ludah, ia masih belum tahu alasannya.
"Kamu bercanda kan?"
Tapi Orihime hanya menunduk dan menggelengkan kepalanya, "Maaf..."
Lagi-lagi kata 'maaf'.
Ia tidak mengerti, semua yang terjadi hari ini dirasanya aneh. Ia tidak memiliki firasat sama sekali soal kejadian ini. Sampai kemarin, semuanya masih baik-baik saja. Ia tidak mengerti, ini terlalu kejam untuk sebuah candaan. Lagipula ia tahu benar bahwa wanita di hadapannya bukanlah orang yang mampu melontarkan candaan sekejam ini.
"Hime..."
Renji Abarai tahu ia terdengar menyedihkan saat memohon seperti ini tapi ia tidak peduli. Kalau ia memang harus memohon, maka ia akan melakukannya. Mungkin, ia hanya harus membuktikan keseriusannya pada kekasihnya itu. Mungkin, ia hanya perlu meyakinkan Orihime untuk mengurungkan niatnya itu. Ia bukanlah seseorang yang romantis tapi ia akan melakukan segalanya untuk menyelamatkan hubungan mereka.
"Apa aku telah melakukan kesalahan padamu?" Orihime hanya terdiam saat ia melontarkan pertanyaan itu, ia pun mencoba lagi, "Apa kamu telah berubah menjadi membenciku?"
Lagi-lagi ia menggeleng. Suaranya lirih dan nyaris tidak terdengar saat ia bicara, "Maaf..."
"Tapi Hime," kali ini ia terdengar putus asa, "tanggalnya telah ditetapkan! Undangan telah disebar, aku..." Pemuda itu mencoba mencari kata yang tepat, "Aku masih mencintaimu!"
Meskipun ia telah berusaha agar terdengar sungguh-sungguh, gadis di depannya itu masih bersikeras. Lagi-lagi ia menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibir bawahnya. Matanya yang berwarna pucat berkaca-kaca seolah ia siap menangis kapan saja.
"Renji..." Orihime mendesah, "Maafkan aku..."
Renji pun merasa seperti telah menelan seribu jarum ke dalam perutnya.
.
.
Gadis berambut hitam panjang itu menatap pria di hadapannya dengan tatapan kosong. Matanya yang berwarna gelap tampak hampa. Bibir tipisnya mengatup dan membentuk garis tipis horizontal. Ia tidak mengatakan apa pun sebelum ditanya.
Pria di hadapannya, yang berusia lebih tua darinya itu menatapnya dengan tatapan penuh pengerian. Keduanya duduk di ruangan serba putih dengan beberapa tanaman hias di sudut ruangan dan sebuah lemari berisi banyak buku-buku tebal milik sang pria. Gadis itu menatap lurus ke depan namun tatapannya tidak bertemu dengan tatapan pria itu.
Pria itu berambut hitam. Wajahnya tampak tenang dan dewasa. Tangannya menggenggam sebuah notes dan pena guna mencatat keterangan yang didapatnya dari mulut sang gadis. Tidak banyak yang didapatnya hari ini tapi ia tahu.
"Jadi, Nemu-san," tatapan pria berjubah putih itu tidaklah ramah, namun ia tidak peduli. Lagi pula gadis itu masih menatapnya dengan tatapan kosong itu, "kau dapat melihatnya?"
Gadis itu, meski sekilas tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, rupanya mampu mendengar dan memahami apa yang ditanyakan kepadanya. Ia pun mengangguk meskipun mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata apa pun.
"Apa yang dikatakannya?"
Nemu mengerjapkan matanya beberapa kali, menoleh ke sisi lain ruangan untuk beberapa saat sebelum kembali menatap pria berambut cukup panjang itu.
Gadis berambut panjang dikepang itu mengangguk, "Katanya, Kuchiki-sensei adalah orang baik."
Pria yang dipanggil Kuchiki-sensei itu menghela nafas. Ekspresi di wajah tampan pria itu tidak banyak berubah.
"Sampaikan terima kasihku padanya."
Nemu mengangguk.
Byakuya Kuchiki menuliskan sesuatu di lembaran memo yang dibawanya sejak tadi.
"Lalu," ucapnya lagi lambat-lambat, "apa ia masih memintamu untuk melakukannya?"
Lagi-lagi ia mengangguk, "Aku harus mati."
Byakuya tidak bereaksi apa pun pada jawaban ini. Ia sudah sering melakukan sesi ini dengan gadis ini dan ia tahu kurang lebih apa yang akan disampaikannya. Bekas luka goresan yang banyak tertera di pergelangan tangan gadis itu adalah bukti kata-kata yang diucapkan gadis itu tidaklah main-main.
"Sebelum ulang tahunku yang keduapuluh, aku harus mati."
.
.
Area parkir di lantai B2 gedung apartemen itu dibuat spesial sehingga sinyal telepon genggam tidak terganggu. Dan mungkin salah satu penghuni yang paling bersyukur dengan falsilitas itu adalah Uryuu Ishida. Ia saat ini tengah menerima telpon di dalam mobilnya di area parkir khusus penghuni apartemen mewah itu.
Uryuu sedikit bersyukur karena hujan hari ini membuatnya bisa pulang lebih awal. Sejujurnya ia sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Ia hanya ingin berbaring di kamarnya dan tidur. Oh, mungkin sambil ditemani alunan musik klasik dari piringan hitam miliknya.
Karena itulah, ia harus terpaksa menolak tawaran yang diberikan seseorang yang tengah menelponnya saat itu.
"Maafkan aku, tapi aku tidak bisa hari ini..."
Pemuda berwajah tampan itu setengah tersenyum mendengar suara penelponnya yang masih berusaha merayunya dan mencoba membuatnya berubah pikiran.
"Yoruichi-san, aku sedang sangat lelah," katanya lagi dengan suara yang terdengar lebih tegas, sementara mata hitamnya tertumpu pada sesosok gadis penghuni lain apartemen itu yang tengah berjongkok di belakang mobilnya, berusaha melepaskan kaleng-kaleng yang terikat di sana.
Uryuu mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, sedikit penasaran dengan apa yang dilakukan gadis itu. Pertama-tama, siapa yang mengikatkan kaleng-kaleng itu di sana?
Sambil menyandarkan punggungnya di kursi pengemudi, ia berpikir bahwa gadis itu pasti bisa menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat kalau saja ia mengenal sebuah penemuan bernama 'gunting'.
Uryuu tersentak sedikit saat ia mendengar Yoruichi memanggil namanya dari ujung telepon. Untuk sesaat ia lupa bahwa ia tengah berbicara dengan wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya itu.
"Minuman penambah stamina katamu?" Uryuu tertawa. Ia melihat gadis berambut pendek itu menyerah dan akhirnya beranjak pergi bersamaan dengan sebuah mobil yang berhenti dan parkir tepat di sebelah mobilnya. Perhatiannya kembali teralihkan, kali ini pada pemuda berambut merah yang baru keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah yang sama dengan gadis itu, "Ah, meskipun aku minum minuman penambah tenaga, pada akhirnya kamu akan menguras semua tenagaku dan membuatku kelelahan lagi."
Ia tersenyum saat mendengar wanita itu melontarkan kata-kata nakal sebagai balasan. Satu hal yang dia sukai dari Yoruichi adalah kenakalannya yang entah mengapa membuatnya terdengar seksi. Meskipun ia tidak akan pernah mengakuinya secara blak-blakan.
Uryuu, bagaimana pun telah memutuskan bahwa ia akan menghabiskan hari ini sambil bersantai di kamarnya.
"Mungkin lain kali," katanya sebelum menutup telepon, "kalau kau kesepian, teleponlah suamimu, oke? Bye..."
Setelah memasukan telepon selulernya ke dalam saku mantelnya ia meraih tas kerjanya dan melangkah keluar mobil.
Tidak jauh di hadapan Uryuu dua orang yang tadi dilihatnya, gadis berambut hitam yang tadi sibuk dengan kalengnya itu dan seorang pemuda berambut merah dengan bahu terkulai lemas. Ketiganya berjalan ke arah yang sama.
.
.
Byakuya berdiri sendirian di dalam lift yang akan membawanya ke lantai tempat kamarnya berada. Ia bersiap menutup pintu lift ketika ia melihat tiga orang penghuni lain apartemen itu berlari ke arahnya. Secara naluriah ia pun menekan tombol untuk menahan pintu lift agar tetap terbuka. Ketiga penghuni lain yang tampak lebih muda darinya itu mengucapkan terima kasih saat memasuki lift tersebut.
"Lantai berapa?" Tanya Byakuya dingin yang berdiri di depan tombol operator lift.
"Lantai 28!" Sahut ketiga orang itu bersamaan.
Ketiganya saling bertatapan sekilas sebelum kemudian memalingkan wajah dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Byakuya menatap tombol lantai paling atas di gedung itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menekan tombol itu.
Rupanya tiga anak muda itu tinggal di lantai yang sama dengannya.
.
.
.
Author's note:
.
Black:Hai, cerita ini diambil dari drama Jepang love shuffle. Untuk menikmati cerita ini, kesampingkan pairing yang ada. Pairing yg ada di cerita ini ada banyak dan random. Jadi, jangan dibawa serius ya :"D
Nasu: setuju sama Black. Jangan ragu-ragu memberikan review pada fanfic ini. selamat membaca :)
