Astoburvis Tournament
Harry Potter © J. K. Rowling
Warning : OOC, typo(s), OC bertebaran, AU.
Chapter I
Hermione's POV
Hawa dingin musim salju di bulan Februari menggelitik kulitku. Jalan-jalan licin yang masih berselimut salju terlihat kotor karena bercampur dengan lumpur. Dan dimana pun mata memandang, yang terlihat adalah hamparan salju yang masih tebal.
Pekikan bersemangat murid tahun-tahun awal terdengar, menandakan tujuan kami sudah dekat. Tak lama, aku bisa melihat tempat itu.
Berdiri kokoh seperti saat pertama kali aku melihatnya. Atap miringnya berselimut salju tebal, halamannya terlihat bagaikan karpet putih, persis seperti pemandangan yang selalu kulihat tiap tahun di perjalanan pulang saat libur natal.
Hogwarts…
Tempatku menghabiskan sebagian besar waktuku selama enam tahun ini. Tempat perang antara sisi hitam dan putih terjadi. Tempat yang sempat hancur karena perang, dan sekarang telah kembali seperti semula.
Hanya dalam waktu lima bulan, Hogwarts telah kembali seperti semula—dengan banyak bantuan penyihir tentunya. Dan setelah itu, Profesor McGonagall—yang telah diangkat menjadi kepala sekolah—menyuruh kami semua pulang untuk menyembuhkan trauma masing-masing. Bulan September yang harusnya menjadi awal tahun ajaran, malah menjadi saat kami semua pulang.
Dan kini, kami telah kembali. Diawal Februari.
Tahun ini, Hogwarts tidak menerima murid baru. Kami semua mengulang tahun ajaran masing-masing. Bahkan, murid tahun kelima mengulang kembali ujian OWL mereka—yang membuat mereka mengelyh tentag ingin kembali berperang saja.
Hagrid tak terlihat ditempat biasanya seperti tahun yang sudah-sudah. Toh, kami semua sudah tahu apa yang harus dilakukan begitu turun dari kereta.
Seperti biasa, kereta kecil tanpa penarik telah menunggu untuk mengantar kami ke kastil. Bedanya, sekarang kami bisa melihat binatang yang menarik kereta itu. Ironis rasanya mengingat dulu kami menganggap orang yang bisa melihat Thestral orang aneh, dan kini kami semua bisa melihatnya.
"'Mione?! Ayo jalan! Jangan melamun!" seru Ron padaku.
"Sebentar. Crookshanks bermasalah," jawabku sambil memperbaiki posisi Crookshanks digendongan ku.
"Sudah kubilang. Buang saja kucing jelek itu."
"Ronald! Jaga omonganmu!"
Tiba-tiba sesuatu menyenggolku dengan kuat, sampai aku harus berpegangan pada penyenggolku agar bisa tetap berdiri, sementara tagan yang satu lagi berusaha menahan Crookshanks agar tak terjatuh.
"Malfoy?" ucap Harry pelan. Sesudah perang berakhir, hubungan mereka semakin membaik. Terlebih sejak Harry—dan aku—bersaksi untuk kebebasannya dan orangtuanya—terutama ibunya—di pengadilan, walaupun sebagai imbalannya kami sempat dimusuhi beberapa orang.
"Oh, maaf, Granger. Aku tak melihatmu," katanya sambil mengedikkan bahu ke arah Zabini dan Nott, "apakah kau terluka?"
Kalau kejadian ini terjadi tahun lalu, aku pasti akan mengira kalau dia sudah gila. Menanyakan keadaan seorang mudblood Gryffindor sepertiku. Tapi ini terjadi sekarang, saat seorang Draco Malfoy telah bertaubat.
"Lepaskan tanganmu darinya, Ferret. Kau tak pantas menyentuhnya!" sergah Ron sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Malfoy.
"Aku yang memegangnya, Ron," ucapku memberi pengertian pada Ron. Terkadang, dia bisa menjadi sangat menyebalkan pada seseorang, terutama pada Malfoy.
"Sekali lagi, maaf, Granger. Kalau ternyata kau terluka kau bisa bilang padaku, aku akan tanggung jawab," ujarnya yang disambut cibiran Ron. "Hai Potter, Weasley," sapanya sebelum menjauh bersama Zabini dan Nott.
Aula besar terasa seperti dulu. Hangat, penuh keceriaan, dan berbau lezat. Semuanya begitu sempurna, kecuali kenyataan bahwa sebagian dari pengisi aula besar yang dulu telah meninggal.
Semua orang sedang menikmati makan malam saat burung hantu di podium mengembangkan sayapnya, disusul dengan Porfesor McGonagall yang berdiri untuk berpidato.
"Selamat datang kembali ke Hogwarts," bukanya yang disambut tepuk tangan dan sorakan dari seluruh penjuru ruangan. "Pertama-tama, aku akan mengingatkan kalian bahwa hutan terlarang berbahaya, dan akan selalu berbahaya. Kedua, aku akan menunjuk ketua murid yang baru. Selamat untuk Harry Potter dan Hermione Granger."
Astaga! Aku menjadi ketua murid putri. Jabatan yang sudah kuinginkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Hogwarts. Tepuk tangan atas terpilihnya kami tak lagi kudengar karena aku telah tenggelam ke awing-awang. Aku akan membuat program baru, memperketat jam malam, mengadakan operasi rutin bagi pelanggar aturan. Aku akan merevolusi Hogwarts.
Kemudian, Profesor McGonagall memanggil kami agar maju kedepan untuk menerima lencana ketua murid dan membisikkan password asrama ketua murid.
"Ketiga, aku akan memberitahukan sebuah kejutan pada kalian," ucap Profesor McGonagall begitu kami kembali ketempat duduk.
"Setelah rapat panjang dan penuh perdebatan, kami sepakat untuk menjadikan Hogwarts sebagai tuan rumah. Mereka memang sempat meragukan Hogwarts, tapi aku meyakinkan mereka agar setuju. Lagipula, Hogwarts adalah tempat terakhir turnamen tingkat internasional diadakan, jadi kupikir kita juga harus mengawalinya disini juga. Dan juga, Hogwarts 'lah tempat penjahat internasional dunia sihir binasa. Bahkan, lebih dari separuh murid Hogwarts adalah pahlwan perang."
"Profesor? Apa yang akan diadakan disini?" tanya Harry mewakili pertanyaan kami semua.
"Sebentar, Mr. Potter. Aku baru akan menjelaskannya," ucap Profesor McGonagall dengan senyum bersemangat, "tahun ini, akan diadakan kompetisi baru—sebagai ganti Turnamen Triwizard yang diputuskan telah berakhir selamanya. Kompetisi itu bernama Turnamen Astoburvis, yang akan diikuti oleh delapan sekolah sihir dari seluruh dunia, dan akan dilakukan untuk pertama kalinya di Hogwarts. Hadiah bagi pemenang dari tiap sekolah senilai seribu Galleon—menang ataupun kalah—dan bagi pemenang kompetisi akan mendapatkan hadiah satu juta Galleon dan sebuah piala untuk sekolahnya."
Tepuk tangan riuh menggema diseluruh penjuru ruangan ini. Sorak-sorai tak ketinggalan keluar dari mulut murid-murid yang bersemangat.
"Astaga! Mengang atupun kalah dapat seribu Galleon?! Itu sebesar hadiah untuk pemenang Turnamen Triwizard!" Teriak Ron bersemangat.
Seribu Galleon?! Kalau aku ikut kompetisi dan menjadi pemenang, aku bisa mendapatkan seribu Galleon, jadi aku bisa membuka toko bukuku sendiri. Sejak dulu, aku selalu ingin mempunyai toko buku sendiri. Terlebih kalau aku bisa memenangkan kompetisi, aku akan punya uang untuk membeli buku dari seluruh dunia!
"Ayo kita ikut!" ajak Ron.
"Tentu saj-" ucapanku tersela karena Profesor McGonagall mengangkat tangan kanannya, mengisyaratkan kami agar diam.
"Tapi, mengingat betapa sulitnya tantangan yang akan diberikan, yang kemungkinan besar bisa merenggut nyawa pesertanya—lebih berbahaya dari Turnamen Triwizard—kami setuju untuk menerapkan batasan umur. Dan mengingat insiden tak menyenangkan dari turnamen yang lalu, kami akan memasang lingkaran niat. Bagi siapapun yang akan memasukkan nama yang bukan namanya sendiri akan terpental. Batasan umur kompetisi ini sama dengan Turnamen Triwizard yang lalu, tujuh belas tahun."
Kini ucapan Profesor McGonagall disambut dengan sorakan kecewa murid-murid yang berusia kurang dari tujuh belas tahun. Tapi aku tak khawatir. Umurku lebih dari cukup untuk bisa memasukkan namaku sendiri.
"Perwakilan sekolah lain akan tiba tiga minggu lagi. Persiapkan diri kalian. Selamat malam," dengan itu, Profesor McGonagall menutup acara makan malam.
"Kalian akan ikut?" tanya Ron diperjalanan menuju kelas Transfigurasi keesokan harinya.
"Tentu! Aku ingin mendapat seribu Galleon itu," jawabku dengan antusias.
"Kau, Harry?"
"Tidak, terimakasih. Aku masih trauma dengan Turnamen Triwizard," jawab Harry dengan nada merenung.
Tentu saja. Bahkan, aku yang tak ikut Turnamen Triwizard yang lalu juga masih merasakan trauma karenanya. Terutama dengan berita yang diciptakan Rita Skeeter. Kudengar dia sudah mati disalah satu tangan pelahap maut yang pernah disudutkan dalam artikelnya. Aku tak pernah mengharapkan pelahap maut membunuh seseorang, tapi kuharap, kabar itu benar adanya.
Aku langsung menggenggam tangannya di tangan kanan dan tangan Ron ditangan kiri. Kami semua masih trauma karena perang, terlebih Harry. Aku tah kalau dia masih sering bermimpi buruk. Tentang perang, saat kematian Cedric, Sirius, Profesor Dumbledore, bahkan Profesor Snape.
Tapi aku juga tahu kalau kami akan baik-baik saja.
Tiga minggu berlalu dengan cepat. Semua orang sibuk membicarakan tentang kompetisi yang akan datang. Murid yang berumur diatas tujuh belas tahun sibuk mempersiapkan mental. Sementara aku sibuk dengan jabatan baruku.
Langkah untuk merevolusi Hogwarts belum juga kumulai karena Harry menganggap itu konyol, seperti ideku tentang S.P.E.W. Tapi, bukan Hermione Granger namanya kalau tak melakukan apa yang menurutnya benar, tak peduli ada yang mendukung ataupun tidak.
Aku berencana untuk mengadakan operasi tiap minggu, seperti disekolah-sekolah muggle. Operasi seragam, barang selundupan, kedisiplinan, dan terutama rambut. Aku masih ingat tahun keempatku, saat semua orang berambut gondrong dan itu sangat tak enak dipandang.
Aku juga akan berusaha menertibkan Peeves yang sekarang semakin berulah. Kejahilan terakhirnya adalah mengganti makan malam semua orang—bahkan para guru—dengan lumpur dan daun. Bagaimanapun caranya, aku akan membuat hantu itu berhenti berbuat jahil.
Beberapa waktu yang lalu, aku mendengar dari beberapa murid berkhayal tentang seandainya Fred menjadi hantu Hogwarts yang akan membuat sekolah ini menjadi lebih seru. Hah! Seru darimana? Aku memang menyayangi Fred, tapi aku tak ingin dia menjadi hantu di Hogwarts. Peeves saja sudah sangat merepotkan, apalagi kalau diambah Fred?
"Mione, ayo turun," suara Harry menarikku dari alam lamuan.
"Sebentar. Biar kuambil jubahku dulu," ucapku sambil bergegas menuju kamarku.
Enaknya menjadi ketua murid adalah kau akan mendapatkan asrama sendiri. Jadi, aku bisa mengerjakan tugas-tugasku dengan tenang. Bahkan asrama ini memiliki pantry sendiri, jadi, jika aku butuh sesuatu, aku tak harus pergi kedapur. Kami juga bisa memanggil peri rumah kapanpun kami butuh—hal yang tak akan pernah kulakukan.
Oh ya! Perwakilan sekolah lain akan datang hari ini. Aku tak sabar ingin melihat apa yang akan mengantar mereka. Pasti hewan-hewan menakjubkan yang belum pernah kulihat. Atau benda-benda ajaib yang belum pernah kutemui.
Aku dan Harry bergegas menuju pintu utama kastil.
Ternyata sudah banyak orang yang menunggu didepan kastil. Cuacanya persis saat hari kedatangan delegasi Durmstrang dan Beauxbatons dulu, cerah dan dingin. Walupun salju sudah mulai menipis, udara tetap saja terasa dingin. Semoga mereka segera datang.
Semua orang sedang sibuk menghangatkan tubuh saat dari arah hutan muncul burung-burung raksasa yang terbang membentuk formasi V. Diatas masing-masing burung ada selusin remaja berjubah emas dan diatas burung yang berada diujung formasi, duduk pria berkumis panjang tipis yang memakai kimono, yang kuasumsikan sebagai kepala sekolahnya.
"Selamat datang, Mahoutokoro," sambut Profesor McGonagall pada para tamu begitu mereka turun dari burung masing-masing.
"Terimakasih, Minerva. Apakah kau keberatan kalau aku meminta sesuatu yang hangat. Terbang dari Jepang ke Inggris di musim dingin bukanlah ide yang bagus," gerutu pria berkimono.
"Tentu, Master Satoshi. Silahkan langsung saja ke aula besar. Kami sudah menyiapkan meja untuk para delegasi," jawab Profesor McGonagall.
Astaga! Aku pernah mendengar dari sepupuku kalau rmaja-remaja Jepang senang berdandan gila-gilaan, tapi, aku tak menyangka kalau separah ini. Bahkan kulihat semua orang yang dibesarkan di dunia sihir melongo saking takjubnya.
Pakaian mereka termasuk normal untuk ukuran penyihir, jubah berwarna emas yang membuat anak penyihir kaya gigit jari. Tapi, dandanan wajah dan rambut mereka sangat aneh. Ada yang berkulit sangat pucat dengan kantung mata besar, ada yang tak punya alis dengan rambut merah, ada yang berambut hitam dengan aksen hijau dijambulnya—padahal dia terlihat tampan—ada yang berambut merah muda mengembang, ada yang berambut setengah hitam-setengah biru, bahkan ada yang mempunyai tato berbentuk naga disisi wajahnya.
"Baguslah kalau begitu. Tapi, bisakah kau tunjukkan meja yang mana?" tanya kepala sekolah Mahoutokoro.
"Kau bisa memilih meja paling pojok disisi kanan atau kiri. Kanan disamping meja penuh ornament berwarna merah, kiri disamping meja berornamen hijau."
Sejak kemarin, kami—ketua murid dan para prefek—sibuk mempersiapkan kedatangan para delegasi. Dan mengingat jumlah mereka sekarang, tak mungkin kami menjejal-jejalkan mereka dimeja kami semua. Jadi, setelah berkeliling ruang kebutuhan, kami menemukan dua meja panjang yang persis dengan meja kami. Lalu, kami sepakat untuk meletakkannya dipojok-pojok ruangan.
Rombongan dari Asia itu segera masuk ke kastil sambil menggerutu tentang kenapa mereka tak memakai portkey saja.
Kemudian, kami kembali menunggu. Semua orang sudah menggigil dan mengucapkan mantra penghangat berkali-kali saat dari arah hutan kembali muncul hal aneh.
"Astaga! Pohon terbang!" teriak seorang siswi Hufflepuff.
Dan benar saja. Dari arah hutan, muncul tiga belas pohon terbang. Astaga!
Seluruh anggota rombongan itu berjubah cokelat-kemerahan tebal, kecuali wanita tua—mungkin sepantaran Profesor McGonagall—yang memakai jubah hitam tebal.
"Minerva!" teriak si wanita tua sambil berlari kearah Profesor McGonagall kemudian langsung mencium pipi kiri-kanannya, baru kali ini aku melihat ada orang yang berani melakukan itu pada Profesor McGonagall. "Dingin sekali! Walaupun jubah kami tak setipis milik Beauxbatons, tetap saja terbang dari Rusia ke Inggris sangat dingin!" Gerutu wanita tua itu yang kini tengah memeluk Profesor McGonagall yang terlihat canggung.
"Tentu saja. Tadi Satoshi juga menggerutu tentang hal itu, Misja," ucap Profesor McGonagall sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan wanita tua itu.
"Apa?! Jadi, Mahoutokoro datang lebih dulu dari kami?! Tak bisa dibiarkan!" setelah menyelesaikan gerutuannya, dia langsun mengajak murid-muridnya masuk ke aula besar.
"Mereka itu dari Koldevstoretz, Rusia," jelas Profesor McGonagall tanpa ditanya. Sepertinya dia menyadari tatapan bertanya kami semua.
Tiba-tiba, terdengar petir menggelegar beserta kilatnya yang tampak seperti sinar blitz. Petir itu terlihat sangat ganjil, dan sangat banyak. Sambaran petir disana-sini. Sepertinya akan terjadi badai besar.
"Profesor, kurasa sebaiknya kita masuk saja. Mungkin akan terjadi badai sebentar lagi. Kita bisa menunggu rombongan lain didalam," ucap Harry sopan.
"Mustahil. Mereka itu delegasi dari Ugandou, Afrika," sangkal Profesor McGonagall sambil menyembunyikan kilatan bersemangatnya—yang tak bisa tersembunyi dariku, karena aku juga selalu melakukan itu saat melihat buku baru.
Dan benar saja, dari awan gelap muncul tujuh burung yang mengeluarkan petir. Masing-masing burung mengangkut dua orang sementara burung terbesar mengangkut pria besar berkulit hitam.
"Minerva McGonagall," sapa pria itu dengan suaranya sang berat.
"Aren Jayant. Selamat datang di Hogwarts. Apa kau dan murid-muridmu kedinginan?" Sambut Profesor McGnagall.
Tampaknya mereka tak merasa dingin sedikitpun—sebelum turun dari burung petirnya. Tapi, begitu turun dari burung raksasa, mereka langsung mengeratkan jubah mereka yang berwarna keperakan seperti bulan.
"Tidak. Walaupun kami kaget dengan cuaca di Inggris, tapi berkat Impundulu dan petirnya kami tetap hangat," tampaknya, kepala sekolah mereka tak melihat kalau saat ini murid-muridnya sudah mulai menggigil.
"Syukurlah. Tapi kalian pasti lapar. Silahkan langsung ke aula besar. Disana sudah ada Mahoutokoro dan Koldovstoretz."
"Benarkah? Kalau begitu sebaiknya aku langsung kesana saja," setelah itu, dia langsung masuk kedalam kastil diikuti oleh murid-muridnya yang sepertinya sudah hampir terkena Hipotermia.
Tak lama kemudian, terdengar suara gelegak air dari danau hitam. Pasti Durmstrang. Sepertinya mereka tak punya barang baru untuk dipamerkan. Apakah Beauxbatons juga akan menggunakan kendaraan yang sama?
Namun tak sama dengan dulu, tiba-tiba, dari samping kapal yang baru muncul sedetik yang lalu, dua binatang aneh yang tampak seperti dinosaurus air mengambang—seperti muncul begitu saja dipermukaan—dan mengangkut selusin remaja berjubah kuning diatasnya.
"Loch Ness!" teriak seorang anak.
"Bukan… bukan. Itu bukan Loch Ness. Itu Ogopogo," koreksi wanita paruh baya yang tiba-tiba sudah berada disamping kerumunan kami.
"Ilvermorny. Selamat datang di Hogwarts," sapa Profesor McGonagall.
"Jenna?! Kenapa kau muncul tiba-tiba disebelah kapalku?! Sungguh mengagetkan," omel pria paruh baya yang kuduga adalah kepala sekolah Durmstrang yang baru.
"Maaf, Ivor. Aku tak tahu kalau kau ada disana. Aku mengirim mereka kesini dan puff! Aku tak bermaksud menjatuhkannya disamping kapalmu. Tapi, aku berharap aku menjatuhkannya diatas kapalmu," balasnya yang disambut gelak tawa beberapa orang.
"Emm… Sebaiknya kalian masuk saja. Bukankah cuacanya sangat dingin," ucap Profesor McGonagall.
Segera setelah itu, gerombolan delegasi sekolah lain itu memasuki kastil dengan kepala sekolah mereka yang masih saling berselisih. Hah… aku juga ingin masuk kastil. Diluar sini sangat dingin. Aku bertanya-tanya, tak bisakah kami menunggu didalam?
Tak lama kemudian, Beauxbatons mucul dengan kereta kuda raksasanya. Masih sama seperti dulu, mereka semua datang sambil menggerutu karena kedinginan. Berarti, kurang satu sekolah lagi. Semoga mereka cepat datang.
Beberapa saat kemudian, dari arah hutan terdengar koakan gagak yang sangat keras. Pasti itu suara tunggangan delegasi dari sekolah terakhir. Akhirnya… setelah basa-basi sebentar, kami bisa masuk ke aula besar yang hangat, lalu makan!
Astaga! Aku terdengar seperti Ron.
Benar saja, tak lama setelah bunyi koakan, muncul tiga belas gagak biru yang terbang dengan cepat. Diatas masing-masing burung duduk remaja berjubah hijau muda dan pria tertua di rombongan itu memakai jubah cokelat kayu.
"Profesor Horado. Selamat datang di Hogwarts," sapa Profesor McGonagall.
"Profesor McGonagall. Terimakasih atas sambutannya. Bisakah kita langsung masuk saja? Kami semua kaget dengan perbedaan cuaca antara Brazil-Inggris."
"Tentu. Ayo semuanya, kita masuk sekarang,"
Aula besar terasa sangat hangat. Dan sangat ramai, lebih dari biasanya. Makanan langsung muncul dimeja begitu kami duduk.
"Ini apa?" tanya Ron sambil menusuk-nusuk gulungan nasi didepannya.
"Itu sushi, makanan Jepang," jelasku.
"Astaga! Orang-orang jepang itu makan dengan tongkat mereka! Dan tongkat mereka ada dua!" pekik Ginny kagum, membuat para muggle-born dan half-blood yang dibesarkan didunia muggle tersenyum geli.
"Itu sumpit, Gin. Alat makan mereka," jelas Harry sambil menahan tawanya, "begini cara pakainya."
Harry mempraktekkan cara menggunakan sumpit dengan sumpit yang muncul bersamaan dengan sushi. Semua orang yang tak tahu tentang kebudayaan muggle memperhatikan Harry dengan antusias. Bahkan, anak dari asrama lain juga memperhatikannya.
"Enakkah?" tanya Ron was-was.
"Sangat enak. Ada telur, tuna, dan nasinya," ucap Harry setelah menelan sushinya.
Setelah itu, semua orang sibuk belajar menggunakan sumpit dan mencicipi sushi.
"Dan ini apa?" tanya Ron sambil mencongkel-congkel sup kacang hitam yang bercampur daging.
"Itu Feijoada, makanan khas kami," jelas seorang anak laki-laki yang tiba-tiba saja sudah muncul didekat kami.
Malam ini aku sama sekali tak memakan makanan yang biasa kumakan. Aku mencoba Sushi, Feijoada, Shish Taouk, Foie Gras—yang menurut Ron sangat tak layak saji karena ukurannya, dan makanan penutup berupa Melktert. Malam ini jauh lebih meriah dari makan malam penyambutan Turnamen Triwizard lalu. Makanan khas dari berbagai negara muncul. Pastilah para peri bekerja keras membuatnya.
Satelah semua kenyang dan makanan serta piringnya lenyap dari meja, Profesor McGonagall berdiri untuk memberikan pidato. "Selamat malam, anak-anakku sekalian, serta seluruh tamu. Kita semua tahu untuk apa kita berada disini. Jadi, langsung saja. Hagrid, tolong bawakan Piala Apinya."
Setelah Hagrid masuk bersama peti yang berisi Piala Api, Profesor McGonagall melanjutkan, "seperti pemilihan pemenang di Turnamen Triwizard, kami juga akan memakai Piala Api untuk memilih pemenang dari masing-masing sekolah. Bagi yang belum tahu, untuk mendaftar sebagai pemenang, kalian harus menuliskan nama lengkap kalian kedalam secarik perkamen, kemudian memasukkannya kedalam Piala Api. Hanya untuk yang berumur diatas tujuh belas tahun, dan hanya boleh memasukkan namanya sendiri. Dan kalau nama kalian sudah terpilih, mau tak mau, siap tak siap, kalian harus menjalani seluruh tantangan yang ada. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum memasukkan nama kalian…"
"Kau yakin akan ikut, 'Mione? Kau tak usah ikut saja, ya… Kau jadi saingan terberatku kalau kau memasukkan namamu," rengek Ron, membatku tak bisa mendengar pengumuman penting yang sedang disampaikan.
"Sssttt!" tegur beberapa orang bersamaan."
"… Jadi, karena tujuan kompetisi ini adalah untuk mempererat hubungan antar sekolah, para pemenang akan tinggal dalam ruangan yang terpisah dari yang lainnya. sehingga, diharapkan, akan tercipta hubungan persahabatan antar sekolah. Oh, dan apakah aku sudah bilang? Untuk meramaikan kompetisi ini, pemenang dari masing-masing sekolah akan berjumlah dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Jadi, peluang untuk kalian semakin besar. Aku akan letakkan Piala Api di tengah ruangan ini. Batas waktu pendaftaran adalah saat makan malam esok hari. Baiklah, sekian, selamat malam. Oh ya, untuk ketua murid, tolong tunjukkan tempat tamu-tamu kita akan menginap selama disini," ucap Profesor McGonagall mengakhiri pidatonya.
"Sebelah sini," ucapku menunjukkan jalan pada rombongan remaja dari berbagai bangsa dibelakangku. Para kepala sekolah sedang mengadakan rapat darurat tentang kementerian yang ingin ikut campur.
"Jadi, kalian adalah Harry Potter dan Hermione Granger? Dua dari The Golden Trio? Pahlawan perang sesungguhnya?" tanya seorang siswa Mahoutokoro yang berambut keperakan dengan logat Jepangnya.
"Ya. Ya. Dan tidak. Pahlawan perang yang sesungguhnya adalah orang-orang yang berani gugur dalam perang," jawab Harry singkat.
"Oh, maaf. Namaku Hideo Tengu, Mahoutokoro tahun terakhir," ucapnya memperkenalkan diri.
"Oke. Ini ruangan yang akan kalian semua pakai selama disini," ucapku menyela seluruh percakapan diantara mereka, "passwordnya adalah Unum Maleficus. Jangan katakan pada murid-murid Hogwarts."
Saat aku menyadari bahwa mereka hanya menatapku bingung, aku sadar kalau aku harus mempraktekkannya.
"Begini," kataku berusaha menarik perhatian mereka semua, "Unum Maleficus," aku mengucapkan passwornya dengan hati-hati didepan lukisan Merlin dan Morgana yang saling berpunggungan.
Seketika saja, lukisan besar itu mengayun kedalam, menampakkan lorong panjang dengan empat pintu besar disisi kanan dan tiga pintu besar disisi kiri. Tiap pintu itu bertuliskan Mahoutokoro, Ugandou, Castelobruxo, Beauxbatons, Ilvermorny, Durmstrang, dan Koldovstoretz.
"Silahkan diperiksa," ucap Harry membuat remaja-remaja itu langsung berlarian kearah pintu dengan plat nama sekolah mereka.
"Ayo! Kau juga ikut lihat," ajak Hideo Tengu sambil menarik Harry, yang otomatis langsung menarik tanganku.
Kami masuk kedalam ruangan yang pintunya bertuliskan Mahoutokoro. Didalamnya terdapat ruang rekreasi kecil dan dua pintu yang bertuliskan boy dan girl. Harry langsung ditarik kedalam pintu bertuliskan boy, sementara seorang gadis bernama Minami Isamu menarikku kedalam ruangan untuk anak perempuan.
Didalamnya terdapat enam lemarik kecil, dua kamar mandi, dan enam dipan yang lengkap dengan peralatan tidur berwarna biru muda dan putih.
"Apakah itu warna kasurmu diasrama Mahoutokoro?" tanyaku pada Minami Isamu.
"Kami tidak berasrama di Mahoutokoro. Kami selalu pulang kerumah saat sekolah selesai, seperti sekolah no-maj," jelasnya dengan bahasa Inggris yang keteteran.
"No-maj?"
"Manusia biasa. Tak punya kekuatan sihir. Apa sebuatannya disini? Mungglep?"
Aku tersenyum geli saat mendengarnya salah menyebut muggle. "Bukan Mungglep, tapi Muggle," koreksiku.
"Ah! Itu dia!"
Tiba-tiba, saat aku baru saja akan menanyai Minami tentang sekolahnya, kepala Harry muncul dipintu yang terbuka. "Mione? Bagaimana kalau kita kembali sekarang?"
"Tentu. Well, Isamu, sampai besok," pamitku pada siswi Mahoutokoro itu, yang dibalas anggukan kepala dan lambaian tangan.
"Seperti apa ruangan untuk laki-laki?" tanyaku begitu kami sudah berada diluar ruangan—mungkin lebih tepat disebut asrama—tamu.
"Cukup bagus. Enam tempat tidur dengan kasur, selimut, dan bantal berwarna biru muda dan putih, enam lemari kecil, dan dua kamar mandi."
"Kalau begitu, berarti fasilitas tiap kamar sama."
"Ya," jawab Harry singkat.
Sepanjang perjalanan menuju asrama ketua murid, kami hanya terdiam. Entah kenapa suasana menjadi canggung, padahal kami sudah bersahabat selama delapan tahun. Yah, sebenarnya, aku sih, yang canggung.
"Emm… Harry?" ucapku memecah keheningan dengan suara bergetar.
"Ya?"
"Bagaimana kalau aku terpilih sebagai pemenang dari Hogwarts?"
"Itu bagus! Aku akan mendukungmu sepenuhnya!"
"Bukan itu! Maksudku, kalau aku terpilih, dan aku harus berada di ruangan pemenang, itu berarti kau harus melaksanakan tugasmu sebagai ketua murid sendiri. Apa kau tak keberatan?" tanyaku waswas.
Dan hasilnya? Orang yang telah kukenal selama delapan tahun itu malah tertawa terbahak-bahak. "Mione… Mione… kau itu," ucapnya disela-sela tawa sambil merusak tatanan rambuku, membuatnya menjadi semengembang dulu.
"Harry Potter!" hardikku sambil berusaha menyingkirkan tangannya dari kepalaku.
"Haah… kau itu, Hermione... selalu saja mencemaskan hal-hal yang tak perlu dicemaskan. Kalau kau jadi pemenang, posisi ketua murid akan kosong sementara. Berarti, aku bebas memilih siapapun untuk menggantikanmu, asalkan umurnya mencapai batas umur ketua murid. Jadi, aku tentu saja akan memilih Ginny. Ahh… ini akan menjadi tahun terindahku selama di Hogwarts. Bersama Ginny diruang ketua murid, hanya berdua, seperti bulan madu," racau Harry.
Aku langsung memukul lengannya dengan kepalan tangan. "Harry James Potter! Ya ampun! Pikiranmu sungguh amat sangat kotor sekali! Astaga, kalimat yang barusan ku ucapkan terlalu boros kata, tidak efektif!" Oh, tampaknya sekarang akulah yang meracau karena Harry segera menutup mulutku dengan tangannya.
"Kau tahu, 'Mione? Apapun yang terjadi, aku akan terus mendukungmu. Seperti kau selalu mendukungku," ucapan Harry sungguh membuatku terharu.
"Tentu saja, Harry," balasku sambil mengusap setitik air mata yang muncul, "karena kalau sampai kau tak melakukannya, aku akan memantraimu," gurauku.
A/N
Fanfic Harry Potter pertamaku^^
Kalau ada yang mau mengkritik dan saran silahkan~ saya harapkan, malah.
Ada yang mau koreksi juga boleh...
