Title: Two Different Worlds
Disclaimer: Kuroshitsuji milik Yana Toboso. Pair: SebasCiel, ClaudeAlois, EricAlan
Genre: Romance, Friendship
Rating: T
Warning: AU, OOC, Shounen Ai, my first fanfic in this fandom, please be kind to me.
Summary: Sebastian yang sempurna namun brengsek. Ciel yang selalu patuh pada aturan. Kebencian antar dua kubu. Konflik. Taruhan antar saudara. Persahabatan. Cinta?
Happy reading~
~Two Different Worlds~
~A Kuroshitsuji fanfic~
Ciel melihatnya ketika mereka berpapasan di koridor. Keberadaannya tak mungkin tak disadari, mengingat rambut hitamnya yang begitu mencolok. Hitam-brengsek-mengkilap itu, membuat mata Ciel terasa pedih. Bahkan dalam radius lima meter pun Ciel berani bersumpah neraka terasa seribu kali lebih dekat bila cowok itu disana. Ia bisa merasakan darahnya mendidih drastis, sebuah sensasi familiar yang membuat pipinya memerah panas dan pelipisnya berdenyut, hanya karena satu bajingan kecil itu. Sebuah perasaan yang tak perlu susah payah Ciel sembunyikan keberadaannya. Kemarahan dalam hatinya bergejolak, menjalar ke seluruh pembuluh darahnya. Kebencian yang tertanam pada tiap inci geraknya menyengit hebat. Kebencian yang dapat dengan mudahnya dibaca seperti buku yang terbuka.
Ya, tak pernah terbersit sedikitpun niat untuk menutupi kebenciannya akan cowok itu pada dunia.
Oh God, cowok itu tampan, tentu saja. Tidak ada yang meragukan kepopulerannya di sekolah. The number one. The fucking most wanted one. Semua gadis-bahkan pria-rela menyerahkan keperawanannya demi mendapatkan Pangeran Sekolah itu. Tapi-fuck-Ciel benar-benar membencinya. Apakah itu rambut hitamnya yang membuat mata Ciel iritasi ataupun keindahan ragawinya yang membunuh, Ciel tetap saja membencinya. Dan kebencian itu bersemayam di hatinya begitu kuat, tertancap permanen, hingga ia meragukan kebaikan hatinya sendiri untuk bisa berhenti membenci cowok itu suatu saat. Tapi ia tidak peduli. Baginya cowok itu adalah pengecualian. Ia rela seumur hidup mengatakan kalimat itu demi dia: 'Aku membencimu. Aku membencimu, Sebastian. Dan aku bertanya-tanya kapan kebencian ini akan berakhir. Demi seluruh iblis di dunia, tak ada satu pun hal di atas bumi ini yang menanam kebencian sehebat rasa benciku padamu.'
Ya, Ciel tidak pernah keberatan untuk selalu membencinya.
Sebastian, cowok yang dimaksudnya itu mengerling padanya sekilas. Menatapnya rendah dan kemudian berbalik seolah-olah Ciel tak pernah ada disitu. Menyeringai sinis, sungguh pangeran sekolah yang tampan dan arogan.
Ciel menggeram dalam hati. Demi seluruh keturunan Lucifer, cowok itu pasti sedang mencibirnya. Dan seolah-olah itu tidak cukup untuk menambah kebencian Ciel padanya-yang memang selalu bertambah setiap harinya, cowok itu bergabung dengan dua cowok lain yang sama brengseknya. Claude dan Ronald, tak ada bedanya dengan Sebastian. Membagi cibiran mereka, tertawa angkuh.
Ciel merutuk dalam hati. Ia berusaha tak mengindahkan pipinya yang memanas dan meninggalkan tempat itu ketika sebuah suara memanggil namanya.
"Ciel!" Itu Alois.
Cowok itu berlari ke arahnya. Tangan kanannya membawa sebuah map.
"Ini," katanya menyerahkan map itu. Ciel mengernyit heran.
"Dari Will, ia titip padaku saat bertemu di depan kelasnya tadi. Katanya disuruh memberikan itu padamu," jawab Alois panjang lebar. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, membenahi poninya yang turun karena berlari-lari tadi.
"Kenapa tak ia berikan sendiri?" Tanya Ciel. Ia membuka map itu, isinya hanya beberapa data siswa yang pernah melanggar peraturan plus rencana yang akan diajukan oleh Komite Kedisiplinan kepada OSIS tentang revisi peraturan baru di tahun ajaran ini.
"Mana kutahu." Alois mengangkat bahu. Mereka terdiam sebentar.
"Dia memperhatikanmu," celetuk Alois.
"Dia siapa?" Ciel tampak tak begitu peduli. Tangannya cekatan membuka lembar-lembar proposal itu. Sepertinya ada yang kurang...
"Sebastian, siapa lagi."
"Aku tidak buta, Al."
"Hei, siapa yang bilang kau buta? Aku bilang dia memperhatikanmu, bukannya bilang kau buta!"
"Sekarang kau mau mengataiku tuli."
"Aissh, kau ini!" Alois mendengus kesal.
Ciel menutup map yang sedari tadi sibuk ditelitinya, lalu menoleh pelan pada Alois, "Kalau yang kau maksud dengan memperhatikan itu adalah menatap sinis dan menggumamkan sumpah serapah abstrak di sela-sela nafasnya itu, kau benar. Dia memang 'memperhatikan'ku."
Tak ada jawaban.
"Dia menyebalkan."
Alois meliriknya iba, "Aku setuju tentang yang satu itu."
"Dia bajingan kecil yang menyebalkan," keluh Ciel lagi.
"Aku juga setuju." Alois mengiyakan lagi.
"Aarrgghh andai aku bisa membungkam mulut sinisnya itu dan membunuhnya dengan tanganku sendiriiii!" Ia membanting map itu ke dinding dengan kesal.
Alois yang melihat mata Ciel mulai berkilat mengerikan segera mengamankan map yang dibawa sahabatnya itu, antisipasi sebelum hal-hal buruk terjadi. Takut-takut ia menoleh,
"Kalau yang satu itu sih, aku tidak setuju..."
Ciel melotot. "Kau mau membelanya?"
"Tentu saja tidak! Aku juga setuju denganmu! Dia memang brengsek, bajingan kecil, playboy tukang tebar pesona-"
"Sudah, diamlah," potong Ciel kesal.
"Hei, aku sedang mencoba membelamu! Aku masih punya segudang kata-kata kasar yang cocok untuk pemuda-"
"Apapun itu, sebaiknya telan lagi."
"Tapi aku-"
"AARGHH DIAM, ALOIS! Aku tahu! Aku tahu! Dia memang brengsek, jadi biarkan mulutku sendiri yang mengatakannya agar aku merasa puas!" Ia memijit-mijit pelipisnya, memandang sekeliling koridor yang sekarang sudah lumayan sepi.
"Aku membencinya. Sangat membencinya," desis Ciel merana.
"Mulutku ini mogok untuk komentar," cibir Alois kesal. Kemudian menatap Ciel prihatin, "Semoga sukses, staff terbaik Komite Kedisiplinan. Menjinakkan anak itu akan menjadi prestasi terbesar dalam karirmu." Kedua jemarinya teracung membentuk tanda V, sementara Ciel hanya menghela nafas pasrah.
Ia memandang sekeliling lagi, lalu melirik jam di pergelangan tangannya.
"Sudah hampir masuk, ayo kita ke kelas." Ia menggandeng Alois menuju kelas mereka.
Ya, Ciel dan Alois adalah sepasang sahabat. Ciel, atau nama lengkapnya Ciel Phantomhive adalah anggota Komite Kedisiplinan di Birmingham High School. Junior yang terkenal amat galak dan disiplin itu. Dan yang terpenting, tidak ada yang bisa menandingi keimutan cowok bernomor absen 15 di kelas X-1 itu, bahkan cewek sekalipun. Jika diibaratkan, Ciel itu seperti bunga indah di tepi jurang. Cantik, namun tak bisa dipetik. Lelucon internal murid lain, Ciel bagi mereka adalah junior yang paling mereka takuti, yang jika 'mengamuk' seperti binatang buas yang lepas dari hutan. Dan jika binatang buas itu mempunya pawang, maka Alois ini adalah satu-satunya pawang yang mampu menenangkan Ciel. Pemuda cerewet yang sudah bersahabat dengan Ciel sejak kecil. Satu-satunya teman terdekat Ciel, yang bisa memahami sifat sahabatnya yang temperamental dan sifat buruk lainnya. Dan bagi Alois, Ciel lah satu-satunya orang yang tidak mempermasalahkan latar belakangnya sebagai seorang individu.
-xxx-
"Aku sedang tidak mood hari ini." Sebastian menoleh acuh pada murid laki-laki semi perempuan(?) yang sedang bergelayut manja di bahunya.
"Hei, kita bahkan baru mulai," protes Grell membelai pipi putih pucat Sebastian dan menciumnya.
"Aku ada urusan, pergilah." Sebastian membenahi dasinya. Tampak sekali tidak peduli dengan laki-laki itu. Ia berlalu meninggalkan Grell yang menggeram kesal di toilet cowok itu.
Sebastian baru saja menutup rapat pintu toilet cowok itu ketika sebuah suara menginterupsi.
"Kalau Ciel memergokimu kau pasti mati."
Eric muncul dari belakang, kedua tangannya tersembunyi di saku celananya. Berbeda dengan Sebastian yang tampak berantakan, Eric selalu terlihat rapi setiap hari. Ia mengedarkan pandangannya pada Grell yang baru keluar dari toilet (yang langsung kabur begitu melihat Eric), lalu kembali pada Sebastian dengan tatapan mencemooh.
Sebastian tidak menanggapi. Ia melewati Eric begitu saja. Ya, sejujurnya Sebastian memang tidak peduli pada apapun.
"Sebastian," panggil Eric lagi.
Sebastian menoleh malas-malasan.
"Apa?"
"Setidaknya bersikaplah lebih baik padaku di sekolah."
Sebastian tertawa sinis. "Memangnya kenapa, Tuan Ketua OSIS dan murid teladan? Kau mau memberiku detensi jika aku tidak sopan padamu, huh? Jangan bermimpi." Ya, Sebastian percaya, tak ada seorang pun yang bisa memberinya detensi. Dewan guru? Mereka tidak akan berani. Nyali mereka terlalu ciut untuk dapat menerima surat pemecatan dari Kepala Sekolah. Oh well, bahkan Kepala Sekolah pun takluk padanya. Sejak sekolah itu didirikan, keluarga Sebastian telah menjadi donatur tetap. Tidak ada yang meragukan kekuasaannya disini. Dia begitu mendominasi. Tampan. Berkharisma. Berkelas. Setiap inci tubuhnya adalah sebuah keindahan yang tak mampu ditolak oleh siapapun. Dia sempurna. Karena dia adalah Sebastian, si nomor satu. Dan tak ada satu pun makhluk di bumi ini yang bisa menekan seorang Sebastian. Sampai kapanpun.
Eric menatapnya. Bola matanya tajam memperhatikan Sebastian dari bawah hingga atas, menilai. Seragam yang berantakan, tidak memakai tanda pengenal, piercing di telinga, dan membolos ketika jam pelajaran. "Ya, tentu saja aku bisa. Dari segi manapun aku bisa memberimu hukuman, dan kuyakin tak ada seorang pun di sekolah ini yang akan berduka cita karena itu."
Sebastian mendengus sarkastis. "Lalu kenapa tak kau lakukan itu, Tuan Ketua OSIS yang Jenius?"
"Karena kau sepupuku," jawab Eric lirih. Ia berjalan penuh wibawa meninggalkan ruangan itu. Ketika di persimpangan ia menoleh pelan,
"Karena itu, jaga sikapmu."
Meninggalkan Sebastian yang terpaku menatapnya kesal.
-xxx-
Hari itu pukul 10.00 pagi, harusnya semua murid masih berada di dalam kelas dan mengikuti pembelajaran. Harusnya, kecuali seorang pemuda yang sedang duduk di belakang salah satu gedung kelas yang sudah tak terpakai.
Tempat itu sepi. Angin berhembus pelan membuat helai-helai daun pohon di tempat itu berguguran. Sebuah mahoni tua yang mulai meranggas karena usia itu terlihat semakin kering. Di bawahnya terdapat sebuah bangku taman kecil, dan tepat di atas bangku itu terlihat pemuda yang sedang duduk bermalas-malasan di sana.
Pemuda itu menghisap rokoknya, matanya terpejam. Asap mengepul di sela-sela udara, ia menghembuskan rokoknya lagi. Claude, nama pemuda itu, terdiam dalam lamunannya.
Sejujurnya, ia menyukai ketenangan seperti ini. Memejamkan mata dan membiarkan dunia berjalan semestinya sementara ia hanya duduk tak peduli pada apapun, ia menyukainya. Claude tidak terlalu suka repot-repot mengurusi dunia yang penuh masalah, ia lebih memilih sendirian dan memandangi daun-daun mahoni yang terjatuh membuai lamunannya.
Claude memang tidak repot-repot mengurusi dunia yang penuh masalah, ia lah pembuat masalah itu.
The trouble maker, julukan itu datang kepadanya secepat gosip menyebar di antara gadis-gadis. Oh ayolah, Claude hanya tidak suka siapapun yang mengganggu dirinya, itu saja. Jangan dekat-dekat dengan Claude dan kau akan selamat, mudah 'kan? Sayangnya banyak orang yang terang-terangan mencari masalah dengannya, orang-orang sok jagoan yang tak bisa Claude hiraukan begitu saja. Well, Claude sudah memperingatkan mereka kan?
Bad boy. Cowok paling nakal di sekolah dan lingkungan. Preman yang paling ditakuti. Bahkan mereka bilang Claude adalah preman yang bisa kau sewa untuk membunuh orang lain jika kau bisa membayarnya mahal. Cih, mereka salah. Orang-orang memang sok tahu. Claude memang bukan pelajar yang pintar, tapi ia bukan preman sewaan murahan seperti itu. Claude hanya tangan, Sebastian-lah bosnya. Claude bukan orang yang mudah tunduk pada seseorang, tapi kuasa Sebastian sudah membuatnya bertekuk lutut. Ralat: kuasa dan ancaman Sebastian sudah membuatnya bertekuk lutut. Hanya pada Sebastian ia mau diperintah. Cari aman sekaligus cari uang, pikirnya diplomatis.
Claude bukan si bodoh dalam kelompok Sebastian, sungguh. Si bodoh sesungguhnya adalah pemuda yang namanya sedang terpampang di layar handponenya sekarang.
'Ronald Knox is calling...'
Claude mendengus, kesal karena acara santai-santainya diganggu. Ia bersumpah akan membunuh si cerewet itu jika hal yang ingin dibicarakannya bukanlah hal yang terpenting dalam hidupnya. Claude mengangkat telepon itu malas-malasan.
"Katakan apa maumu," kata Claude dingin. Claude mendengar suara di seberang mendengus.
"Sebastian memintamu kesini sekarang," sahut suara di seberang sedikit kesal.
"Sampaikan padanya aku akan segera membawa bokongku kesana sekarang."
Klik!
Telepon diputus. Hanya itu saja. Singkat, tidak begitu jelas, tapi tepat sasaran.
Claude bangkit dari duduknya dengan malas. Ia berjalan kesal menuju gedung basket yang sudah tak terpakai, tempat resmi ia dan kelompoknya biasanya berkumpul. Di tengah jalan Claude melihat seorang murid cowok memalak cowok lain, mungkin juniornya.
Claude melirik pemandangan itu. Cowok-yang Claude yakin adalah seorang idiot-itu pasti ketakutan melihat cowok yang mengancamnya memakai pisau. Apalagi tempat itu sepi, semua murid masih di kelas. Claude melihat cowok itu mulai menangis.
"Cengeng," gumam Claude pelan dari jauh. Ia melengos tak peduli.
-xxx-
"Aku pulang."
Ciel masuk rumah dengan tergesa-gesa, mata kecilnya memperhatikan seluruh ruangan.
"Kakak?"
Tak ada jawaban. Ciel mengernyitkan kepalanya. Dengan segera ia menaruh tas dan sepatu di rak, lalu berlari kecil ke dapur.
"Kakak, aku sudah pula-" Perkataannya terhenti ketika hidungnya menangkap bau yang amat nikmat. Aroma masakan favoritnya~
"Sudah pulang ya Ciel sayang?"
Terlihat seorang pria manis memakai apron berwarna biru laut sedang memasak.
"Aku membuat spaghetti kesukaanmu." Pria itu mengedipkan matanya, lalu membawa sepiring penuh spaghetti ke hadapan Ciel yang masih bengong.
"Kakak memasak?" Raut muka Ciel tiba-tiba berubah.
Alan, orang yang dipanggil kakak oleh Ciel itu meringis.
"Maaf."
"Bagaimana kalau kakak kenapa-kenapa?" Pemuda yang lebih kecil itu menghela napas. Ia benar-benar marah sekarang. "Bagaimana kalau tangan kakak terciprat minyak atau kompor itu meledak? Tidak ada siapapun di rumah dan kakak bisa-bisanya seteledor itu! Bagaimana kalau tiba-tiba penyakit kakak kambuh dan—"
Alan membungkam mulut Ciel sebelum cowok manis itu meledak karena marah.
"Maaf, lain kali tidak akan kuulangi." Ia menunduk menyesal.
Ciel mendesah pasrah.
"Baru kemarin dokter mengatakan kondisi kakak sudah tidak begitu buruk dan kakak sudah berani-beraninya begini…" Ia melirik kakaknya yang masih menunduk itu, lalu perlahan menggandeng tangannya, "ayo, sekarang waktunya minum obat."
TBC~
A/N:
Gomen cuma segini, ini baru prolog.
Review please, supaya saya bisa lebih baik.
