Cinta hanya membutuhkan dua pemain utama di dalamnya. Selebihnya hanya sampah yang harus disingkirkan.
.
Title : LOVE TRIANGLE
Pair : Homin × Yunjae
Rate : T (sementara waktu)
Genre : Romance comedy
Length : 1 of ?
Disclaimer: HoMin milik Tuhan, orangtua mereka, dan juga para Cassiopeia. Author hanya meminjam namanya saja! TYPOS! Tidak suka pair HoMin, silakan menyingkir!
~HOMIN~
.
.
《 Chapter 1 》
Suara langkah kaki yang menggema di setiap sudut ruangan memaksa sepasang telinga berjaga dengan awas. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam dan semua petugas kebersihan pun dipastikan sudah pulang ke rumah masing-masing. Lalu suara langkah kaki itu milik siapa?
Chang Min semakin mempercepat langkah kakinya menuruni anak tangga yang konon berjumlah tiga puluh buah di siang hari, dan akan menjadi tiga puluh satu buah di malam hari. Dikarenakan hanya dirinya saja admin yang masing lajang, bos dengan semena-mena menyuruhnya lembur dengan alasan tidak ada yang menunggunya pulang di rumah. Padahal anjing yang dinamainya Bi selalu menunggu di depan pintu rumah untuk minta jatah makanan. Jadi alasan Bos sangat tidak masuk akal dan mengada-ada.
Menilik lebih dalam tentang Chang Min, pria itu adalah seorang petugas administratif di perusahaan kecil yang menerima jasa pengantaran susu ke rumah-rumah pelanggan. Jam kerja dimulai pukul sembilan pagi dan pulang tepat jam lima sore. Sudah tiga tahun ia menjadi tenaga administratif yang kerjanya mengarahkan staf lapangan dan menerima sekaligus mengurus setoran dari para pengantar susu yang berjumlah delapan belas orang yang secara keseluruhan adalah ibu rumah tangga.
Sebenarnya penampilan Chang Min tidak seperti petugas administratif kebanyakan yang rapi dan tampak cupu. Wajahnya manis, berambut tegak dengan sedikit poni yang diwarnai pirang, tinggi bak model, berkulit cokelat eksotis, cerdas dengan IQ 155, dan stylish. Dibanding menjabat sebagai administrator di perusahaan kecil yang tidak ada apa-apanya, lebih baik ia menjadi model di majalah playboy edisi pria metroseksual yang menggugah iman. Sekiranya itu yang dikatakan si Bos saat melakukan interview dengan Chang Min empat tahun yang lalu.
Sekarang lupakan pujian mengenai Tuan Shim! Beralih pada ketakutan yang tengah dirasakannya.
Suara langkah kaki itu semakin mendekat. Chang Min pun mempercepat langkah kakinya untuk sampai ke lantai dasar. Satu keinginannya, jangan sampai hantu penunggu perusahaan yang membuntutinya saat ini. Ia bukan tipe pemberani yang akan tidur dengan nyenyak jika bayang-bayang hantu senantiasa mengganggu pikirannya.
Akhirnya perjuangannya membuahkan hasil. Lantai dasar telah ia tapaki, dan kini saatnya ia menuju area parkir yang terletak di belakang gedung. Ia harus lewat pintu belakang agar lebih cepat sampai ke tempat di mana motornya diparkirkan. Semoga ia bisa keluar dengan selamat.
"Yak! Shim Chang Min!" seru sebuah suara yang sangat tidak asing. Chang Min sedikit tegang mendapati siluet hitam saat ia berbalik.
"Jae Hyung?" lirih Chang Min setelah siluet tersebut semakin jelas dan membentuk sosok yang ia kenali sebagai Jae Joong. "Jae Hyung, kaukah itu?" tanyanya memastikan.
"Memang kau pikir siapa?" sahut Jae Joong sesampainya di depan Chang Min. Dengan senyum jahil ia menunjuk wajah Chang Min dan berkata, "Kau pasti takut dan mengira aku hantu, ya?"
"Tidak," jawab Chang Min tegas.
"Benarkah? Jika tidak kenapa kau berjalan dengan cepat dari lantai atas? Kau kira aku tidak tahu, huh? Sejak kau keluar dari ruanganmu, aku sengaja membuntutimu."
Chang Min kehabisan kata-kata. Menyangkal pun dirasa percuma. Jae Joong adalah salah satu staf lapangan yang bekerja di bawah kendalinya. Terkenal paling jahil, suka menindas staf lain terutama staf junior, tampan, berkarisma, dan menjadi pujaan banyak orang. Jika berhadapan dengan kejahilan Jae Joong, Chang Min sudah tidak bisa berkutik. Lebih baik mengalah.
"Kau sengaja menakutiku, Hyung?"
"Yup," jawab Jae Joong dengan bangga. "Sebenarnya aku tidak berniat begitu. Tapi melihatmu menutup pintu dengan wajah tegang, tidak ada salahnya sedikit menakutimu. Hehe."
Chang Min mendecih. "Lalu kenapa kau masih ada di sini? Kau lembur juga?"
"Sebenarnya aku sudah pulang, tapi ada sesuatu yang tertinggal jadi aku mengambilnya."
"Oh, begitu." Chang Min melihat arloji di pergelangan tangannya. "Sebaiknya kita pulang sekarang, Hyung. Sebentar lagi ada pemadaman listrik bergilir," ajaknya.
"Oke."
Kedua pria itu pun meninggalkan lantai dasar untuk melangkah keluar secara bersama-sama. Sambil berbincang-bincang, mereka menuju tempat di mana kendaraan mereka terparkir dan mengucap selamat tinggal untuk pulang ke rumah masing-masing.
.
.
.
.
.
"Kau belum pulang, Oppa?"
Sapaan halus membawa Yun Ho yang tengah sibuk membersihkan bawah meja dengan lap basah menengadahkan kepalanya. Yun Ho tersenyum mendapati adik perempuannya, Jung Ji Hye, telah berdiri di sampingnya. Yun Ho meninggalkan sejenak pekerjaannya demi meladeni Ji Hye yang telah membantunya membersihkan toko yang akan dibuka perdana esok hari.
"Kau mau pulang?" tanya Yun Ho dengan ramah. "Perlu kuantar?"
"Tidak perlu, Oppa. Aku akan naik taksi saja. Lagi pula Oppa masih banyak pekerjaan di sini, 'kan?" Ji Hye tersenyum maklum dan melanjutkan, "Akhirnya Oppa bisa membuka usaha sendiri seperti keinginan Oppa, ya? Aku tidak menyangka akan secepat ini."
Yun Ho tersenyum malu. Pujian Ji Hye terdengar sederhana namun sangat berkesan untuknya.
Sejak menyukai segala hal yang dirasa manis, Yun Ho memang berkeinginan untuk membuka toko kue jika besar nanti. Walau kedua orangtuanya terbilang kaya dengan usaha penjualan bunga yang tersebar di beberapa tempat di wilayah Seoul, tapi ia ingin membangun usaha dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. Tidak ada keinginan darinya untuk membebankan segala sesuatunya pada kedua orangtuanya.
Setelah bekerja sebagai staf di sebuah perusahaan penjualan mobil import, ia berhasil mengumpulkan uang untuk menyewa tempat usaha barunya dan juga modal untuk membeli bahan mentah kue. Hingga ia dengan yakin mendatangi kedua orangtuanya, meminta restu atas keinginannya, dan tinggal esok hari usahanya akan dibuka. Rasanya baru kemarin ia mengikrarkan keinginan untuk mendirikan usaha penjualan kue tersebut.
"Kau melamun lagi, Oppa," tegur Ji Hye dengan geli. "Aku sudah menyiapkan makanan di ruang kerjamu. Setelah semuanya selesai, jangan lupa makan!"
Yun Ho mengangguk. "Terima kasih. Berhati-hatilah saat pulang."
"Tentu." Ji Hye menatap Yun Ho dengan serius. "Kau Kakak terhebat yang pernah ada, Oppa. Aku bangga memilikimu," pujinya tanpa sungkan.
Yun Ho adalah pria yang sangat tangguh, tampan, ramah, sopan, baik, penyayang, dan juga perhatian. Ji Hye tentu sangat bangga memiliki kakak seperti Yun Ho yang tidak pernah merepotkan kedua orangtua maupun sanak saudara. Sejak Yun Ho bersekolah pun selalu menggunakan beasiswa sampai lulus sekolah menengah atas. Sebenarnya orangtua menginginkan Yun Ho melanjutkan pendidikan sampai kuliah, tapi Yun Ho menolak dengan tegas. Dibandingkan kuliah, Yun Ho memilih mengikuti kursus memasak selama dua tahun, itu pun dengan biaya sendiri. Adik mana yang tidak bangga memiliki kakak seperti Yun Ho?"
"Kalau begitu aku pulang dulu, Oppa." ucap Ji Hye sebelum merendahkan tubuhnya demi mengecup pipi kiri Yun Ho. "Jangan lupa makananmu, Oppa!"
Ji Hye pun berjalan keluar, memaksa Yun Ho untuk berdiri dan mengawasi gerak gerik adiknya saat menunggu taksi di luar melalui dinding yang secara keseluruhan berbahan kaca. Senyum sumringah terbit di bibirnya kala mengingat wajah manis Ji Hye saat memujinya. Selain Ji Hye, ia pun sangat beruntung memiliki Ji Hye sebagai adiknya.
.
.
.
.
.
Chang Min membuka mata dengan malas. Tubuhnya yang terlampau lelah berimbas pada rasa enggannya untuk meninggalkan kasur lantai yang menjadi pembaringannya setiap malam. Tidak peduli meski sinar mentari sudah memaksanya untuk beraktifitas, ia tetap berbaring dengan tubuh remuk redam.
Mata indah miliknya menerawang ke langit-langit rumah, dan mulai memikirkan nasibnya di tanggal tua. Ia sangat takut melihat isi di dalam dompetnya yang pasti sangat memprihatinkan. Jika sudah seperti itu, berpuasa adalah cara terakhir untuk mensiasati kantongnya yang mulai menangis. Begitulah nasib anak yang jauh dari orangtua, harus pintar-pintar mengatur keuangan untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar sewa rumah.
"SHIM CHANG MIN, KAU SUDAH BANGUN?"
Ketukan dan teriakan dari pintu luar memaksa Chang Min mengakhiri jeritan hatinya. Jae Joong Hyung, pikirnya setelah menganalisis pemilik suara tersebut.
Chang Min bergegas membukakan pintu dan benar saja tebakannya. Dengan senyum cerah yang mengalahkan cerahnya mentari, Jae Joong menyapa Chang Min dengan riang, "Selamat pagi, Min-ah."
Tidak biasanya Jae Joong pagi-pagi sudah datang menemui Chang Min, terlebih pada hari minggu seperti sekarang ini. Memang benar jarak rumah mereka tidak terlampau jauh, tapi tetap saja Chang Min merasa aneh.
"Ada apa, Hyung?"
"Kau sudah sarapan?"
Chang Min menggeleng ragu. "Memang kenapa?" tanyanya.
"Jjaaaang! Lihat!" Jae Joong menunjukkan selebaran pembukaan sebuah toko kue bernama 'Bear Bakery' pada Chang Min. "Di depan ada pembukaan baru toko kue. Berita baiknya, kue untuk hari ini gratis," lanjutnya bersemangat.
Bagai gayung bersambut, Chang Min merebut selebaran Jae Joong dengan antusias. Tuhan memang baik. Baru saja ia menjerit karena pesimistis hari ini bisa mendapatkan sarapan, kemurahan hati Tuhan datang tanpa diduga. Memang tidak salah ia selalu pergi ke gereja setiap hari minggu untuk beribadah.
"Tunggu apalagi? Ayo kita ke sana, Hyung?"
Jae Joong mengamati penampilan Chang Min. "Kau yakin akan pergi dengan penampilan seperti itu?" tanyanya sedikit ngeri. Bagaimana tidak? Rambut acak-acakan, piyama kedodoran hingga memperlihatkan kedua bahu yang sangat aduhai, dan juga sisa air liur di kedua sudut bibir membuat Chang Min tampak sangat konyol. "Kau tidak berniat mandi atau membasuh muka?" tanyanya lagi dengan suara lirih.
Chang Min mengamati penampilannya dan tertawa bodoh. "Tunggu aku lima menit, Hyung," pintanya pada Jae Joong sebelum berlari masuk dan menghilang di kamar mandi yang terletak di ujung belakang dari ruangan empat kali empat meter tersebut.
Jae Joong terkikik geli dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Chang Min memang pria yang sangat manis dan imut. Walau sesekali Chang Min terlihat sangat menyeramkan dengan sisi dewasanya, tapi tidak menghilangkan sisi childish yang dimiliki pria itu.
.
.
.
.
.
Yun Ho mengetuk meja pemesanan dengan tidak sabar. Sudah dua puluh menit sejak pembukaan toko kue miliknya dan belum ada satu pun pelanggan yang datang. Cara menarik pelanggan menggunakan selebaran kue gratis sesuai saran Ji Hye sepertinya tidak berhasil. Namun semua dirasa masih awal untuk berpikiran demikian. Jika belum berjuang dan berusaha, tidak pantas rasanya mengeluh sedemikian rupa.
"Belum ada yang datang juga, Hyung?" tanya Kim Ryeo Wook, pria manis yang juga merupakan sahabat baik Yun Ho sejak kecil. Yun Ho mengambil Ryeo Wook sebagai patissier yang akan menguasai dapurnya nanti. Bagi Yun Ho, tidak ada patissier sebaik Ryeo Wook.
"Belum. Mungkin mereka sedang menghindari makanan mengandung gula berlebih," sahut Yun Ho sebelum mendudukkan diri. "Aku mengantuk. Semalam aku tidak bisa tidur."
"Kau pasti menantikan hari ini, 'kan?" Ryeo Wook tersenyum kecil dan menepuk bahu Yun Ho berulang kali. "Berdoalah yang terbaik, Hyung! Aku yakin, sebentar lagi banyak pelanggan yang akan datang," ungkapnya memberi semangat dengan tulus.
Ucapan Ryeo Wook bagai doa yang disambut baik oleh Sang Pencipta. Bel pintu berbunyi, menandakan adanya orang yang masuk ke toko. Yun Ho dan Ryeo Wook pun berdiri tegak untuk menyambut pelanggan pertama mereka, Jae Joong dan Chang Min.
"Gratis, 'kan?" Pertanyaan to the point dari Chang Min membuat Yun Ho dan Ryeo Wook menganga tidak percaya. Tanpa rasa malu, Chang Min kembali bertanya pada Yun Ho, "Aku pesan kue yang paling enak dan juga besar. Oke!"
Dengan cepat Jae Joong menarik Chang Min agar bersembunyi di belakang tubuhnya. "Maafkan temanku, ya! Urat malunya memang sudah putus sejak dia dilahirkan," ujarnya dengan wajah memerah sempurna. Selain malu karena kelakuan Chang Min, ia pun sangat canggung berhadapan dengan pria kekar bermata musang di hadapannya. "Beri kami kue terbaik di toko ini," lanjutnya sopan.
Yun Ho dan Ryeo Wook yang belum sepenuhnya tersadar dari kejut jantung yang diberikan Chang Min, kembali mengejar sosok tinggi manis yang bersembunyi dengan ekspresi kesal di belakang Jae Joong. Bahkan mereka berdua mengabaikan permintaan maaf dari Jae Joong dan lebih memilih memandang pria unik yang dikatakan tidak punya rasa malu itu.
"Tuan?" tegur Jae Joong yang mengharap perhatian dari Yun Ho.
"Ya?" Yun Ho beralih menatap Jae Joong dengan bingung. "Baiklah. Kami akan menyiapkan kue terbaik untuk kalian. Lalu kalian ingin minum apa?" tanyanya.
"Aku Mocha Latte," seru Chang Min mendahului jawaban Jae Joong. "Aku tunggu di sana, ya! Jangan lama-lama! Aku tidak suka menunggu, apalagi diberi harapan palsu."
Chang Min bergegas mengambil tempat duduk di dekat jendela. Dengan santai ia memandang keluar jendela tanpa menyadari ada tiga pasang mata yang menatap takjub ke arahnya.
"Temanmu sangat lucu," komentar Yun Ho untuk Jae Joong. "Berapa umurnya?"
Jae Joong menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Umur aslinya dua puluh delapan tahun. Tapi menurutku dia lebih pantas menjadi anak umur lima tahun," terangnya malu-malu.
"Dua puluh delapan tahun? Aku sedikit tidak percaya. Dia terlihat masih sangat muda." Yun Ho menulis sesuatu di buku catatan kecilnya lalu bertanya," Kau ingin minum apa?"
"Mocha Latte."
"Baiklah. Silakan duduk!"
Sejujurnya Jae Joong masih ingin bercakap-cakap dengan Yun Ho. Namun berhubung sudah diusir, tidak ada alasan bagi Jae Joong untuk bertahan. Jae Joong pun memutuskan mengikuti Chang Min dan meninggalkan Yun Ho yang sibuk membicarakan sesuatu dengan Ryeo Wook.
"Kau benar-benar memalukan, Shim," umpat Jae Joong setelah berhasil duduk di depan Chang Min. "Bagaimana bisa kau bertingkah konyol seperti itu, huh?"
"Konyol bagaimana?" tanya Chang Min tidak mengerti.
"Dengan bertanya apakah kue di sini gratis, itu bukan tindakan konyol menurutmu? Kau mempermalukanku di depan pria tampan itu," jelas Jae Joong dengan menggebu-gebu dan juga emosi. "Karena kekonyolanmu bahkan aku tidak berani mengajaknya berkenalan."
"Pria tampan?" Chang Min beralih menatap Yun Ho yang sedang membersihkan piring di meja pesanan. "Maksudmu pria itu, Hyung?" tanyanya yang diangguki oleh Jae Joong. "Jadi dia tipe pria yang kau sukai? Tampan sih, tapi wajahnya sedikit idiot," lanjutnya.
Jae Joong mendengus kesal akan komentar miring dari Chang Min. Mereka sama-sama gay, bukankah sudah sepantasnya saling mendukung?
Meskipun begitu Jae Joong sedikit maklum dengan komentar Chang Min mengenai Yun Ho. Selama mereka berteman dua tahun terakhir, Jae Joong memang mengenal Chang Min sebagai gay yang memegang posisi seme. Dengan tubuhnya yang kekar, Chang Min memiliki segala kesempurnaan seorang seme sejati. Kekasih Chang Min pun semuanya terbilang manis dan berbadan lebih kecil. Sangat wajar jika Chang Min tidak merasa tertarik pada Yun Ho yang dilihat dari segi mana pun adalah seorang seme sejati. Berbeda dengannya yang merupakan uke lemah yang hanya bisa menerima dari bawah.
"Setidaknya dia lebih tampan dari kekasihmu, Tae Min."
Muka jutek Chang Min pamerkan pada Jae Joong. "Jangan bicarakan dia! Aku sedang marah padanya," keluhnya berubah tidak bersemangat.
"Ada masalah lagi?"
Chang Min mengangguk. "Kemarin aku memintanya untuk menemaniku makan siang, tapi dia lebih memilih makan siang bersama teman-temannya. Kekasih macam apa dia?"
"Oh, begitu." Jae Joong yang awalnya serius kini berubah sedikit jahil. "Chang Min-ah, apakah kau sadar akan sesuatu?"
"Apa?"
"Dengan sifatmu yang seperti itu, kau lebih pantas menjadi seorang uke. Kau uke, Tae Min uke, kalian tidak akan pernah berhasil. Begitu pun dengan mantan kekasihmu yang dulu. Bukankah kalian tidak pernah pernah berhasil? Itu karena kalian sama-sama uke yang masih sangat labil dan juga egois."
Chang Min sempat berpikir akan mewarnai wajah Jae Joong dengan warna biru lebam alami, tapi ia urungkan niatnya karena ia tidak sejahat itu. Perutnya terasa perih dan meronta karena lapar, tidak ada tenaga sama sekali untuk meladeni Jae Joong. Lebih baik yang normal mengalah, pikirnya.
"Maaf membuat kalian menunggu lama. Ini pesanan kalian." Yun Ho datang membawa baki berisi kue cokelat bertabur almond dan juga Mocha Latte, masing-masing dua buah. "Semoga kalian suka, ya!" lanjutnya sambil menata kue dan minuman ke hadapan dua pelanggannya.
Jae Joong tampak sangat senang, berbanding terbalik dengan Chang Min yang justru murung. "Aku 'kan pesannya kue yang besar. Kalau sekecil ini bagaimana bisa kenyang?" keluhnya frustrasi.
Baik Yun Ho dan juga Jae Joong Sama-sama terdiam mendengar keluhan Chang Min yang sedikit tidak mengenakan, terlebih Yun Ho. Namun Yun Ho tetap menunjukkan sikap ramahnya dan berucap, "Kue dan minuman ini gratis. Jika kau pesan lagi, aku akan membebankan tagihan padamu."
Chang Min mendelik tajam. "Tidak usah dan terima kasih," kesalnya pada Yun Ho.
Sekali lagi Jae Joong merasa tidak enak hati. "Maafkan dia, ya! Dia benar-benar kekanakan. Kuharap kau bisa maklum," sesalnya menjadi perwakilan dari Chang Min yang sibuk melahap kuenya.
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa menghadapi anak kecil sebelumnya."
Mendengar ucapan Yun Ho, Chang Min berhenti mengunyah kue dalam mulutnya dan melempar tatapan membunuh. Siapa yang anak kecil, pikirnya jengkel.
"Namaku Jung Yun Ho, dan aku pemilik sekaligus pengelola toko kue ini. Semoga di lain kesempatan kalian tidak menyesal menjadi pelanggan di toko ini." Yun Ho memperkenalkan diri dengan sopan. Tidak lupa ia sedikit membungkukkan badan untuk menghormati kedua pelanggannya. "Jika kalian membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk memanggilku."
"Baiklah. Karena kau sudah memperkenalkan diri, tidak ada salahnya aku melakukan hal yang sama, 'kan?" Jae Joong berdiri menghadap Yun Ho, membungkukkan badan dan mulai memperkenalkan diri, "Namaku Kim Jae Joong. Aku tinggal di rumah sewa milik Tuan Oh, tepat di belakang toko ini. Jika ada waktu, datanglah ke rumah."
"Tentu," jawab Yun Ho merasa senang karena dihargai. Ia mengalihkan perhatiannya pada Chang Min. "Siapa namamu?" tanyanya pada Chang Min."
"Chang Min."
Yun Ho tersenyum. "Kau tinggal dekat sini?"
"Hanya berjarak beberapa rumah dari rumah Jae Hyung."
"Kau tidak menawarkanku untuk mampir ke rumahmu?"
"Terkecuali jika kau bersedia membayar sewa rumahku bulan ini."
Meledak sudah tawa yang sempat ditahan Yun Ho sebelum ini. Benar tebakannya sejauh ini, Chang Min adalah pria yang sangat humoris dan menyenangkan. Rasa ingin lebih dekat dengan Chang Min pun semakin besar.
"Aku pastikan datang ke rumahmu setelah mempunyai uang lebih untuk membayar sewa rumahmu," gurau Yun Ho dengan maksud tersembunyi. "Kalau begitu aku akan kembali ke tempatku. Selamat menikmati hidangan yang kami sajikan."
Yun Ho berlalu pergi diiringi dengan tatapan tidak suka dari Chang Min. Menurut Chang Min sendiri Yun Ho adalah pria yang suka menebar modus. Terlihat dari cara Yun Ho berinteraksi dengan Jae Joong.
Chang Min yang memang tidak suka mengurus hidup orang lain, mencoba melupakan sosok Yun Ho dalam pikirannya. Berniat melahap kembali sisa kue yang ada di piringnya, justru ia mendapati tatapan aneh dari Jae Joong.
"Kenapa, Hyung?"
"Tidak apa-apa," jawab Jae Joong dengan muka masam.
Berhubung Jae Joong menyatakan tidak ada apa-apa, Chang Min pun berusaha acuh dan melahap sisa kuenya lagi dalam sekali suapan. Bahkan ia tidak pernah sadar jika pria di depannya sedang menahan emosi karena sikapnya.
《 TBC 》
NB : Yang sudah baca, hukumnya WAJIB buat meninggalkan jejak~
