Where Should I Go
Chapter 1. Sweet Greetings
This story is still Oda sensei's. I'm just one of his so many fans.
This is my first fic and I hope you might consider any mistake I made. This fic is in Indonesian. Enjoy it.
Sakit ketika adik yang selama ini kau sayangi lebih dari apapun juga bahkan sebenarnya dia yang dimaksud adik itu bukan adik kandungmu, tiba2 membentakmu, marah padamu, dan tidak memandangmu sebagai kakaknya yang paling dia sayangi lagi hanya karena kehadiran orang lain.
Masalah yang sebenarnya bahkan tidak jelas darimana awalnya. Bahkan sebenarnya bukan sesuatu hal yang penting untuk diingat, apalagi sampai membuat hubungan yang begitu erat menjadi hancur dan membuat hati seorang kakak seperti tercabik-cabik.
Robin, seorang wanita yang kini menginjak usia 28 tahun dengan pekerjaan matang sebagai seorang archeolog. Wanita cantik berambut hitam lurus itu seorang pekerja yang keras. Dia bekerja sangat keras demi adik tirinya yang bernama Kaku. Rumah mewah, mobil mewah, pendidikan sampai kuliah buat sang adik yang paling disayanginya pun mampu dia berikan.
Kaku dan Robin pertama kali bertemu ketika ayah Kaku, Saul dan ibu Robin, Olvia memperkenalkan mereka sebagai calon saudara tiri baru ketika Robin berusia 15 tahun dan Kaku berusia 5 tahun. Di kala itu, Robin adalah seseorang yang tidak mempunyai teman, bukan karena dia tidak pintar bersosialisasi tapi karena semua teman sekolahnya tidak menyukainya dan mem-bullynya hanya karena ayah Robin yang konon kabarnya adalah seorang pembunuh berantai. Sedangkan Kaku, dia adalah seorang anak ceria yang sangat pintar bergaul. Olvia sangatlah tidak menyangka bahwa Kaku akan menarik tangan calon kakaknya dan mengajaknya bermain ke taman. Dan ibunya itu lebih tidak menyangka lagi kalau Robin seakan tersenyum untuk pertama kalinya ketika tangan mungil itu menarik tangannya. Olvia sampai sempat mengeluarkan air mata setelah melihat senyum Robin yang membuatnya sangat bahagia itu. Mengingat semua kejadian yang telah terjadi kepada Robin semasa kecilnya, Olvia sangat memahami betul kebahagiaan yang dirasakan putrinya saat ini.
Dulu, ketika Robin berusia 7 tahun, ayahnya yang bernama Crocodile terbukti bersalah karena membantai nyawa satu keluarga dengan sangat keji. Semenjak saat itu, Robin dijuluki "anak iblis" oleh orang-orang sekelilingnya. Setiap saat dia pergi ke taman, dia dilempari dengan batu oleh anak-anak tetangga hingga kepalanya berdarah dan harus dijahit. Setiap kali Robin ke sekolah, dia selalu harus mencari kursinya yang kadang ditemukannya di dekat tempat pembuangan sampah, di WC, ataupun di lapangan basket yang tergeletak begitu saja dan terdapat coretan di mana-mana. Tapi hal itu tidak membuat Robin menangis, mengunci pintu di WC seperti anak-anak lain kalau dibully, dia hanya menghela nafas, mengembalikan kursinya ke tempat semula, dan berkata dalam hati "biasa".
Setelah masuk SMP pun tidak ada laki-laki yang berani mendekatinya meskipun Robin tumbuh dengan sangat cantik bahkan lebih cantik dari anak-anak di seluruh sekolahnya. Dan hal ini, tentu saja membuat semua murid perempuan iri padanya dan berusaha lebih giat untuk mengerjainya dan mempermalukannya. Apalagi Robin terkenal dengan kejeniusannya yang di atas standard. Siksaan di sekolah itu pun semakin bertubi-tubi. Di mana Robin ditemukan, gadis bermata biru langit itu akan terlihat berantakan entah itu karena siraman air yang diakui tanpa unsur kesengajaan ataupun dari lemparan sampah yang hanya ditanggapi Robin dengan tenang karena semua itu "biasa". Dan itu terjadi berulang-ulang tanpa ada perubahan selama 3 tahun dia di SMP.
Setelah tidak tahan melihat penderitaan anaknya, Olvia yang bekerja sebagai seorang archeolog honorer pun memutuskan untuk pindah dari Ohara ke Grand Line. Grand Line selain mempunyai fasilitas yang lebih mendukung kejeniusan Robin juga merupakan tempat yang setidaknya belum terjangkau oleh berita perbuatan keji Crocodile yang menyiksa setiap serpihan memory anaknya.
Robin sangat terpukul karena harus meninggalkan Ohara. Meskipun dia tidak memiliki satu teman pun, tapi dia sangat mencintai kota yang merupakan tempat kelahirannya itu. Dan juga harus meninggalkan teman peneliti ibunya, kakek Clover yang sudah sangat menyayanginya dan sudah menganggapnya sebagai cucu. Kakek Clover adalah satu-satunya warga Ohara yang tidak membencinya selain ibunya tentu saja. Tapi, meskipun berat harus meninggalkan Ohara, Robin sangatlah mengerti keputusan ibunya, dia sangatlah paham kalau ibunya tidak tega melihatnya menderita lagi.
Kehidupan di Grand Line sejauh ini tidak terlalu banyak yang berubah meskipun Robin sudah tidak pernah merasakan dibully lagi, tapi tetap saja Robin belum mempunyai teman. Bukan karena dia tidak bisa bersosialisasi, tapi dia hanya terlalu kaku dan tidak tahu bagaimana cara berteman yang baik. Dia tetap saja menyendiri. Dan tentu saja, itu hal yang "biasa" baginya.
Olvia dan Saul pertama bertemu di tempat Olvia bekerja. Olvia yang melanjutkan kariernya sebagai seorang archeolog bertemu dengan Saul yang seorang direktur di tempatnya bekerja. Saul sangat tertarik akan kecerdasan Olvia dan selain itu dia sangat mengagumi kecantikan wanita berambut putih itu. Saul langsung menyebutnya "cinta pada pandangan pertama". Dengan kegigihannya, Saul berusaha mengajak Olvia berkencan dan Olvia pun menerimanya dengan senyuman.
Kehidupan percintaan Robin pun baru dimulai. Robin untuk pertama kalinya mengagumi lawan jenisnya. Laki-laki teman sekelasnya itu bernama Trafalgar Law. Dia seorang anak laki-laki tampan yang akan tidur ketika pelajaran sejarah dan akan menggebu-gebu pada saat pelajaran biologi karena cita-citanya untuk menjadi seorang dokter bedah. Hal itu membuat mata Robin terbelalak. Baru kali itu dia menemukan seorang laki-laki unik yang membuatnya tertarik. Gadis berambut hitam itupun diam-diam memperhatikan Law yang selalu dikelilingi oleh fans wanitanya.
Suatu hari di koridor sekolah, Robin yang sedang membawa tumpukan kertas-kertas ulangan menabrak Law yang sedang berjalan menuju ke kelas. Tabrakan itu sontak membuat kertas-kertas yang dipegang Robin jatuh berantakan, tapi tidak dengan Robin karena dalam sekejap mata, Robin sudah dalam pelukan tangan Law. Laki-laki yang juga berambut hitam dengan topi putih bermotif bintik-bintik hitam di bagian bawahnya yang membuatnya tampak lebih keren itu tersenyum menyeringai kepada Robin. Robin yang sedari tadi tidak sadar dalam posisi apa dia dan Law berada sekarang pun cuma bengong memandangi Law.
"Boleh aku melepaskan tanganku, nona Nico Robin?" Tanya Law yang masih tetap tersenyum. Saat itupun Robin sadar dari lamunannya dan bergegas lepas dari pelukan tangan Law.
"M..Maaf.. Emm.. Terimakasih karena telah menolongku, Trafalgar-san." Robin pun berusaha menutupi rasa gugupnya dengan membalas senyuman Law dan dia sukses besar.
Law pun tiba-tiba mulai mendekati Robin, kedua tangannya memegang bahu Robin dan dia mendekatkan bibirnya ke bibir Robin. Butuh waktu beberapa detik bagi Robin untuk mencerna apa yang telah dilakukan Law terhadapnya. Bibir Law yang basah dan lembut menyentuh bibir Robin yang masih perawan. Ciuman itu begitu lembut, bukan ciuman bergairah karena Law hanya menempelkan bibir mereka saja, tapi sudah cukup membuat hati para fans wanita Law punya alasan untuk menarik rambut hitam lurus Robin atau mencakar wajah cantik Robin dan untungnya di koridor itu tidak terdapat satu orangpun. Setengah menit berlalu, dan sepertinya Law tidak berniat untuk menjauhkan bibirnya dan semua selesai ketika Robin dengan sekuat tenaga mendorong Law dan melepaskan tangan kanannya ke pipi kiri Law dengan suara yang cukup keras. Seraya mengatur pernafasannya, Robin menutup matanya sedetik dan kembali menatap Law dengan tajam.
"Bisa kau jelaskan apa yang terjadi tadi, Tuan Trafalgar?" Law yang setelah ditampar Robin itupun tetap tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa, sedangkan Robin masih menatapnya dengan pandangan tajam dan suara yang sedikit bergetar meskipun berusaha disembunyikannya.
"Salam perkenalan, Nico-ya." Dengan gaya coolnya Law membungkuk merapikan kertas-kertas Robin, menyerahkan kepada Robin, dan membalikkan badannya, kakinya menapak pergi menjauh.
"Tidak jadi ke kelas?" Tanya Robin dengan tenang.
"Hmm.. tidak, Nico-ya. Aku akan mencari tempat untuk tidur saja. Toh, pelajaran selanjutnya adalah salah satu pelajaran membosankan, jadi sebaiknya aku tidur dan kebetulan, setelah salam perkenalan itu sepertinya aku akan mimpi indah hari ini." Law tersenyum lebar sambil memandang ke Robin dan memalingkan badannya menuju balkon atas.
Robin yang tinggal sendiri di koridor itupun menarik nafas panjang, dan berpaling menuju kelas. Sejak saat kejadian ciuman itu, Law dan Robin, sepasang laki-laki dan perempuan yang pendiam pun saling mencuri pandang tiap kali kelas sedang berlangsung.
Beberapa bulan setelah perpindahannya ke Grand Line, Olvia pun mengumumkan kepada Robin kalau dia sudah menemukan pria yang mampu menggantikan Crocodile di hatinya dan berjanji akan mengenalkan Robin kepada pria itu bersama anak laki-laki dari pria yang dicintainya itu hari jumat itu. Robin turut berbahagia untuk ibunya. Robin sangat senang mendengar kalau ibunya sudah mulai melupakan kepahitan kisah cintanya dengan sang ayah yang masih dalam penjara itu.
Hari jumat pun tiba, saat di mana Robin dan juga calon ayah dan adik tirinya akan bertemu. Bel rumah Robin berbunyi, tanda kalau yang ditunggu-tunggu sudah datang. Sebelum membuka pintu, Olvia dengan gugup mengecek makanan-makanan yang sudah disiapkannya bersama Robin terlebih dahulu dan setelah puas dengan hasil penataan makanannya di meja, dia pun beranjak untuk membuka pintu. Terlihat Saul yang rapi mengenakan jas, seikat bunga mawar di tangan kanan, dan seorang anak laki-laki digandengnya di tangan kiri. Anak laki-laki bermata hitam besar dan berhidung panjang itu pun tersenyum menatap Olvia dan Olvia membalas senyumnya. Olvia lantas memanggil Robin untuk turun menemui tamu-tamunya itu. Robin turun dengan perasaan khawatir kalau calon ayah dan adiknya itu tidak bisa menerimanya, tapi malah disambut oleh pelukan Saul. Saul pun mengelus rambut Robin dengan penuh kasih sayang. Secercah kebahagiaan pun terpancar dari raut wajah Robin, apalagi sebuah tangan mungil menyentuh dan menggandeng tangannya. Robin membelalakkan matanya, memandang erat ke mata anak kecil itu seakan bertanya "apa yang kau lakukan?"
"Salam kenal, kakak. Aku Kaku. Kaku sangat khawatir jika kakak tidak menyukai kehadiran Kaku. Ayah sering bercerita tentang tante Olvia. Ayah bilang, tante Olvia adalah wanita yang sangat baik dan ayah juga bilang jika tante Olvia baik, maka anaknya juga seorang yang baik. Kaku masih ragu dengan perkataan ayah, tapi setelah bertemu dengan kakak, Kaku yakin kakak akan menyukai Kaku. Kak Robin mau bermain dengan Kaku?" Anak berbadan mungil itu menatap langsung ke arah Robin. Anak lucu itu tersenyum dan mengeratkan tangan yang dari tadi menggenggam tangan Robin. Robin hanya terdiam selama beberapa menit dan kemudian mengangguk perlahan dan membalas senyum Kaku dengan senyum kecil ala Robin. Mereka langsung menuju ke taman dengan berpegangan tangan. Saul dan Olvia yang sedari tadi menatap mereka kemudian saling tersenyum.
Actually this is my own experience. I've just got a little fight with my little brother who I loved the most. He is only my cousin, but I love him just like my real brother. I'm not portrait myself as Robin. I'm not worth it. I just got inspired by my own experience since I wanted to write ZoRoLaw things so badly. Hope you like it. Ah, for the people who can't read in my language, I'll try to translate it into English someday, so don't worry about it. I just still in my comfort zone when I wrote it in Indonesian. See ya next cappy.. :D
