Judul : Dont You Remember
Author : Akihiro Imaizumi
Genre : Romansa
Rating : T
Pair : KagaFem!Kuro
Warning : EYD yang kurang baik, Fem!Kuroko, dll
Summary :
Gadis bersurai biru yang terus berada kebimbangan. Diantara kebimbangan untuk melepas atau terus mengikat cinta yang ia punya.
(*)
Bintang bertabur di horizon gelap. Bulan sabit tak ketinggalan tampil di gelapnya malam ini. Suara serangga menjadi sebuah simfoni tersendiri. Dan sang gadis brunatte termangu diatas kursi bersofa biru, menopang dagu berwajah sendu.
Disamping kursi, berdiri sebuah meja kecil yang jana cukup untuk membawa senampan cangkir. Kini meja berkererenda itu disinggahi secangkir coklat panas – untuk beberapa waktu yang lalu. Telah hilang kepulan uap, seperti gadis itu yang kehilangan kesadarannya saat ini. Mengapung bebas dalam imaji. Mengorek kembali memori. Dimana tersimpan kenangan hitam seperti kopi.
Sekelebat ingatan mampir sejenak. Ia teringat kejadian dulu. Saat masih SMA, dulu sekali. Zaman yang tak yakin 'orang itu' akan mengingatnya. Dimana aku dan 'dia' dipertemukan oleh waktu senja. Yah, 'Dia'. Pemuda berambut merah.
Buku-buku tebal ia keluarkan dari tas. Mengambilnya agar tak terlalu membebani pundaknya. Setelah beban tas berkurang ia pun melangkah meninggalkan kelasnya. Kelaspun kosong setelah wanita bermahkota biru muda agkat kaki menuju lapangan olah raga.
Tak butuh waktu lama untuk mencapai ruangan yang biasa digunakan ekstrakulikuler sekolahnya. Ada dua gedung olah raga, biasanya digunakan untuk ekstra basket dan sepak bola. Gadis berjaket hijau dengan surai selembut sakura tengah duduk di bench. Bola mata seindah moon stone mengikuti gerak gerik para atlit basket SMA. Gadis dengan buku tebal di dada menghampiri surai pink.
"Momoi-san," panggilnya pelan. Atensi sang menejer klub basket msih utuh, tak mendengar panggilan disampingnya. Beberapa kali panggilan tak membuat lawan bicaranya menoleh, melirik pun tidak.
Ia berinisiatif mendekat sebelum sebuh bola oranye mencium manis kepala bermahkota lautan. Pusing sangat kepalanya. Matanya ia paksa untuk terbuka. Sia-sia, ia hanya bisa melihat gambar kabur berwarna senja.
"Tet-chan!" teriakan gadis pinkcat membuat seluruh pemain terlihat bingung melihat sang asisten menjerit tanpa alasan. Dengan khwatir sang manajer tim basket memotong jarak antara dirinya dengan gadis yang tergeletak dengan buku tebal yang menemani.
Ia letakkan kepala sahabatnya di pangkuan tangan menepuk pipi porselen, yang terlihat pucat, khawatir dengan keadaan yang takutnya semakin buruk.
Tiba-tiba sosok laki-laki bersurai merah marun mendekat ke arah dua gadis yang sedang berimpuh mata semerah rubi itu tersirat khawatir. Tangan berototnya ia satukan dengan kedua tangan yang saling menggenggam di depan badan.
"Maafkan aku. Aku tak sengaja melempar bolanya. Kukira di sebelah bench tidak ada orang," ucapnya kagok sedikit takut. Semua anggota basket tau jika sang menajer marah maka tunggu saja hukuman a la neraka. Batinmu akan tersiksa. Jiwamu akan meronta, karena tak kuat denga latihan ekstra.
Tanpa di duga sang manajer yang para pemain kira akan meledak marah, layaknya gunung merapi yang meluapkan laharnya, ternyata hanya diam saja. Terlihat tetes air mata.
"Tolong bawa ia ke UKS," ucapnya dengan suara serak. Badannya berdiri, tapi perasaannya bersimpuh. Tangannya mengusap kedua matanya yang sembab. "Kalian lanjutkan latihan tanpaku."
Pemuda bersurai merah kembali ke lapangan, tapi suara sang manajer membuatnya berhenti. "Hei, Bakagami! Kau yang harus membawanya, kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu"
Yang disebut 'Bakagami' hanya bisa mematung. "Ara... kenapa harus aku?" ia berucap pelan, jari telunjuknya menunjuk ke arah muka tanpa dosanya. "Karena kau yang melempar bola tadi," balas gadis pink sarat akan nada kesal.
"Tapi aku kan sudah minta maaf. Lagi pula, haruskah aku yang menggendongnya? Bukankah itu tidak sopan," kelaknya lagi.
Mendengar jawaban itu sang menejer semakin kesal. Kelemahan yang tadi ai tampakkan –berupa air mata- kini tak berbekas . Seperti sungai yang tadi baru mengalir kini menguap karena kemarahan.
"Jika kau membantah lagi akan kulipat gandakan latihanmu, ini juga sanksi karena kau tidak berhati-hati," telunjuk lentik itu menunjuk sang pemuda beralis cabang. Dengan berat hati ia mulai mengangkat tubuh gadis berambut biru muda. Setiap kali rambut brunatte bergoyang penciuman sang pemuda yang berajaan menuju UKS itu membau vanilla milkshake yang biasa ia temui di restoran kesukaannya.
Tangan kekarnya melepas gadis biru dengan berat hati. Jujur pemuda itu sedikit tak rela melepaskan tautan tangannya pada gadis kecil yang tingginya tak lebih dari 160 cm itu. Perasaan hangat menyelimuti hatinya. Membuat nya seperti orang bodoh yang berdiri disamping ranjang putih bersih. Ia pandangi gadis-vanila. Kira-kira apa yang disimpan oleh kelopak mata itu? Kejutankah? Seperti helaian biru lembut itu.
Mata itu terbuka sempurna. Menampakkan lensa sebiru langit yang menyimpan segala misteri. Dimana rahasia akan terbuka jika kau bisa membuka hatinya. Gadis yang menarik, pikir pemuda itu.
"Maaf karena sudah membuatmu pingsan. Aku tidak sengaja. Ku kira tadi tidak ada orang di sebelah bench," rangkaian kata yang sudah ia siapkan sedari tadi kini terlontar. Harap cemas agar pernyataan maafnya bisa membuatnya terselamatkan dari garangnya sang menejer.
(*)
Saat bangun kulihat berbadan tegap berdiri disamping ranjangku. Aku tahu bahwa kau yang melemparkan bola itu. Karena pada saat gym aku sudah melihat bola itu melayang menghampiri. Sayangnya aku telat untuk menghindarinya.
Sepertiku yang yang tak menyadari bahwa saat itulah tumbuh bibit yang tak kutabur. Kau yang menabur, tanpa sengaja. Dulu aku mengira perasaan itu sama dengan perasaanku kepada Cihiro-nii. Ternyata rasanya jauh lebih hangat dari perasaanku kepada Cihiro-nii. Jantungku seperti bermaraton jika di dekatmu. Selalu berdetak lebih cepat dan hangat.
Semenjak saat itu kita sering betatap muka. Bukan karena alasan yang tidak jelas, tapi karena aku yang menjadi manager menggantikan managaer kelas tiga ang mendekati ujian.
Aku terbiasa mengamati. Semua yang terjadi tak akan lepas dari observasiku. Variable-variabel tak akan lepas begitu saja dari mata saphire ini. Meski aku melihat kemampuan ini biasa saja. Tapi kalian memandangku layaknya hanya akulah yang bisa mengobservasi dunia ini.
Setiap kali latihan kusempatkan untuk memperhatikanmu. Bukan karena perasaan penasaran yang setiap malam menghantui. Tapi karena memang inilah pekerjaanku, layaknya Momoi-san. Karena pada saat kelas tiga aku maupun kau masih belum menyadari apa yang ada dalam dada masing-masing.
Meski begitu, di kelas akhir ini kita semakin sering menghabiskan waktu bersama, ke perpustakaaan untuk belajar. Mengajari otakmu yang memang sedikit lambat itu. Kau sering dianggap aneh oleh temanmu kerena melihatmu berbicara sendiri.
Jika itu membuatmu terganggu, sungguh ucapan maaf aka kusampaikan padamu. Aku tak tau harus menanggapi ini sebuah anugrah atau bencana. Keberadaanku yang sangat diambang batas manusia. Sampai-sampai eksistensiku tak ditangkap panca indra.
Setiap kali temanmu mendatangi dan mengejekmu kerena ragu dengan kewarasanmu kau hanya mengehela nafas. Kemudian kau menunjuk kearahku. Maaf pun terlontar dari bibir temanmu. Aku mengangguk dan menanggapi, " Tak apa-apa. Ini sudah biasa," yah, aku sudah terbiasa untuk dilupakan.
Tapi tidak untukmu. Kau akan mengetahui keberadaanku dengan mata layakya macan merah. Seperti namamu, Kagami Taiga. Macan yang mencari mangsanya, dengan mudah mangsa itu ditemukan karena sudah terbiasa. Terbiasa untuk mencariku.
Aku lelah mengingat memori itu, seperti mengais kenangan pahit yang kubur. Selain mendapat pahitnya kenangan kau juga akan merasa lelah karena mengais luka dalam yang kau simpan. Kuambil gelas berisi coklat, menyeruputnya pelan. Manis, seperti pagi hari indah yang kau berikan padaku seminggu sebelum kelulusan.
Semua ujian telah terlewati. Bagi seorang ibu yang lega karena anaknya yang tak kunjung pulang ditemukan dengan mudah di taman. Anak kelas tiga bernapas lega. Tak ada yang tertinggal untuk mengulang kembali kelas tiga untuk satu tahun.
Pagi itu kau menghampiriku, ke kelasku sambil menenteng tas yang belum kau letakkan. Suara besarmu mengajakku untuk ke suatu tempat. Dimana tak ada seorang pun yang tau kita berada disana, atap sekolah.
Langit biru membentang luas tanpa awan yang menghalangi sinar mentari. Lembayu bertiup ringan. Menerbangkan dedaunan musim semi. Dengan wajah sewarna rambutmu kau menyatakan isi hatimu. Semburat juga mampir ke wajahku. Jantungku berdetak labih cepat dari biasanya. Tapi wajahku datar, tak menunjukkan ekspresi yangkau harapkan. Aku hanya mengangguk.
Sudah seminggu kita tak bertemu. Dimana pertemuan singkat yang berakhir dengan jawaban yang mungkin bagimu tak menentu. Aku mengangguk yang berarti aku setuju. Tapi sepertinya kau tak paham dengan maksudku karena tiba-tiba kau beranjak dan meninggalkan tempat dudukmu.
Masih teringat sangat hari kelulusan yang menyakitkan. Tak ada eksistensimu. Bahkan saat aku ke apertemenmu kau tak berada disana. Hanya sepi senyap yang ada disana.
Perasaanmu sama hingga sat ini. Dimana aku kuliah sudah menginjak tahun ke-2. Aku bertekad untuk menyelesaikannnya lebih cepat. Secepat dirimu yang menghilang dari duniaku. Apakah kau melupakanku? Tak pernah ada kabar yang datang darimu. Seakan-akan dunia tak menijinkan aku bertemu denganmu.
Lembayu malam berhembus mengelus rambut biru. Tampaknya bulan bosan melihatku. Setiap malam, setiap hari, aku akan berada di depannya. Membongkar untuk mellihat memori lama.
Beberapa hari yang lalu aku dan kau saling bertemu. Tapi seakan mata ruby itu tak melihatku. Padahal mata itu yang akan pertama kali melihatku, dulu. Apakah memori tentangku telah terhapus waktu. Mataku hanya bisa menatap sayu.
Hatiku telah usang lelah menunggu. Tapi kuyakinkan diri bahwa kau akan datang menghampiri. Meski keyakinan itu hanya bertujuan untuk menghibur diri. Bagaimana tidak aku bersedih? Kau meninggalkanku tanpa pamit. Tiba-tiba menghlang seperti gerhana matahari yang datangnya pun tak pasti.
Aku akan selalu menjaga perasaan ini. Kehangatan yang pernah menemani. Meski dinginnya salju membekukan sang api. Apa yang kusimpan ini akan selalu murni. Seperti buah simalakama, ketika aku membuangnya aku hanyalah raga tanpa jiwa. Jika aku membawanya, kekosongan hati begitu terasa.
Tak ingatkah dirimu? Eksistensikukah yang tak layak dalam kepala bersurai merahmu?
Tak ingatkah dirimu? Ketika kita saling berbagi dalam sepi. Tanpa ada terucap pada bibir ini.
Tak ingatkah dirimu? Atau dirimu yang sudah berlabuh di dermaga yang tak pernahku tahu.
Ketika saat ini aku bertemu. Dirimu dibalut jaket hitam dengan tas kau smapirkan di bahu. Aku hanya disampingmu. Dan kau tak menyadari ku
Tak ingatkah dirimu?
