Disclaimer: Masashi Kishimoto
Genre: Fantasy/Friendship
.
.
.
-:-
.:The Warm of Snow:.
-:-
.
.
.
Prologue
.
.
.
Sehubungan dengan program sekolah dan kesenangan anak-anak, maka disinilah anak-anak kelas 2 SMA Konoha (namanya umum banget), main ski di atas salju.
''Yahooo!''
Yang tadi bukan Yahoo! Search engine ya. Itu teriakan dari Kiba, anak yang bawa-bawa anjingnya ikut karyawisata sekolah. Bukan cuma gayanya aja yang keren pas main snowboard, tapi sampai anjingnya yang namanya Akamaru juga bisa main snowboard. Apa nggak keren tuh?
Malahan lebih banyak yang nyorakin Akamaru daripada Kiba.
''Kau benar bisa sendiri?''
''Tenang saja, aku sudah cukup mahir kok.''
Gaara nggak yakin. Masa' baru setengah hari latihan (atau guling-gulingan) Hinata yang super payah dan baru pertama kali main ski bisa ditinggal sendirian? Dan benar aja, baru berniat meluncur, nggak nyampe 1 meter, lagi-lagi Hinata jadi bola salju.
''Tuh 'kan, kubilang juga apa.''
Yaah, habis gengsi dong. Temen-temen yang lain udah pada seneng-seneng main ski, cuma dia yang daritadi masih latihan di tempat. Akamaru aja begitu dateng udah lengkap baju, topi rajut, kacamata, sama snowboardnya. Kedatangan Akamaru bener-bener bikin malu orang-orang kayak Hinata.
Loh? Rasanya ada yang aneh. Akamaru itu anjing 'kan? Pake baju? Topi? Kacamata? Main snowboard pake 2 kaki? Ah, ya udahlah. Di fanfic apa yang nggak bisa juga jadi bisa.
''Hahahahahaha! Kamu masih disini, Hinata?'' ejek Kiba. Ia datang bersama Akamaru yang kayaknya udah kebiasa banget sama salju. Jangan-jangan anjing yang satu ini nggak dilatih main frisbee 'n ngambil koran, tapi main ski sama snowboard. ''Aku dan Akamaru sudah keliling tempat ini berulang kali loh.'' Kiba mulai pamer. ''Kalau naik kereta gantung ke atas lebih seru.''
Hinata terkesiap. Ia memberikan pandangan blink-blink pada Gaara, pengurusnya. Gaara hanya menghela napas. ''Di atas hanya untuk orang-orang yang sudah jago. Kalau ke atas, bisa-bisa kau terguling sampai ke bawah lalu jadi boneka salju,'' Gaara mengingatkan, ''Kau juga, Kiba. Jangan mengatakan hal-hal yang membuatnya ingin pergi ke atas.''
Terlambat. Kiba dan Akamaru sudah kabur lebih dulu dan tiba-tiba sudah di atas kereta gantung. ''Ooi, Hinata! Kalau sudah bisa cepat menyusul, ya! Pemandangan dari atas bagus, looohh!''
Lagi-lagi Gaara menghela napas.
''Hatchuu!''
Suara itu berasal dari Hinata yang hidungnya memerah. Dia masih duduk dan bertumpukan salju. Wajar kalau sekarang dia masuk angin. Berkali-kali terjungkal di atas salju. Terlebih Hinata tidak terbiasa dengan udara dingin. Kalau musim salju biasanya dia nggak akan pergi keluar-keluar, cuma meringkuk di balik kotatsu.
Udah jadi hobi tuh.
Tapi memang lebih dingin sih. Gaara juga merasa agak dingin.
''Mau masuk dulu?'' Hinata mengangguk cepat.
Sampai di penginapan, Hinata langsung mencari tempat duduk yang dekat penghangat ruangan dan menghangatkan badan disana. Tidak lama, Gaara membawa 2 cangkir coklat panas untuk mereka berdua. Hinata menerimanya dengan senang hati dan meminumnya pelan-pelan. ''Coklat panas memang enak diminum saat dingin, ya.'' Gaara hanya mengangguk setuju sambil tersenyum.
Tiba-tiba guru-guru pengawas mereka mulai memberi peringatan untuk berhati-hati dan segera kembali ke penginapan. Ternyata cuaca memang sedang tidak bagus dan akan terjadi badai ringan.
Meski namanya badai ringan, tetap saja badai. Dan disini gunung salju. Seringan apa sih badai salju yang ringan?
''Gaara, kita naik yuk.'' Gaara menatap Hinata heran seolah berkata 'Naik apa?'. Dan pertanyaannya terjawab saat Hinata menunjuk keluar jendela. Kereta gantung.
''Nggak boleh. Tadi 'kan sudah dibilang kalau akan ada badai. Kau dengar sendiri 'kan?''
''Karena itu, kalau nggak cepat-cepat nanti badainya keburu datang. Lagipula, ini 'kan badai ringan,'' jawabnya sambil tersenyum.
.
.
''Sampai di atas nanti pegangan terus, ya.''
''Iya.''
''Kalau jalan juga hati-hati, jangan sampai tergelincir.''
''Iya.''
''Lalu kalau sudah sampai—''
''Eh, Gaara, lihat deh, lihat! Pemandangannya bagus sekali, ya.'' Hinata menarik-narik baju Gaara. Gaara yakin banget Hinata sama sekali nggak dengerin apa yang dia omongin sejak tadi. Pandangannya selalu terarah ke bawah atau ke samping.
Hinata memang suka sekali dengan ketinggian. Tempat favorit untuk jalan-jalan tentu saja gunung atau taman hiburan yang ada bianglala raksasanya. Kalau sudah menyangkut tempat tinggi, nggak akan ada yang bisa melarang dia meski ingin memanjat gunung Everest sekalipun. Ok, itu berlebihan, tapi kira-kira seperti itu lah.
Mengingat kemampuan Hinata yang di bawah rata-rata dan kemungkinan terjadinya badai, Gaara hanya mengijinkan naik satu tingkat dari level pemula tempat mereka berlatih sejak tadi. Tapi dengan itu saja Hinata sudah cukup senang.
Karyawisata sekolah mereka hanya berjalan 3 hari 2 malam. Di hari pertama bus mereka tersesat karena sopirnya masih baru dan tidak tahu jalan sehingga saat sampai, hari sudah gelap dan mereka harus tidur. Di hari ketiga mereka sudah harus mengepak barang dan pulang pagi-pagi sekali kalau ingin sampai di rumah tepat waktu. Karena itu, di hari kedua yang merupakan hari bebas anak-anak baru diijinkan bersenang-senang sendiri. Tapi karena memang nggak nasib, sekarang akan ada badai dan mereka terpaksa berdiam lagi di penginapan. Menyedihkan sekali bukan?
Tapi sekolah mereka memang nggak adil. Anak kelas 2 cuma dikasih ke Hokkaido selama 3 hari 2 malam, tapi anak-anak kelas 3 dikasih pergi ke Cina selama seminggu. Nggak adil banget 'kan? Tapi masih mending dibanding anak kelas 1 yang disuruh nginep di sekolah. Tidurnya di ruang olahraga.
Saat kereta gantungnya berhenti, dengan sigap Gaara melompat dengan papan ski-nya. Ia membetulkan baju dan menyingkirkan salju yang tadi sempat turun di atas kepalanya. Saat ia berbalik ingin menurunkan Hinata...
Loh?
''Hinata?''
.
.
Aah, kalau di musim dingin kotatsu memang yang paling enak, ya. Seharusnya dia diam saja di rumah dan bermalas-malasan terus dalam kotatsu selama musim dingin.
Iya, seharusnya begitu.
Hyuuga Hinata, kelas 2 SMA. Saat ini sedang menghadapi badai kehidupannya seorang diri.
Yang dimaksud 'badai' disini bukan masalah kehidupan, tapi benar-benar badai! Badai salju di gunung salju!
''Di-dingiiii~nn...'' Hinata mendekap tubuhnya sambil melihat ke kanan dan ke kiri. ''Gaara di mana siihh?''
Sebenarnya Hinata pengen jadi anak baik yang ngikutin kemana pun Gaara pergi. Cuma, kebetulan aja saat di perhentian pertama tadi dia nggak bisa turun sendiri dan niatnya nunggu Gaara nolongin dia turun. Eeh, nggak nyangka, sebelum Gaara bantuin nggak taunya kereta gantung itu udah jalan duluan ke atas. Karena nggak berani turun, akhirnya Hinata ngikutin terus kereta itu sampai akhirnya tiba di paling atas, tempat orang-orang yang jago banget. Terpaksa dia turun disana dengan dibantu petugas. Saat itu Hinata pikir lebih baik menunggu Gaara mengejarnya disana dan akhirnya mereka bisa turun bareng. Di tempat itu benar-benar nggak ada lagi orang lain selain Hinata karena angin sudah semakin kencang, pertanda badai mendekat.
Sial eh sial, ada satu bapak-bapak petugas yang sok akrab. Melihat Hinata diam mematung di tempat, bapak itu malah menyapa riang semangat dengan menepuk punggungnya keras-keras. Keseimbangan Hinata hilang dan akhirnya dia meluncur jauh. Karena memang nggak mahir, ia tersandung lagi dan jatuh berguling-guling membentuk bola salju yang besar dan tak berhenti. Dia baru bisa berhenti berputar ketika menabrak salah satu pohon cemara yang besar. Sampai sekarang kepalanya masih pusing. Dan dingin.
Tampaknya karena ia meluncur tanpa arah, sekarang ia jadi tesesat tanpa tahu arah pulang. Di sekitarnya sama sekali tidak ada orang. Seperti ingin memperburuk keadaan, sekarang sudah hujan salju dan angin bertiup makin kencang.
Uuh... Seandainya aja tadi dia nurut sama Gaara untuk tetap berdiam di penginapan... Ah, nggak. Yang patut disalahin tuh Kiba. Seandainya saja tadi dia nggak pamer sama Hinata, Hinata pasti nggak kepengen-kepengen banget pergi ke tingkat atas, dan dia nggak akan berakhir kedinginan dan tanpa arah disini. Eh, bukan, yang salah Gaara. Kalau Gaara nggak maksa dia ikut karyawisata nggak akan begini jadinya.
''Hatchuu!'' Aah, percuma nyari orang buat disalahin! Nggak merubah keadaan dan nggak bikin badan jadi hangat.
Hinata berjalan mencari kira-kira adakah petunjuk untuk pulang ke penginapan. Kalau diam saja di tempat bisa-bisa mati beku. Papan skinya dilepas dan dijinjing meski tidak bisa jadi penahan angin. Papan ski ini tidak boleh hilang, uang sewanya mahal. Hinata nggak mau uang jajannya berkurang hanya karena harus membayar denda ganti rugi papan ini.
Itu kalau dia bisa balik.
Badai salju semakin kencang dan memburamkan penglihatannya. Tapi hari sudah gelap dan memang tak terlihat apa-apa. Meski rasanya ia sudah berjalan berjam-jam lamanya, ia tetap tak bisa menemukan petunjuk tanda-tanda kehidupan. Capek dan ngantuk. Kakinya sakit karena sejak tadi terus berjalan di atas salju yang tebal. Badannya menggigil dan gemetar. Hanya ada satu pertanyaan dalam benaknya saat ini, apakah dia akan mati?
Hinata takut. Rasa kantuknya menjadi lebih hebat bersamaan dengan semakin dingin udara yang ia rasakan. Ia tahu kalau ia sampai tertidur disini, ia tidak akan bisa terbangun lagi.
''Siapa saja...'' Bibirnya kering, suaranya kecil seperti berbisik. Air matanya yang keluar segera tersapu angin badai. ''...kumohon...''
Dan Hinata pingsan, tergeletak di tengah badai salju di malam yang dingin.
.
.
Gaara panik. Ia sudah bertanya pada setiap petugas di tempat perhentian, tapi tidak ada yang melihat Hinata. Ia terus mencari sampai akhirnya ke tingkat paling atas. Seorang petugas mengaku melihat seorang gadis dengan ciri-ciri yang Gaara berikan, dan kenyataan bahwa gadis yang dicarinya itu meluncur tanpa kendali. Tapi setiap petugas menyatakan tidak melihatnya lagi sejak itu.
Angin semakin kencang. Gaara berniat mencari Hinata sebelum badai mempertunjukkan dirinya. Tapi ia ditahan oleh para petugas dan gurunya.
''Hentikan, Gaara! Makin berbahaya kalau kau juga ikut pergi!''
''Tapi Hinata masih di luar sana! Dia bisa mati kalau tidak ditemukan sekarang!''
''Karena itu serahkan saja semua ini pada orang dewasa!'' Pak Ibiki, guru sekaligus wali mereka, merasa bertanggung jawab. ''Kalau kau ikut mencari dan tersesat, bukannya keadaan tambah parah.''
Gaara masih menolak untuk diam. Hinata. Dengan atau tanpa Gaara ikut tersesat, bukankah keadaannya sama saja? Hinata berada di luar sana, di tengah cuaca yang tak menentu. Kedinginan tak berdaya. Sendirian. Gaara nggak akan pernah bisa memaafkan dirinya kalau sampai terjadi sesuatu pada Hinata.
Dengan usaha keras, bujukan yang berwujud bentakan, akhirnya Pak Ibiki berhasil memaksa Gaara tetap berada dalam penginapan. Ia sendiri beserta beberapa guru lain dan orang-orang dari penginapan bersiap dengan baju tebal dan senter serta beberapa alat lain yang diperlukan untuk menghadapi badai. Mereka pun pergi mencari seorang anak perempuan di tengah malam bersalju.
Tapi itu sudah sejam yang lalu.
Gaara menggigit kuku ibu jarinya dengan gelisah. Kemana mereka? Apa Hinata belum juga ditemukan? Badai malah semakin kencang. Pembohong. Apanya yang badai ringan? Ini sih badai panjang yang cukup membuat seseorang mati kedinginan.
Gaara hanya berharap Hinata menemukan sebuah pondok kecil yang di dalamnya terdapat tungku kecil beserta dengan kayu bakarnya. Ia juga berharap Hinata masih ingat cara menyalakan api yang pernah diajarkannya saat mereka camping beberapa tahun yang lalu di SD.
Gaara terlalu cemas sampai tidak menyadari kehadiran Kiba di sampingnya. Diikuti Akamaru.
''Mereka masih belum kembali?'' tanyanya sambil menyerahkan secangkir kopi susu hangat pada Gaara. ''Minumlah, bagus untuk menghilangkan tegang.''
Gaara menerima dan memandangnya sebentar. Lalu ia menenggaknya dengan cepat. Tenggorokannya seperti terbakar tapi dadanya jadi sedikit hangat.
''Sial,'' Gaara mendengar sebelahnya mengumpat, ''Kalau saja aku tidak iseng menggodanya... dia...''
Cangkir Kiba bergetar karena ia menggenggamnya dengan geram. Anjing putih yang mengerti perasaan tuannya itu mengusapkan kepalanya ke sisi kaki tuannya. Kiba membungkuk dan mengelus kepala Akamaru untuk sedikit memberinya keyakinan bahwa ia baik-baik saja.
Gaara melihat hal itu kemudian melayangkan kembali pandangannya ke luar jendela yang berkabut itu. ''Tidak ada gunanya mencari siapa yang salah...'' Badai semakin kencang. ''Dia pasti baik-baik saja.''
Kata-katanya bukan sebuah fakta maupun penghiburan, tapi lebih seperti untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau tidak akan ada hal buruk yang terjadi.
Pintu terbuka. Gaara, Kiba dan Akamaru segera menghampiri mereka.
''Bagaimana?''
Pertanyaan terjawab saat tidak ada satupun bayangan perempuan yang lebih pendek di antara mereka. Pak Ibiki lebih memilih diam dan menundukkan kepala.
''Kami sudah mencarinya,'' sahut seseorang, ''Tapi kami sama sekali tidak menemukan petunjuk keberadaannya.''
Gaara menggerutukan gigi. Mengepalkan tangan begitu erat sampai kuku melukai telapak tangannya.
''Hinata!''
Ia mendobrak pintu dan berlari keluar. Para orang dewasa segera mengejar dan menahannya. ''Hentikan! Kau tidak mungkin menemukannya di tengah badai seperti ini!''
Gaara menepis mereka. ''Berisik! Lepaskan aku! Hinata masih di luar sana! HINATA!'' Tiba-tiba ia merasa seseorang memukul tengkuknya. Pak Ibiki.
Sebelum kesadaran hilang, Gaara yakin. Ia melihat sesosok bayangan putih seperti manusia yang harusnya tak bisa ia lihat di tengah gelapnya malam bersalju itu. Mungkin itu hanya ilusi karena ia sangat menginginkan Hinata datang.
.
.
Di pagi hari, badai telah berhenti sepenuhnya. Matahari bersinar indah menunjukkan fajar dan langit yang bersih. Seolah-olah mengatakan bahwa apa pun yang terjadi kemarin hanyalah mimpi belaka. Ya, mimpi.
''Pak, kami menemukannya!''
Disana ia tergeletak. Gadis yang hilang. Perempuan yang seharusnya hilang tertelan malam dan salju. Ia berada di depan penginapan. Duduk di dekat pintu masuk. Tanpa kesadaran.
''HINATA!''
Gaara yang telah sadar dan diberi informasi ini segera berlari keluar ke tempatnya berada. Ia menyentuh pipi gadis itu, mengeceknya. Berharap apa yang dilihatnya adalah nyata.
''Hinata?'' Tidak ada jawaban. ''Hinata? Kau... ada 'kan?''
Ia sempat panik karena respon yang diinginkannya tidak muncul juga. Sebuah erangan terdengar. Napas hangatnya menjadi sebuah bukti.
Gaara memeluk Hinata erat. Hampir menangis. ''Dasar bodoh. Kerjamu hanya tidur.''
.
.
''Siapa saja... kumohon...''
Entah khayalan atau bukan, saat itu ia melihat sosok yang seharusnya tak bisa ia lihat. Aah, mungkin benar kata orang. Di ambang kematian kita jadi bisa melihat hal-hal aneh...
''Ngghh...''
''Sudah bangun?''
Cahaya lampu masuk ke matanya seperti duri-duri halus yang menyakitkan. Tenggorokannya kering. Hinata membuka mulutnya tapi tak bisa mengeluarkan suara. Gaara mengambil air dari sebelahnya dan membantu Hinata bangun untuk minum.
''Gaa...ra?'' panggilnya lemah.
''Hm?'' Gaara selalu mengerti. ''Kau masih ingat kemarin tersesat? Para orang dewasa mencari tapi tidak bisa menemukanmu. Pagi ini kau ditemukan tepat di depan penginapan. Semua hanya bisa menduga kalau kau berjalan sendiri di tengah badai salju dan dengan keajaiban akhirnya kau sampai dengan selamat.''
Hinata hanya menunduk, melihat air di gelasnya yang tinggal setengah. Baju tebalnya sudah dilepas. Pemanas ruangan dinyalakan. Selimut yang dipakainya extra tebal.
''Barang-barangmu sudah kubereskan. Setelah kau merasa baikan, kita akan pulang. Pak guru sudah menghubungi pihak sekolah tentang keterlambatan jadwal kita. Kamu...'' Gaara berhenti saat Hinata menyenderkan kepala pada bahunya.
''Uuu... Hiks hiks...''
Suara isakannya tertahan. Ia menangis pelan. Tangannya mencengkram selimutnya dengan erat. Bulir-bulir air mata pun perlahan berjatuhan.
''Sudah, sudah.'' Gaara menepuk-nepuk kepalanya. ''Kau sudah selamat.''
Setelah tahu bahwa Hinata sudah sadar teman-teman mereka langsung berkumpul dan memberikan pelukan hangat. Akamaru juga menunjukkan kebahagiaannya dengan menjilat wajah Hinata terus-terusan. Hinata sempat dimarahi Pak Ibiki dan dihukum menulis 'Saya berjanji tidak akan keluar saat badai lagi.' sebanyak 1 buku penuh. Hukuman khas anak SD yang suka merepotkan orang lain. Segera, mereka pun meninggalkan tempat itu setelah banyak-banyak berterima kasih pada para petugas yang banyak membantu.
''Kau kenapa, Hinata?'' tanya Gaara.
Hinata hanya terus memandangi pemandangan di luar jendela. Apa benar ia selamat dari badai itu dengan kekuatan sendiri? Apa ia masih sanggup berjalan kaki saat itu? Apa ia bisa ke penginapan dalam keadaan pingsan?
''-ku ak— —longmu, — dengan —sya—''
Hinata hanya menghela napas.
''Akhirnya di saat terakhir pun aku masih belum bisa main ski.''
.
.
.
.
.
To Be Continued
.:1 November 2011:.
.
.
.
A/N- Ini bukan GaaHina yang nyasar loh. Ini juga bukan KibaHina. Ini HakuHina! YEEESSS!
Viva HakuHina!
Akhirnya saya bisa publish fic ini. Ini juga salah satu pair favorit saya. Semoga dengan membaca fic ini para readers juga bisa menyukai HakuHina. Cerita sesungguhnya dimulai di chapter berikutnya. Go Go!
