Title: The Lie Within

Summary: Apakah ini wajah pembunuh seharusnya?

Pairing: Untuk awal, sedikit hint Tsugaru/Shizuo. Nanti Izuo, dan bulan Juni (ada yang tahu maksudnya?)

Rate: T dulu, sabar… nanti juga jadi M.

Disclaimer: Nope~! Novel hebat bernama durarara! adalah milik seorang author hebat bernama Narita Ryohgo~!

Bacotan: Kali ini, saia pengen bikin yang agak twisting-twisting sana-sini pairingnya. Muhehehe... *evil grin* Lagi-lagi, ini adalah hasil saia kalah buat tantangan 15 menit satu storyline. Lagi-lagi juga karena kepanjangan dan saia ga sempet selesai nulisnya. Heuh...

Chara ni cerita sebenernya Shizuo ama Izaya dan para alter-egos, tapi karena ga mungkin saia taruh charanya delapan, saia pake Shizuo dan Izaya aja untuk mewakili semuanya. :D Mudah-mudahan tidak membingungkan.

Enjoy~! :D


"Amankan bangunan utara!"

Terdengar suara para penjaga kediaman Orihara memecah kesunyian malam.

Malam itu, pencuri lihai berhasil memasuki kediaman keluarga informan terhebat itu walaupun dengan penjagaan maksimal sekalipun setelah pada hari sebelumnya mengirimkan surat ancaman.

Dan yang ingin dicuri oleh pencuri itu adalah nyawa dari anak ketiga keluarga ini; Orihara Hachimenroppi.

Yang malam itu terbangun karena ributnya suara manusia-manusia di luar kamarnya yang terletak di bangunan utara. "Hah… kenapa selalu aku yang menjadi sasaran?"

Terdengar bunyi tembakan, bunyi besi, mungkin pisau atau pedang, yang beradu dengan besi lainnya, bunyi teriakan orang yang terluka.

"Hm? Hebat juga mereka bisa menembus pertahanan penjaga elit dari kerajaan," gumam Roppi pelan mendengar satu persatu penjaga banguna itu gugur. "Apa sebaiknya aku keluar saja?" gumamnya lagi sambil melangkah membuka pintu kamarnya dan melangkah menuju ruang utama gedung itu, tempat dimana hanya tinggal sedikit lagi penjaga yang masih berdiri, sementara sisanya terkulai lemas di atas lantai marmer dingin berwarna hitam putih.

"Hachimenroppi-sama! Anda sebaiknya tidak kelu—argh!"

Satu lagi penjaga tumbang. Diikuti dengan yang lainnya.

Aneh sekali, mana para pencuri itu? Bersembunyi dan membiarkan satu temannya yang memakai baju serba hitam dan cadar hitam untuk menutupi wajahnya melakukan semua pekerjaan?

Atau justru…

"He… menumbangkan sepasukan penjaga sendirian, ya? Menarik. Kau kuat juga…" ujar Roppi sambil menuruni tangga marmer yang juga hitam putih. Aura hitam seakan memadat di sekelilingnya, membentuk tangan-tangan hitam yang terlihat kering dan rapuh, padahal tangan-tangan itu bisa saja meremukkan baja.

Kalau dipikir-pikir… mungkin banyak yang mengincarnya karena kekuatannya ini, ya?

Pencuri nyawa alias pembunuh di lantai bawah tidak terlihat gentar. Dia justru mengambil ancang-ancang, bersiap untuk menyerang. Di kedua tangannya telah siap dua buah katana yang terlihat begitu tajam. Permukaannya yang mengilap memantulkan cahaya bulan yang masuk dari jendela besar di tangga yang sedang dituruni Roppi.

Dalam satu kedipan mata, keduanya saling menyerang. Roppi mengeluarkan tangan-tangan hitam dari lantai untuk menangkap kaki si pembunuh yang langsung melompat menghindari tangan-tangan yang menggapai-gapai dirinya.

Si pembunuh menerjang Roppi dengan katana-nya, bersiap untuk menebas Roppi tanpa ada sedikitpun keraguan terpancar di kedua mata merahnya seperti yang biasanya muncul ketika seseorang akan membunuh orang lain. Mungkin karena dia meminum obat peredam emosi, atau dia sudah terbiasa membunuh. Hanya dua itu pilihannya.

Tangan hitam kembali menyerang si pembunuh dan melemparnya ke sebrang ruangan. Roppi tertawa melihat pembunuh itu sepertinya sedikit kesakitan memegangi perutnya yang terkena hantaman tangan-tangan hitam dari aura Roppi.

Tapi hanya itu saja, dia kembali berlari ke arah Roppi dengan kecepatan yang lumayan hebat untuk seorang manusia. Tapi tidak akan cukup cepat untuk bisa menghindari serangan lengan-lengan kering dari Roppi. "Aku yang menang," ujar Roppi sambil mengirim tangan-tangan hitam lagi merayapi lantai dengan cepat dan menangkap si pembunuh. Sebuah seringai menang terpatri di wajahnya, sampai ketika pembunuh itu dengan mudahnya melompat dan menghilang entah kemana dengan kecepatan yang tidak bisa dikalahkan oleh tangan-tangan auranya.

Roppi sedikit terpaku dan tiba-tiba saja si pembunuh sudah berada di belakangnya dan menebaskan pedangnya.

"Ups." Dengan cepat Roppi menghindari tebasan pedang tajam yang siap membelahnya menjadi dua bagian. Tapi dia tidak cukup cepat untuk menghindari tebasan pedang yang satu lagi. Lengannya tergores sedikit.

"Menarik juga kau, manusia, sampai bisa melukaiku. Kau orang yang pertama setelah Izaya dan Psyche, kau tahu," puji Roppi sedikit sambil bersiap menyerang lagi. Kalau bukan perasaan limbung ketika dia mencoba bergerak. Dia menyadarinya. "Kau memoleskan racun pada pedangmu, manusia? Pintar juga…" ujarnya. Aura berbentuk tangannya perlahan menghilang.

Dia tidak ditanggapi apa-apa selain sebuah ancang-ancang dari si pembunuh yang menyiapkan pedangnya.

'Apa ini berarti aku akan mati? Ah, aku bahkan belum mengalahkan Izaya,' batin Roppi sambil menunggu tebasan pedang si pembunuh dengan mata terpejam.

Sebuah bunyi besi beradu terdengar. Ketika Roppi membuka matanya, dia melihat Izaya, kakaknya yang baru beberapa hari yang lalu pulang dari tugasnya, menahan kedua pedang si pembunuh dengan kedua pisaunya. Si pembunuh berbaju hitam langsung undur menjauhi mereka berdua.

"Roppi-kun, kau bisa kalah darinya?" komentar Izaya sambil menyeringai. "Dan kau masih ingin mengalahkanku? Mungkin nanti, Roppi-kun. Kau masih terlalu cepat sepuluh tahun."

"Roppi-chan~!" panggil sebuah suara lain. Psyche sedang berlari ke arahnya. Di kedua tangannya, pedang besar dengan ukiran-ukiran rumit yang memancarkan cahaya magenta siap untuk menebas apapun yang menghalanginya.

"Psyche-tan, simpan dulu pedangmu dan rawat Roppi. Sepertinya dia kena racun," perintah Izaya pada adiknya.

"Baik~!" jawab Psyche sambil menghilangkan kedua pedangnya ke udara. "Sini, Roppi-chan," ujarnya sambil mengangkat lengan Roppi yang tergores pedang. Sedikit cahaya magenta berpedar pada tangannya yang berada di atas luka Roppi. "Nah, sudah. Kau tidak dalam bahaya."

"Iya, iya. Aku tahu, Psyche," balas Roppi sambil berdiri. Tubuhnya langsung terasa ringan dan tidak lagi limbung. "Kalian serang dia, aku akan mencoba untuk menangkapnya," serunya pada kedua kakaknya.

"Tidak perlu kau bilang dua kali, Roppi-kun," balas Izaya sambil melancarkan serangannya bersama Psyche.

Dalam waktu singkat, si pembunuh sudah berada dalam balutan hitam aura Roppi. Psyche sibuk mengobati penjaga yang terluka.

Dan dia merasa heran ketika menemukan bahwa sama sekali tidak ada penjaga yang mati. Mereka hanya terluka di bagian tertentu, yang jauh dari bagian vital, yang membuat mereka tidak bisa bergerak untuk sementara. "Hm… racun di tubuh Roppi-chan juga tadi tidak berbahaya…" gumam Psyche sambil mengobati para penjaga.

Sementara itu, Izaya dan Roppi sibuk menanyai si pembunuh yang tidak mau membuka mulutnya yang tertutup cadar hitam. "Argh! Kalau begini caranya, dia tidak akan berbicara sampai pagi juga!" keluh Izaya kesal.

"Ya, sudah. Buka saja topengnya dan mungkin kita bisa teliti dia kira-kira diutus siapa," balas Roppi dengan datar.

"Iya, kau benar," tanggap Izaya. Tangannya terulur, bersiap untuk melepas cadar yang menutupi kepala dan wajah, kecuali mata, si pembunuh. Kedua mata merahnya terbelalak, seakan ingin menolak untuk topengnya dibuka.

Tapi itu tidak akan ada gunanya, karena Izaya sudah menarik kain hitam yang menyelubungi wajahnya.

"Kau…" gumam Izaya kaget. Bahkan Roppi juga kaget melihat wajah di balik kain itu.

Rambut pirang, kulit seputih marmer, hidung yang mancung, bibir yang terlukis sempurna.

Tidak mungkin.

"Mau apa keluarga Heiwajima mengirim pembunuh untuk membunuh Roppi? Dan terlebih lagi, kenapa bukan orang hasil latihan mereka saja melainkan harus sampai keturunannya sendiri?" gumam Izaya heran. Sementara Roppi lebih heran dengan ekspresi si pembunuh. Dia kira dia akan melihat wajah yang kejam, wajah penuh amarah dan kebencian. Atau mungkin wajah tanpa ekspresi sekalian. Tapi bukan itu yang dia lihat.

Yang dia lihat adalah wajah lembut seorang pemuda berambut pirang dengan mata merah, yang entah kenapa terlihat ketakutan dan… malu, mungkin? Dan Roppi tidak akan heran kalau suara yang lembut juga yang akan keluar dari mulut itu. Dia hanya heran ketika suara lembut itu mengatakan hanya satu kalimat pendek. "Maafkan aku…"


Sebuah ketukan kasar terdengar di pintu gerbang kayu kediaman keluarga Heiwajima yang bernuansa Jepang kuno. Tsugaru langsung membuka pintu untuk melihat siapa yang begitu tidak sopan mengetuk pintu dengan kasar di pagi-pagi buta begini.

Di balik pintu, Izaya yang marah berdiri. "Katakan, apa maksudnya ini?"

Tsugaru memandang Izaya. "Maksudmu?"

"Kalian mengirim pembunuh ke kediaman Orihara untuk membunuh Roppi."

Tsugaru heran mendengar Izaya. "Aku tidak tahu maksudmu, Izaya. Tapi, tolong pergi sekarang dan tidak usah datang kemari lagi."

"Aku juga tidak ingin berada disini kalau kalian tidak mengirim pembunuh untuk membunuh adikku!"

"Izaya, tolong jangan berteriak. Dan tolong pergi sekarang sebelum—"

"Tsugaru-san?"

Terlambat.

Seorang pemuda pirang dengan yukata putih untuk tidur dan sebuah haori abu-abu berdiri di koridor pintu masuk, memandangi kedua orang yang sedang berdebat di ambang pintu gerbang. "Izaya? Ada apa?" tanyanya lagi.

"Ah, Shizu-chan. Selamat pagi. Kau tidak tahu? Sepertinya keluarga Heiwajima mengirimkan anggota keluarganya untuk membunuh adikku."

"Shizuo, masuklah ke dalam. Kau masih belum sehat," perintah Tsugaru lembut sambil tersenyum kecil pada pemuda pirang bermata sewarna madu itu.

"Ada apa? Aku ingin tahu," desak Shizuo, tidak puas dengan jawaban Izaya.

"Shizuo, masuk ke dalam."

"Tsugaru-san—"

"Shizuo-nii-chan, ayo masuk ke dalam," panggil sebuah suara. Di belakang Shizuo, berdiri Delic yang sepertinya baru terbangun. "Nanti kau tambah sakit."

Akhirnya, Shizuo tidak memiliki pilihan selain mematuhi Tsugaru dan masuk ke dalam rumah.

"Delic," panggil Tsugaru. Pemuda yang dipanggil itu langsung berjalan ke arah Tsugaru.

"Ya?"

"Aku akan pergi sebentar. Pastikan Shizuo tetap di kamar dan tidak mengikutiku," pintanya pada adik ipar sekaligus sepupunya yang bermata magenta itu.

"Baiklah," balas Delic patuh. Dia langsung berjalan kembali ke dalam rumah.

Izaya, merasa diabaikan dari tadi, akhirnya bersuara juga. "He… jangan-jangan justru kau tidak tahu apa-apa dan malah ternyata Shizuo-mu tersayang yang mengirim pembunuh itu," ujarnya sambil berjalan menjauhi gerbang.

Tsugaru menutup gerbang dan mengikuti Izaya berjalan menuju kediaman Orihara, berharap Shizuo tidak akan mengikutinya karena rasa penasaran, atau… keinginan untuk melihat orang yang dikatakan dari keluarganya.

"Diam. Dia tidak mungkin melakukan itu."

Dia hanya ditanggapi oleh seringai Izaya. Dan sebuah nasihat; "Kau sebaiknya tidak terlalu mempercayainya. Dia terlalu pintar menyembunyikan kebenaran."

"Aku tidak peduli akan hal itu," balas Tsugaru karena dia tahu, Shizuo tidak pernah berbohong kecuali sekali dalam hidupnya.

Lagi-lagi Izaya menyeringai. "Jangan biarkan cintamu padanya membutakan dirimu, Tsugaru. Kau tahu sendiri, bukan dirimu yang dia cintai," ujanya pelan walaupun sebenarnya dia sendiri tidak terlalu yakin lagi akan hal itu.

Tsugaru bisa merasakan racun dalam kalimat Izaya. Tapi dia memilih untuk diam, sebagian kecil karena menyangkal itu akan membuat Izaya semakin senang menggunakan itu untuk melawannya.

Dan sebagian besar karena dia tahu itu memang benar.


End of Chapter 1


Dan saia sukses bikin agenda saia yang udah lumayaan kosong penuh lagi. Huehehe... *nangis sambil ketawa, entah bahagia ato sedih*

Oh, ya. Ada yang bisa nyebut fic apa aja yang perlu saia selesaikan? Karena, jujur, saia sendiri hampir lupa apa aja... ==a *contoh author tidak bertanggung jawab*

Eniwei, ada yang mau ripiu? *insert puppy eyes* :D