Disclaimer: JK Rowling. Genre: Hurt comfort. Rate: T. Warning: Miss typos, alur cepat, semi AU.

Summary: gelang bertuliskan 'gangguan mental' melingkar di pergelangan tangannya. Tatapan kosong. Hidup di ambang kematian. Dengan luka-luka berat bekas peperangan. Dengan luka lama akibat benda bulat berwarna merah mengkilap, yang membuat gadis itu harus melempar tamparan keras ke wajah Draco.

Apples © Diloxy

Chapter 1. Prolog

Kabut asap benar-benar membutakan pandangan yang kini membuatku tak dapat melihat apapun di sekitar. Aku berusaha memperjelas pandangan, namun sepanjang yang terjadi, kegelapan semakin sukses menutupinya. Tak ada cahaya. Hanya ada raungan menyiksa yang tadinya samar, sungguh saat ini terdengar semakin jelas. Aku berlari sekuat tenaga menerjang kabut ini, entah kemana tujuannya, hingga badanku ambruk karena kakiku terasa terjegal sesuatu. Aku meringis ngeri dan ngilu menatap tak percaya tubuh yang telah membujur.

Bau busuk mayat menguar memaksa indra penciumanku untuk bekerja ekstra. Karena sedapat yang terjadi saat ini, orang-orang yang telah mati itu menarikku paksa dengan cengkraman kuatnya. Jemari dingin beku dan tubuh-tubuh membiru yang telah dimakan cacing. Wajah mereka meneriakkan namaku. Aku meronta dan berteriak, namun hanya udara kosong yang keluar. Tak ada suaraku, hanya ada ringkihan mereka yang telah mati.

Aku didorong ke dalam lubang kuburku sendiri. Menoleh dengan cepat pada kerumunan orang mati yang bersiap dengan sekop mereka mulai memasukkan tanah ke dalam lubang kuburku. Aku berusaha menjerit, namun sekali lagi. Tak ada suara. Tak ada cahaya.

Kututup mataku merasa ini semua tak akan berhasil, ketika entah dari mana tubuhku terangkat menjauhi dataran mengerikan tersebut. Terhempas pada suatu padang ilalang kosong. Aku meringkuk sendiri tak bisa merasakan tubuhku. Ketika kelopak mata berangsur terbuka. Wajah teduh ibuku tersenyum. Bibirnya tergetar, "Kembalilah Hermione!"

Putih.

Hanya cahaya dari lampu neon panjang yang berhasil aku kenali. Aroma alkohol menyeruak memaksa masuk untuk dikenali indra penciumanku. Aku mengerjap beberapa kali. Berusaha meyakinkan diriku bahwa aku sudah tersadar dari mimpi brengsek itu. Aku menarik napas panjang. Sepertinya perawat di sebelahku menyadarinya. Ia segera mengambil sebuah senter kecil dan memeriksa pupil mataku.

"Ada yang mau kau bagi?" tanyanya dengan senyuman. Namun, masih sama dengan jawabanku dua bulan ini, aku hanya diam. Tanpa ekspresi. Atau mungkin, tak bisa berekspresi.

Perawat itu pun pergi dan menghilang di balik tirai yang mengitari ranjangku. Aku menoleh sekilas ke sebelah. Harry pasti kemari saat aku dibuat mimpi para zombi. Ia selalu membawakan buket lily putih.

Aku menarik selang morfin yang mengaliri nadiku. Kurasa cukup untuk hari ini. Obat-obatan ini sukses membuatku seperti mayat hidup. Aku berusaha bangkit untuk duduk di ranjangku, dan bersandar ke dinding. Melirik sejenak pada pergelangan tangan kiriku. Benda menyedihkan itu masih disana. Melingkar dengan indah. Seolah menertawaiku. Seolah mengingatkanku. Aku gila? Tidak, aku benar-benar waras. Aku hanya tak bisa lagi memutuskan harus berekspresi bagaimana. Ah, untuk tak bicara selama dua bulan, karena aku tak menginginkannya. Sepertinya tak ada lagi yang harus aku katakan setelahnya. Aku bisa apa? Melihat orang tuaku mati hanya karena benda terkutuk yang sialnya terlambat kuketahui.

Dan sekarang. Setelah peperangan itu. Yang merenggut banyak nyawa. Aku nyaris tak ketinggalan parade mimpi buruk di setiap tidurku. Memaksaku untuk selalu terjaga walau lingkar mata sudah sedemikian jelasnya. Tapi, saat mereka berhasil membuatku tertidur, penyiksaan itu kembali. Mencekikku, bahka berusaha membunuhku. Harusnya aku terima dengan senang hati, tapi kemudian ibu muncul. Ibuku yang sudah pergi. Yang nyatanya tak ingin aku kembali memeluknya dulu.

Beberapa bulir air mata jatuh dari sepasang mata kosong. Aku pandangi kembali gelang bertuliskan 'gangguan mental' yang melingkari pergelangan tanganku. Berusaha mengingat kembali rasa sakit itu. Memasukkan kembali memori yang tercecer dari hari-hari burukku. Saat aku meronta hampir membunuh menteri sihir yang baru. Saat mereka merampas tongkat kayu anggurku. Saat mereka meneriakiku. Saat mereka memasukkanku kemari. Saat mereka memasangkan benda-benda mengerikan di tubuhku. Saat aku mulai diam. Saat aku tak berekspresi. Saat aku berulang kali mencoba mengiris nadiku. Saat aku berusaha pergi menyusul orang tuaku. Tak ada lagi yang bersisa.

Aku Hermione Granger. Seorang pejuang yang gila karena kematian orang tuanya.

Belikatku berdenyut lagi. Aku merabanya perlahan. Perban-perban masih melekat di sekujur tubuhku. Tidak, tidak. Aku tak seperti mumi. Hanya di bagian pundak hingga pinggang, kaki kiri, lengan kanan, dan kepala. Tubuhku telah benar-benar rusak parah.

Mata hazelku awas ketika mendengar suara memasuki bangsalku. Sepertinya rombongan dokter dan perawat yang akan menyiksaku lagi. Memasukkan obat-obat mengerikan untuk memaksaku berhenti. Mereka mungkin khawatir aku akan membunuh mereka.

Tirai di dekat ranjangku terbuka. Dr Corona -salah satu dokter yang bisa kupercaya walau perlakuanku sama padanya- muncul dari balik tirai. Ia dengan wajah penuh senyuman menatapku.

"Kau kedatangan tamu," ucapnya walau ia sudah tahu tak akan mendapat jawabanku.

Aku masih diam. Memangnya siapa lagi yang akan repot-repot mengunjungiku? Hanya beberapa orang seperti, Harry atau Kingsley –dia bukan menteri sihir yang baru, aku menyayangkannya- atau Molly Weasley. Jangan tanyakan Ron. Ia tak pernah kemari. Dan melihat bunga lily di atas meja di sebelah ranjangku, aku yakin ini bukan Harry.

Tapi, memang bukan Harry. Aku mengerjap beberapa kali berusaha memperjelas pandangan. Oh, aku mungkin sudah benar-benar gila sekarang. Wajah datarku saat ini menunjukkan ekspresi, mungkin terkejut, mungkin aneh. Dr. Corona berhasil jika ia mau menampilkanku berekspresi. Karena sebisa yang aku lihat saat ini, seorang pemuda tinggi kurus, dengan rambut pirang platinanya. Ia menyelipkan kedua telapak tangannya di saku celana. Seraya memandang dengan tatapan yang sulit aku kenali.

Draco Malfoy.

"Kutinggalkan kalian berdua. Kau sudah tahu aturannya!" ucap Dr. Corona pada pemuda itu. Pemuda yang entah ada urusan apa repot-repot datang menjenguk Hermione Granger yang sudah gila. Ingin tertawa puas, eh? Malfoy!

Pemuda pirang itu mengamatiku, tapi aku membiarkannya. Aku mengambil bunga lily di sebelahku dan memainkannya asal. Tak mengindahkannya memperhatikanku.

"Perang memang mengubah banyak hal, bahkan penyihir paling pintar dan cerewet milik Hogwarts."

Aku masih memainkan bunga lily dari Harry.

"Aku kemari ingin berterima kasih pada Harry. Kesaksiannya membuat persidangan mencabut hukuman atas ibuku."

Aku tak peduli. Kau salah orang. Masih memainkan bunga lily.

"Hermione Granger membiarkan orang lain menyiksanya!"

Dia tertawa pelan seraya mengguncang-guncang selang infus dan selang morfin yang tertancap kembali ke kulitku tadi.

"Aku hampir tak percaya ketika tahu Hermione Granger yang hampir kehilangan kewarasannya hanya karena," ia terhenti dan merogoh saku celananya. "Ini!"

PLAKK

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

Darahku mendidih sempurna. Jantungku berpacu cepat. Aku masih berusaha untuk tidak mencekiknya. Brengsek, untuk apa dia membawa benda terkutuk itu kemari. Memperlihatkannya dengan enteng kepadaku. Aku cabut paksa selang infus dan selang morfin dari tanganku. Melemparnya asal. Dengan kekuatan tersisa aku bangkit berdiri meloncat dari ranjang. Menapaki lantai marmer yang membekukan telapak kakiku. Berusaha sejauh mungkin dengan benda terkutuk itu.

Astaga, sepertinya kekuatanku memang terbatas. Karena saat ini tubuhku membeku. Aku menggigil hebat. Tubuhku ambruk mencium marmer dingin. Aku hanya bisa menatap ngeri pada marmer yang memantulkan bayanganku sendiri. Seorang yang tak aku kenali. Napasku memburu cepat ketika benda terkutuk itu berguling ke dekat wajahku yang masih menempel di lantai.

Siluet-siluet mengerikan itu kembali muncul. Perang besar. Aku berlari-lari melewati kobaran api hogwarts berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin jiwa yang bisa diampuni kematian. Kemudian siluet berganti. Aku mencengkram kepalaku yang terasa hampir pecah. Aku meronta-ronta dengan suara tak jelas. Selanjutnya gambaran-gambaran padang hijau itu kembali muncul. Berganti gambaran kejadian di meja besar ketika kematian merenggut mereka dari duniaku. Ketika menteri sihir tertawa ke arahku. Ketika tak ada seorangpun yang mempercayai perkataanku. Dan membuatku terdampar disini. Meraung sepanjang malam mengingat kejadian mengerikan itu.

"Arrrrgghhh," raunganku membelah udara malam.

Tuhan tolong ambil aku bersama orang tuaku. Ibu, aku ingin kembali. Tak ada yang menyayangiku. Seperti saat ini. Saat pemuda itu cepat-cepat memasukkan benda terkutuk itu ke dalam saku celananya. Saat aku meronta-ronta dan meraung menyetujui bahwa aku telah benar-benar gila. Saat dokter dan perawat berdatangan dengan obat-obatan dan jarum suntik. Menyeretku kembali ke ranjang. Mengikat lengan dan kakiku dengan kasar. Tak ada yang mengingat siapa aku yang dulu. Memaksa jarum-jarum menyakitkan itu menembus kulitku, mengalirkan morfin dalam dosis besar ke aliran darahku. Memaksaku untuk melupakan semua kejadian mengerikan ini. Memaksaku untuk mencium para zombi di dalam mimpi. Sebelum akhirnya seluruh tubuhku lemas dan yang terlihat hanyalah kegelapan.

"Ibu," lirihku sebelum diculik mimpi.

0o0o0

00

Kucuran air hangat mengalir di tubuhku. Aku berusaha menggosok-gosokkannya untuk menghilangkan darah yang mengering. Tubuhku benar-benar hancur. Aku memperhatikan bayanganku di depan cermin saat suster berusaha mengelap tubuhku dengan handuk. Amat hati-hati. Takut menyakitiku mungkin. Karena luka-luka jahitan membentang indah di sekujurnya. Aku terdiam dengan tatapan kosong begitu suster mengatakan bahwa lukaku sudah membaik dan kini tak perlu di perban lagi, namun tetap saja masih terasa sangat berdenyut. Ia memakaikanku baju pasien, kemudian melingkarkan kembali gelang menyedihkan itu. Ia menuntunku keluar dari kamar mandi.

Begitu kami melangkah keluar dan menuju ranjangku, aku melihatnya lagi. Pemuda pirang itu berdiri melipat lengan di dada. Berbicara dengan Dr. Corona. Otot tubuhku mengeras seketika. Jantungku berdegup kencang, berusaha waspada melihatnya di dekatku. Mengingat aku tak memiliki cukup kekuatan di tubuhku yang hanya dibalut kulit, tanpa daging. Aku kurus kerontang.

Aku berjalan menuju ranjangku berusaha memalingkan perhatian dari pemuda itu. Namun mataku masih berfokus pada saku celananya. Sepertinya tak ada benda terkutuk itu disana. Suster memintaku untuk duduk selama ia membalut luka di pergelangan tanganku dengan perban. Luka hasil kemarin malam. Saat aku ambruk. Saat aku meronta. Saat pinggiran tajam di ranjang membuat darah segar berhasil menerobos keluar. Aku meringis sesekali, namun hanya dapat menggigit bibir.

Dan suster pun selesai dengan sentuhan akhirnya. Ia tadinya akan menyuapiku sarapan, namun aku menggeleng. Ia sudah tahu aku tak ingin dipaksa, jadi akhirnya ia keluar dengan senyuman. Namun, sebelum mereka benar-benar meninggalkan ruangan ini, meninggalkan aku bersama si pirang yang juga terdiam di sebelah ranjangku, aku cepat mencegahnya.

"Aku tak ingin dia disini!" kalimat pertamaku setelah dua bulan terdiam.

Suster terhenti dan menoleh ke arahku. Ia tahu maksudnya adalah si pirang. Namun, pemuda itu segera bicara padaku.

"Aku percaya apapun yang kau katakan tentang menteri sihir," ucapnya setengah berbisik.

Demi apapun juga, ketika seluruh orang tak menginginkan aku membicarakan ini. Bahkan Harry Potter terlihat setengah percaya padaku, pemuda ini malah memberikan jaminan itu. Jika ini bukan hanya alat agar aku membiarkannya berada di dekatku, aku pasti salah. Dia mungkin akan menyiksaku seperti malam tadi. Tapi, entah mengapa aku malah meminta suster untuk pergi.

"Gila," ucapku seraya memperlihatkan gelang di pergelangan tangan kiriku. Seolah berusaha mematahkan maksudnya untuk terus berada disini.

"Enam tahun melihatmu di Hogwarts, paling tidak aku tahu mana bagian jiwamu yang waras, mana yang gila," ucapnya tanpa melihat ke arahku. Ia merapikan lily-lily segar di atas vas bunga plastik di atas meja di sebelahku. Aku mengernyit heran.

"Harry kemari?" tanyaku segera. Pemuda itu mengangguk. Benar, dan mengapa si kepala codet itu membiarkan ferret sialan ini bersamaku. Apa mungkin pemuda ini mengemban misi khusus untuk melenyapkanku seperti yang ia lakukan pada Dumbledore? Aku rasa aku benar-benar tidak waras.

"Mana bagian jiwaku yang waras?" tanyaku kemudian.

"Apa yang kau katakan tentang menteri sihir," jawabanya.

"Mengapa kau repot-repot percaya? Apa urusannya denganmu?" tanyaku sarkastik.

"Hanya ingin mencoba berbaik hati," jawabnya yang entah mengapa terdengar memuakkan di telingaku. Aku mencibirnya.

"Lalu mana bagian jiwaku yang sakit?" tanyaku segera.

"Saat kau takut pada apel."

Dan seketika darahku mendidih. Jantungku memacu cepat mendengar benda terkutuk itu. Sial. Sungguh sial. Siluet mengerikan itu mendobrak masuk pikiranku lagi. Menampilkan gambaran-gambaran yang semakin nyata. Aku mencengkram kuat kepalaku. Merasakan ototku mengeras. Aku tak ingin berontak di pagi ini. Aku tak ingin dokter membuatku tertidur lagi. Tapi gambaran-gambaran itu merasuk cepat. Saat aku duduk bersama orang tuaku dan menteri sihir. Saat aku melihat benda terkutuk itu bertumpuk di atas meja makannya. Saat orang tuaku menggigitnya. Saat aku baru menyadari arti seringai sang menteri. Saat orang tuaku jatuh terkapar. Aku masih mencengkram kuat kepalaku.

Saat itu, saat kematian orang tuaku. Maut menjemputnya. Bersama tawa sang menteri. Pintu akhirnya di dobrak. Aku berteriak histeris menyuarakan kebenaran. Aku lemparkan kutukan kematian ke arahnya. Meleset. Dan sebisa mungkin akhirnya menahan crustacius yang memaksaku diderai kesakitan. Saat tongkatku diambil. Saat aku diseret dan dibuang dalam rumah sakit ini. Dan gelang itu akhirnya melingkari pergelangan tanganku.

"Keluar kau!" desisku masih mencengkram kepala yang terasa hampir pecah. Aku meronta-ronta, berusaha menggigit lidah agar tak menjerit. Tapi rasanya sungguh menyakitkan. Aku menarik-narik seprai ranjangku kasar, beberapa bagian sobek.

"KELUAR KAU!" pekikku mulai histeris. Air mata sudah telak mengotori pipi. Aku biarkan diriku dikendalikan kegilaan ini. Meronta-ronta dan meraung. Menjerit kencang. Saat aku menyadari dokter dan perawat sudah mengerubungiku. Aku tak peduli lagi. Biar mereka memaksaku diam seperti biasanya.

Tapi, aku hanya merasa tangan-tangan itu memegangiku. Tak ada jarum yang memaksa menembus kulit. Tak ada morfin dosis tinggi. Tak ada mimpi buruk yang menjeratku. Aku masih gila nyatanya. Dengan raungan kencang yang kini berangsur menjadi isakan dalam. Ya, terisak memeluk kencang bantal tak berdosa. Mengacak seprai ranjangku. Apapun itu, aku terlarut dalam kesedihan kini. Siluet senyuman ibuku. Ibuku yang tak ada lagi untuk memelukku. Aku membiarkan diriku jatuh dalam tangisan panjang. Dalam derai air mata yang menganaksungai di wajah sembabku.

Dan menit-menit terlewati dengan tangisan ngilu. Aku berhenti bersumpah serapah. Kini hanya ada raut penyesalan bahwa tanganku tak dapat mencegah maut mengambilnya. Penyesalan yang membuatku terlempar ke tempat ini.

"Biarkan dia."

Suara pemuda itu menghalau suster-suster yang masih bersiap dengan jarum suntik dan penenang. Tak ada usaha menenangkan diriku saat ini. Karena nyatanya, akulah yang berusaha sendiri. Menyadari isakanku yang berubah dalam. Bibirku tergetar menahan rasa sakit tepat di jantungku.

"Kau masih ingin menangis?"

Suara itu, aku tahu untukku. Kini aku memaksa diri untuk berhenti. Aku seka dengan kasar air mata yang masih ada di wajah.

"Kau menyedihkan Granger!"

Aku menyedihkan? Ya. Semua orang bebas menilaiku. Aku memang menyedihkan. Aku tak akan berusaha membuatnya menarik kata-katanya. Biar sudah. Kini hanya bisa menerawang menatap kosong tirai pembatas di sebelah ranjangku. Aku mulai bisa mendapatkan kendali penuh atas diriku sendiri. Mulai kembali dalam ketenangan. Mengerti bahwa aku benar-benar gila. Ternyata begini rasanya.

Di ruangan ini hanya ada aku dan pemuda itu. Dan menit-menit berangsur lambat. Aku melirik sekilas pada jam dinding. Dan ia masih di sebelahku. Mengamati bunga lily yang berulang kali ia sihir agar segar kembali. Aku masih enggan bertanya apa yang ia lakukan disini. Untuk apa seorang Draco Malfoy repot-repot kemari? Mengolokku? Ia sudah lakukan. Menakutiku? Sukses besar. Membiarkanku mengambil alih kendali atas diriku? Kenyataan yang akhirnya aku sadari. Mencegah obat-obatan itu mengalir dalam nadiku? Ia melakukannya.

Selang morfin tergantung begitu saja. Aku baru menyadarinya. Aku tertawa pelan. Itu artinya sejak pagi tadi, tak ada penenang yang menerobos tubuhku. Sebuah kemajuan penting mengingat dua bulan ini aku benar-benar mengerikan.

"Aku sudah sepuluh kali menghangatkan kembali sarapanmu. Kau mau menghabiskannya dengan makan siang sekaligus?" tanyanya yang duduk di kursi di sebelah ranjangku. Aku tiduran memunggunginya. Melirik sekilas kepada jam dinding yang menertawaiku dan entah mengapa perutku membenarkan dengan bunyinya.

"Bawa kemari," ucapku lebih kepada perintah. Pemuda itu membawakan nampan makanan, sementara aku berusaha bangkit dan duduk bersandar di dinding.

Aku mulai memasukkan makanan-makanan itu ke mulut. Menyendokinya pelan-pelan karena wajahku terasa sakit dan ngilu. Memaksanya agar turun ke kerongkongan. Setidaknya pengganti tenaga yang kuhabiskan sia-sia untuk mengamuk tadi. Sementara pemuda itu masih duduk memandangi bunga lily segar yang baru ia sihir kembali.

"Harry cemas padamu," ucapnya tanpa balasanku. "Kau tahu mengapa ia mengirim lily liar ini setiap hari?"

Aku meliriknya sekilas. Ah, memang benar. Dari seluruh jenis bunga, ia hanya membawakan ini. Aku berpikir mungkin karena bunga ini mengingatkannya tentang ibunya. Lily Evans.

"Agar kau bisa mengembalikan ingatanmu," ucap Draco. Aku menoleh padanya. Dengan ekspresi bertanya, walau tanpa suara.

"Aku baru tahu herbologimu buruk, barangkali kau harus belajar pada si Longbottom. Lily liar mengandung senyawa yang dapat memabukkan. Aromanya bisa membuat seseorang mengingat memori-memori," lanjutnya.

Jadi ini biang keladi mimpi burukku? Aku harus memperingati Harry untuk tidak membawanya lagi.

"Dan ingatan yang ingin Harry munculkan darimu, kau tahu itu. Ingatan siapa dirimu sebenarnya," lanjut pemuda itu. Dan sekali lagi, aku menunjukkan gelang di pergelangan tanganku tepat di depan matanya.

"Gila," desisku.

"Kau yang menginginkannya," ucap Malfoy. "Harusnya aku termasuk orang beruntung, karena selama dua bulan ini, aku jadi orang pertama yang membuatmu bicara."

Pemuda itu tertawa menghina.

"Dan kau salah menyebutnya," ia menunjuk gelangku. "Itu bertulis gangguan jiwa. Bukan gila. Gila itu saat kau berlari-lari telanjang di taman rumah sakit."

Aku melotot garang padanya. Bahkan dalam kondisi seperti ini, aku masih memiliki kewarasan untuk tidak melakukan itu.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku tanpa melihat ke arahnya. Aku fokus pada beberapa sendok bubur yang belum kuhabiskan.

"Menunggumu," ucapnya. Aku tertawa mengejek. Yang benar saja, sejak kapan seorang Malfoy berbaik hati pada darah lumpur kotor sepertiku? Atau jangan-jangan ia sudah gila?

"Seperti yang aku katakan kemarin. Perang membuat semua hal menjadi tak sama lagi. Dan mungkin aku satu-satunya orang yang mempercayaimu tentang menteri sihir," lanjutnya.

Bibirku terkatup. Aku menarik napas panjang. Berusaha menjadi sewaras mungkin. Namun sulit sekali, mengenyahkan siluet-siluet mengerikan saat nama itu disebut. Dan akhirnya, jantungku mulai berpacu lebih cepat. Tubuhku bergetar hebat. Aku berusaha menaruh nampan kosong ini ke atas meja, namun gagal. Nampan itu jatuh dan berkelontang di atas lantai marmer. Membuat bunyi gaduh. Suara besi ringan beradu marmer terdengar memekakkan telinga. Memaksa memori buruk untuk muncul ke permukaan pikiranku. Aku mencengkram kepalaku sekeras-kerasnya. Membuat darah di pergelangan tanganku merembes keluar dari luka yang belum kering. Tak peduli. Aku meronta seraya mencengkram kuat kepala. Menutup mata rapat-rapat, kemudian membukanya kembali. Berharap penyiksaan gambaran itu berhenti. Tapi tidak.

Aku masih terus meronta, melihat sekilas pemuda itu menutup pintu dan tirai jendela rapat-rapat. Kemudian berlari ke arahku yang tengah kumat.

Aku mengerang merasakan sakit menhujam sekujur tubuhku, menjalar jelas hingga tiba di jantungku. Aku menarik diri dari ranjang dan jatuh terjerembab di atas marmer dingin. Dingin. Beku. Ngilu. Berangsur hangat. Ya, hangat.

Aku mendongak meraba-raba tubuhku yang telah tertutup selimut tebal. Pemuda itu berusaha membuatku berdiri, ia menopang berat tubuhku sehingga kini aku dan wajah kusutku berhadapan dengannya. Aku melihat langsung sepasang kelabu dengan siratan menenangkan. Mencoba membuatku tenang. Aku masih meronta, mencengkram kepala, menutup wajah. Berusaha mengusir siluet mengerikan itu. Saat orang tuaku melihatku terakhir kalinya. Dan mayat hidup itu datang. Puluhan. Dari semua kematian yang aku saksikan. Mendorongku jatuh ke dalam lubang kuburku. Menguburku dengan tanah yang mereka sekop sambil tertawa-tawa girang.

"Jangan bunuh aku, jangan bunuh aku," lirihku masih berusaha berontak. Tangan pemuda itu mengusap-usap dengan keras punggungku. Ia memaksaku untuk ada dalam pelukannya. Rasa sakit dari deretan luka-luka di tubuh menarikku keluar dari gelombang mimpi buruk yang seakan nyata. Pemuda itu masih mengusap keras punggungku yang dipenuhi luka. Membuatku awas dengan rasa sakitnya. Aku meronta-ronta memohon, tapi ia terus saja melakukannya.

"Kendalikan dirimu, Granger!" hardiknya keras. Namun aku menutup telinga kuat-kuat. Tak mau mendengar apapun. Ia menyakitiku. Atau memaksa menyakitiku untuk mengeluarkanku dari mimpi buruk ini.

Dan akhirnya aku mengalah. Siluet mengerikan itu perlahan memudar. Tergantikan rasa sakit yang menjalar. Lukaku pasti terbuka kembali. Aku tak peduli. Bibirku tergetar, dan air mata tumpah ruah. Isakan menggantikan pemberontakanku. Aku biarkan pemuda itu terus membuatku terjaga. Walau sakit terus terasa menyiksa.

Getir. Ngilu di sekujur tubuh tak juga mereda. Tapi kini aku melemah. Ia membopongku kembali ke atas ranjang. Membiarkanku tertidur. Menyelimutiku yang masih meringkuk tak berdaya. Membiarkanku jatuh kembali ke dalam buaian mimpi walau ia tadi berhasil mengeluarkanku. Namun kali ini, tanpa mayat hidup. Tanpa kematian yang aku saksikan. Hanya mimpi tentang lembutnya senyuman ibu. Dan benda bulat berwarna merah mengkilap itu.

0o0o0

00

Kelopak mataku perlahan terbuka. Sepasang hazelku mengamati sesuatu yang tak biasa menerobos ruangan ini. Cahaya matahari. Yang entah mengapa tirai jendela itu dibiarkan terbuka. Pagi bertemu pagi. Sepertinya aku pingsan seharian. Tubuhku masih belum bergerak, dan aku putuskan untuk tidak bergerak. Berpura-pura masih terlelap, mengatur napas panjang sesekali. Telingaku menangkap gelombang suara kegiatan di belakangku. Aku menggeliat pelan, menoleh sesaat.

"Sarapan?" tanya pemuda itu lagi.

Aku tak bereaksi. Hanya menatapnya dengan tajam. Akhirnya aku berbalik kembali dan tiduran memunggunginya. Sudah sekitar satu minggu ini pemuda itu datang dan berada disini. Menyisipkan memori mengerikan tentang peperangan. Menyeruakkan kembali kesakitanku. Ah, tapi memang aku selalu mengamuk setiap hari, ada ataupun tanpa kehadirannya.

Tapi yang agak berubah dalam seminggu ini adalah, tak ada jarum-jarum yang memaksa menusuk tubuhku, tak ada penenang, tak ada morfin dosis besar yang menerobos aliran darahku, tak ada kerumunan panik saat aku mengamuk karena memang hanya pemuda itu saksi amukanku, dan yang harusnya aku syukuri, tak ada mimpi buruk di tidurku.

Aku mengeluh pelan. Meraba dahiku yang agak berdenyut. Perban masih membelat kepalaku. Ah, tak hanya kepala nyatanya. Tanganku pun masih dibelat perban. Dan pinggangku juga. Dimana luka lama robek kembali saat kumengamuk. Tapi, anehnya pemuda itu tak pernah mengadukanku. Sesuatu yang sampai saat ini tak aku ketahui alasannya. Ia datang pagi-pagi. Menghilang di siang hari, kemudian datang kembali malamnya. Mengapa aku tak bertanya? Aku belum ingin.

"Mereka mengizinkanmu berjalan di taman," ucap pemuda itu tiba-tiba. Tak ada respon dariku. Aku hanya tertawa kecil mengejek. Memangnya siapa yang mau berjalan-jalan dan menjadi pusat perhatian karena menjadi orang gila? Bahkan dalam keadaan tak waras pun aku tak mau melakukannya.

"Atau kau ingin bicara?" tanyanya lagi. Tapi aku tetap diam.

"Aku ada di pihak kalian sekarang, aku sudah berubah, dan aku berniat baik mendengarkanmu, Granger!"

Aku tertawa agak keras hingga harus susah payah terbatuk-batuk. Menahan tubuhku berguncang dan rasa sakit yang kemudian menghajar perutku. Tapi aku tahan sebisa mungkin.

"Aku yang tak ada di pihak kalian lagi. Tak ada yang bisa aku percaya, sama seperti tak ada yang mempercayaiku," ucapku sarkastik. Aku bisa mendengar ia menarik napas panjang.

"Aku mempercayaimu," ucapnya. Namun aku hanya tertawa mencemooh begitu wajahku menoleh ke arahnya.

"Kau?" tunjukku tepat di hidungnya. "Jangan Malfoy. Kau bisa dilempar ke bangsal lain. Sebagai orang gila!" lanjutku seolah memamerkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kiriku.

"Kau ini sulit sekali diajak bicara," ucapnya agak jengkel. Aku tertawa mengejeknya.

"Dan kau begitu keras kepala. Sudahlah, aku ingin tidur!" ucapku menghentikan pembicaraan sia-sia ini. Aku segera membenamkan kepala ke dalam bantal. Menutup kedua telinga rapat-rapat walau nyatanya suara angin lembut masih dapat terdengar.

"Morfinmu sudah kucabut, jika kau butuh kau bisa berteriak atau mengamuk lagi!" ucap pemuda itu sebelum ia benar-benar pergi dari kamarku. Entah kemana.

Aku hanya bisa menatap kosong ke arah jendela. Menatap pepohonan yang kerontang. Daun berguguran. Dan terpaan angin lembut yang terasa dingin. Sepertinya bumi memasuki musim gugur. Aku terdiam membisu memperhatikan helaian dedauan yang terbawa angin. Mengembangkan pikiran jauh. Dan kini, sedapat yang aku lihat dalam ruang kepalaku, adalah kegetiran. Entah mengapa kalimat terakhir pemuda itu menggema lagi di lorong kepalaku. Memaksaku untuk menelaah.

Ia mencabut morfinku, ia menginginkanku tanpa penenang. Ia mencoba bicara padaku, ia bilang percaya padaku. Dan entah alasan apa yang membuatnya bersusah-susah dengan semua masalahku. Haruskah aku tahu?

Aku menggeleng pelan. Namun siluet-siluet masa lalu kembali muncul. Mengingat orang-orang yang seharusnya ada namun tak ada. Dimana Harry? Ah, ia masih sempat kemari. Dimana Ron? Aku tak peduli padanya. Dimana orde? Sepertinya sibuk mengurusi persidanganku. Mereka tak ada di sebelahku. Dan Draco Malfoy yang kemudian muncul. Mungkin ini hanya halusinasi. Mungkin kegilaanku sudah sedemikian parah. Tapi sorot kelabu itu mematahkan pendapatku. Sorot mata teduh yang dapat menjadi,

"Penenang," lirihku dengan hazel membulat sempurna.

TBC

A/N: Ini hanya sebuah prolog. Adakah yang menunggu chapter selanjutnya? Pertanyaan dan komentar Diloxy tunggu di kolom review. Trims untuk readers. ^_^

Nb: 5 things dengan sangat terpaksa diberi label discontinued.